Wednesday 2 October 2019

Contoh SKripsi Pendidikan Agama Kristen

Kabar gembira untuk mahasiswa Teologi dan PAK. Kami memberikan "Contoh Skripsi Pendidikan Agama Kristen" mulai dari bab I, Bab II dan Bab III. Segera baca dan temukan sesuatu yang mendorong Anda dalam penelitian skripsi S Pd K dan S.Th. Berikut contoh skripsi Pendidikan Agama Kristen yang kami janjikan.

JUDUL SKRIPSI: Korelasi Pemikiran Plato Tentang Idea-idea dalam Pendidikan Agama Kristen.

BAB I
PENDAHLUAN

A. Masalah Penelitian

Narasi Suci, yaitu kitab Kejadian 1:27 menegaskan bahwa “manusia dicipta oleh Allah segambar dan serupa”. Teks lengkapnya demikian: “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” Narasi ini secara internal merupakan inspirasi Allah yang berlangsung dalam diri Musa kemudian disampaikan dalam bentuk tulisan. Isi kitab Kejadian, khususnya Kejadian 1-2 yang menceritakan penciptaan langit dan bumi secara sistematis dan sistemik diyakini umat Israel dan gereja sepanjang zaman sebagai Firman TUHAN.
Narasi Kejadian 1:27 menegaskan bahwa manusia dicipta segambar dan serupa dengan Allah. Hal yang hendak ditegaskan disini yakni “pikiran” adalah pemberian TUHAN. Oleh karena pikiran adalah pemberian TUHAN maka siapapun yang menggunakan pikiran dan menghasilkan kebenaran (pikiran yang benar/mendalam/meluas) tentu diyakini berasal dari TUHAN, walaupun pemikir tersebut tidak percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadinya. Jadi, point penting yang hendak ditegaskan disini yakni “pikiran adalah pemberian Allah”, termasuk pikiran para filsuf terkenal.
Dalam konteks berpikir, sering orang percaya menganggap pemikiran para filsuf dapat menyesatkan. Sikap demikian membuat orang percaya, termasuk mahasiswa teologi (sebagian orang), menghindari pembahasan tentang pokok-pokok pemikiran para filsuf. Dalam kasus ini diambil pemikiran Plato tentang idea-idea. Pemahaman tentang idea-idea oleh Plato memang menyulitkan untuk dipahami. Akan tetapi bila orang dengan keyakinan dan pemikiran yang terkontrol oleh iman dan lindungan kasih maka akan menemukan pemahaman yang baik tentang apa yang disampaikan Plato tentang idea-idea. Pemahaman tersebut dapat dikorelasikan dengan episteme Pendidik Kristen di sekolah-sekolah formal maupun di gereja. Berdasarkan topik ini maka variabel yang diteliti yakni: “Korelasi Pemikiran Plato Tentang Idea-idea dalam Pendidikan Agama Kristen.”

FILSAFAT PAK 1


Sekolah Tinggi Teologi Pokok Anggur Jakarta
Silabus
Mata Kuliah                : Filsafat PAK   
Bobot                          : 2 sks
Dosen                          : Eko Basuki
Waktu                         : 19-23 Januari 2016

Penjelasan
Seminar ini membicarakan ruang lingkup dan metode filsafat pendidikan  sebagai berikut: perbendaharaan kata dan persoalan Filsafat Pendidikan (Ontologi, Epistemologi, Axiologi),  Proses Pendidikan: In put, Institusi Pendidikan, Proses belajar mengajar  ada lima komponen proses (Guru, Kurikulum (Bahan Ajar), Metode Pembelajaran, Media pembelajaran, Anak Didik (Murid)  dan Evaluasi Hasil Akhir),  Out Put dan income; teori tentang Kebenaran, konflik antara etika dan estetika,  yang  berkaitan dengan berbagai pandangan Filsafat  yang  mempengaruhi Pendidikan: (1) Traditional Philosophies of Education:  Idealism, Realism, Materialisme dan Naturalism,  Tradisionalis (Neo-Thomism); (2) Modern Philosophies of Education:  Pragmatism (Experimentalism), Eksistensialisme; (3) Contemporary Theories of Education: Progresivisme, Perenialisme,  Esensialisme  dan  Rekonstruksionisme.

Tujuan  Umum (Kompetensi Dasar)
Melalui keseluruhan studi ini diharapkan setiap peserta dapat:  menjelaskan pengertian konsep-konsep filsafat pendidikan (Ontology, Epistemologi, Axiology; Idealism, Realism, Neo Thomisme, Pragmatisme, dan Existentialism) antara istilah dan problemanya yang dihadapinya dalam kerangka input – instiusi pendidikan -- Proses Belajar Mengajar – Output -- income.

Tujuan Khusus (Hasil Belajar)

1.      Mahasiswa mampu menjelaskan arti, ruanglingkup dan kajian filsafat dan filsafat pendidikan.
2.      Mahasiswa mampu mengemukakan peran filsafat dalam pendidikan kristiani, serta aspek metafisika, epistemologi dan aksiologi dalam praktek pendidikan kristian.
3.      Mahasiswa mampu menjelaskan istilah seperti: ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
4.      Mahasiswa mengidentifikasi aliran-aliran filsafat pendidikan seperti: idealism, realism pragmatism, existentialsm, perenialisme, progresivisme  dan  konstruksionisme.
5.      Mahasiswa mampu mengidentifikasikan corak filsafat pendidikan yang mewarnai pendidikan nasional di Indonesia dan inplikasinya bagi PAK di sekolah dan perguruan tinggi.
6.      Mahasiswa mampu merumuskan pemahamannya sendiri dalam bentuk sebuah tulisan ilmiah, tentang filsafat pendididkan kristiani dalam konteks pelayanan yang tengah dan akan dikerjakannya.

LANJUTAN : FILSAFAT PAK 2

Bentuk-bentuk Realisme
            Realisme adalah aliran Filsafat yang bersifat khusus dengan pandangan yang khusus pula berkenaan dengan realitas, epistemologi dan axiologi yang tidak bergantung pada pikiran atau pengetahuan manusia. Namun demikian, aliran filsafat ini memiliki keragaman bentuk, menurut para tokoh pencetusnya. Hal ini menyebabkan berbagai macam kebingungan dalam mempelajari filsafat realisme ini. Menurut Kneller bahwa  realisme dapat dibagai menjadi dua bentuk, yaitu:  Realisme Rasional dan Realisme Naturalis.[210]

Realisme Rasional
Bentuk pertama dari realisme ini dapat dibagi lagi menjadi dua aliran, yaitu: realisme rasional klasik, filsafat Yunani yang dipelopori oleh Aristoteles dan realisme rasional religius, terutama scholastisisme yang dipelopori oleh Thomas Aquinas yang juga mempelopori filsafat Thomisme. Sebagai bagian dari realisme, keduanya berpendapat bahwa dunia benda adalah real, tidak bergantung pada pikiran atau pengetahuan manusia sebagai berikut:

1.      Realisme klasik (humanisme rasional) berpandangan bahwa manusia pada hakikatnya memiliki ciri rasional. Dunia dikenal melalui akal, dimulai dengan prinsip ”self evident”, di mana manusia dapat menjangkau kebenaran umum. Self evident ini merupakan azas bagi pengetahuan, artinya bahwa pengetahuan yang benar buktinya ada di dalam pengetahuan atau kebenaran pengetahuan itu sendiri. Bahan pendidkan yang esensial bagi aliran ini adalah pengalaman manusia.
2.      Realisme religius lebih cenderung dualistik yang berpendapat bahwa terdapat dua order yang terdiri atas order natural dan order supranatural. Kedua order ini berpusat pada Tuhan. Tuhan adalah pencipta alam semesta dan kekal. Pendidikan merupakan suatu proses untuk meningkatkan diri guna mencapai yang kekal. Menurut realisme religius, karena keteraturan dan keharmonisan alam semesta sebagai ciptaan Tuhan, maka manusia harus mempelajari alam semesta sebagai ciptaan Tuhan. Selanjutnya realisme religius juga berpandangan bahwa hukum moral juga diciptakan Tuhan. Comenius adalah pemikir pendidikan Kristen yang dapat digolongkan dalam aliran realime religius. Ia mengemukakan bahwa semua manusia harus berusaha untuk mencapai dua tujuan, yaitu pertama, keselamatan dan kebahagiaan hidup yang abadi. Kedua, keadaan dan kehidupan dunia yang sejahtera serta damai. 

Realisme Naturalis
 Bentuk kedua dari realisme ini menyertai lahirnya sains di Eropa pada abad ke- 15 dan 16  yang dipelopori oleh: Francis Bacon, John Lock, Galileo, David Hume, John Stuart Mill, dan lain-lain. Pada abad 20 tercatat pemikir-pemikir seperti: Ralp Borton Perry, Alfred Nort Whitehead, dan Bertrand Russel. Aliran ini menyatakan  bahwa manusia adalah organisme biologis dengan sistim syaraf yang kompleks dan secara inheren berpembawaan sosial. Apa yang dinamakan berpikir merupakan fungsi yang sangat kompleks dari organisme yang berhubungan dengan lingkungannya. Kebanyakan dari mereka menolak kehendak bebas manusia. Menurut realisme naturalis, realitas haruslah korespondensi. Pengetahuan yang benar hanya diperoleh melalui pengalaman empiris, dan nilai-nilai sangat bergantung pada pemahaman manusia tentang alam.
Naturalisme merupakan teori yang menerima “nature” (alam) sebagai keseluruhan realitas. Istilah “nature” telah dipakai dalam filsafat dengan bermacam-macam arti, mulai dari dunia fisik yang dapat dilihat oleh manusia, sampai kepada sistem total dari fenomena ruang dan waktu. Natura adalah dunia yang diungkapkan kepada manusia oleh sains alam. Istilah naturalisme adalah sebaliknya dari istilah supernaturalisme yang mengandung pandangan dualistik terhadap alam dengan adanya kekuatan yang ada (wujud) di atas atau di luar alam.[211]
Naturalisme berasal dari kata “nature.” Kadang pendefinisikan “nature” hanya dalam makna dunia material saja, sesuatu selain fisik secara otomatis menjadi “supranatural.” Tetapi dalam realita, alam terdiri dari alam material dan alam spiritual, masing-masing dengan hukumnya sendiri. Era Pencerahan, misalnya, memahami alam bukan sebagai keberadaan benda-benda fisik tetapi sebagai asal dan fondasi kebenaran. Ia tidak memperlawankan material dengan spiritual, istilah itu mencakup bukan hanya alam fisiktetapi juga alam intelektual dan moral. Salah satu ciri yang paling menakjubkan dari alam semesta adalah keteraturan. Benak manusia sejak dulu menangkap keteraturan ini. Terbit dan tenggelamnya matahari, peredaran planet-planet dan susunan bintang-bintang yang bergeser teratur dari malam ke malam sejak pertama kali manusia menyadari keberadaannya di dalam alam semesta, hanya merupakan contoh-contoh sederhana. Ilmu pengetahuan itu sendiri hanya menjadi mungkin karena keteraturan tersebut yang kemudian dibahasakan lewat hukum-hukum matematika. Tugas ilmu pengetahuan umumnya dapat dikatakan sebagai menelaah, mengkaji, menghubungkan semua keteraturan yang teramati. Ilmu pengetahuan bertujuan menjawab pertanyaan bagaimana dan mengapa. Namun khusus untuk kosmologi, pertanyaan ‘mengapa’ ini di titik tertentu mengalami kesulitan yang luar biasa.[212]


Posisi Filosofi Realisme
            Pada bagian ini dipaparkan posisi filosofi realisme, yaitu pendirian realisme atas realitas, pengetahuan dan nilai yang dipahami secara umum sebagai berikut:

1.      Realitas (Ontologi). Realitas dari benda-benda. Bagi kaum realist, kebenaran akhir dari realitas bukan pada alam pemikiran. Alam semesta dibentuk atas matter, sehingga demikianlah dunia fisik di mana manusia hidup dan membuatnya nyata. Ini adalah suatu pendekatan jujur pada dunia benda-benda yang bergerak menurut hukum-hukum alam yang melahirkan alam semesta. Alam semesta yang sangat besar menunjukkan keterbatasan manusia dan pengetahuannya. Alam semesta bukanlah seperti mesin raksasa di mana manusia sebagai penonton dan yang mengambil bagian di dalamnya. Hukum-hukum alam mengontrol alam semesta, tidak hanya pada bidan fisik, tetapi juga masalah moral, psikologi, sosial, politik, dan ekonomi. Dengan kata lain, kaum realist memandang realitas dalam batas sebagai sesuatu yang digerakkan menurut hukum alam. Dalam hal ini, realisme menjadi dasar atas berbagai filsafat dan pengetahuan modern. Untuk memperjelas pemahaman kita tentang pendirian realitas kaum realis sangat baik menyimak dengan teliti lima pertanyaan yang diajukan oleh Jack Terry berkenaan dengan ontologi kaum realis sebagai berikut:[213]

a)      Bagaimana kepercayaan secara umum kaum realist tentang inti akhir yang menjadikan kosmos? Ternyata mereka ada kecenderungan pada pandangan pluralistik dari pada pandangan monistik.
b)      Apakah kaum realis percaya tentang kebebasaan dan keharusan dalam tingkah laku manusia? Ternyata kaum realis lebih dekat pada determinisme dalam filosofi tentang metafisika, sekalipun mereka menolak determinisme mekanikal.
c)      Apakah konsep kaum realist tentang pikiran? Pertama adalah pandangan yang lebih external daripada pikiran sebagai satu hubungan organisme dan objek dalam ruang waktu dunia. Konsep realist daripada pikiran adalah satu deskripsi pikiran sebagai pengalaman didalam diri  subjek dan tingkah laku. Ketiga adalah pikiran dalam susunan metafisik daripada realist adalah bahwa pikiran dan kesadaran adalah unik sebagai sesuatu yang dibandingkan pada hal-hal fisik.
d)      Seperti apakah bentuk penjelasan kaum realis tentang alam semesta?  Ternyata kaum Realist setuju bahwa alam semesta adalah satu macam kosmos teratur dalam keperluan istillah , kosmos sama dengan pandangan naturalistik.
e)      Apakah kaum realist percaya pada keberadaan (makhluk) kekal? Tentu ada diantara realist yang atheis dan mereka yang mendefinisikan pikiran dalam istilah zat atau proses fisik punya sedikit atau tidak ada tempat bagi Allah.

2.      Epistemologi kaum realis. Menurut mereka, pengetahuan diperoleh melalui observasi. Epistemologi realisme adalah pendekatan umum pada dunia dengan metode sensori persepsi. Realisme menuntut manusia untuk tidak memberi penilaian atas segala sesuatu, tetapi membiarkan obyek berbicara tentang keberadaan mereka sendiri. Kebenaran bagi kaum realist adalah sebagai kenyataan hasil observasi. Persepsi indra manusia sebagai alat untuk mendapatkan pengetahuan. Realisme memakai pendekatan induktif untuk meneliti dunia nyata dan menggunakan prinsip-prinsip umum dalam melakukan observasi. Kaum realist mencari dan meneliti bagaimana dunia bekerja dengan mengalaminya. Kebenaran harus sudah dikonfirmasi pada situasi aktual sebagaimana dilakukan oleh para peneliti (observer).

3.      Axiologi kaum realis (Nilai-nilai dari alam). Menurut kaum realist, nilai-nilai juga dicapai melalui observasi atas alam itu sendiri. Melalui studi pada susunan alam akan sampai pada pengetahan akan hukum-hukum alam yang memberikan dasar bagi penilaian etika dan estetika. Dasar etika kaum realist dapat dilihat sebagai hukum alam. Alam menurut kaum realist adalah hukum moral. Senada dengan pernyataan ini, Terry mengatakan  bahwa di antara kaum realist terdapat dua dasar teori yang secara umum  berbicara tentang nilai: pertama, Nilai adalah unsur yang tidak dapat didefinisikan dengan mudah yang dialami sebagaimana saat kita mengalaminya. Kedua, Nilai bergantung pada sikap dan seseorang yang mengalaminya. Nilai etika, Kebaikan moral dapat didefinisikan dan segi menguntungkan dan masyarakat sebagai “Kebahagiaan terbesar dan jumlah yang terbesar”. Nilai agama Terry jelaskan sebagai, “Theistic dan melioristic dalam agamanya.” Nilai sosial ditentukan oleh masyarakat tentang apa yang diinginkan dan dorongan riil yang akan membuat orang bertindak pada nilai-nilai itu.[214]


Realisme dalam Pendidikan
            Pada bagian ini diuraikan aplikasi filsafat dalam pendidikan. Dalam hal ini aplikasi dari pendirian kaum realist berkenaan dengan ontologi, epistemologi, dan axiologi mereka sebagai berikut:
Pelaku Pendidikan
Pelaku pendidikan adalah salah satu komponen pendidikan yang harus dipahami dengan baik, yaitu guru dan murid. Dalam pemahaman realisme maka didapat pemahaman tentang guru dan murid sebagai berikut:

1.      Guru. Guru dipandang sebagai pribadi yang mengetahui, seorang peneliti yang mengetahui hukum-hukum alam semesta, maka tugas guru adalah memberikan informasi yang akurat berkenaan dengan realitas kepada para murid dengan cara yang cepat dan efisien. Untuk alasan ini, seorang guru harus menuntun murid untuk mengadakan penelitiannya sendiri.  Terry menyatakan bahwa inisiatif dalam pendidikan terletak pada pribadi guru. Guru yang bertanggung jawab untuk memutuskan pengetahuan apa yang akan dipelajari oleh murid atau peserta didik. Tentang guru ini, Terry mengutip beberapa pendapat:

a)      Brubacher yang menyarankan bahwa seorang guru adalah seorang ”authoritarian”.
b)      Komentar Morris: seorang guru realist harus menyajikan materi pelajaran kepada peserta didik dalam tata cara yang sistematis, meggunakan buku teks, dan kuliah.
c)      Kneller: memperingatkan para guru realist untuk tidak dialihkan kepada tren yang sifatnya sementara dari menyelesaikan tugas yang sesungguhnya, yaitu untuk mengimpartasikan pengetahuan substantif kepada dunia nyata.
d)     Brown mengindikasikan bahwa seorang guru realist akan tidak memberi perhatian pada perkembangan pribadi atau perkembangan sifat, tetapi hanya sebagai murid “conditioned” untuk mencari kebenaran objektive dan benda dalam dunia tentang mereka secara bersemangat.  “Dan ia tidak akan ada respek bagi Inspirational value” daripada sejarah, sebab lalu adalah sesuatu juga diketahui secara objektip.[215]

Murid
Murid. Bagi kaum realist, murid dipandang sebagai organisme biologis dengan sistim syaraf yang kompleks dan secara inheren berpembawan sosial. Murid dengan pengalaman sensorinya mengetahui susunan alam dari dunia ini dan dapat membuat hubungan (kontak) dengan realitas. Murid adalah pribadi yang dapat melihat, merasa. Dan mengecap. Dunia adalah ”sesuatu” dan murid adalah pribadi yang dapat mengetahui dunia ini dengan indranya. Banyak kaum realist yang memandang murid sebagai pribadi yang adalah subyek bagi hukum-hukum alam, sehingga mereka tidak memiliki kehendak bebas. Dengan kata lain mereka menolak eksistensi kehendak bebas (free will). Mereka berbeda pendapat dalam hal bahwa individu ditentukan oleh akibat lingkungan fisik dan sosial dalam struktur genetiknya. Apa yang tampaknya bebas memilih, kenyataannya merupakan suatu ketentuan sebab-akibat. Itu sebabnya, para murid dapat diprogram sebagaimana komputer yang dapat diprogramkan. Terry sependapat dengan Morris bahwa realisme memandang murid sebagai wadah atau tempat untuk informasi sehingga dapat diberi ilmu pengetahuan.[216] Dengan ini, para murid harus di dorong, didisiplin, dan dibentuk sehingga mereka belajar dan memberikan respon yang diinginkan.

