Wednesday 11 July 2018

PELAYANAN SEKOLAH MINGGU: Penting, Tapi Seringkali Terabaikan! 
oleh vc
Kenangan masa lalu
Ketika mengenang kembali awal mula saya dikenalkan dengan Sekolah Minggu (SM) saat kelas 1 SD , saya merasa sangat bersyukur. Betapa menyenangkannya masa-masa itu karena banyak hal baru yang saya tidak dapatkan di sekolah. Saat itulah pertama kalinya saya mengenal Alkitab dan Tuhan Yesus. Kalau boleh jujur, yang mendorong saya untuk setia datang ke SM waktu itu karena SM sangat menyenangkan. Saya jadi tahu lagu-lagu Kristen, ada gambar-gambar yang bisa saya bawa pulang, ada hadiah yang didapat kalau saya rajin datang ke SM. Di benak saya waktu itu, “I love you full, SM.
Kalau saya mengenang kehidupan masa kecil saya, saat-saat di SM merupakan sebuah rangkaian proses yang akhirnya mengantar saya untuk mengenal Kristus. Karena itu betapa pentingnya anak-anak dilayani sejak dini. Meski mereka tidak paham dengan tujuan dan filosofi di balik kegiatan Sekolah Minggu, namun dengan anugerah Allah melalui penyampaian Firman Tuhan yang fun di SM, akhirnya anak-anak bisa dibawa kepada Allah.

Pembinaan Anak Sebelum Sekolah Minggu ada
Dalam jaman Perjanjian Lama, pembinaan rohani anak mendapat perhatian yang sangat serius. Pada waktu itu keluarga menjadi tempat pembinaan rohani anak. Orang tua bertanggung jawab untuk mendidik anak-anak mengenal Taurat Tuhan. Bukan hanya satu minggu sekali tapi tiap-tiap hari Taurat itu diajarkan dalam berbagai kesempatan kepada anak-anak (Ul.6:4-7).
Pada masa pembuangan di Babilonia (500 SM), ketika Tuhan menggerakkan Ezra dan para ahli kitab untuk membangkitkan kembali kecintaan bangsa Israel kepada Taurat Tuhan, maka dibukalah tempat ibadah sinagoge sehingga mereka dapat belajar Firman Tuhan kembali, termasuk di antaranya adalah anak-anak kecil. Orangtua wajib mengirimkan anak-anaknya yang berusia di bawah 5 tahun untuk sekolah di sinagoge. Di sana mereka dididik oleh guru-guru sukarelawan yang mahir dalam kitab Taurat. Anak-anak dikelompokkan dengan jumlah maksimum 25 orang dan dibimbing untuk aktif berpikir dan bertanya, sedangkan guru adalah fasilitator yang selalu siap sedia menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.[i] Rabi Green berkata, "Tidak ada bangsa yang lebih mementingkan pengajaran agama terhadap anak‐anak daripada bangsa Yahudi." Hal ini juga ditegaskan oleh Josephus, "Semua prinsip yang kami pentingkan ialah pengajaran terhadap anak‐anak." Dari hal ini kita tahu bahwa pengajaran orang Yahudi terhadap anak‐anak demikian dipentingkan, sehingga di kota Yerusalem saja ada 700 rumah sembahyang. Hal ini menyebabkan kepercayaan orang Yahudi menjadi suatu benteng yang tidak dapat dirobohkan.[ii]