Kurikulum
Senada dengan pandangan metafisis dan epistemologi kaum realist, kurikulum sekolah-sekolah mereka menekankan pada ”subject matter” dari dunia fisik. Ilmu pengetahuan adalah pusat dari kurikulum mereka.sejak hukum-hukum alam dapat dipahami dengan baik melalui subject matter dari alam. Matematika juga mejadi bagian penting dalam kurikulum sejak matematika sebagai contoh dari form dan order. Matematika dengan tepat, dapat menjelaskan dan sebagai sistem simbol untuk menjelaskan hukum-hukum alam.  Pengertian kaum realist atas alam semesta telah banyak membentuk pengetahuan kita tentang ilmu-ilmu sosial yang menekankan pada statistik dan studi kuantitatif. Kaum realist memandang kurikulum sebagai pengetahuan yang dapat diukur. Terry mengemukakan lima tingkat dari kurikulum yaitu:

1.      Murid seharusnya belajar untuk dapat menggunakan instrumen dasar dari pengetahuan, khususnya  dalam bahasanya sendiri. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih jelas dan obyektif, murid harus memiliki beberapa pengetahuan, setidaknya pengetahuan bahasa asing dengan baik. Murid juga harus diajar tentang logika manusia dan matematika dasar.
2.      Selanjutnya, murid harus diperkenalkan dengan metde-metode dalam alam fisika, kimia, dan biologi, serta dasar-dasar fakta yang berhubungan dengan ilmu-ilmu tersebut.
3.      Murid harus mempelajari sejarah dan berbagai ilmu pengetahuan manusia.
4.      Murid seharusnya akrab dengan tokoh-tokoh besar klasik melalui berbagai literartur dan seni.
5.      Akhirnya, ditingkat akhir pada proses pelatihan/pendidikan, murid seharusnya diperkenalkan  dengan filsafat dan persoalan-persoalan dasar yang muncul dari usaha mengintegrasikan antara pengetahuan dan praktek.[217]

Metode
Metode instruksional kaum realist sangat erat kaitannya dengan epistemologi mereka. Jika kebenaran harus dicapai dengan sensori persepsi, kemudian pengalaman belajar harus diorganisasikan dengan cara pengalaman indrawi. Kaum realist modern sangat suka mendemonstrasikan pengetahuan, mengadakan studi lapangan, dan menggunakan audio visual dalam proses pembelajaran. Metode mengajar kaum realist meliputi pengajaran akan kenyataan-kenyataan untuk membangun suatu pemahaman akan hukum-hukum alam. Mereka sangat memperhatikan pengalaman penelitian murid berkenaan dengan dasar-dasar hukum alam.

Outcome
Outcome. Menurut kaum realist, tujuan pendidikan adalah untuk memperlengkapi peserta didik untuk membangun suatu hubungan antara manusia sebagai individu dan lingkungannya. Seorang murid realist harus dapat memiliki hubungan yang seimbang, toleransi secara mental dan fisik dengan lingkungan disekitarnya.



Filsafat Pendidikan Naturalis  dan Materialisme

Materialisme  adalah suatu istilah yang sempit dari dan merupakan bentuk dari naturalisme yang lebih terbatas. Namun demikian aliran ini pada akhirnya lebih populer daripada induknya, naturalism,[218] karena pada akhirnya menjadi ideologi utama pada negara-negara sosialis seperti Uni Soviet (kini Rusia) dan Republik Rakyat Cina (RRC). Materialisme umumnya mengatakan bahwa di dunia ini tidak ada kecuali materi, atau bahwa nature (alam) dan dunia fisik adalah satu.[219]
Materialisme dapat diberikan definisi sebagai berikut:[220]  pertama: materialisme adalah teori yang mengatakan bahwa atom materi yang berada sendiri dan bergerak merupakan unsur-unsur yang membentuk alam, dan bahwa akal dan kesadaran (consiousness) termasuk di dalamnya. Segala proses fisikal merupakan mode materi tersebut dan dapat disederhanakan menjadi unsur-unsur fisik. Kedua, definisi tersebut mempunyai implikasi yang sama, walaupun condong untuk menyajikan bentuk materialisme yang lebih tradisional. Belakangan, doktrin tersebut dijadikan sebagai “energism” yang mengembalikan segala sesuatu kepada bentuk energi, atau sebagai suatu bentuk dari “positivisme” yang memberi tekanan untuk sains dan mengingkari hal-hal seperti ultimate nature of reality (realitas yang paling tinggi). Inilah yang pada akhirnya mereka ragu-ragu apakah tuhan benar-benar ada atau tidak, yang jelas mereka tidak mampu menjangkaunya. Bahkan sebagian mengingkari sama sekali sehingga menjadi atheis.[221]
Materialisme modern mengatakan bahwa alam (universe) merupakan kesatuan material yang tak terbatas; alam termasuk di dalamnya segala materi dan energi (gerak atau tenaga) selalu ada dan akan tetap ada. Dan bahwa alam (world) adalah realitas yang keras, dapat disentuh, material, objektif, yang dapat diketahui oleh manusia. Materialisme modern mengatakan, materi ada sebelum jiwa (mind), dan dunia material adalah yang pertama. Sedangkan pemikiran tentang dunia ini adalah nomor dua.[222]

Filsafat  Pendidikan Naturalisme
Dari perkembangan di atas, maka lahirlah aliran filsafat pendidikan Naturalisme. Ia lahir sebagai reaksi terhadap aliran filsafat pendidikan Aristotalian-Thomistik.[223] Naturalisme lahir pada abad ke 17 dan mengalami perkembangan pada abad ke 18. Naturalisme berkembang dengan cepat di bidang sains. Ia berpandangan bahwa "Learned heavily on the knowledge reported by man's sense". Filsafat pendidikan ini didukung oleh tiga aliran besar yaitu: Realisme, Empirisme dan Rasionalisme. Semua penganut Naturalisme merupakan penganut Realisme, tetapi tidak semua penganut Realisme merupakan penganut Naturalisme. Realisme merupakan anak dari Naturalisme.[224] Oleh sebab itu, banyak ide-ide pemikiran Realisme sejalan dengan Naturalisme. Salah satunya adalah nilai estetis dan etis dapat diperoleh dari alam, karena di alam tersedia kedua hal tersebut.
Dimensi utama dan pertama dari pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme di bidang pendidikan adalah pentingnya pendidikan itu sesuai dengan perkembangan alam. Filsuf yang pertama kali memperhatikan dan memberikan konsidensi terhadap orientasi pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme adalah John Amos Comenius (1592-1670). Sebagai pendeta Protestan sekaligus paedagog, ia berpandangan bahwa manusia itu diciptakan oleh Tuhan dan untuk Tuhan. Manusia diciptakan dan ditempatkan di atas semua makhluk, karena kemampuannya dalam berfikir. Percikan pemikiran Comenius berpengaruh pada teori-teori pendidikannya. Salah satunya adalah peserta didik harus dipersiapkan kepada dan untuk Tuhan. Untuk itu pendidikan yang signifikan dengan pandangannya adalah pendidikan ketuhanan, budi pekerti dan intelek. Pendidikan tidak hanya sekedar untuk menjadikan seseorang mau belajar, melainkan juga untuk menjadikan seseorang lebih arif dan bijaksana.[225]
Dalam pendidikan dan pengajaran, Comenius menggunakan hukum-hukum alam sebagai contoh yang senantiasa tertib dan teratur. Hukum alam memiliki ciri sebagai berikut: pertama, segalanya berkembang dari alam. Kedua, perkembangan alam serba teratur, tidak meloncat-loncat melainkan terjadi secara bertahap. Ketiga, alam, berkembang tidak tergesa-gesa melainkan menunggu waktu yang tepat, sambil mengadakan persiapan. Dalam bukunya yang berjudul  Didagtica Magna (The Great Didactic) ia berkomentar: “If we wish to find a remedy for the defects of nature, it is in nature herself that we must look for it. Since it is certain that art can do nothing unless it imitates nature.”[226]
 Dalam proses pendidikan, seperti pendahulunya Wolfgang Ratke, Comenius juga berpendapat tentang prosedur dalam bidang pendidikan bahwa dari pada membuat kerusakan pada proses alam, lebih baik bersahabat dengan proses alam tersebut. Pendapatnya ini berimplikasi pada pelaksanaan pendidikan dengan keharusan tidak merusak alam dan meniru perkembangan alam. Alam berkembang dengan teratur dan menurut aturan waktu tertentu. Tidak pernah terjadi dalam perkembangan alam, seekor kupu-kupu tiba-tiba dapat terbang tanpa terlebih dahulu mengalami proses perkembangan mulai dari ulat menjadi kepompong dan seterusnya berubah menjadi kupu-kupu. Begitu juga perkembangan alam yang lain, buah apapun di dunia, selalu bermula dari bunga. Tidak pernah terjadi lompatan tiba-tiba sebatang pohon mangga mengeluarkan buah mangga tanpa sebelumnya didahului oleh munculnya bunga mangga. Apabila pendidikan menganut aliran ini, maka setiap proses pendidikan hendaknya mengikuti pola bertahap sesuai dengan perkembangan alam. Artinya proses pendidikan tidak dilakukan secara tergesa-gesa, melainkan dilakukan secara terencana dan bertahap sesuai dengan tahapan perkembangan fisik dan psikis peserta didik.[227]
Perkembangan yang terjadi di alam merupakan cermin bagi manusia bahwa tidak pernah terjadi dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan makhluk yang ada di alam menyimpang dari potensi yang dimilikinya. Semuanya tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi masing-masing. Thomas Armstrong barangkali merupakan pakar pendidikan yang dapat mengelaborasi dengan baik pembelajaran dengan cara bertahap dan sesuai dengan perkembangan alam. Dalam In Their Own Way: Discovering and Encouraging Your Child's Multiple Intelleigences, Asmtrong mengilustrasikan dengan sangat baik bagaimana sebuah sekolah yang ingin dibangun oleh para binatang besar untuk binatang kecil di dalam hutan. Sejak awal para binatang besar bingung menentukan materi ajar terpenting yang akan dipakai di sekolah tersebut, meskipun pada akhirnya disepakati bahwa semua binatang kecil harus mengikuti materi ajar yang diberlakukan, yaitu: berlari, berenang, terbang, memanjat, dan menggali. Semula sekolah tersebut penuh keceriaan dan menyenangkan. Namun pada hari-hari berikutnya persoalan mulai muncul ketika Kelinci yang memiliki potensi alamiah dan jago dalam berlari harus mengikuti materi pelajaran renang. Hampir saja si Kelinci tenggelam. Malu bercampur haru menjadi satu dalam diri Kelinci dan pada akhirnya Kelinci pun minder pada binatang lain, terutama pada ikan. Ia berusaha sedemikian rupa agar bisa berenang, sehingga tidak pernah lagi dapat berlari secepat sebelumnya. Potensi berlari yang merupakan kemampuan alami utamanya terlupakan dan menjadi "loyo" akibat kebanyakan mengikuti les renang.
Problem yang sama dialami juga oleh binatang yang lain, tidak terkecuali oleh burung Elang yang jago terbang. Ketika burung Elang mengikuti materi pelajaran menggali, ia tidak mampu melakukan tugas-tugas yang diberikan oleh binatang besar sebagai gurunya. Elang pun sedih, karena nilai raportnya merah dan harus mengulang materi pelajaran menggali. Pelajaran menggali rupanya menyita waktu Elang, sehingga ia lupa cara terbang yang sebelumnya sangat dikuasai dan menjadi potensin alamnya yang menonjol. Semakin hari sekolah tersebut bukan menjadikan binatang kecil semakin mahir dalam mengembangkan potensi alamiyah dan bakat masing-masing, tetapi justru mengileminir potensi dan bakat beberapa binatang yang mengikuti pembelajaran. Hal ini terjadi karena para binatang kecil dipaksa melakukan hal-hal yang tidak menghargai potensi, sifat dan bakat alami mereka. Pemikiran kritis seperti ini diangkat sedemikian rupa oleh Asmtrong dengan baik agar dalam pendidikan segalanya dapat berkembang sesuai dengan potensi dan bakat masing-masing yang telah diberikan oleh alam.
Dimensi kedua dari filsafat pendidikan Naturalisme yang juga dikemukakan oleh Comenius adalah penekanan bahwa belajar itu merupakan kegiatan melalui Indra. Belajar melalui indra merupakan inti dari metode belajar Naturalistik. Di sini baik Comenius maupun pendahulunya Wolfgang Ratke menekankan pentingnya pengalaman pemahaman tentang sesuatu. Seperti yang disarankan oleh Wolfgang Ratke pada para guru. Guru, kata Ratke pertamakali hendaknya mengenalkan benda kepada anak lebih dahulu, baru setelah itu penjelasan yang diperinci (exposition) tentang benda tersebut. Sedang Comenius menasehatkan kepada para guru bahwa sesuatu itu harus digambarkan dengan simbol secara bersama-sama (Thing and symbol should accompany each other). Dalam mempresentasikan gagasan ini Comenius menulis sebuah buku berjudul Orbis Pictus (Dunia dalam Gambar).
Naturalisme di bidang pendidikan juga dielaborasi oleh kerangka pemikiran John Locke (1632-1704) dalam buku Essay Concerning Human Understanding. Ia mengemukakan bahwa teori dalam jiwa diperoleh dari pengalaman nyata. Dalam formulasi redaksi yang berbeda dengan maksud yang sama John Locke mengatakan bahwa, tidak ada sesuatu dalam jiwa tanpa melalui indra.[228]
Kesimpulan lebih lanjut dari statement Locke adalah jiwa senantiasa kosong dan hanya terisi apabila ada pengalaman. Oleh karena alam merupakan spot power bagi pengisian jiwa, maka proses pendidikan harus mengikuti tata-tertib perkembangan alam. Kalau alam serba teratur, ia menghendaki pengajaran pun harus teratur. Mata pelajaran harus diajarkan secara berurutan (sequence), step by step dan tidak bersamaan, misalnya: membaca dulu sampai bisa, kemudian diikuti dengan pembelajaran menulis, demikian selanjutnya.
Ide-ide Locke tersebut berseberangan dengan pandangan Platonic Notion, yang mengatakan bahwa manusia itu lahir dengan ide (gagasan) pembawaan seperti ide tentang Tuhan, rasa tentang benar dan salah, kemampuan-kemampuan logik tentang prinsip-prinsip kontradiksi yang secara otomatis tanpa melalui belajar. Bagi Locke semua itu harus dipelajari melalui pemahaman. Oleh sebab itu, Locke berkata "baik buruknya anak (peserta didik) tergantung pada pendidikannya". Teori inilah yang kemudian melahirkan konsep Tabularasa atau Blanksheet dalam pendidikan.
Dimensi ketiga dari filsafat pendidikan Naturalisme adalah pentingnya pemberian pemahaman pada akal akan kejadian atau fenomena dan hukum alam melalui observasi. Observasi berarti mengamati secara langsung fenomena yang ada di alam ini secara cermat dan cerdas. Seperti yang dialami Copernicus, bahwa pemahaman kita akan menipu kita, apabila kita berfikir bahwa mataharilah yang mengelilingi bumi, padahal sebenarnya bumilah yang mengelilingi matahari. Pendapat Copernicus di atas sangat berpengaruh pada abad ke 18, sehingga abad ini dikenal dengan sebutan abad rasio (age of reason) atau Rasionalisme. Berkaitan hal ini, maka J. H. Pastolozzi seorang paedagog berkebangsaan Swiss merupakan orang yang pertamakali sukses dalam menempatkan antara teori dan praktek pendidikan menjadi satu kesatuan hukum-hukum potensi manusia. Oleh sebab itu Pastolozzi berkata, pendidikan hendaknya dilaksanakan secara harmonis, yaitu yang meliputi berbagai segi dari hukum-hukum potensi manusia (multy purposes), segi jasmani, kejiwaan, segi sosial, segi susila, dan segi agama. Dengan demikian tujuan pendidikan adalah memimpin anak menjadi orang baik dengan jalan mengembangkan daya-daya pada anak, karena pendidikan pada hakekatnya tidak lain daripada pemberian pertolongan, agar anak dapat menolong dirinya. Dalam bahasanya sendiri ia mengatakan pendiddikan adalah "Pertolongan untuk pertolongan diri" (Hilfe zur Selbsthilte).
Dimensi terakhir dari percikan pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme juga dikembangkan oleh Jean Jacques Rousseau berkebangsaan Prancis yang naturalis mengatakan bahwa pendidikan dapat berasal dari tiga hal, yaitu: alam, manusia dan barang. Bagi Rousseau seorang anak harus hidup dengan prinsip-prinsip alam semesta. Rousseau (1712 - 1778) menghasilkan buku yang sangat monumental berjudul Emile Ou de L'Education. Buku ini terdiri atas lima jilid dan merupakan buku roman pendidikan dengan pemeran utama Emile dan Sophie. Secara bertahap Rousseau menuangkan pikiran-pikirannya tentang pendidikan dalam buku ini. Jilid pertama berisi tentang perawatan jasmani peserta didik (Emile) yang dapat dilakukan sampai umur 7 tahun. Sementara jilid kedua berisi tentang pendidikan jasmani Emile. Jilid ketiga berisi tentang pendidikan intelek, jilid keempat mengupas pendidikan akhlak dan agama serta jilid terakhir atau kelima mengulas tentang pendidikan wanita dan kesusilaan.[229]

Tokoh-tokoh Filsafat Pendidikan Naturalism:[230]
Thomas Hobbes (1588-1679)
Jean Jacques Rousseau (1712-1778)
Herbert Spencer (1820-1903)


Naturalisme dan Pendidikan
Naturalisme dalam filsafat pendidikan mengajarkan bahwa guru paling alamiah dari seorang anak adalah kedua orang tuanya. Oleh karena itu, pendidikan bagi naturalis dimulai jauh hari sebelum anak lahir, yakni sejak kedua orang tuanya memilih jodohnya. Tokoh filsafat pendidikan naturalisme adalah John Dewey, disusul oleh Morgan Cohen yang banyak mengkritik karya-karya Dewey. Baru kemudian muncul tokoh-tokoh seperti Herman Harrell Horne, dan Herbert Spencer yang menulis buku berjudul Education: Intelectual, Moral, and Physical. Herbert menyatakan bahwa sekolah merupakan dasar dalam keberadaan naturalisme, sebab belajar merupakan sesuatu yang natural hal tersebut karena itu fakta bahwa hal itu memerlukan pengajaran juga merupakan sesuatu yang natural juga. Paham naturalisme memandang guru tidak mengajar subjek, melainkan mengajar murid.[231]
Terdapat lima tujuan pendidikan paham naturalisme yang sangat terkenal yang diperkenalkan Herbert Spencer melalui esai-esainya yang terkenal berjudul “Ilmu Pengetahuan Apa yang Paling Berharga?” Kelima tujuan itu adalah: (1) Pemeliharaan diri; (2) Mengamankan kebutuhan hidup; (3) Meningkatkan anak didik; (4) Memelihara hubungan sosial dan politik; dan (5) Menikmati waktu luang.[232]
Spencer juga menjelaskan enam prinsip dalam proses pendidikan beraliran naturalisme. Delapan prinsip tersebut adalah: (1) Pendidikan harus menyesuaikan diri dengan alam; (2) Proses pendidikan harus menyenangkan bagi anak didik; (3) Pendidikan harus berdasarkan spontanitas dari aktivitas anak; (4) Memperbanyak ilmu pengetahuan merupakan bagian penting dalam pendidikan; (5) Pendidikan dimaksudkan untuk membantu perkembangan fisik, sekaligus otak; (6) Praktik mengajar adalah seni menunda; (7) Metode instruksi dalam mendidik menggunakan cara induktif; (8) Hukuman dijatuhkan sebagai konsekuensi alam akibat melakukan kesalahan. Kalaupun dilakukan hukuman, hal itu harus dilakukan secara simpatik.[233]

Implikasi Bidang Pendidikan
Implikasi Naturalisme di bidang Pendidikan adalah lahirnya berbagai model pendidikan yang menjadikan alam sebagai tempat dan pusat kegiatan pembelajarannya. Pembelajaran tidak lagi dilakukan di dalam kelas yang dibatasi oleh ruang dan waktu, tetapi lebih fokus pada pemanfaatan alam sebagai tempat dan sumber belajar. Belajar di dan dengan alam yang telah menyediakan beragam fasilitas dan tantangan bagi peserta didik akan sangat menyenangkan. Tinggal kemampuan kita bagaimana "mengeksploitasi" sumber daya alam menjadi media, sumber dan materi pembelajaran yang sangat berguna.
Dalam buku Quantum Learning Bobbi De Porter mengatakan "Dengan mengendalikan lingkungan Anda, Anda melakukan langkah efektif pertama untuk mengendalikan seluruh pengalaman belajar Anda. Bahkan sekiranya saya harus menyebutkan salah satu alasan mengapa program kami berhasil membuat orang belajar lebik baik, saya harus menyebutkan karena kami berusaha menciptakan lingkungan optimal, baik secara fisik maupun emosional”. Berkaitan hal tersebut, maka Bobbi De Porter yang pertama kali mengenalkan model pendidikan Quantum secara terprogram dengan nama “Super Camp”. Ia menjadikan alam sebagai tempat pembelajaran. Peserta didik dengan bebas "mengeksploitasi" apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan di alam. Guru menempatkan dirinya sebagai mitra peserta didik dalam berdiskusi menyelesaikan problem yang ditemukan di alam. “Out put” dari model pendidikan Quantum ini terbukti memiliki keunggulan kompetitif lebih baik dibandingkan “out put” model pendidikan konvensional yang dilakukan di dalam kelas. Melalui “Super Camp” peserta didik lebih leluasa memanifestasikan subyektifitasnya yang sangat jarang ditemukan dalam praktik pendidikan konvensioal dalam kelas di sekolah. Jika di dalam kelas subyektifitas peserta didik tertekan oleh otoritas guru, maka di alam, guru dan peserta didik dapat dengan leluasa menciptakan hubungan yang lebih akrab satu sama lain. Dari hubungan yang akrab ini lebih lanjut terjadi hubungan emosional yang mendalam antara guru dengan peserta didiknya. Dalam kondisi seperti ini, subyektifitas peserta didik dengan sendirinya akan mengalir dalam diskusi dengan guru di mana telah tercipta suasana belajar yang kondusif.[234]
Dengan demikian bahwa menyatunya para siswa dengan alam sebagai tempat belajar dapat memuaskan keingintahuannya (curiousity), sebab mereka secara langsung face to face berhadapan dengan sumber dan materi pembelajaran secara riil. Hal yang sangat jarang terjadi pada pembelajaran di dalam kelas. Di alam mereka akan melihat langsung bagaimana sapi merumput, mereka mendengar kicau burung, mereka juga merasakan sejuknya air, mencium harum bunga, memetik sayur dan buah yang semuanya merupakan pengalaman nyata tidak terlupakan. Mereka belajar dengan nyaman, asyik dan berlangsung dalam suasana menyenangkan, sehingga informasi terekam dengan lebih baik dalam otak para siswa. Melalui proses eksploratoris seperti di atas, para siswa telah melakukan apa yang dikenal dengan istilah global learning (belajar global), sebuah cara belajar yang begitu efektif dan alamiah bagi manusia.



 Filsafat Pendidikan Materialisme
Kata materialisme terdiri dari kata “materi” dan “isme”. Materi dapat dipahami sebagai bahan; benda; segala sesuatu yang tampak. Materialisme adalah pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata-mata, dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indra. Sementara itu, orang-orang yang hidupnya berorientasi kepada materi disebut sebagai materialis. Orang-orang ini adalah para pengusung paham (ajaran) materialisme atau juga orang yang mementingkan kebendaan semata (harta, uang, dan sebagainya).

Tokoh-tokoh dan Karya-karya Materialisme

Ludwig Feuerbach: Filsuf dari Jerman yang Mendukung Materialisme. Filsuf yang pertama kali memperkenalkan paham ini adalah Epikuros. Ia merupakan salah satu filsuf terkemuka pada masa filsafat kuno.  Selain Epikuros, filsuf lain yang juga turut mengembangakan aliran filsafat ini adalah Demokritos dan Lucretius Carus. Pendapat mereka tentang materialisme, dapat kita samakan dengan materialisme yang berkembang di Prancis pada masa pencerahan. Dua karangan karya La Mettrie yang cukup terkenal mewakili paham ini adalah L'homme machine (manusia mesin) dan L'homme plante (manusia tumbuhan).
Dalam waktu yang sama, di tempat lain muncul seorang Baron von Holbach yang mengemukakan suatu materialisme ateisme. Materialisme ateisme serupa dalam bentuk dan substansinya, yang tidak mengakui adanya Tuhan secara mutlak. Jiwa sebetulnya sama dengan fungsi-fungsi otak. Pada Abad 19, muncul filsuf-filsuf materialisme asal Jerman seperti FeuerbachMoleschottBuchner, dan Haeckel. Merekalah yang kemudian meneruskan keberadaan materialisme.

Ciri-ciri Paham Materialisme

Setidaknya ada beberapa dasar ideologi yang dijadikan dasar keyakinan paham ini sebagai berikut: (1) Segala yang ada (wujud) berasal dari satu sumber yaitu materi (ma’dah). (2) Tidak meyakini adanya alam ghaib. (3) Menjadikan panca indra sebagai satu-satunya alat mencapai ilmu. (4) Memposisikan ilmu sebagai pengganti agama dalam peletakan hukum. (5) Menjadikan kecondongan dan tabiat manusia sebagai akhlak. (6) adalah sebuah paham garis pemikiran, dimana manusia sebagai nara sumber dan juga sebagai resolusi dari tindakan yang sudah ada dengan jalan dialetis.

Karakterisik Umum
Karakteristik umum materialisme pada abad delapan belas berdasarkan pada suatu asumsi bahwa realitas dapat dikembangkan pada sifat-sifat yang sedang mengalami perubahan gerak dalam ruang. Asumsi tersebut menunjukkan bahwa:
1.      Semua sains seperti:  biologi, kimia, psikologi, fisika, sosiologi, ekonomi, dan yang lainnya ditinjau dari dasar fenomena materi yang berhubungan secara kausal (sebab akibat).jadi,semua sains merupakan cabang dari sains mekanika;
2.      Apa yang dikatakan “jiwa” (mind) dan segala kegiatannya (berpikir, memahami) adalah merupakan suatu gerakan yang kompleks dari otak,system urat saraf, atau orga-organ jasmani yang lainnya.
3.      Apa yang disebut dengan nilai dan cita-cita,makna dan tujuan hidup, keindahan dan kesenangan, serta kebebasan, hanyalah sekedar nama-nama atau semboyan, simbol subjektif manusia untuk situasi atau hubungan fisik yang berbeda.

Ludwig Feuerbach (1804-1872) mencanangkan suatu metafisika materialistis, suatu etika yang humanistis, dan suatu epistemology yang menjungjung tinggi pengenalan inderawi.oleh karena itu, ia ingin mengganti idealisme Hegel (guru Feuerbach) dengan materialisme. Jadi, menurut Feuerbach, yang ada hanyalah materi, tidak mengenal alam spiritual. Kepercayaan kepada Tuhan hanyalah merupakan suatu proyeksi dari kegagalan atau ketidakpuasan manusia untuk mencapai  cita-cita kebahagiaan dalam hidupnya. Dengan kegagalan tersebut manusia memikirkan suatu wujud yang bahagia secara absolut, oleh karena itu, Tuhan hanyalah merupakan hasil khayalan manusia. Tuhan diciptakan oleh manusia sendiri,secara maya,padahal wujudnya tidak ada.
Cabang materialisme yang banyak diperhatikan orang dewasa ini,dijadikan sebagai landasan berpikir adalah “Positivisme”.  Menurut positivism, kalau sesuatu itu memang ada, maka adanya itu adalah jumlahnya.
Zaman positif  adalah zaman dimana orang tahu,bahwa tiada gunanya untuk berusaha mencapai pengetahuan yang mutlak,baik pengenalan teologi maupun pengenalan metafisik. Ia tidak lagi melacak awal dan tujuan akhir dari seluruh alam semesta,atau melacak hakikat yang berada dibelakang segala sesuatu.sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan aturan yang terdapat pada fakta-fakta yang telah dikenal atau yang disajikan kepadanya,yaitu dengan mengamati semua fakta-fakta yang positif yang menampakkan pada pancaindera dan menggunakan akalnya.  Jadi, dikatakan positivisme,karena mereka beranggapan bahwa yang dapat kita pelajari hanyalah yang mendasarkan fakta-fakta, berdasarkan data-data yang nyata, yaitu yang mereka namakan positif.
Berkaitan di atas, maka Thomas Hobbes, sebagai pengikut empirisme materialistis. Ia berpendapat bahwa pengalaman merupakan awal dari segala pengetahuan,juga awal pengetahuan tentang asas-asas yang diperoleh dan dikukuhkan oleh pengalaman. Hanya pengalamanlah yang memberikan kepastian pengetahuan melalui akal hanya memiliki fungsi mekanis semata, sebab pengenalan dengan akal mewujudkan suatu proses penjumlahan dan pengurangan.

Materialisme dalam Pendidikan
Materialisme pada dasarnya tidak menyusun konsep pendidikan secara eksplisit. Bahkan menurut Henderson (1959), materialism belum pernah menjadi penting dalam menentukan sumber teori pendidikan.  Berkaitan hal ini, maka  Waini Rasyidin (1992), filsafat positivisme sebagai cabang dari materialisme lebih cenderung menganalisis hubungan factor-faktor  yang mempengaruhi upaya dan hasil pendidikan secara factual. Memlih aliran positivisme berarti menolak filsafat pendidikan dan mengutamakan sains pendidikan.
Menurut Behaviorisme, apa yang disebut dengan kegiatan mental kenyataannya tergantung pada kegiatan fisik, yang merupakan berbagai kombinasi dan materi dalam gerak. Gerakan fisik yang terjadi dalam otak, kita sebut berpikir, dihasilkan oleh peristiwa lain dalam dunia materi, baik materi yang berada dalam tubuh manusia maupun materi yang berada diluar tubuh manusia. Behaviorisme yang berakar pada positivisme dan materialisme telah populer dalam menyusun teori pendidikan, terutama dalam teori belajar, yaitu apa yang disebut dengan “conditioning theory”, yang dikembangkan oleh E.L. Thomdike dan B.F. Skinmer.
Menurut behavorisme, perilaku manusia adalah hasil pembentukan melalui kondisi lingkungan (seperti contoh anak dan kucing di atas). Yang dimaksud dengan perilaku adalah hal-hal yang berubah dapat diamati,dan dapat diukur (materialisme dan positivisme).
Power (1982) mengemukakan beberapa implikasi pendidikan positivisme behaviorisme yang bersumber pada filsafat materialisme, sebagai berikut:

1.      Tema: Manusia yang baik dan efisien dihasilkan dengan proses pendidikan terkontrol secara ilmiah dan seksama.
2.      Tujuan pendidikan:  Perubahan perilaku mempersiapkan manusia sesuai dengan kapasitasnya untuk tanggung jawab hidup sosial dan pribadi yang kompleks.
3.      Kurikulum: Isi pendidikan mencakup pengetahuan yang dapat dipercaya (handal), dan diorganisasi,selalu berhubungan dengan sasaran perilaku.
4.      Metode:  Semua pelajaran dihasilkan dengan kondisionisasi  (SR conditioning. operant conditioning, reinforcement, pelajaran berprogram dan kompetensi.
5.      Kedudukan siswa:  Tidak ada kebebasan.perilaku ditentukan oleh kekuatan dari luar.pelajaran sudah dirancang.siswa dipersiapkan untuk hidup. Mereka dituntut untuk belajar.
6.      Peranan guru:  Guru memiliki kekuasan untuk merancang dan mengontrol proses pendidikan. Guru dapat mengukur kualitas dan karakter hasil belajar siswa.



Filsafat Pendidikan Tradisionalis (Neo-Thomism)

            Manusia adalah makhluk berpikir. Dengan kapasitas otaknya, sebuah “supercomputer biologis”, manusia merasa mampu untuk mengetahui segalanya. Dengan otaknya, yang memiliki 200 sel syaraf sehingga mampu menyimpan 100 milyar bit informasi dan berpikir dengan kecepatan 300 mil per jam. Dengan demikian, manusia dapat mengembangkan cara berpikir rasional yang hebat. Karena itu, maka sejak dulu, manusia yang berkembang dengan mengandalkan pikiran rasionalnya selalu mengalami konflik dengan masalah iman. Antara akal dan iman seringkali bertentangan dan berseberangan. Dengan iman, manusia percaya akan Tuhan. Dengan akalnya, manusia tidak ragu untuk menolak adanya Tuhan. Pertentangan akal dan iman terjadi dari masa ke masa.
            Dalam kondisi di atas munculnya Thomas Aquinas (1225-1274) merupakan sebuah fenomena. Menurut Thomas, tidak ada pertentangan antara iman dan rasio (filsafat), bahkan keduanya saling berkait satu sama lain.[235] Melalui pemikiran-pemikiran rasional, hal-hal yang bersifat imani – misalnya Tuhan – dapat dipahami. Pemikiran-pemikiran filsafat Thomas Aquinas disebut sebagai Thomisme.
            Bertahun-tahun kemudian, filsuf Jacques Maritain (lahir tanggal 18 November 1882) memunculkan dan mengembangkan kembali Thomisme. Menurutnya, masalah-masalah filsafat (pikiran-pikiran rasional) modern harus dipahami dengan prinsip-prinsip Thomisme yang telah diajarkan oleh Thomas Aquinas di masa silam.[236] Pemikiran Maritain ini disebut Neo-Thomisme.
            Neo-Thomisme  menjadi dasar pengembangan pendidikan modern:  Idealisme, realisme, pragmatisme, existensialisme, dan aliran-aliran filsafat lain dipakai oleh para ahli untuk mengembangkan sistem pendidikan. Demikian juga Thomisme (Neo-Thomisme), bisa dipakai menjadi dasar pengembangan pendidikan modern.
            Pada jaman modern sekarang, ketika rasio menjadi semacam dewa, kehadiran Neo-Thomisme akan menjadi penyeimbang. Dalam konteks Indonesia yang percaya akan Tuhan dan hal-hal rohani, filsafat Neo-Thomisme perlu menjadi pertimbangan untuk pengembangan sistem pendidikannya.  Tetapi  ketika membicarakan Pendidikan Agama Kristen (PAK), perlu dikaji lebih lanjut sejauh mana filsafat Neo-Thomisme ini dapat diterapkan. Pengembangan PAK bukan hanya mempertimbangkan masalah keseimbangan akal dan iman, tetapi  juga masalah Alkitab. Sejauh mana Neo-Thomisme bersesuaian dengan pandangan Alkitab.
           
Filsafat Neo-Thomisme
            Neo-Thomisme pada dasarnya adalah pengembangan lanjut dari Thomisme. Thomisme sendiri adalah sebutan untuk pemikiran filsafat dari filsuf Thomas Aquinas. Neo-Thomisme dikembangkan oleh filsuf bernama Jacques Maritain.

Thomas Aquinas (1225-1274)
            Filsuf yang lahir di kota kecil bernama Aquino yang terletak antara Roma dan Napoli ini bertumbuh menjadi rohaniawan dan kemudian cedekiawan. Pada usia 20 tahun, ia bergabung dengan Ordo Santo Dominikus (Ordo Dominikan) dan menjadi imam Katolik dan biarawan. Ia belajar di bawah asuhan Albertus Magnus (Albertus Agung). Kemudian, sejak tahun 1252 sampai akhir hayatnya, Aquinas menjadi pengajar di universitas-universitas di Italia dan Perancis. 
            Thomas Aquinas hidup pada jaman tumbuhnya pemikiran Skolastik dan ketokohannya menjadikan dirinya salah satu pemikir utama Skolastik Barat.[237] Filsafat skolastik adalah pertemuan antara pemikiran Aristoles yang rasional dan iman Kristen.[238] Para filsuf skolastik yang lain adalah: Boethius (480-524), Albertus Magnus atau Albertus Agung (1206-1280), Johanes Fidanza atau Bonaventura (1221-1257), dan Yohanes Duns Scotus (1266-1308).
            Pada dasarnya, skolastik tidak memisahkan antara filsafat dan teologi Kristen, filsafat merupakan bagian integral dari teologia Kristen.[239] Para filsufnya berusaha mempertemukan antara akal dan iman. Pemakaian akal yang rasional justru membawa pemikiran-pemikiran yang imani.
            Selama hidupnya, Thomas Aquinas mengembangkan pemikiran untuk memperdamaikan pertentangan antara iman dan akal.[240] Menurut Gaarder, Thomas Aquinas telah ’mengkristenkan’ Aristoteles dengan cara seperti  St. Agustinus ’mengkristenkan’ Plato pada awal abad pertengahan.[241] Maksudnya, Thomas Aquinas menafsirkan dan menjelaskan pemikiran-pemikiran Aristoteles dengan cara sedemikian rupa sehingga tidak lagi bertentangan dan dianggap mengancam dogmatika Kristen.[242] Filsafat Aristoteles yang serba rasional dimodifikasi sedemikian rupa sehingga sesuai dengan agama Kristen.
            Menurut klasifikasi Hawasi, pemikiran-pemikiran Thomas Aquinas meliputi beberapa topik di bawah ini:[243]

Tujuan Hidup Manusia
Baik Aristoteles maupun Aquinas sama-sama memikirkan masalah ”mencapai hidup yang baik” (euzen). Tujuan hidup menurut keduanya adalah mencapai kebahagiaan. Perbedaannya, Aristoteles berpendapat bahwa kebahagiaan itu adalah capaian yang melulu urusan duniawi. Dan, manusia pada dasarnya tidak bisa mencapainya, hanya mendekatinya saja.
Aquinas memberi masukan baru tentang tujuan kebahagiaan tersebut. Menurut Aquinas, manusia baru akan bahagia ketika ketemu dengan Tuhan setelah mati. Artinya, kebahagiaan itu adalah masalah transenden. Dari pemikiran ini, terlihat bahwa Aquinas berusaha menggiring pemikiran rasional dari Aristoteles ke arah dogmatika Kristen. Ia mencari kesemaan – soal tujuan mencapai kebahagiaan – dan kemudian memberi makna baru sesuai ajaran Kristen.
Prinsip tujuan kebahagiaan transendental versi Aquinas ini mempunyai implimasi pemaknaan baru. Filsafat Aquinas menekankan hal-hal spiritual dan cenderung menomorduakan kebahagiaan duniawi.

Kemampuan Akal Manusia
Menurut Thomas Aquinas, manusia adakah mahkluk berakal budi (intellectus) yang mempunyai kemampuan berpikir tak terbatas.[244] Karena itu, manusia bisa memikirkan hal-hal yang tidak rasional yang kalau kemudian menjadi kepercayaan maka disebut sebagai iman. Kaitannya dengan tujuan hidup bahagia, manusia hanya bisa meraihnya dengan akal dan iman sekaligus.