Awal mula pelayanan Sekolah Minggu
Pelayanan anak oleh gereja atau yang biasa disebut dengan SEKOLAH MINGGU, tidak terlepas dari peran Robert Raikes, ia kemudian dikenal sebagai Bapak Sekolah Minggu. Robert Raikes lahir tanggal 14 September 1735 di Glovcester Inggris, sebuat kota kecil di tepi sungai Severn, kira-kira 150 Km Barat Laut kota London.[iii]
Pada masa akhir abad 18, Inggris sedang dilanda suatu krisis ekonomi yang sangat parah. Setiap orang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan anak-anak dipaksa bekerja untuk bisa mendapatkan penghidupan yang layak. Pada saat itu Robert Raikes yang juga seorang wartawan, mendapat tugas untuk meliput berita tentang anak-anak gelandangan di Gloucester bagi sebuah koran milik ayahnya. Apa yang dilihat Robert sangat memprihatinkan, sebab anak-anak gelandangan itu harus bekerja dari hari Senin sampai Sabtu. Apa yang dilakukan anak-anak pada hari Minggu itu? Hari Minggu adalah satu-satunya hari libur mereka sehingga mereka habiskan untuk bersenang-senang. Dengan tidak adanya pendidikan membuat anak-anak itu menjadi sangat liar, minum-minuman keras, berkelahi dan melakukan berbagai macam kenakalan juga kejahatan. Mereka tidak pernah diajak orangtuanya untuk mengikuti kebaktian di gereja.        
Semua perilaku buruk anak-anak tersebut menjadi perhatian serius dari Robert Raikers. Ia mencari solusi bagaimana mengatasi hal itu. Robert Raikers melihat bahwa dalam diri anak-anak itu ada banyak potensi yang disia-siakan oleh masyarakat dan gereja. Kreativitas anak-anak itu bisa berakibat buruk bagi masa depan mereka jika mereka tidak dididik sejak muda.
Pada tahun 1780, ia melakukan tindakan nyata. Melihat keadaan itu Robert Raikes bertekad untuk mengubah keadaan. Ia dengan beberapa teman mencoba melakukan pendekatan kepada anak-anak tersebut dengan mengundang mereka berkumpul di sebuah dapur milik Ibu Meredith di kota Scooty Alley. Di sana selain anak-anak mendapat makanan, mereka juga diajarkan sopan santun, membaca dan menulis. Tapi hal paling indah yang diterima anak-anak di situ adalah mereka mendapat kesempatan mendengar cerita-cerita Alkitab.
Pada mulanya pelayanan ini sangat tidak mudah. Banyak anak-anak itu datang dengan keadaan yang sangat bau dan kotor. Ia juga menerapkan metode pendidikan yang disiplin, yang terkadang dengan pukulan rotan, tapi semuanya itu dilakukan dengan penuh cinta kasih, akhirnya anak-anak itu belajar untuk mau dididik dengan baik, sehingga semakin lama semakin banyak anak datang ke dapur Ibu Meredith. Semakin banyak juga yang guru disewa untuk mengajar mereka, bukan hanya untuk belajar membaca dan menulis tapi juga Firman Tuhan. Perjuangan yang sangat sulit tapi melegakan. Dan dalam waktu 4 tahun sekolah minggu itu semakin berkembang bahkan ke kota-kota lain di Inggris, dan jumlah anak-anak yang datang ke sekolah hari minggu terhitung mencapai 250.000 anak di seluruh Inggris.
Mula-mula gereja tidak mengakui kehadiran gerakan Sekolah Minggu yang dimulai oleh Robert Raikes ini. Tetapi karena kegigihannya menulis ke berbagai media dan membagikan visi pelayanan anak ke masyarakat Kristen di Inggris, juga atas bantuan John Wesley (pendiri gereja Methodis), akhirnya kehadiran Sekolah Minggu diterima oleh gereja. Mula-mula oleh gereja Methodis, akhirnya gereja-gereja protestan lain. Ketika Robert Raikes meninggal dunia tahun 1811, jumlah anak yang hadir di Sekolah Minggu di seluruh Inggris mencapai lebih dari 400.000 anak. Dari pelayanan anak ini, Inggris tidak hanya diselamatkan dari revolusi sosial, tapi juga diselamatkan dari generasi yang tidak mengenal Tuhan. Gerakan Sekolah Minggu yang dimulai di Inggris ini akhirnya menjalar ke berbagai tempat di dunia, termasuk negara-negara Eropa lainnya dan ke Amerika.

Anak-anak spesial di mata Yesus
             Yesus menganggap anak-anak juga penting. Ia memperlakukan anak-anak sebagai seorang pribadi yang berharga. Yesus meletakkan pelayanan anak-anak dalam prioritas pelayanan-Nya (Mrk.9:36-37). Ketika para murid Yesus bertengkar siapa yang terbesar, Yesus justru mengambil kesempatan untuk memperkenalkan pandangan tentang rendah hati & pelayanan kepada mereka (Mrk. 9:35). Yesus berdiskusi tentang pentingnya menjalin relasi dengan anak-anak.
Maka Yesus mengambil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka, kemudian Ia memeluk anak itu dan berkata kepada mereka, "Barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku. Dan barangsiapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku." (Mrk. 9:36-37).