Manusia dan Kehendak Bebas
Menurut Franz Magnis Suseno, Thomas Aquinas membedakan dua macam kegiatan manusia sebagai berikut:[245] Pertama, ”kegiatan manusia” (actioneshominis) yang secara alamiah mencakup pula ciri perilaku yang ada pada tumbuhan (vegetatif) dan juga hewan. Tidak mengherankan jika terkadang perilaku manusia bersifat seperti bitanang (biadab). Kedua, ”kegiatan manusiawi” (actiones humanae), yaitu kegiatan yang dilakukan manusia yang berbeda – lebih tinggi kualitasnya –  dibanding mahkluk-mahluk di luar manusia. Itulah yang menjadi ciri manusia sebagai mahluk yang berakal budi dan berbudaya, tidak sekedar hidup dengan naluri saja.
Menurut Aquinas, manusia memiliki kehendak bebas. Untuk melakukan atau tidak melakukan actiones humanae, itu merupakan sebuah pilihan hidup. Perintah moral yang paling dasar menurut Aquinas, seperti ditulis dalam Summa Theologiae, adalah ”Lakukanlah yang baik dan jangan melakukan yang jahat”.[246] Dengan pemikiran itu, Thomas membawa pemikiran akaliah menjadi imaniah.



Hukum Kodrat
Pandangan Thomas Aquinas tentang kodrat adalah sebagai berikut:[247]
1.      Hukum kodrat adalah hukum yang berasal dari Tuhan. Dengan demikian, mematuhi hukum kodrat berarti taat kepada Tuhan.
2.      Hukum kodrat adalah prinsip-prinsip aatau norma-norma moral universal.
3.      Manusia mempunyai kehendak bebas. Ia bebas untuk taat atau tidak mentaati hukum kodrat yang dari Tuhan itu.
4.      Manusia akan hidup dengan baik bila hidup sesuai dengan kodratnya. Jadi manusia sebaiknya taat melakukan hukum kodrat itu.

Hati Nurani dan Suara Hati
Thomas Aquinas membedakan antara hati nurani (synteresis) dan suara hati (conscientia).[248] Hati nurani adalah perasaan tentang apa yang bernilai luhur, semacam orientasi dasar yang ada di dalam lubuk hati yang terdalam. Hati nurani ini berasal dari Tuhan dan tidak mungkin keliru.
Prinsipnya, hati nurani merupakan ”pengetahuan intuitif” tentang prinsip-prinsip moral. Selanjutnya, hati nurani (synteresis) akan menjadi suara hati (conscientia) yang mengatakan dalam jiwa kita tentang apa yang harus kita lakukan. Prinsipnya, hati nurani tidak bisa salah, namun suara hati nurani bisa saja salah.

Konsep tentang Tuhan
Mengenai Tuhan, Thomas Aquinas melontarkan beberapa pemikiran sebagai berikut: Pertama, Tuhan adalah aktus murni (actus purus), artinya Tuhan itu sempurna adanya.[249] Di dalam diri Tuhan, segala sesuatu telah sampai pada perealisasiannya, antara hakikat (essentia) dan eksistensi (existentia) adalah identik.[250] Hal itu berbeda dengan manusia, di mana eksistensi atau keberadaannya merupakan sesuatu yang ditambahkan pada hakikatnya.
Kedua, Aquinas mengembangkan ”teologia naturalis” yang mengajarkan bahwa manusia dapat mengenal Tuhan dengan pertolongan akal pikirannya sendiri.[251] Artinya, manusia dapat memikirkan tentang Tuhan, membuat konsep tentang Tuhan, memikirkan sifat-sifat Tuhan dan seterusnya. Setelah mengemukakan pertanyaan-pertanyaan filosofis mengenai dirinya sendiri misalnya, manusia kemudian dapat mengembangkan pemikiran tentang Tuhan.
Ketiga, Aquinas memberikan lima bukti dan argumentasi tentang adanya Tuhan adalah:[252]  (1) Argumen Ontologis. Karena semua manusia mempunyai gagasan tentang Tuhan dan prinsip bahwa realitas itu selalu lebih sempurna dari pada ide, maka Tuhan itu pasti ada dan realitas-Nya pasti lebih sempurna daripada apa yang digagas oleh manusia. (2) Argumen Kosmologis. Setiap akibat pasti mempunyai sebab. Dunia (kosmos) adalah akibat, Tuhan adalah penyebab adanya kosmos itu. Tuhan adalah pencipta kosmos. (3) Argumen Teleologis. Segala sesuatu pasti memiliki tujuan, misalnya mata untuk melihat, kaki untuk berjalan. Jadi, pasti ada yang mengkonsep dan mengatur tujuan-tujuan itu, Dialah Tuhan. (4) Argumen Moral. Manusia adalah mahkluk bermoral, bisa membedakan mana yang baik dan buruk, mana yang benar dan salah. Itu menunjukkan bahwa ada dasar dan sumber moralitas, dan itu adalah Tuhan. (5) Argumen Teologis. Adanya geraj di dunia mengharuskan kita menerima bahwa ada penggerak pertama, yaitu Tuhan.
Keempat, Aquinas merekomendasikan cara berpikir analogis sebagai jalan untuk memahami adanya Tuhan. Aquinas memperlihatkan 3 jalan (tripleex via) untuk memahami Tuhan secara analogis adalah:[253] (1) Via Positiva atau Via Affirmativa. Berdasar ”analogi entis” disimpulkan bahwa ada kesamaan antara manusia dengan Tuhan. Berarti, segala sifat yang baik pada manusia pasti ada pada Tuhan. (2) Via Negativa. Berdasar pemikiran bahwa ada perbedaan antara manusia dengan Tuhan, maka disimpulkan bahwa hal-hal yang buruk pada manusia pasti tidak ada dalam diri Tuhan. (3) Via Eminentiae. Prinsipnya, apa yang baik dalam diri manusia pasti ada dalam diri Tuhan, dan pasti ada lebih baik dalam diri Tuhan yang sempurna.

Kosmologi
Mengenai penciptaan alam semesta, Aquinas berpendapat bahwa Tuhan adalah Sang Pencipta. Aquinas mengajarkan prinsip ”creatio ex nihilo”, artinya adalah ”penciptaan dari yang tidak ada menjadi ada”. Jadi, dunia ini (ciptaan) tidak diadakan dari semacam bahan dasar yang sudah tersedia lebih dulu, entah bahan itu adalah Tuhan sendiri maupun bahan lain disamping Tuhan. Kecuali itu, penciptaan adalah perbuatan Tuhan yang terus menerus (creatio continua atau creatio conservatio).[254] Artinya, Tuhan adalah Sang Pencipta untuk selamanya dan Ia senantiasa memelihara segala sesuatu yang diciptakannya.

Antropologi
Dalam memandang masalah manusia, Aquinas menyempurnakan pemikiran Aristoteles dan menolak pemikiran Plato. Aquinas menekankan bahwa manusia terdiri dari tubuh dan jiwa. Namun, ia tidak setuju dengan Plato yang mengajarkan bahwa antara jiwa dan tubuh tidak berhubungan dan masing-masing berdiri sendiri-sendiri.
Menurut Aquinas, terdapat nisbah (pertautan) antara jiwa (bentuk) dan tubuh (materi). Hubungan jiwa dan tubuh juga merupakan hubungan antara aktus (perealisasian) dan potensi (bakat). Manusia merupakan satu substansi di mana jiwa menjadi bentuk badan (anima forma corporis).[255]

Neo-Thomisme
Pada awal abad 20, pemikiran Thomas Aquinas (Thomisme) dibangkitkan kembali oleh filsuf bernama Jacques Maritain (lahir tahun 1882). Murid dari Henri Bergson ini menjadi penganut Roma Katolik yang taat pada tahun 1906. Ia mengajar di Institut Katolik di Paris (1914-1940). Kemudian, ia menjadi profesor filsafat di Colombia University (1940-1941), menjadi proferos filsafat di Ecole Libre des Hautes Etudes di New York (1945-1948). Akhirnya, setelah mengajar filsafat di Princeton University, Maritain emiritus sejak pada tahun 1953.
Usaha Maritain membangkitkan kembali Thomisme dikenal dengan istilah Neo-Thomisme. Pada dasarnya, ia mengajarkan bahwa semua masalah filsafat modern sekarang (teori-teori sains, filsafat sosial dan politik, dan filsafat seni) ini harus dipahami dengan prinsip-prinsip filsafat Thomas Aquinas.[256]
Dalam menjelaskan pemikiran-pemikirannya, Maritain telah menulis lebih dari 20 buku. Beberapa di antaranya adalah: Art and Scolasticism (1932), Degrees of Knowledge (19938), Art and Poetry (1943), Existence and the Existent (1948), The Range of Reason (1952), On the Philosophy of History (1957), dan The Responsibility of the Artist (1960). 
            Pada awal abad 20, Neo-Thomisme yang disebut juga Neo-Skolastikisme berkembang pesat di kalangan filsuf Katolik.[257] Pada dasarnya, Neo-Thomisme adalah kebangkitan kembali ajaran-ajaran Thomas Aquinas. Pada tanggal 27 Juli 1914, Paus Pius X mendeklarasikan 24 tesis yang berisi pemikiran-pemikiran filsafat Thomas Aquinas. Menurut pakarnya, Neo-Thomisme menjadikan Thomisme sebagai rambu-rambu, namun tidak menjadikannya sebagai batasan.
            Neo-Thomisme pada dasarnya merupakan pengembangan lanjut dari Thomisme (ajaran Thomas Aquinas). Di dalamnya, ajaran-ajaran Aquinas diperluas dan dijadikan lebih komprehensif sehingga menjadi kontemporer dan sesuai dengan tuntutan-tuntutan intelektual masa kini.
            Kalau ajaran Thomas Aquinas di masa silam dirasa terlalu kaku, Neo-Thomisme merupakan modifikasi yang sifatnya lebih fleksibel dan dinamis. Karena itu, di dalam Neo-Thomisme, beberapa pemikiran Aquinas yang dianggap salah dan kurang bermanfaat ditinggalkan.

Perbedaan Thomisme dan Neo-Thomisme

Thomisme (Ajaran Thomas Aquinas)
Neo-Thomisme
Pemikiran filsafat Thomas Aquinas yang berkembang pada abad 13. Sifatnya luas dan   rigid.
Ajaran Thomisme yang diperluas, diperkomprehensif, dibuat kontemporer. Ajaran Thomisme yang salah dan tak bermenfaat dibuang.
Thomas Aquinas
Jacques Maritain, cendekiawan Katolik
Abad 13
Abad 19-20


Filsafat Neo-Thomisme untuk Pendidikan
            Ketika Neo-Thomisme dipakai sebagai landasan pemikiran bagi pengembangan pendidikan, perspektif filsafat itu akan mewarnai semua unsure-unsur atau komponen-komponen pendidikan. Komponen-komponen itu mencakup adalah:  (1) tujuan pendidikan, (2) pelaku pendidikan, yaitu:  guru dan murid, (3) kurikulum pendidikan,  dan (4) metode pendidikan. 

Tujuan Pendidikan
Neo-Thomisme mengacu pada ajaran Thomas Aquinas yang menekankan tujuan hidup yang bukan hanya mengejar kebahagiaan duniawi, tetapi kebahagiaan spiritual yang bersifat transcendental. Pemikiran fillosofis ini sangat bagus sebagai counter atas pola piker dan pola hidup duniawi yang berkembang pada masa kini. Sekarang orientasi hidup yang bersifat kapitalistik, hipokrit, tidak adil, hedonistik, dan materialistik berkembang mewarnai seluruh aspek kehidupan.


Kapitalisme
Perkembangan pesat industrialisasi pada abad 21 telah mengembangkan filsafat hidup ”positivisme-materislistik” dan gaya hidup ”ekonomi-kapitalistik”.[258] Orientasi hidup manusia melulu untuk mencari kekayaan material sebanyak mungkin dengan jalan apapun, bahkan menghalalkan segala cara. Akibatnya, persaingan ekonomi cenderung mendorong tumbuhnya sistem ekonomi kapitalistik dengan memonopoli barang-barang produksi mulai dari proses produksi sapai mekanisme pasar.
Watak kapitalistik adalah melakukan kegiatan produksi secara monopolistik dengan menguasai pasar untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal itu menumbuhkan sikap ketidakpedulian para orang kecil. Yang miskin semakin miskin dan yang kaya akan semakin kaya. Para kapitalis juga menggunakan cara apapun – tanpa mempertimbangkan aspek-aspek etika – untuk mendulang keuntungan dari konsumen-konsumennya. Itulah sebabnya, acara-acara televisi misalnya, tidak bersifat mendidik. Yang penting, masyarakat senang sehingga para produsen dapat mengeruk keuntungan. Dengan demikian, kapitalisme ini mendorong sebuah kehidupan yang tidak bermoral tinggi, yang penting adalah ”kenikmatan duniawi”. Inilah yang dikejar dan dijual oleh para kapitalis.

Kemunafikan Politik
Krisis kehidupan masa kini juga ditandai dengan adanya kemunafikan politik. Politik sekarang meninggalkan nilai substansial politik, yaitu kecerdasan (shrewdness) dalam mengambil kebijakan, dan bergeser menjadi kelicikan (slyness).[259] Perilaku ini juga tidak lepas dari semangat ekonomi kapitalistik yang melanda para pemimpin politik. Mereka memanaatken kedudukan dan kekuasaannya untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya dengan cara memeras rakyat dan melakukan korupsi,

Ketidakadilan
Selanjutnya, semangat dan gaya hidup kapitalistik yang memicu kesewenang-wenangan politik, menyebabkan tumbuhnya kehidupan “hukum rimba” (homo homini lupus). Premanisme menyebabkan ketidakdilan di dalam masyarakat.
Ketidakadilan menyebabkan berbagai bentuk pemberontakan. Kelompok yang dirugikan atau ditindas akan melawan dengan cara-cara yang tidak bermoral juga. Itulah sebabnya tumbuh terorisme. Umat Muslim yang merasa ditindas oleh Amerika dan kroni-kroninya, melakukan perlawanan dengan melakukan aksi-aksi teror di seluruh dunia.

Hedonisme-Materialisme
Perubahan dari kehidupan masyarakat agraris ke industri menyebabkan pergeseran orientasi dari kehidupan spiritual ke kehidupan materialistik. Dalam kehidupan agraris, sistem-sistem kepercayaan berkembang. Dalam masyarakat industri yang sarat dengan teknolosi, pemikiran rasional mengedepan dan orientasi pada materi menjadi sangat kuat. Akibatnya, masyarakat modern meninggalkan kehidupan beragama.
Bagi masyarakat industri, tujuan hidup bukan lagi “surga” tetapi “dunia”. Surga telah digantikan oleh segala bentuk kenikmatan material dunia ini. Akibatnya, manusia berlomba-lomba mengejar kenikmatan dunia. Makan enak, tidur nyenyak, dan aneka kemewahan materialistik menjadi cita-cita manusia. Akhirnya, manusia menjadi biadab, tidak berbudaya.

Pelaku Pendidikan: Pendidik dan Anak Didik
            Penggunaan Neo-Thomisme sebagai landasan filsafat pendidikan mempengaruhi pembentukan pribadi pendidik dan anak didik. Karakteristik pendidik dan anak didik menurut pandangan neo-thomisme sebagai berikut: (1) Bertumbuh seimbang dalam pengembangan akal dan iman. (2) Maksimal dalam pertumbuhan intelektual sehingga bukan hanya memahami hal-hal yang duniawi namun juga rohani. (3) Menjaga etika dengan menghormati hukum-humum moral universal sebagai hukum kodrat yang harus ditaati. (4) Memiliki kepekaan dalam hati nurani dan suara hati sehingga selalu hidup dalam jalan-jalan moral yang baik.
Dengan demikian, Pendidikan yang unggul dan komprehensif akan dapat berfungsi memberikan pencerahan (enlightment) kehidupan dengan membangun multi-kecerdasan pada diri para murid sebagai berikut:[260] (1) Kecerdasan spiritual, yaitu memiliki pengetahuan yang enar mengenai hakikat asal mula, tujuan, dan eksistensi kehidupan sehingga memiliki filsafat hidup spiritual-metafisis. (2) Kecerdasan intelektual, yaitu menguasai sains secara rasional, tajam, kreatif, dan inovatif. (3) Kecerdasan emosional, yaitu memiliki pertumbuhan dalam mentalitas dan karakter yang unggul sebagai mahluk individu dan makhluk sosial yang bertaggung jawab.

Kurikulum Pendidikan
            Mengacu pada Neo-Thomisme, bahan-bahan ajar dalam pendidikan perlu mencakup topik-topik sebagai berikut: (1) Sains, baik ilmu pengetahuan alam maupun ilmu pengetahuan sosial. (2) Filsafat, pemikiran-pemikiran filosofis dan pola-pola pikir rasional yang logis. (3) Teologi, pelajaran-pelajaran agama yang dikemas secara ilmiah (akademis). (4) Etika, pengetahuan tentang moral dan nilai-nilai kebudayaan.
Bagi pendidikan sekuler masa kini, pemakaian Neo-Thomisme menolong supaya pendidikan tidak terjerat pada ateisme karena tetap menekankan iman kepada Tuhan. Kecuali itu, Neo-Thomisme juga menjaga pengembangan pendidikan untuk tidak menjadi post-modernistik yang tidak menghargai meta-narasi. Posmodernisme adalah pemikiran tentang pluralisme kebudayaan yang bersifat relativistik.[261] Sedangkan meta-narasi adalah kebenaran-kebenaran universal seperti halnya filsafat dan agama.[262]

Metode Pendidikan
            Penggunaan Neo-Thomisme sebagai dasar filsafat mempengaruhi pemilihan metode-metode yang akan dipakai dalam proses belajar-mengajar. Metode-metode yang sesuai adalah sebagai berikut: (1) Metode-metode yang menggunakan kreatifitas akali, misalnya diskusi ilmiah dan penelitian ilmiah. (2) Metode-metode yang memancing kreatifitas, misalnya metode penemuan gagasan baru dan studi kasus.
Sesuai pengajarannya yang mengatakan bahwa hal-hal rohani dapat dipahami melalui pemikiran rasioal, metode-metode ilmiah dapat dipakai untuk menjelaskan hal-hal rohani. Sebagai contoh, untuk menjelaskan sorga atau neraka, dapat dipakai metode-metode dan juga alat-alat peraga yang rasional.


Neo-Thomisme dan PAK 
            Karya-karya Thomas Aquinas diakui sebagai karya-karya terpenting dari seluruh kesusastraan Kristiani.[263] Semua karyanya dikumpulkan dalam 34 jilid. Karya utamanya adalah Summa Theologiae I-III,  tetapi untuk penerapannya dalam Pendidikan Agama Kristen (PAK), harus ditinjau secara kritis dari sudut pandang Alkitab tanpa mengurangi apresiasi terhadap kontribusinya dalam kesusastraan Kristiani.

Konsep PAK
Untuk melihat bagaimana posisi PAK terhadap filsafat (dan juga sains), harus dipahami terlebih dahulu konsep tentang PAK itu sendiri. Werner Graendorf memberi gambaran sebagai berikut:

Pendidikan Kristen adalah proses belajar-mengajar yang berdasar Alkitab, dikuatkan [didorong] oleh Roh Kudus, yang membimbing orang percaya dalam setiap tahapan pertumbuhan rohaninya, melalui pengajaran yang kontemporer; yang mengarah pada pemahaman dan pengalaman akan tujuan dan rencana Tuhan di dalam Kristus dalam setiap aspek kehidupan, dan yang memperlengkapi mereka (anak didik) untuk melayani secara efektif; dengan berpusat pada Kristus sebagai Guru Agung dan perintah untuk melakukan pemuridan).[264]
           
Meskipun PAK merupakan proses pendidikan kontemporer, ciri yang membedakan dengan pendidikan sekuler, salah satunya, adalah penggunaan Alkitab sebagai dasar pengetahuan. Alkitab bukan hanya sebagai bahan ajar namun sumber dari segala sumber pengatahuan atau epistemology yang dipegang.
Dengan demikian PAK yang Alkitabiah tidak dibangun di atas dasar filsafat yang merupakan buah pikiran manusia. Namun, dasar PAK adalah Alkitab yang adalah buah pikiran Tuhan. PAK bertolak dari prinsip bahwa Alkitab adalah Firman Tuhan tanpa salah (inerrancy).

 Tinjauan Alkitab terhadap Neo-Thomisme
            Merunut dari prinsip di atas, Neo-Thomisme yang merupakan bentuk filsafat, merupakan buah pikiran manusia. Thomisme sendiri merupakan pengembangan pemikiran dari filsafat Aristoteles. Meskipun bukan tidak mungkin Aquinas menerima penerangan (iluminasi) Roh Kudus pada saat melakukan perenungan filsafat, harus dipegang prinsip bahwa Neo-Thomisme bukanlah Firman Tuhan.
            Karena itu, meskipun mengapresiasi pemikiran Neo-Thomisme, para pendidik dalam PAK perlu mengkritisi pemikiran tersebut. Pemikiran-pemikiran Neo-Thomisme yang pararel dengan Alkitab bisa diadopsi. Namun, beberapa hal lain harus ditinjau ulang dan dikoreksi. Sebagai contoh, adalah pemikiran tentang penciptaan dan tentang hakikat mansia.





Penciptaan Kosmos
Aquinas mengajarkan prinsip ”creatio ex nihilo”, artinya adalah ”penciptaan dari yang tidak ada menjadi ada”. Pandangan ini sangat Injili, waktu Allah menciptakan, Ia tidak memakai sesuatu bahan yang telah ada, sebelum penciptaan tak ada fenomena keberadaan apapun.[265]
            Prinsip penciptaan itu terungkap jelas dalam kitab Kejadian. Kata bara yang dipakai dalam Kejadian 1:1, 21, 27 tidak mengandung pengertian memakai maeri yang telah ada. Kata bara sama dengan asa yang berarti melakukan atau membuat (Kej. 1:25; Kel. 20:11; Neh. 9:6).
            Dengan demikian Neo-Thomisme memberi sumbangsih besar bagi penumbuhan iman tentang Tuhan Sang Pencipta. Ajaran Thomas Aquinas ini perlu dijadikan referensi baik di dalam pendidikan sekuler maupun dalam PAK. Ini merupakan pengakuan filsafat (pikiran rasional) terhadap kebenaran Alkitab-Firman Tuhan.

Hakikat Manusia
Padangan Neo-Thomisme tentang manusia perlu dikritisi secara mendalam menurut perspektif Alkitab. Harus diwaspadai bahwa ajaran Thomisme bertolak dari ajaran Aristoteles tentang dikotomi manusia: jiwa dan tubuh. Neo-Thomisme pada dasarnya merupakan pemikiran Katolik. Konsentrasi pada masalah dikotomi (jiwa dan tubuh) ini menyembabkan tumbuhnya pemikiran baru tentang trikotomi (roh-jiwa-tubuh). Menurut Charles Ryrie, pandangan dikotomi (jiwa-tubuh) dan trikotomi (roh-jiwa-tubuh) mempunyai banyak kekurangan, yang tepat adalah pandangan bahwa manusia terdiri dari dua segi (segi materi dan segi rohani).[266]
            Selanjutnya, segi rohani manusia itu sangat kompleks, mancakup unsur-unsur sebagai berikut:[267] (1) Jiwa (nefesy), pusat berbagai pengalaman rohani dan emosi. (2) Roh (ruakh, pneuma), mengacu pada totalitas dari manusia. (3) Hati, wadah kehidupan intelektual, emosi, kemauan. (4) Hati nurani (kesadaran), seperti ”saksi” dalam diri seseorang yang memberitahukan bahwa orang tersebuh harus melakukan apa yang benar dan menghindari yang salah. (5) Pikiran (fronei, neous, sunesis), kemampuan mengenal, menganalisis, menilai, dan juga mengambil keputusan. (6) Kehendak, kemauan, keinginan.

Masalah Akal dan Iman
Kontribusi besar Thomas Aquinas adalah usaha untuk mempertmukan antara akal dan iman. Bahwasanya hal-hal yang imani sesungguhnya dapat dipahami secara rasional. Pada tataran tertentu, filsafat seperti itu akan menjaga seseorang untuk tidak menjadi ateis setelah belajar  banyak tentang sains. Namun, pada titik tertentu, itu bisa mereduksi kualitas iman Kristen.
Hal-hal rohani yang imani tidak selamanya selalu dapat diterangkan secara rasional. Usaha merasionalisasikan hal-hal yang hanya bisa dipahami secara iman seringkali justru mereduksi iman Kristen. Sebagai contoh, ada usaha untuk menjelaskan (secara rasional) tentang mujizat. Misalnya, tembok Yeriko runtuh karena teriakan orang-orang Isreal pada waktu itu begitu nyaring (mencapai sekian desibel) sehingga menimbulkan getaran kuat yang akhirnya merobohkan tembok. Penjelasan seperti itu justru mengurangi iman bahwa robohnya tembok saat itu adalah karena mujizat Tuhan. Mujizat Yesus memberi makan pada 5000 orang dengan modal 5 ekor ikan dan 2 ketul roti juga pernah dicoba dijelaskan secara ilmiah. Menurut para sosiolog, multiplikasi makanan itu terjadi karena ketika Yesus menunjukkan kepada khalayak tentang keberadaan 5 ekor iman dan 2 ketul roti itu, tumbuhlah jiwa sosial dan kepedulian sosial sehingga banyak orang mengeluarkan bekal makanan masing-masing. Nah, setelah terjadi panggalangan makanan, akhirnya bisa memberi makan untuk 5000 orang. Penjelasan semacam ini justru meniadakan arti pentingnya mujizat. Demikian juga penjelasan tentang mengapa Petrus dapat berjalan di atas air. Kalau itu dijelaskan karena adanya faktor kadar garam tinggi (seperti pada Laut Mati) berarti menihilkan arti mujizat supranatural yang telah terjadi.
Dengan demikian, keselarasan antara akal dan iman tidak selamanya harus dipaksakan. Ada hal-hal rohani yang memang bisa dipahami secara akal budi. Namun ada banyak hal yang hanya bisa diterima dengan iman tanpa harus dikritisi secara rasional.
            Dalam pandangan Alkitabiah, iman itu berbeda dengan akal, seperti terjelaskan melalui tabel sebagai berikut:

Perbedaan antara Akal dan Iman

Akal
Iman
·         Asal = Pikiran otak manusia
·         Memakai logika dan prosedu ilmiah
·         Analisis empiris-skeptif, membuktikan kebenaran berdasar fakta
·         Spirit: bertanya dan meragukan segala sesuatu
·         Asal = Tuhan, Firman Tuhan (Rm. 10:17)
·         Tidak memerlukan bukti fakta (Rm. 4:18; Ibr. 11:1)
·         Spirit : menerima pewahyuan (Firman, Alkitab) sebagai kebenaran tanpa perbantahan dan keraguan





Filsafat Pendidikan Pragmatism (Experimentalism)

Pragmatisme[268] merupakan sistem filsafat yang dibangun 100 tahun lalu  dipandang sebagai filsafat Amerika asli.  George F. Kneller mengatakan sebagai filsafat pribumi orang-orang Amerika.[269] Sebenarnya bahwa pragmatisme berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami.[270]
 Pragmatisme berasal dari akar kata bahasa Yunani, artinya “work”. Banyak definisi yang muncul, antara lain sebagai berikut: Pragmatisme adalah “a philosophy that encourages us to seek out the processes and do the things that work best to help us achieve desirable ends”.[271] William James mendefinisikan sebagai “the attitude of looking away from first things, principles, categoies, supposed necessities; and of looking towards last things, fruits, consequences, facts”.[272]  Sedangkan Charles S. Pierce mengatakan bahwa pragmatisme merupakan kesatuan kerja antara pikiran, perbuatan, dan intelek. Ia mengatakan: “pikiran itu hanya berguna bagi manusia apabila pikiran itu “bekerja” yaitu memberikan pengalaman (hasil) baginya. Fungsi berpikir tidak lain daripada membiasakan manusia untuk berbuat. Perasaan dan gerak jasmaniah (perbuatan) adalah manifestasi-manifestasi yang khas dari aktivitas manusia, dan kedua hal itu dapat dipisahkan dari kegiatan intelek (berpikir). Jika dipisahkan, perasaan dan perbuatan menjadi abstrak dan menyesatkan manusia.[273]
Berkaitan hal ini, George R. Knight mengatakan bahwa pragmatisme menekankan pada pengetahuan yang empiris, merubah dunia bersama persoalan-persoalannya, dan sifatnya sebagai  “all inclusive reality beyond which their faith in science would not allow them to go”.[274]
Kata kunci untuk menjelaskan pragmatisme adalah “experience” (pengalaman).[275] Pengalaman itu apa yang diperbuat manusia, dilakukan, dan dipikirkan. Dalam hal ini, maka John Dewey mengatakan bahwa pengalaman adalah “body of information and skills we apply intelligently to inquiry”.[276] Tetapi,  George R. Geiger  mengatakan kunci pragmatisme adalah teori pengetahuan dan nilai.[277]

Tokoh-tokoh Pragmatism:[278]
Francis Bacon (1561-1626) “a New Way of Thinking”
John Locke (1632-1704) “The Centrality of Experiencee”
Jean-Jacques Rousseau (1712-1778)
Auguste Comte (1798-1857) “Science and Society”
Charles Darwin (1809-1882)
Charles Sanders Peirce (1839-1914) “The American Pragmatists”
William James (1842-1910)
John Dewey (1859-1952)



Realitas, Pengetahuan, dan Nilai
Ada beberapa hal yang menjadi puncak pemikiran pragmatisme adalah: realitas, pengetahuan dan nilai. “Realitas” merupakan interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Manusia dan lingkungannya berdampingan, dan memiliki tanggung jawab yang sama terhadap realita.  Dunia akan bermakna sejauh manusia  mempelajari makna yang terkandung di dalamnya. Perubahan merupakan esensi realitas, dan manusia harus siap mengubah cara-cara yang akan dikerjakannya. Manusia pada hakekatnya plastis dan dapat berubah. “Pengetahuan”  merupakan akal manusia aktif dan selalu ingin meneliti, tidak pasif dan tidak begitu saja menerima pandangan tertentu yang belum dibuktikan kebenarannya secara empirirs. Pikiran (rasio) tidak bertentangan dan tidak terpisah dari dunia, melainkan merupakan bagian dari dunia. “Nilai”  itu relative. Keindahan-keindahan moral dan etik tidak tetap, melainkan harus berubah, seperti perubahan kebudayaan dan masyarakat. Pragmatis menyarankan untuk menguji kualias nilai dengan cara yang sama seperti seseorang menguji kebenaran pengetahuan dengan metode empiris.  Nilai moral maupun etis akan terlihat dari perbuatannya, bukan dari segi teorinya. Jadi pendekatan nilai adalah cara empiris berdasarkan pengalaman-pengalaman manusia, khususnya kehidupan sehari-hari.[279]  Berkaitan hal tersebut, maka George Kneller mengatakan ada empat point prinsip pragmatisme sebaga berikut: (1) the reaity of change, (2) the essentially social and biological nature of man, (3) the relativity of values, dan (4) the use of critical intelligence.[280]
Selanjutnya Redja Mudyahardjo menguraikan tentang filsafat pragmatisme mencakup sebagai berikut: pertama, metafisika dengan catatan: (1) Anti metafisika: suatu teori umum tentang kenyataan tidaklah mungkin dan juga tidak perlu. (2) Kenyataan yang sebenarnya adalah kenyataan fisik. (3) Segala sesuatu dalam alam dan kehidupan adalah berubah. Hakikat segala sesuatu adalah perubahan itu sendiri. (4) Hidup adalah sebuah proses pembaharuan diri sendiri yang terus berlangsung dalam interaksinya dengan lingkungan. Kedua, adalah epistemology, mencakup: (a) Pengetahuan adalah relatif, dan terus berkembang. Pengetahuan yang benar diperoleh melalui pengalaman. (b) Karakteristik pengalaman adalah pengalaman pertama-tama merupakan peristiwa pasif-aktif, dan mengukuran nilai suatu pengalaman terletak pada persepsi hubungan-hubungan atau kontinuitas-kontinuitas yang menyebabkan pengalaman tersebut meningkat. (c) Pengetahuan yang benar adalah pengalaman yang berguna kehidupan. Ketiga, adalah aksiologi adalah ukuran tingkah laku perseorangan dan sosial ditentukan secara eksperimental dalam pengalaman-pengalaman hidup. Dengan demikian tidak ada nilai absolute.[281]

Kebenaran
Teori Pragmatisme (pragmatism theory) merupakan salah satu dari teori kebenaran.  Pragmatisme  berpendapat bahwa kebenaran tidak bisa bersesuaian dengan kenyataan, sebab seseorang hanya bisa mengetahui dari pengalamannya saja. Pragmatisme berpendirian bahwa mereka tidak mengetahui apapun (agnostik) tentang wujud, esensi, intelektualitas, dan rasionalitas. Oleh karena itu, pragmatisme menentang otoritarianisme, intelektualisme, dan rasionalisme. Penganut pragmatisme merupakan penganut empirisme yang fanatik untuk memberikan interpretasi terhadap pengalaman. Menurut pragmatisme, tidak ada kebenaran yang mutlak dan abadi. Kerbenaran ini dibuat dalam proses penyesuaian manusia.[282]  Schiller, pengikut pragmatisme di Inggris, mengemukakan bahwa kebenaran merupakan suatu bentuk nilai, artinya apabila seseorang menyatakan benar terhadap sesuatu, berarti ia memberikan penilaian terhadapnya. Istilah benar adalah suatu pernyataan yang berguna, sedangkan istilah salah merupakan pernyataan yang tidak berguna.[283] Ernest E. Bayles mengatakan kebenaran adalah “one  of the great concerns of man is to obtain insights that are true”[284] tetapi kebenaran harus diuji melalui interaksi dan melalui pengalaman.
 Teori Pragmatis tentang kebenaran mengatakan bahwa sesuatu itu dianggap benar jika berdasarkan nilai manfaat dari pengetahuan atau kebenaran itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Contoh: orang perlu percaya kepada Yesus karena ada dampak dalam kehidupan. Yesus membuat mampu orang yang percaya menghadapi masalah secara berkemenangan.

Pragmatisme tentang Pendidikan
Pragmatisme sangat mempengaruhi pada abad 21 dalam pespektif teori dan praktek. Bahkan juga sangat mempengaruhi dunia pendidikan, secara langsung maupun tidak langsung, melalui perumusan kembali sistem pendidikan, pendidikan masa depan, dan pendidikan kemanusiaan. Contohnya pragmatisme pendidikan mempengaruhi sebagian besar  pendidikan di Amerika dengan gagasan adalah “yang menanggapi kepentingan masyarakat sebagai unsur terpenting dalam pendidikan. Inilah yang dinamakan pendidikan yang community-centered, dimana diusahakan agar peserta didik mempunyai pengertian yang baik-baiknya mengenai alam sekelilingnya dan juga agar pada diri peserta didik terpupuk rasa cinta dan setia pada cita-cita demokrasi sebagaimana dijunjung tinggi dan dipraktekan di negerinya. Dan menjadi ciri khas pendidikan di Amerika yaitu bahwa titik berat pengajaran terletak pada belajar dalam kumpulan (kelompok) dan kerjasama. Yang dipelajari biasanya adalah suatu topik.”[285]
Berkaitan di atas, maka John Dewey (1859-1952), salah pendiri filsafat pragmatisme Amerika (selain  Charles Sandre Peirce;  1839-1914 dan William James; 1842-1910), yang mengembangkan teori pendidikan dalam perspektif pragmatisme. Ia mengatakan bahwa pendidikan adalah konservatif dan “unfolding theory” (teori pemerkahan).[286] 
Konservatif mengatakan bahwa pendidikan adalah sebagai suatu pembentukan terhadap pribadi anak didik tanpa  memperhatikan kekuatan-kekuatan atau potensi-potensi yang ada dalam diri anak didik.  Pendidikan akan menentukan segalanya. Hal itu dikarenakan pendidikan merupakan suatu proses pembentukan jiwa dari luar, di mana mata pelajaran telah ditentukan menurut kemauan pendidik, sehingga anak didik tinggal menerima saja.[287]
 “Unfolding theory” adalah anak akan berkembangn dengan sendirinya, di mana perkembangan anak didik telah memiliki tujuan yang pasti. Tujuan yang dimaksud selalu digambarkan sebagai suatu yang lengkap dan pasti.[288] 


Proses Pendidikan
Pemahaman-pemahaman pendidikan di atas, bagi pragmatisme, perlu melalui proses pendidikan dengan memperhatikan dua segi, yaitu: psikologi dan sosiologis. Dari segi psikologis, pendidik harus dapat mengetahui tenaga-tenaga atau daya-daya yang ada pada anak didik yang akan dikembangkan. Psikologinya seperti yang berpengaruh di Amerika, yaitu psikologis, pendidik harus mengetahui ke mana tenaga-tenaga itu harus dibimbingnya. Dewey mengatakan bahwa tenaga-tenaga itu harus diabadikan pada kehidupan sosial, jadi mempunyai tujuan sosial. Maka pendidikan adalah sosial dan sekolah adalah suatu lembaga sosial. Pendidikan adalah alat kebudayaan yang paling baik. Dengan pendidikan sebagai alat, manusia dapat menjadi “The Master, not the slaves of social as well as other kinds of natural change”.[289]

Kedudukan Pendidikan
Pragmatisme mempunyai model-model kedudukan pendidikan. Dewey melihat bahwa kedudukan pendidikan bisa dilihat dari berbagai model sebagai berikut:[290] Pertama, adalah education as a necessity of life. Pendidikan berorientasi kepada kebutuhan hidup anak didik. Keduaeducation as a social fungstion.  Pendidikan menyiapkan anak didik dewasa hidup di tengah sosialnya. Ketiga, adalah  education as direction. Pendidikan mengarahkan pencapaian tujuan anak didik pada kehidupan masa depan yang telah direncanakan. Keempateducation as growth. Pendidikan mengarahkan anak didik menjadi bertumbuh dalam segala hal khusunya dalam aspek psikologis dan sosiologis.  Kelima, adalah education as preparation. Pendidikan membentuk karakter-karakater yang lemah menjadi kuat dan yang kuat menjadi berprestasi. Keenam, adalah  education as unfolding. Pendidikan yang menjadikan anak didik berkembang dengan sendirinya.  Ketujuh, adalah education as training of faculties. Pendidikan yang menyiapkan sumber daya staf. Kedelapan, adalah education as formation. Pendidikan yang membentuk  formasi yang dibutuhkan oleh tujuan pendidikan. Kesembilan, adalah education as recapitulation and retrospection. Pendidikan yang mengarhkan kepada pemikirna-pemikiran reflektif. Kesepuluh, adalah  education as reconstruction. Pendidika yang mengarahkan pembangunan kembali dasar-dasar yang dimaksud oleh tujuan pendidikan. Kesebelas, adalah education as national and as social. Pendidikan yang menyiapkan anak didik siap mandiri di tengah masyarakat atau sosialnya.