Yesus begitu memihak anak-anak sehingga Ia berkata bahwa orang yang memperhatikan anak-anak sebenarnya mengindahkan-Nya.
Dalam bagian teks yang lain, Yesus menanggapi usaha para murid-Nya untuk menyingkirkan anak-anak dari-Nya.
Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia menjamah mereka; akan tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu. Ketika Yesus melihat hal itu, Ia marah dan berkata kepada mereka: "Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah. (Mrk 10:13-14)

Orang Yahudi punya kebiasaan membawa anak-anak mereka kepada imam atau guru agama supaya bisa diberkati. Kemungkinan saat itu, beberapa orang tua memohon Yesus memberkati, menumpangkan tangan dan mendoakan anak-anak (Mat. 19:13).[iv]
             Anehnya, justru para murid tidak senang Gurunya diganggu oleh anak-anak. Mungkin mereka ingin melindungi Gurunya supaya waktunya tidak terganggu atau kuatir jika Yesus terganggu istirahatnya ataupun tidak konsentrasi dengan pelayanan-Nya. Para murid mungkin menganggap pelayanan penyembuhan dan pengajaran lebih penting daripada memberkati anak-anak. Dari kejadian ini, sangat mungkin para murid menganggap anak-anak bukan sesuatu yang penting untuk diperhatikan.
             Akibatnya Yesus sangat marah dengan sikap para murid. Kata Yunaninya adalah kata yang sangat kuat. Kata ini menunjukkan emosi Yesus begitu rupa terhadap para murid. Ia marah karena para murid-Nya salah paham tentang siapa Dia dan tindakan-Nya.
             Jika Yesus menganggap anak-anak begitu spesial dan menganggap pelayanan terhadap anak-anak juga sama pentingnya dengan pelayanan-pelayanan yang lain, apakah gereja juga sudah menganggap pelayanan anak ini juga penting? Atau gereja sama dengan sikap para murid yang cenderung mengabaikan anak-anak karena menganggap ada pelayanan yang lebih penting dan butuh diperhatikan ketimbang mengurus anak-anak yang dampaknya belum bisa dilihat secara langsung?

Gereja dan pelayanan anak
Saat ini terdapat fenomena yang menyedihkan sekali, bahwa pembinaan rohani anak-anak cenderung bukan ditangani oleh keluarga-keluarga Kristen. Kesibukan orang tua dan kurangnya pemahaman mereka akan Firman Tuhan sering menjadi alasan. Akibatnya pembinaan rohani anak seringkali dibebankan kepada gereja. Namun apakah gereja juga menganggap pelayanan anak adalah sebuah pelayanan yang penting? Apakah pembinaan sekolah minggu juga menjadi concern dari hamba-hamba Tuhan?
Saya sering mendengar kesaksian bahwa melalui pelayanan sekolah minggu pemberitaan Injil itu disebarluaskan. Banyak anak dari keluarga yang belum percaya justru menjadi alat untuk membawa keluarganya mengenal Kristus. Betapa pentingnya pelayanan ini menjangkau anak-anak sejak dini. Jika kita menganggap penting anak-anak maka pengelolaan Sekolah Minggu akan menjadi perhatian utama juga dalam pelayanan gereja.