 Proses Pendidikan Pragmatisme
Proses pendidikan pragmatisme mencakup beberapa hal sebagai berikut: tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan, metode pendidikan, pendidik dan anak didik.[291]

Tujuan Pendidikan
Dewey dan paragmatist percaya bahwa “education is necessity of life”. Pendidikan bukan mempersiapkan seseorang untuk hidup tetapi ia sendiri adalah hidup.  Hidup anak-anak sebagai anak-anak dan hidup orang dewasa sebagai orang dewasa. Pendidikan membuat anak-anak hidup dalam lingkungannya  dan pendidikan orang dewasa membuat dirinya tertarik dan memotivasi lingkungannya. Tujuan pragmatisme menolong anak atau orang dewasa menguasai motivasi diri yang tinggi dan menaklukan lingkungannya. Dengan demikian bahwa pendidikan dapat menyelesaikan masalah-masalah lingkungan yang muncul menghadangnya. Pendidikan dapat melakukan transmitted dari generasi ke generasi melalui komunikasi lingkungan, aktifitas, pemikiran dan perasaan dari yang tua ke yang muda.[292] Sidney Hook merumuskan tujuan pendidikan adalah pendidikan untuk bertumbuh bersama dalam masyarakat demokrasi.[293]
William Heard mengatakan bahwa tujuan pendidikan: Pertama, adalah mempersiapkan kesempatan untuk hidup. Kedua, adalah mempersiapkan belajar berpengalaman. Ketiga, adalah mempersiapkan pertumbuhan karakter.[294] Sedangkan George R. Geiger  mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah “change in the experience and conduct of persons (chiefly, but not necessarily, young persons) engineered by an organized and conscious group – the oral implications are indeed staggering”.[295]
Dengan demikian bahwa pendidikan itu sangat penting karena elemen tujuan pendidikan ada beberapa point sebagai berikut: pendidikan merupakan kebutuhan untuk hidup, pendidikan sebagai pertumbuhan, dan pendidikan sebagai fungsi sosial. Karena itu, hendaklah tujuan pendidikan memperhatikan: Pertama, adalah ditentukan dari kegiatan yang didasarkan atas kebutuhan instrinsik anak dididk. Kedua, adalah harus mampu memunculkan suatu metode yang dapat mempersatukan aktivitas pengajaran yang sedang berlangsung. Ketiga, adalah spesifik dan langsung di mana pendidikan harus tetap menjaga untuk tidak mengatakan yang berkaitan dengan tujuan umum dan tujuan akhir.[296]
Dari pemikiran di atas dapat ditajamkan bahwa tujuan pendidikan pragmatisme adalah:  pertama, pendidikan adalah hidup, pertumbuhan sepanjang hidup, proses rekonstruksi yang berlangsung terus dari pengalaman yang terakumulasi dari sebuah proses sosial. Kedua, tujuan pendidikan adalah memperoleh pengalaman yang berguna untuk memecahkan masalah-masalah baru dalam kehidupan perorangan dan bermasyarakat. Ketiga, tujuan pendidikan tidak ditentukan dari luar kegiatan pendidikan, tetapi terdapat dalam setiap proses pendidikan. Oleh karena itu, tidak ada tujuan pendidikan umum pendidikan atau tujuan akhir pendidikan.

Kurikulum Pendidikan
Kurikulum pragmatisme  menekankan pada pengalaman sosial. Kurikulum bukan berisi mengenai fakta-fakta, ide-ide atau isi pengetahuan, tetapi pengalaman yang berkelanjutan baik dalam kelas maupun di luar kelas.  Kurikulum selalu mengarah pada perubahan dan menjadi jalan pemecahan bagi perbagai persoalan hidup.[297]  Dewey mengatakan bahwa  kurikulum bergantung pada definisinya tentang pendidikan dan pandanganya tentang tujuan pendidikan. Istilah pendidikkan berkenan dengan proses pemberian “impulse” dan tujuannya adalah meningkatkan lembaga-lembaga yang membentuk masyarkat. Isi kurikulum adalah mata pelajaran-mata pelajaran yang memberikan “impulse” kepada anak didik. Isi tersebut meliputi managemen dan pelaksanaan perusahaan dan industri, IPS dan IPA, mata pelajaran liberal dan klasikal humanistik dan kesenian. Semua mata pelajaran diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan.[298]  Dengan demikian maka kurikulum mencakup sebagai berikut: pertama, kurikulum berisi pengalaman-pengalaman yang telah teruji serta minat-minat dan kebutuhan-kebutuhan anak didik. Hal terakhir yang menyebabkan perlunya sekolah membuat kurikulum darurat untuk memenuhi minat dan kebutuhan anak didik. Kedua. pendidikan umum yang menghilangkan pemisah antara pendidikan umum dan pendidikan praktis.
Kurikulum yang bagus adalah type “core curriculum” ialah sejumlah pengalaman belajar di sekitar kebutuhan umum. Oleh karena tidak adanya standar yang universal, maka kurikulum harus terbuka dari kemungkinan untuk dilakukan peninjauan dan penyempurnaan.[299] Karena itu, sifat kurikulum haruslah fleksibilitas. Dengan demikian, maka  kurukulum dapat membuka kemungkinan  bagi pendidikan untuk memperhatikan tiap anak didik dengan sifat-sifat dan kebutuhannya masing-masing. Selain ini semuanya diharapkan dapat sesuai dengan keadaan dan kebutuhan setempat. Oleh karena sifat kurikulum yang tidak beku dan dapat direvisi ini, maka jenis yang memadai adalah kurikulum yang berpusat pada pengalaman. Jenis ini dilukiskan oleh Theodore Brameld sebagai kurikulum yang melepaskan semua garis penyekat mata pelajaran dan menekankan pada unit-unit.[300]

Metode Pendidikan
Metode pendidikan pragmatism adalah berpikir reflektif atau metode pemecahan masalah yang dihadapinya. Metode tersebut mempunyai langkah-langkah sebagai berikut: penyadaran suatu masalah, observasi kondisi-kondisi yang hadir,  perumusan dan elaborasi tetang suatu kesimpulan, dan  pengetesan melalui eksperimen. Berkaitan hal tersebut, Dewey mengatakan bahwa semua pendidikan yang sejati muncul melalui pengalaman. Meskipun begitu, maka tidaklah cukup untuk tetap bertahan pada perlunya pengalaman saja dan tidak juga pada perlunya aktivitas dalam pengalaman, tetapi segala sesuatu tergantung pada kualitas pengalaman yang dimiliki yang bersangkutan. Jadi, urusan pendidikan adalah mengatur jenis pengalaman yang, meski pengalaman itu tidak menarik anak didik, melibatkan aktivitas anak didik yang dirasakan, dan meningkatkan pengalaman pada masa depan yang diinginkan.[301]

Pendidik dan Anak Didik
Peranan pendidikan dan anak didik merupakan suatu hal sangat penting dalam proses pendidikan pragmatisme. Kegiatan tersebut sebagai berikut: pertama, adalah pendidik sebagai “research-project director” (the chairman of the board of directors of a learning industry).[302] Pendidik mengawasi dan membimbing pengalaman belajar tanpa terlampau banyak mencampuri urusan minat kebutuhan anak didik.Semua itu dikarenakan pendidik bukan pendidikan yang tradisional melainkan  dia tidak hanya  mengetahui yang anak didik butuhkan untuk masa depannya melainkan ia memberi pengetahuan dasar kepada anak didik  untuk melakukan perubahan.
Kedua, adalah anak didik adalah suatu organisasi yang rumit yang mampu tumbuh. George Knight  mengatakan bahwa  anak didik adalah seseorang yang mempunyai pengalaman secara individu yang mampu menggunakan intelektualnya dalam memecahkan berbagai persoalan.[303] Pengalaman itu diperoleh dalam pembelajaran kurikulum, lingkungan sekolah, merumuskan ide-ide dan merumuskan kebenaran yang diterapkan dalam kehidupannya sehari-hari.  Penerapan pengalaman itulah proses kreatif yang terjadi dalam pembelajaran.[304]
Ketiga, adalah konsep pembelajaran dimulai dari ketertarikan anak didik terhadap sesuatu yang hendak dibelajarkannya. Sifat belajar adalah melakukan perubahan tingkahlaku sesuai dengan tujuan yang sudah ditentukan oleh anak didik. Belajar merupakan proses perubahan untuk mencapai tujuan yang dimaksud atau yang sudah direncanakan oleh anak didik.[305]

Pendekatan Pengalaman terhadap Persoalan Pendidikan

Pendekatan-pendekatan Pengalaman
Pendekatan-pendekatan  pengalaman dapat menolong berbagai persoalan pendidikan yang sering dihadapinya oleh kelompok-kelompok pluralism, growth, dan the use of intelligence. Pendekatan pengalaman dapat dilakukan dengan beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, adalah meletakan konsep perubahan arti dan akhir dari pendidikan. Pendekatan pengalaman harus dapat melakukan perubahan dengan leluasa, tanpa diberi beban rintangan di dalamnya.
Kedua, adalah demokrasi pendidikan membuat pendidik tidak memandang anak didik adalah mempunyai posisi apa, sehingga pluralisme akan dapat bertumbuh bersama dengan pengalaman-pengalaman yang dimiliki setiap pembelajaran. Karena demokrasi pendidkan mengasumsikan bahwa semua laki-laki maupun semua perempuan adalah anak didik. Ernest E. Bayles mendefinisikan demokrasi adalah:  “equality of opportunity on the part of the members to participate in he establishment of whatever rules and regulations (or law) are deemed needful, and equality of obligation to abide by them until they are abolished or changed.”[306] 

Obyek demokrasi perlunya fokus terhadap: belajar berpikir, merefleksikan pemikiran diri sendiri,   merefleksikan pengajaran, dan mencari solusi terhadap berbagai masalah yang dihadapi.
Ketiga, memberi pemahaman arti bahwa pendidikan liberal yang dianut oleh pragmatisme adalah menolong anak didik berpikir bebas (terbuka), bukan berpikir dengan rasa takut karena ketidakcocokan pamahaman dengan pendidiknya atau lingkungannya. Di sini ada toleransi proses belajar-mengajar yang cukup tinggi antara pendidik dengan anak didik sehingga terjadi proses kreatifitas berpikir yang meluas dan tajam.[307]   

Kriteria Pengalaman
Dewey menekankan kriteria pengalaman sebagai berikut:[308] pertama, adalah kategori kesinambungan atau rangkaian kesinambungan pengalaman (experinal continuum). Prinsip ini dilibatkan karena ada usaha untuk memisahkan antara pengalaman yang secara edukatif bermanfaat dan yang tidak bermanfaat.  Prinsip ini bersandar pada fakta kebiasaan jika kebiasaan ditafsirkan secara biologis. Ciri dasar kebiasaan adalah setiap pengalaman yang dimainkan dan dialami mengubah orang yang bertindak dan mengalaminya, sedangkan perubahan itu mempengaruhi, entah seseorang inginkan atau tidak, kualitas pengalaman berikutnya. Prinsip ini membentukan sikap yang emosional dan intelektual.
Kedua, adalah  interaksi merupakan prinsip utama untuk menafsirkan pengalaman dalam fungsi dan daya pendidikan. Ia menetapkan hak-hak yang sama kepada kedua faktor dalam pengalaman – kondisi obyektif dan internal.  Pengalaman yang normal apa pun merupakan saling pengaruh dari kedua perangkat kondisi ini. Jika keduanya didekatkan, atau berada dalam interaski, keduanya membentuk apa yang dinamakan “situasi”. Interaksi sedang terjadi antara individu, benda, dan orang lain. Konsepsi tentang situasi dan interaksi tidak terjadi antara individu dan apa yang pada waktu itu merupakan lingkungan, apakah lingkungan itu terdiri atas orang dengan siapa dia sedang membicarakan topik atau kejadian tertentu.
Dua prinsip kontinuitas dan interaksi satu sama lain tidak terpisahkan. Boleh dikatakan bahwa mereka merupakan obyek pengalaman yang bersifat vertikal dan horizontal. Prinsip interaksi menjelaskan bahwa kegagalannya menyesuaikan materi dengan kebutuhan dan kapasitas individu dapat menyebabkan pengalaman menjadi sungguh tidak mendidik sebagaimana gagalnya individu beradaptasi dengan materi. Namun prinsip kontinuitas dalam aplikasi pendidikan mengandung arti bahwa masa depan harus diperhitungkan pada setiap tingkat proses pendidikan.



Filsafat Pendidikan Eksistensialisme

Eksistensialisme,  aliran filsafat yang  muncul pada abad XX adalah pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.
Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar dalam filsafat, khususnya tradisi filsafat Barat. Eksistensialisme mempersoalkan keber-Ada-an manusia, dan keber-Ada-an itu dihadirkan lewat kebebasan. Pertanyaan utama yang berhubungan dengan eksistensialisme adalah melulu soal kebebasan. Apakah kebebasan itu? Bagaimanakah manusia yang bebas itu? dan sesuai dengan doktrin utamanya yaitu kebebasan, eksistensialisme menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap kebebasan kecuali kebebasan itu sendiri.
Berkaitan di atas, maka Jean-Paul Sartre, yang terkenal dengan diktumnya "human is condemned to be free" mengatakan bahwa manusia dikutuk untuk bebas, maka dengan kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Pertanyaan yang paling sering muncul sebagai derivasi kebebasan eksistensialis adalah:  sejauh mana kebebasan tersebut bebas?  Apakah eksistensialisme mengenal "kebebasan yang bertanggung jawab"? Bagi eksistensialis, ketika kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia, maka batasan dari kebebasan dari setiap individu adalah kebebasan individu lain.  Tetapi bukan melulu harus menjadi seorang yang lain-daripada-yang-lain,  Eksistensialis sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada diluar kendali manusia, tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah inti dari eksistensialisme. Sebagai contoh: seseorang akan terjun ke berbagai profesi seperti: dokter, desainer, insinyur, pebisnis dan sebagainya, tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme adalah:  apakah kita menjadi dokter atas keinginan orang tua, atau keinginan sendiri.

Tokoh-tokoh Existentialism:[309]
Soren Kierkegaard (1813-1855)
Martin Buber (1878-1965)
Martin Heidegger (1889-1976)
Jean-Paul Sartre (1905-1980)

Existentialism in Modern Life:
Edmud Husserl (1859-1938)
Maurice Merleau-Ponty (1908-1961)


Pokok Pemasalahan
1.      Apa filsafat eksistensialisme itu?
2.      Bagaimana ciri-cirinya?
3.      Apa saja konsep-konsep yang ditawarkan filsafat eksistensialisme?
4.      Siapa saja tokoh-tokohnya?
5.      Bagaimana implikasinya terhadap pendidikan?

Ciri- ciri Eksistensialisme
Meskipun terdapat perbedaan-perbedan yang besar antara para pengikut aliran ini, tetapi ada  tema-tema yang sama sebagai ciri khas aliran Eksistensialisme sebagai berikut:

1.      Eksistensialisme adalah pemberontakan dan protes terhadap rasionalisme dan masyarakat modern, khususnya terhadap idealisme Hegel.
2.      Eksistensialisme adalah suatu proses atas nama individualis terhadap konsep-konsep, filsafat akademis yang jauh dari kehidupan konkrit.
3.      Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang impersonal (tanpa kepribadian) dari zaman industri modern dan teknologi, serta gerakan massa.
4.      Eksistensialisme merupakan protes terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan fasis, komunis, yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan perorangan di dalam kolektif atau massa.
5.      Eksistensialisme menekankan situasi manusia dan prospek (harapan) manusia di dunia.
6.      Eksistensialisme menekankan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi, pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung.


Konsep-konsep Filsafat Eksistensialisme
Realitas    
Eksistensialisme merupakan filsafat yang memandang segala gejala berpangkal pada eksistensi. Eksistensi adalah cara manusia berada di dunia. Cara berada manusia berbeda dengan cara beradanya benda-benda materi. Keberadaan benda-benda materi berdasarkan ketidaksadaran akan dirinya sendiri, dan juga tidak terdapat komuikasianatara satu dengan yang lainnya. Tidak demikian halnya dengan beradanya manusia. Manusia berada bersama dengan manusia lainnya sama sederajat.. benda-benda materi akan bermakna karena manusia.
Eksistensialisme berasal dari pemikiran Soren Kierkegaard. Inti masalah yang menjadi pemikiran eksistensialisme adalah sekitar adalah: Apa kehidupan manusia? Apa pemecahan yang konkret terhadap persoalan makna “eksis“ (berada)?
Bagi ekistensialisme, benda-benda materi, alam fisik, dunia yang berada di luar manusia tidak akan bermakna atau tidak memiliki tujuan apa-apa kalau terpisah dengan manusia. Jadi dunia ini bermakna karena manusia. Eksistensialisme mengakui bahwa apa yang dihasilkan sains cukup asli, tetapi  tidak memiliki makna kemanusian secara langsung.
Di antara pandangan eksistensialisme  sebagai berikut: (a) Motif pokok dari flsafat eksistensialisme adalah apa yang disebut ‘eksistensi’, yaitu cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Pusat perhatian ini ada pada manusia. Oleh karena itu, bersifat humanistis. (b) Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan didinya secara aktif, berbuat, menjadi, dan merencanakan. (c) Manusia dipandang sebagai makhluk terbuka, realitas yang belum selesai, yang masih dalam proses menjadi. Pada hakikatnya manusia teriakat pada dunia sekitarnya, terlebih lagi terhadap sesama manusia. Eksistensialisme memberi tekanan pada pengalaman yang konkrit, pengalaman yang eksistensial.

Pengetahuan
Teori pengetahuan eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi, suatu pandanga yang menggambarkan penampakan benda-benda dan peristiwa-peristiwa sebagaimana benda-benda tersebut menampakkan dirinya terhadap kesadaran manusia. Pengetahuan manusia tregantung pada interpretasi manusia terhadap realitas.
Pengetahuan yang diberikan di sekolah bukan sebagai alat untuk memperoleh pekerjaan atau karir anak, melainkan untuk dapat dijadikan alat untuk merealisasikan diri, bukan merupakan suatu disipilin yang kaku di mana anak harus patuh dan tunduk terhadap isi pelajaran tersebut. Biarkanlah pribadi anak berkembang untuk menemukan kebenaran-kebenaran dalam kebenaran.

Nilai
Pemahaman eksistensialisme terhadap nilai, menekankan kebebasan dalam tindakan. Kebebasan bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya sendiri, melainkan merupakan suatu potensi untuk suatu tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, tetapi  menentukan pilihan-pilihan di antara pilihan-pilihan yang terbaik adalah yang paling sukar. Berbuat akan menghasilkan akibat, di mana seseorang harus menerima akibat-akibat tersebut sebagai pilihannya. Kebebasan tidak pernah selesai, karena setiap akibat akan melahirkan kebutuhan untuk pilihan berikutnya. Tindakan moral mungkin dilakukan untuk moral itu sendiri, dan mungkin juga untuk suatu tujuan. Apabila seseorang mengambil tujuan kelompok atau masyarakat, maka ia harus menjadikan tujuan-tujuan tersebut:  sebagai miliknya, sebagai tujuannya sendiri, yang harus ia capai dalam setiap situasi. Jadi, tujuan diperoh dalam situasi.





Pemikiran Ringkas Tokoh Eksistensialisme
Adapun pemikiran ringkas para tokoh aliran filsafat eksistensialisme sebagai berikut:

1.      Soren Aabye Kiekeegaard: Inti pemikirannya adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap kemungkinan.
2.      Friedrich Nietzsche: Menurutnya, manusia yang berkesistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia super (uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.
3.      Karl Jaspers: Memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri. Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan semua pengetahuan obyektif serta mengatasi pengetahuan obyektif itu, sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri. Ada dua fokus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi dan transendensi.
4.      Martin Heidegger: Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan benda-benda yang ada diluar manusia baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia karena itu benda-benda yang berada diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap tindakan dan tujuan mereka.
5.      Jean Paul Sartre: Menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah diciptakan mempunyai kebebasan untuk menentukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri.

Eksistensialisme dalam Pendidikan

Dalam Konteks Relative
1.      Secara relative,  eksistensialisme tidak begitu dikenal dalam dunia pendidikan, tidak menampakkan pengaruh yang besar pada sekolah. Sebaliknya, penganut eksistensialisme kebingungan dengan apa yang akan mereka temukan melalui pembangunan pendidikan. Mereka menilai bahwa tidak ada yang disebut pendidikan, tetapi bentuk propaganda untuk memikat orang lain.
2.      Mereka menunjukkan bahwa bagaimana pendidikan memunculkan bahaya yang nyata. Sejak penyiapan murid sebagai konsumen atau menjadikan mereka penggerak mesin pada teknologi industri dan birokrasi modern. Malahan sebaliknya pendidikan tidak membantu membentuk kepribadian dan kreativitas, sehingga para eksistensialis mengatakan, sebagian besar sekolah  melemahkan dan mengganggu atribut-atribut esensi kemanusiaan.
3.      Mereka mengkritik kecenderungan masyarakat masa kini dan praktik pendidikan bahwa ada pembatasan realisasi diri karena ada tekanan sosio-ekonomi yang membuat persekolahan hanya menjadi pembelajaran peran tertentu.
4.      Sekolah menentukan peran untuk kesuksesan ekonomi seperti: memperoleh pekerjaan dengan gaji yang tinggi dan menaiki tangga menuju ke kalangan ekonomi kelas atas; sekolah juga menentukan tujuan untuk menjadi warga negara yang baik, juga menentukan apa yang menjadi kesuksesan sosial di masyarakat. Siswa diharapkan untuk belajar peran-peran ini dan berperan dengan baik pula. Dalam keadaan yang demikian, kesempatan bagi pilihan untuk merealisasikan diri secara asli  dan autentik menjadi hilang atau sangat berkurang.

Dalam Konteks Filosofis
Secara filosofis, hal tersebut merupakan pemberontakan terhadap cara hidup individu dalam budaya populer. Harapan kaum eksistensialis,  individu menjadi pusat dari upaya pendidikan. Maka, sebagaimana dikatakan oleh Van Cleve Morris bahwa penganut eksestensialis dalam pendidikan lebih fokus untuk membantu secara individual dalam merealisasikan diri secara penuh melalui beberapa pernyataan berikut:

1.      Saya sebagai wakil dari kehendak, tidak sanggup menghindar dari kehendak hidup yang telah ada.
2.      Saya sebagai wakil yang bebas, bebas mutlak dalam menentukan tujuan hidup.
3.      Saya wakil yang bertanggung jawab, pribadi yang terukur untuk memilih secara bebas yang tampak pada cara saya menjalani hidup.

Dalam Konteks Psikologi
Dalam konteks psikologi pendidikan menekankan keuntungan dari “diri sendiri” (self) sebagai berikut:

1.      I am a choosing agent, unable to avoid choosing my way through life.
2.      I am a free agent, absolutely free to set the goals of my own life.
3.      I am a responsible agent, personally accountable for my free choices as they are revealed in how I live my life.[310]

Dalam konteks inilah, maka guru menciptakan suasana belajar bukan hanya di kelas saja tetapi juga dibawa ke rumah di mana secara individu murid terus menerus belajar untuk mengembangkan dirinya sendiri (self) di mana ia berada.

Dalam Konteks Pendidikan
Beberapa implikasi filsafat pendidikan eksistensialisme menurut Power:

1.      Tujuan pendidikan: Memberi bekal pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua bentuk kehidupan.
2.      Status siswa: Makhluk rasional dengan pilihan bebas dan bertanggung jwab atas pilihannya.
3.      Kurikulum: Yang diutamakan adalah kurikulum liberal. Kurikulum liberal merupakan landasan bagi kebebasan manusia. Oleh karena itu di sekolah-sekolah diajarkan pendidiakan sosial, untuk mengajar respek (rasa hormat) terhadap kebebasan untuk semua. Respek kebebasan bagi yang lain adalah esensial. Kebebasan dapat menimbulkan konflik.
4.      Peranan Guru: Melindungi dan memelihara kebebasan akademik, di mana guru pada hari ini, besok lusa mungkin menjadi murid.
5.      Metode: Tidak ada pemikiran yang mendalam tentang metode, tetapi metode apapun yang dipakai harus merujuk pada cara untuk mencapai kebahagiaan.

Filsafat Pendidikan Progresivisme

Progresivisme yang lahir sekitar abad ke-20 merupakan filsafat yang bermuara pada aliran filsafat pragmatisme yang diperkenalkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1859- 1952), yang menitikberatkan pada segi manfaat bagi hidup praktis.

Prinsip Progressivisme
Progressivisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi masalah yang menekan atau mengecam adanya manusia itu sendiri. Prinsip Progressivisme mengakui dan berusaha mengembangakan asas Progressivisme dalam semua realitas, terutama dalam kehidupan adalah tetap survive terhadap semua tantangan hidup manusia dan harus praktis dalam melihat segala sesuatu dari segi keagungannya. Berhubungan dengan itu progressivisme kurang menyetujui adanya pendidikan yang bercorak otoriter, baik yang timbul pada zaman dahulu maupun pada zaman sekarang.
Pendidikan yang bercorak otoriter ini dapat diperkirakan mempunyai kesulitan untuk mencapai tujuan, karena kurang menghargai dan memberikan tempat semestinya kepada kemampuan-kemampuan tersebut dalam proses pendidikan. Pada hal semuanya itu ibaratkan motor penggerak manusia dalam usahanya untuk mengalami kemajuan atau progress. Oleh karena itu kemajuan atau progress ini menjadi inti perhatian progressivisme, maka  beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan dipandang oleh progresivisme merupakan bagian-bagian utama dari kebudayaan.

1.      Progresivisme dinamakan instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, kesejahteraan, mengembangkan kepribadian manusia.
2.      Dinamakan eksperimentalisme, karena aliran tersebut menyadari dan mempraktekkan asas eksperimen yang merupakan untuk menguji kebenaran suatu teori.
3.      Dinamakan environmetalisme karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu mempengaruhi pembinaan kepribadian.

Dipengaruhi Filsafat Pragmatisme
Filsafat progressivisme dipengaruhi oleh ide-ide dasar filsafat pragmatisme di mana telah memberikan konsep dasar dengan azas yang utama, yaitu:  manusia dalam hidupnya untuk tetap survive terhadap semua tantangan dan  harus pragmatis memandang sesuatu dari segi manfaatnya. Di sini kita bisa menganggap bahwa filsafat progressivisme merupakan The Liberal Road of Culture (kebebasan mutlak menuju kearah kebudayaan) maksudnya nilai-nilai yang dianut adalah:

1.      bersifat fleksibel terhadap perubahan,
2.      toleran
3.      terbuka sehingga menuntut untuk selalu maju bertindak secara konstruktif,
4.      inovatif dan reformatif,
5.      aktif
6.      dinamis

Untuk mencapai perubahan tersebut manusia harus memiliki pandangan hidup yang bertumpu pada sifat-sifat: fleksibel, curious (ingin mengetahui dan menyelidiki), toleran dan open minded.

Meletakkan Dasar Pendidikan
Filsafat progressivisme telah memberikan kontribusi yang besar di dunia pendidikan, di mana telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada peserta didik. Anak didik diberikan kebebasan secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangakan bakat, kreatifitas dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain. Berdasarkan pandangan di atas maka sangat jelas sekali bahwa filsafat progressivisme bermaksud menjadikan anak didik yang memiliki kualitas dan terus maju sebagai generasi yang akan menjawab tantangan zaman peradaban baru.


Pembahasan
Ontologi
Sifat utama dari pragmatisme mengenai realita. John Dewey, dalam bukunya Creative Intelligence, mengatakan:  “….. dengan tepat bahwa tiada teori realita yang umum.” Di antara kaum pragmatis – jadi progresivis – John Dewey mempunyai pandangan yang ekstrim, sebab tokoh-tokoh lain tidaklah demikian. Mereka mengatakan bahwa metafisika itu ada, karena pragmatisme mempunyai konsep tentang eksistensi. Misalnya, dari sudut eksistensi alam bukanlah diartikan sebagai pengertian yang substansial, melainkan diartikan atau dipandang dari sudut prosesnya.
Uraian di atas menunjukkan bahwa ontologi progresivisme mengandung pengertian dan kualitas evolusionistis yang kuat. Pengalaman diartikan sebagai ciri dinamika hidup, dan hidup adalah perjuangan, tindakan dan perbuatan. Manusia akan tetap hidup berkembang, jika ia mampu mengatasi perjuangan, perubahan dan berani bertindak. Dengan demikian, maka jelaslah, bahwa selain kemajuan atau progress, lingkungan dan pengalaman mendapatkan perhatian yang cukup dari progresivisme. Sehubungan dengan ini, menurut progresivisme, ide-ide, teori-teori atau cita-cita tidaklah cukup diakui sebagai hal-hal yang ada, tetapi yang ada ini haruslah dicari artinya bagi suatu kemajuan atau maksud-maksud yang lainnya. di samping itu manusia harus dapat memfungsikan jiwanya untuk membina hidup yang mempunyai banyak persoalan dan yang silih berganti.  
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti: ThalesPlato, dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan orang belum membedakan antara penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri.

Epistimologi
Epistemologi (Teori Pengetahuan), dari bahasa Yunani episteme  artinya “pengetahuan”  dan logos (kata; pembicaraan; ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, dan jenis pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang filsafat, misalnya: tentang apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya,  hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan. Epistomologi atau Teori Pengetahuan berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya dan pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, di antaranya:  metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis.
Tinjauan mengenai realita di atas memberikan petunjuk pragmatisme lebih mengutamakan pembahasan mengenai epistemologi daripada metafisika. Misal yang jelas adalah tinjauan mengenai kecerdasan dan pengalaman – yang keduanya tidak dapat dilepaskan satu sama lain – agar dapat dimengerti arti masing-masing itu. 
Pengetahuan yang merupakan hasil dari aktivitas tertentu diperoleh manusia baik secara langsung melalui pengalam dan kontak dengan segala realita dalam lingkungan hidupnya, ataupun pengetahuan yang diperoleh melalui catata-catatan – buku-buku, kepustakaan.
Selanjutnya bahwa untuk mengetahui teori pengetahuan yang dimaksud, perlu kiranya menunjau istilah-istilah dan arti seperti induktif, rasional dan empirik. Induktif merupakan usaha untuk memperoleh pengetahuan dengan mengambil data khusus terlebih dahulu dan diikuti dengan penarikan kesimpulan secara umum. Deduktif adalah sebaliknya, artinya dengan pengetahuan yang diperoleh dengan berlandaskan ketentuan umum yang berupa postulat –postulat dan spekulatif.
Dalam epistemologi, rasional berarti suatu pandangan bahwa akal adalah instrument utama bagi manusia untuk memperoleh pengetahuan. Empirik adalah sifat pandangan bahwa persepsi indera adalah media yang memberikan jalan bagi manusia untuk memahami lingkungan. Fakta yang masih murni saja – yang belum diolah atau disusun – belum merupakan pengetahuan. Sehingga masih membutuhkan pengorganisasian tertentu dari “bahan-bahan mentah” tersebut. Selanjutnya bahwa pengetahuan harus disesuaikan dan dimodifikasi dengan realita baru di dalam lingkungan. Oleh sebab adanya prisip-prinsip epistemologi tersebut di atas, progresivisme mengadakan pembedaan anatara pengetahuan dan kebenaran. Pengetahuan adalah kumpulan kesan-kesan dan penerangan yang terhimpun dari pengalaman yang siap untuk digunakan. Sedangkan kebenaran ialah hasil tertentu dari usaha untuk mengetahui, memiliki dan mengarahkan beberapa segmen pengetahuan agar dapat menumbuhkan petunjuk atau penyelesaian pada situasi tertentu yang mungkin keadaannya kacau.
Dalam hubungan ini kecerdasan merupakan faktor utama yang mempunyai kedudukan sentral. Kecerdasan adalah faktor yang dapat mempertahankan adanya hubungan anatara manusia dengan lingkungan, baik yang berwujud lingkungan fisik, maupun kebudayaan atau manusia. Sementara kaum realis modern, pragmatis, empirisis logis, atau naturalis mengambil tesis falibilistik bahwa pengetahuan adalah bersifat kontingen dari perubahan serta kebenaran bersifat relatif sesuai dengan kondisinya. Dari sini, epistemologi adalah bidang tugas filsafat yang mencakup identifikasi dan pengujian kriteria pengetahuan dan kebenaran. Pernyataan kategoris yang menyebutkan bahwa “ini kita tahu” atau “ini adalah kebenaran” merupakan pernyataan-pernyataan yang penuh dengan makna bagi para pendidik karena sedikit banyak hal tersebut bertaut dengan tujuan pendidikan yang mencakup pencarian pengetahuan dan perburuan kebenaran.


Axiologi
Aksiologi berasal dari kata “axios” dan “logos”. Axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, logos artinya akal, teori. Axiology artinya “teori nilai, penyelidikan tentang kodrat, kriteria dan status metafisik dari nilai”. Nilai tidak timbul dengan sendirinya, melainkan ada faktor-faktor yang merupakan pra syarat. Nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa, sehingga memungkinkan adanya relevansi seperti yang ada dalam masyarakat pergaulan. Oleh karena adanya faktor-faktor yang menentukan adanya nilai, maka makna nilai itu tidaklah bersifat eksklusif. Ini berarti berbagai jenis nilai seperti benar atau salah, baik atau buruk dapat dikatakan ada bila menunjukkan adanya kecocokan dengan hasil pengujian yang dialami manusia dalam pergaulan.
Berdasarkan pandangan di atas, progresivisme tidak mengadalkan pembedaan tegas antara nilai instrinsik dan nilai instrumental. Dua jenis nilai ini saling bergantung satu sama lain seperti juga halnya pengetahuna dan kebenaran. Misalnya bila dikatakan bahwa kesehatan itu selalu bernilai baik tidaklah semata-mata suatu ilustrasi tentang nilai instrinsik. Nilai kesehatan akan dihayati oleh manusia dengan lebih nyata bila dihubungkan dengan segi-segi yang bersifat operasional; bahwa kesehatan yang baik akan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat.
Hubungan timbal balik dua sifat nilai instrinsik dan instrumental ini – menyebabkan adanya sifat perkembangan dan perubahan pada nilai. Nilai-nilai yang sudah tersimpan sebagai bagian dari kebudayaan itu ditampilkan sebagai bagian dari pengalaman, sedang individu-individu mampu untuk mengadakan tinjauan dan penentuan mengenai standar sosial tertentu. Karena itu nilai merupakan bagian integral dari pengalaman dan bersifat relative, temporal dan dinamis. Maka sifat perkembangannya berdasarkan pada dua hal; untuk diri sendiri dalam arti kebaikan instrinsik dan untuk lingkungan yang lebih luas dalam arti kebaikan instrumental.
Aksiologi bisa disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik (what is good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep semacam “seharusnya” atau “sepatutnya” (ought / should). Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.
Terdapat dua kategori dasar aksiologis adalah: (1) objectivism dan (2) subjectivism. Keduanya beranjak dari pertanyaan yang sama: apakah nilai itu bersifat bergantung atau tidak bergantung pada manusia (dependent upon or independent of mankind)? Dari sini muncul empat pendekatan etika adalah: dua yang pertama beraliran obyektivis dan  dua berikutnya beraliran subyektivis.




Filsafat Pendidikan Perenialisme

 

            Filsafat ini didukung oleh Idealism. Perenialisme berpendirian bahwa untuk  mengembalikan keadaan yang kacau seperti sekarang ini, jalan yang harus ditempuh adalah  kembali pada prinsip-prinsip umum yang telah teruji. Menurut prealisme, kenyataan yang kita hadapi adalah dunia dengan segala isinya.
Perenialisme berpandangan bahwa persoalan nilai adalah masalah persoalan spiritual, sebab hakikat manusia adalah pada jiwanya. Sesuatu yang dinilai indah haruslah dapat dipandang baik. Menurut Idealisme ini nilai akan menjadi kenyataan (ada) atau disadari oleh setiap orang apabila orang yang bersangkutan berusaha mengetahui atau menyesuaikan diri dengan sesuatu yang menunjukan nilai kepadanya.
Selain orang tersebut mempunyai pengalaman emosional yang berupa pemahaman dan perasaan senang tidak senang mengenai nilai tersebut.
            Beberapa pandangan tokoh Perenialisme terhadap pendidikan  sebagai berikut:
1.      Program pendidikan yang ideal harus didasarkan atas paham adanya nafsu, kemauan dan akal (Plato)
2.      Perkembangan budi merupakan titik pusat perhatian pendidikan dengan filsafat sebagai alat untuk mencapainya (Aristoteles)
3.      Pendidikan menuntun kemampuan-kemampuan yang masih tidur agar menjadi aktif dan nyata (Thomas Aquinas)

Norma fundamental pendidikan adalah cinta kebenaran, cinta kebaikan dan keadilan, kesederhanaan dan sifat terbuka terhadap eksistensi serta cinta kerjasama

Tempat Asal Aliran Perenialisme Dikembangkan
Di zaman kehidupan modern ini banyak menimbulkan krisis di berbagai bidang kehidupan manusia, terutama dalam bidang pendidikan. Untuk mengembalikan keadaan krisis ini, maka perenialisme memberikan jalan keluur yaitu:  berupa kembali kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan teruji ketangguhannya. Untuk itulah pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya kepada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. Jelaslah bila dikatakan bahwa pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kepada masa lampau. Karena dengan mengembalikan keapaan masa lampau ini, maka kebudayaan yang dianggap krisis ini dapat teratasi melalui perenialisme. Dengan demikian maka ia dapat mengarahkan pusat perhatiannya pada pendidikan zaman dahulu dengan sekarang. Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun praktek bagi kebudayaan dan pendidikan zaman sekarang.
Dari pendapat ini sangatlah tepat jika dikatakan bahwa perenialisme mcmandang pendidikan itu sebagai jalan kembali, yaitu: sebagai suatu proses mengembalikan kebudayaan sekarang (zaman modern) in terutama pendidikan zaman sekarang ini perlu dikembalikan ke masa lampau.
Perenialisme merupakan aliran filsafat yang susunannya mempunyai kesatuan, di mana susunannya itu merupakan hasil pikiran yang memberikan kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap yang tegas dan lurus. Karena itulah perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan arah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat khususnya filsafat pendidikan.  Setelah perenialisme menjadi terdesak karena perkembangan politik industri yang cukup berat timbulah usaha untuk bangkit kembali. Di sini bahwa perenialisme berharap agar manusia kini dapat memahami ide dan cita filsafatnya yang menganggap filsafat sebagai suatu azas yang komprehensif.  Perenialisme dalam makna filsafat sebagai satu pandangan hidup yang bcrdasarkan pada sumber kebudayaan dan hasil-hasilnya.


Tokoh-tokoh Perenialisme
Aristoteles: Pendiri Perenialisme adalah Aristoteles. Kemudian ia didukung dan dilanjutkan oleh St. Thomas Aquinas sebagai pemburu dan reformer utama dalam abad ke-13. Ia memandang bahwa kepercayaan-kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar penyusunan konsep filsafat dan pendidikan zaman sekarang. Sikap ini bukanlah nostalgia (rindu akan hal-hal yang sudah lampau semata-mata) tetapi telah berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan-kepercayaan tersebut berguna bagi abad sekarang. Jadi sikap untuk kembali ke masa lampau itu merupakan konsep bagi perenialisme di mana pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali ke masa lampau dengan berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan itu berguna bagi abad sekarang ini.
Plato: Asas-asas filsafat perenialisme bersumber pada filsafat dan  kebudayaan yang mempunyai dua sayap, yaitu:  (1)  perenialisme yang teologis yang ada dalam pengayoman supermasi gereja Katholik, khususnya menurut ajaran dan interpretasi Thomas Aquinas. (2) Perenialisme sekular yakni yang berpegang kepada ide dan cita filosofis Plato dan Aristoteles.
Pendapat di atas sejalan Aristoteles sebagai mengembangkan philosophia perenis, yang sejauh mana seseorang dapat menelusuri jalan pemikiran manusia itu sendiri. ST. Thomas Aquinas telah mengadakan beberapa perubahan sesuai dengan tuntunan agama Kristen tatkala agama itu datang. Kemudian lahir apa yang dikenal dengan nama Neo-Thomisme. Tatkala Neo-Thomisme masih dalam bentuk awam maupun dalam paham gerejawi sampai ke tingkat kebijaksanaan, maka ia terkenal dengan nama perenialisme.