a. Siapa yang melayani anak-anak di gereja? 
Pelayanan di gereja merupakan pelayanan yang sangat kompleks. Jemaat terdiri dari berbagai variasi umur yang kesemuanya membutuhkan perhatian dan konsentrasi para hamba Tuhannya. Karena itu, idealnya ada seorang hamba Tuhan yang khusus menangani setiap jenjang usia jemaat. Bagi gereja-gereja besar, hal ini sudah dilakukan dan tidak menjadi persoalan. Namun bagaimana dengan gereja-gereja yang hamba Tuhannya hanya terdiri dari 1-2 orang saja, dan harus membagi perhatian kepada banyak jemaat termasuk anak-anak?
Karena itu, kaum awam sangat perlu terlibat dalam pelayanan sekolah Minggu. Keberadaan kaum awam yang mungkin terdiri dari remaja, pemuda atau orang tua anak akan sangat meringankan beban hamba Tuhan. Namun kehadiran mereka tidak bisa asal comot, alih-alih untuk membantu tugas pendeta. Orang-orang yang diberi kesempatan perlu diseleksi, diwawancarai, dilatih dan dimagangkan di kelas-kelas sekolah Minggu terlebih dahulu. Minimal mereka yang menjadi guru sekolah Minggu adalah jemaat yang sudah menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, sudah melewati kelas katekisasi dan tentunya memiliki hati untuk melayani anak-anak.
Berapa banyak guru-guru sekolah Minggu yang mengajar di gereja justru tidak memiliki relasi dengan Tuhan Yesus? Akibatnya, tidak ada kuasa dalam pengajaran yang diajarkan kepada anak-anak. Tidak ada kesaksian hidup yang dapat dilihat oleh anak-anak. Bagaimana anak-anak bisa diajak mengenal Tuhan dan Juruselamat-Nya, jika gurunya sendiri tidak mengalami karya keselamatan di dalam Kristus. Anak-anak yang dipercayakan orang tua kepada gereja, justru berada di tangan yang salah jika guru-guru Sekolah Minggu-nya seperti ini modelnya.

b. Bagaimana melengkapi guru-guru Sekolah Minggu?
Mengajar anak-anak bukanlah pekerjaan mudah. Tujuan sekolah Minggu bukan hanya mengajak anak-anak bernyanyi kemudian mendengar cerita lalu selesai. Tapi bagaimana anak-anak ini akhirnya mengenal Tuhan dan Juruselamat-Nya serta hidupnya diubahkan oleh Firman. Sementara anak-anak juga punya beban masing-masing dari rumah seperti, beban keluarga yang tidak harmonis, tuntutan orang tua atas studinya, tuntutan teman-temannya, dan sebagainya. Sehingga guru-guru Sekolah Minggu perlu diperlengkapi untuk melayani anak-anak baik secara pastoral maupun dalam skill mengajar.
Hamba Tuhan atau Majelis perlu melakukan pengontrolan, pemotivasian dan pembinaan para pelayan anak melalui kelas-kelas persiapan rutin tiap minggu. Juga memperlengkapi mereka dengan buku-buku yang berkaitan dengan pelayanan anak juga sangat membantu. Sesekali perlu guru-guru ini diupgrade dengan cara mengikuti pelatihan Sekolah Minggu atau Kamp Guru Sekolah Minggu yang sering diadakan oleh Sekolah-sekolah Teologia.
Namun ada yang lebih penting selain memperlengkapi guru dengan kelas persiapan yaitu mereka perlu bertumbuh melalui kelompok-kelompok PA guru sekolah minggu. Guru sekolah Minggu perlu dibawa kepada kecintaan akan Firman, yang akan mengubah pemahaman mereka yang kurang tepat, yang terus menerus akan mengoreksi motivasi pelayanan mereka, dan mendorong mereka untuk berkorban bagi anak-anak yang mereka layani. Intinya, para pelayan anak perlu berinteraksi dengan Firman dan mengaplikasikan Firman. Di sinilah peran hamba Tuhan sangat diperlukan. Meski tidak ikut terjun ke anak-anak secara langsung (bagi gereja yang tidak memiliki hamba Tuhan khusus untuk Membina Sekolah Minggu), namun hamba Tuhan tetap bisa mengontrol dan membina kerohanian para guru Sekolah Minggu. Jika tidak, guru-guru sekolah minggu ini hanya dituntut melayani tapi tidak ditolong dalam pertumbuhan rohaninya. Maka jangan heran, guru-guru sekolah Minggu yang tidak terbina justru bisa menjadi penghalang anak-anak datang kepada Allah. Anak-anak yang polos dan lugu tersebut menjadi sulit meneladani Kristus karena tidak melihat teladan dalam hidup guru-guru sekolah Minggu mereka sendiri.

Potensial tapi sering terabaikan
 Mengapa pelayanan anak sering terabaikan? Jangan-jangan karena guru-guru SM berpikir, “Anak-anak masih kecil, bisa dibohongin. Atau mereka nggak tahu apa-apa kalau Guru SM tidak persiapan.” Anak-anak meskipun kecil, tapi mereka merasakan bagaimana guru yang sungguh-sungguh mempersiapkan diri baik dalam doa maupun dalam persiapan mengajar. Mereka bisa peka, mana guru yang sungguh-sungguh mengasihi mereka atau guru yang sekedar mengerjakan tanggung jawab.
Dalam kitab Amsal 22:6 dikatakan, “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.” Masa anak-anak adalah masa potensial. Mendidik anak sejak dini untuk diperkenalkan pada kebenaran akan memberi dampak buat hidup mereka di masa yang akan datang.  Meski mendidik anak-anak termasuk di Sekolah Minggu adalah pekerjaan yang tidak mudah. Perlu persiapan ekstra, selain persiapan Firman, penyederhanaan bahasa yang mudah dipahami oleh anak-anak, mempersiapkan lagu-lagu yang sesuai dengan usia mereka, dan menyiapkan kreatifitas yang bisa mengingatkan Firman yang disampaikan. Penggunaan waktu pun perlu berhikmat, mengingat daya konsentrasi anak terbatas. Namun karena mereka potensial, maka tanggung jawab pelayanan anak ini harus dikerjakan dengan kesungguhan.
Mungkin hasil pelayanan yang dikerjakan tidak bisa langsung dilihat oleh guru-guru Sekolah Minggu. Terkadang hal ini membuat guru merasa lelah dan bosan. Namun Amsal 22:6 seharusnya menjadi penyemangat bagi guru-guru sekolah Minggu, bahwa yang dituai adalah hidup yang diubahkan dan hidup yang mentaati Firman. Firman yang pernah ditaburkan di masa kanak-kanak pun tidak akan pernah kembali dengan sia-sia. Siapa tahu anak-anak yang sedang dilayani adalah tokoh-tokoh penting di kemudian hari. Jadi ingat ketika Anda sebagai pelayan anak mulai lelah, dalam sejarah gereja banyak tokoh-tokoh besar bertobat pada masa kanak-kanak, misalnya:
1. Merry Slessor (7 tahun)  : Pengajar Injil di Afrika.
2. Issac Watts (9 tahun)      : Penulis lagu‐lagu.
3. Polycarpus (9 tahun)       : Tokoh Gereja yang mati syahid
4. Jonathan Edwards (7 tahun): seorang cendikiawan, pengkotbah besar, ahli teologia, filsafat dan Gembala gereja.
5. Mathew Henry (10 tahun): Penulis Tafsir Alkitab

Orang tua juga perlu kembali kepada pengajaran Alkitab, bahwa pembinaan rohani anak-anak juga merupakan tanggung jawab orang tua. Meski di sekolah Minggu anak-anak diajarkan kebenaran, tapi jika mereka kembali ke rumah tidak ada follow up seperti teladan hidup dari orang tua dan penguatan dari orang tua, maka apa yang diajarkan di Sekolah Minggu bisa mudah menguap begitu saja. Ulangan 6:6-7 mengatakan:
“Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.”

Jelas sekali, perintah Tuhan ini diberikan kepada orang tua untuk menyampaikan kebenaran Firman dalam setiap saat, setiap momen kepada anak-anak mereka. Orang tua perlu aktif mengajarkan berulang-ulang, tidak boleh bosan, tidak mengenal lelah. Nampak ada kebersamaan antara orang tua dengan anak, dan saat-saat itulah saat yang tepat untuk Firman disampaikan.
                Dengan demikian tanggung jawab pelayanan anak juga ada di tangan para orang tua. Sesibuk apa pun orang tua, tanggung jawab ini tidak bisa hanya diserahkan kepada gereja begitu saja. Jika kita berpikir bahwa hidup anak-anak kita adalah penting maka kita tidak bisa mengabaikan pembinaan rohani mereka dalam keluarga.

No comments:

Post a Comment

Misi Kristus Sedunia

PELAJARAN SEKOLAH MINGGU

  TANGGAL   PELAJARAN SEKOLAH MINGGU KATEGORI Babak pertama        ...