Pandangan-pandangan Thomas Aquinas di atas berpengaruh besar dalam lingkungan gereja Katholik. Demikian pula pandangan-pandangan aksiomatis lain seperti yang diutarakan oleh Plato dan Aristoteles. Lain dari itu juga semuanya mendasari konsep filsafat pendidikan perenialisme.
Neo-Scholastisisme atau Neo-Thomisme ini berusaha untuk menyesuaikan ajaran-ajaran Thomas Aquinas dengan tuntutan abad ke dua puluh. Misalnya mengenai perkembangan ilmu pengetahuan cukup dimengerti dan disadari adanya. Namun semua yang bersendikan empirik dan eksprimentasi hanya dipandang sebagai pengetahuan yang fenomenal, maka metafisika mempunyai kedudukan yang lebih penting. Mengenai manusia di kemukakan bahwa hakikat pengertiannya adalah di tekankan pada sifat spiritualnya. Simbol dari sifat ini terletak pada peranan akal yang karenanya, manusia dapat mengerti dan memaham’i kebenaran-kebenaran yang fenomenal maupun yang bersendikan religi. Jadi aliran perenialisme dipakai untuk program pendidikan yang didasarkan atas pokok-pokok aliran Aristoteles dan S.T Thomas Aquinas. Tokoh-tokoh yang mengembangkan ini timbul dari lingkungan agama Katholik atau diluarnya.

Pandangan Perenialisme
Ilmu pengetahuan merupakan filsafat yang tertinggi menurut perenialisme, karena dengan ilmu pengetahuanlah seseorang dapat berpikir secara induktif yang bersifat analisa. Jadi dengan berpikir maka kebenaran itu akan dapat dihasilkan melalui akal pikiran. Menurut epistemologi Thomisme sebagian besarnya berpusat pada pengolahan tenaga logika pada pikiran manusia. Apabila pikiran itu bermula dalam keadaan potensialitas, maka dia dapat dipergunakan untuk menampilkan tenaganya secara penuh.
Jadi epistemologi dari perenialisme, harus memiliki pengetahuan tentang pengertian dari kebenaran yang sesuai dengan realita hakiki. Hal tersebut dibuktikan dengan kebenaran yang ada pada diri sendiri dengan menggunakan tenaga pada logika melalui hukum berpikir metode dedduksi. Pembuktian itu merupakan metode filsafat yang menghasilkan kebenaran hakiki. Tujuan dari epistemologi perenialisme dalam premis mayor dan metode induktifnya sesuai dengan ontologi tentang realita khusus.

Penerapannya di Bidang Pendidikan
Anak didik yang diharapkan menurut perenialisme adalah mampu mengenal dan mengembangkan karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental. Karya-karya ini merupakan buah pikiran tokoh-tokoh besar pada masa lampau. Berbagai buah pikiran mereka yang oleh zaman telah dicatat menonjol dalam bidang-bidang seperti bahasa dan sastra, sejarah, filsafat, politik, ekonomi, matematika, ilmu pengetahuan alam dan lain-lainnya, telah banyak yang mampu memberikan ilmunisasi zaman yang sudah lampau.
Dengan mengetahui tulisan yang berupa pikiran dari para ahli yang terkenal tersebut, yang sesuai dengan bidangnya maka anak didik akan mempunyai dua keuntungan yakni:

1.      Anak-anak akan mengetahui apa yang terjadi pada masa lamp au yang telah dipikirkan oleh orang-orang besar.
2.      Mereka memikirkan peristiwa-peristiwa penting dan karya­karya tokoi1 terse but untuk diri sendiri dan sebagai bahan pertimbangan (reverensi) zaman sekarang.

Jelaslah bahwa dengan mengetahui dan mengembangkan pemikiran karya-karya buah pikiran para ahli tersebut pada masa lampau, maka: (1) anak-anak didik dapat mengetahui bagaimana pemikiran para ahli terse­but dalam bidangnya masing-masing. (2) dapat mengetahui bagaimana peristiwa pada masa lampau tersebut sehingga dapat berguna bagi diri mereka sendiri. (3)  sebagai bahan pertimbangan pemikiran mereka pada zaman sekarang ini. Hal inilah yang sesuai dengan aliran filsafat pereni­alisme tersebut.
Tugas utama pendidikan adalah mempersiapkan anak didik ke arah kemasakan. Masak dalam arti hidup akalnya. ladi akal inilah yang perlu mendapat tuntunan ke arah kemasakan tersebut. Sekolah rendah memberikan pendidikan dan pengetahuan serba dasar. Dengan pengetahuan yang tradisional seperti membaca, menulis dan berhitung anak didik memperoleh dasar penting bagi pengetahuan-pengetahuan yang lain.
Sekolah sebagai tempat utama dalam pendidikan yang mempersiapkan anak didik ke arah kemasakan melalui akalnya dengan memberikan pengetahuan. Sedangkan sebagai tugas utama dalam pendidikan adalah guru-guru, di mana tug as pendidikanlah yang memberikan pendidikan dan pengajaran (pengetahuan) kepada anak didik. Faktor keberhasilan anak dalam akalnya sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang yang telah mendidik dan mengajarkan.
Adapun mengenai hakikat pendidikan tinggi ini, Robert Hutchkins mengutarakan lebih lanjut, bahwa kalau pada abad pertengahan filsafat teologis, sekarang seharusnya bersendikan filsafat metafisika. Filsafat ini pada dasarnya adalah cinta intelektual dari Tuhan. Di samping itu, dikatakan pula bahwa karena kedudukan sendi-sendi tersebut penting maka perguruan tinggi tidak seyogyanya bersifat utilistis.
Dari ungkapan yang diutarakan oleh Robert Hutchkins di atas mengenai hakikat pendidikan tinggi itu, jelaslah bahwa pendidikan tinggi sekarang ini hendaklah berdasarkan pada filsafat metafisika yaitu filsafat yang berdasarkan cinta intelektual dari Tuhan. Kemudian Robert Hutchkins mengatakan bahwa oleh karena manusia itu pada hakikatnya sama, maka perlulah dikembangkan pendidikan yang sama bagi semua orang, ini disebut pendidikan umum (general education). Melalui kurikulum yang satu serta proses belajar yang mungkin perlu disesuaikan dengan sifat tiap individu, diharapkan tiap individu itl! terbentuk atas dasar landasan kejiwaan yang sama.

Pandangan secara Ontologi
Ontologi perenialisme terdiri dari pengertian-pengertian seperti: benda individuIl, esensi, aksiden dan substansi. Perenialisme membedakan suatu realita dalam aspek-aspek perwujudannya menurut istilah ini. Benda individual di sini adalah benda sebagaimana nampak diha­dapan manusia dan yang ditangkap dengan panca indera seperti:  batu, lembu, rumput, orang dalam bentuk, ukuran, warna dan aktifitas tertentu. Misalnya bila manusia ditinjau dari esensinya adalah makhluk berpikir. Adapun aksiden adalah keadaan-keadaan khusus yang dapat berubah-ubah dan yang sifatnya kurang penting dibandingkan dengan esensial, misalnya: orang suka bermain sepatu roda, atau suka berpakaian bagus, sedangkan substansi adalah kesatuan dari tiap-tiap individu, misalnya: partikular dan uni versal, ma­terial dan spiritual.  Jadi segala yang ada di alam semesta ini seperti: halnya manusia, batu bangunan dasar, hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya mem­pakan hal yang logis dalam karakternya. Setiap sesuatu yang ada, tidak hanya merupakan kambinasi antara zat atau bend a tapi merupakan unsur patensialitas dengan bentuk yang merupakan unsur aktualitas sebagaimana yang diutarakan aleh Aristateles tetapi ia juga merupakan sesuatu yang datang bersama-sama dari sesuatu “apa” yang terkandung dalam inti (essence) dan potensialitas dengan tindakan untuk “berada” yang merupakan unsur aktualitas sebagaimana yang diungkapkan oleh ST. Thomas Aquinas.
Uraian di atas sejalan dengan apa yang dikatakan I.R Poedjawijatna bahwa esensi dari pada kenyataan itu adalah menuju ke arah aktualitas, sehingga makin lama makin jauh dari patensialitasnya. Bila dihubungkan dengan manusia, maka manusia itu setiap waktu adalah patensialitas yang sedang berubah menjadi aktualitas. Misalnya meskipun manusia dalam hidupnya jarang dikuasai oleh sifat eksistensi kemanusiaan, tidak jarang pula dimilikinya akal, perasaan dan kemauan­nya. Schula ini dapat dikurangi. Hal-hal yang bersifat partikular yang merintangi kehidupan dapat diatasi. Maka dengan peningkatan suasana hidup spiritual ini manusia dapat makin mendekatkan diri kepada gerak yang tanpa gerak itu, ialah tujuan dan bentuk terakhir dari segalanya.
Jadi dengan demikian bahwa segala yang ada di alam ini terdiri dari materi dan bentuk atau badan dan jiwa yang disebut dengan substansi, bila dihubungkan dengan manusia maka manusia itu adalah patensialitas yang di dalam hidupnya tidak jarang dikuasai oleh sifat eksistensi keduniaan, tidak jarang pula dimilikinya akal, perasaan dan kemauannya semua ini dapat diatasi. Maka dengan suasana ini manusia dapat bergerak untuk menuju tujuan (teleologis) dalam hal ini untuk mendekatkan diri pada supernatural (Tuhan) yang merupakan pencipta manusia itu sendiri dan merupakan tujuan akhir.

Pandangan Epistemologis
Perenialisme berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui dan merupakan kenyataan adalah apa yang terlindung pada kepercayaan. Kebenaran adalah sesuatu yang menunjukkan kesesuaian antara pikir dengan benda-benda. Benda-benda di sini maksudnya adalah hal-hal yang adanya bersendikan atas prinsip-prinsip keabadian. lni berarti bahwa perhatian mengenai kebenaran adalah perhatian mengenai esensi dari sesuatu. Kepercayaan terhadap kebenaran itu akan terlindung apabila segala sesuatu dapat diketahui dan nyata. Jelaslah bahwa penge­tahuan itu inerupakan hal yang sangat penting karena ia merupakan pengolahan akal pikiran yang konsekuen.
Menurut perenialisme filsafat yang tertinggi adalah ilmu metafisika. Sebab science sebagai ilmu pengetahuan menggunakan metode induktif yang bersifat analisa empiris kebenarannya terbatas, relatif atau kebenaran probability. Tetapi filsafat dengan metode deduktif bersifat anological analysis, kebenaran yang dihasilkannya bersifat self evidence universal, hakiki dan berjalan dengan hukum-hukum berpikir sendiri yang berpangkal pada hukum pertama, bahwa kesimpulannya bersifat mutlak asasi.


Pandangan Aksiologi
Perenialisme memandang masalah nilai berdasarkan azas-azas supernatural, yakni menerima universal yang abadi. Dengan azas seperti itu, tidak hanya ontologi dan epistemologi yang didasarkan atas prinsip teologi dan supernatural, melainkan juga aksiologi. Khususnya dalam tingkah laku manusia, maka manusia sebagai subyek telah memiliki potensi-potensi kebaikan sesuai dengan kodratnya, di samping itu adapula kecenderungan-kecenderungan dan dorongan-dorongan kearah yang tidak baik.
Masalah nilai itu merupakan hal yang utama dalam perenialisme, karena ia berdasarkan pada azas-azas supernatural yaitu:  menerima universal yang abadi, khususnya tingkah laku manusia. Jadi hakikat manusia itu yang pertama-tama adalah pada jiwanya. Oleh karena itulah hakekat manusia itu juga menentukan hakikat perbuatan-perbuatannya, dan persoalan nilai adalah persoalan spiritual. Dalam aksiologi, prinsip pikiran itu bertahan dan tetap berlaku. Secara etika, tindakan itu ialah yang bersesuaian dengan sifat rasional seorang manusia, karena manusia itu secara alamiah condong kepada kebaikan.
Jadi manusia sebagai subyek dalam bertingkah laku, telah memiliki potensi kebaikan sesuai dengan kodratnya, di samping adapula kecenderungan-kecenderunngan dan dorongan-dorongan kearah yang tidak baik. Tindakan yang baik adalah yang bersesuaian dengan sifat rasional (pikiran) manusia. Kodrat wujud manusia yang pertama-tama adaJah lercermm dari jlwa dan pikirannya yang disebut dengan kekuatan  potensial yang membimbing tindakan manusia menuju pada Tuhan at au menjauhi Tuhan. Dengan kata lain melakukan kebaikan atau kejahatan di mana kebaikan tertinggi adalah mendekatkan diri kepada Tuhan sesudah tingkatan ini baru kehidupan berpikir rasional.
Dalam bidang pendidikan perenialisme sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokohnya, seperti: Plato, Aristoteles dan Thomas Aquinas. Menurut Plato, manusia secara kodrat memiliki tiga potensi yaitu: nafsu, kemauan dan pikiran. Pendidikan hendaknya berorientasi pada potensi itu dan kepada masyarakat, agar kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat bisa terpenuhi. Dengan demikian jelaslah bahwa perenialisme itu menghendaki agar pendidikan disesuaikan dengan keadaan manusia yang mempunyai nafsu, kemauan dan pikiran sebagaimana yang dimiliki secara kodrat. Dengan memperhatikan hal ini, maka pendidikan yang berorientasi pada potensi dan masyarakat akan dapat terpenuhi.
Ide-ide Plato ini kemudian dikembangkan oleh Aristoteles dengan lebih mendekatkan kepada dunia kenyataan. Bagi Aristoteles tujuan pendidikan adalah “kehahagiaan”. Untuk mencapai pendidikan itu, maka aspek jasmani, emosi dan intelek harus dikembangkan secara seimbang.  Tujuan pendi­dikan yang dikehendaki oleh Thomas Aquinas ialah sebagai usaha mewujudkan kapasitas yang ada dalam individu agar menjadi aktualitas, aktif dan nyata. Dalam hal ini peranan guru adalah mengajar dan memberikan bantuan pada anak didik untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada padanya.
Manusia adalah animal rasionale, maka tujuan pendidikan adalah mengembangkan akal budi supaya anak didik dapat hidup penuh kebijaksanaan demi kebaikan hidup itu sendiri. Oleh karenanya tujuan pendidikan di sekolah perlu sejalan dengan pandangan dasar di atas, mempertinggi kemampuan anak untuk memiliki akal sehat. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pada pendidikan yang hendak dicapai oleh para ahli tersebut di atas adalah untuk mewujudkan agar anak didik dapat hidup bahagia demi kebaikan hidupnya sendiri. Jadi dengan akalnya dikembangkan maka dapat mempertinggi kemam­puan akal pikirannya. Dari prinsip-prinsip pendidikan perenialisme tersebut maka perkembangannya telah mempengaruhi sistem pendidikan modern, seperti pembagian kurikulum untuk sekolah dasar, menengah, perguruan tinggi.




Filsafat Pendidikan Esensialisme

Esensialisme adalah suatu aliran filsafat yang menginginkan agar manusia kembali kepada kebudayaan lama. Mereka beranggapan bahwa kebudayaan lama itu telah banyak memperbuat kebaikan-kebaikan untuk umat manusia. Yang mereka maksud dengan kebudayaan lama itu adalah yang telah ada semenjak peradaban manusia yang pertama-tama dahulu. Akan tetapi yang paling mereka pedomani adalah peradaban semenjak zaman Renaissance, yaitu yang tumbuh dan berkembang di sekitar abad 11, 12, 13 dan ke-14 Masehi. Di dalam zaman Renaissance itu telah berkembang dengan megahnya usaha-usaha untuk menghidupkan kembali ilmu pengetahuan,  kesenian dan kebudayaan purbakala, terutama di zaman Yunani dan Romawi purbakala. Renaissance itu merupaka reaksi terhadap tradisi dan sebagai puncak timbulnya individualisme dalam berpikir dan bertindak dalam semua cabang dari aktivitas manusia. Sumber utama dari kebudayaan itu terletak dalam ajaran para ahli filsafat, ahli-ahli pengetahuan yang telah mewariskan kepada umat manusia segala macam ilmu pengetahuan yang telah mampu menembus lipatan gurun dan waktu yang telah banyak menimbulkan kreasi-kreasi bermanfaat sepanjang sejarah umat manusia.
Lebih dalam lagi bahwa esensialisme modern dalam pendidikan adalah gerakan pendidikan yang memprotes terhadap skeptisisme dan sinisme dari gerakan progrevisme terhadap nilai-nilai yang tertanam dalam warisan budaya atau sosial. Menurut Esensialisme, nilai-nilai kemanusiaan yang terbentuk secara berangsur-angsur dengan melalui kerja keras dan susah payah selama beratus-ratus tahun, dan di dalamnya berakar gagasan-gagasan dan cita-cita yang telah teruji dalam perjalanan waktu. Bagi aliran ini, maka “pendidikan sebagai Pemelihara Kebudayaan”. Karena ini aliran Esensialisme dianggap para ahli “Conservative Road to Culture”, yakni aliran ini ingin kembali kekebudayaan lama, warisan sejarah yang telah membuktikan kebaikan-kebaikannya bagi kehidupan manusia. Esensialisme percaya bahwa pendidikan itu harus didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Karena itu esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama sehingga memberikan kestabilan dan arah yang jelas.



Progressivisme dan Esensialisme
Esensialisme yang berkembang pada zaman Renaissance mempunyai tinjauan yang berbeda dengan progressivisme mengenai pendidikan dan kebudayaan sebagai berikut:


Progressivisme
Esensialisme
Pendidikan yang penuh fleksiblitas
Pendidikan yang bertumpuh pada dasar pandangan fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadi sumber timbul pandangan yang berubah-rubah
Serba terbuka untuk perubahan
Mudah goyah dan kurang terarah dan tidak menentu kurang stabil
Tidak ada keterkaitan dengan doktrin
Tidak ada keterkaitan dengan doktrin
Toleransi
Stabil dan teruji oleh waktu dan tahan lama
Nilai-nilai dapat berubah dan berkembang
Nilai-nilai yang memiliki kejelasam dan terseleksi

Jika progressivisme menganggap pendidikan yang penuh fleksibelitas, serba terbuka untuk perubahan, tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu, toleran dan nilai-nilai dapat berubah dan berkembang, maka aliran Esensialisme ini memandang bahwa pendidikan yang bertumpu pada dasar pandangan fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang berubah-ubah, mudah goyah dan kurang terarah dan tidak menentu serta kurang stabil. Karenanya pendidikan haruslah di atas pijakan nilai yang dapat mendatangkan kestabilan dan telah teruji oleh waktu, tahan lama dan nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan terseleksi
Nilai-nilai yang dapat memenuhi adalah yang berasal dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif, selama empat abad belakangan ini, dengan perhitungan zaman Renaisans, sebagai pangkal timbulnya pandangan-pandangan Esensialistis awal. Puncak refleksi dari gagasan ini adalah pada pertengahan kedua abad ke sembilan belas.

Pembentukan dari Idealisme dan Realisme
Idealisme dan Realisme adalah aliran-aliran filsafat yang membentuk corak Esensialisme. Sumbangan yang diberikan oleh masing-masing ini bersifat eklektik, artinya dua aliran filsafat ini bertemu sebagai pendukung Esensialisme, tetapi tidak lebur menjadi satu. Berarti, tidak melepaskan sifat-sifat utama masing-masing. Sedangkan Realisme modern yang menjadi salah satu eksponen esensialisme, titik berat tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia fisik; sedangkan idealisme modern sebagai eksponen yang lain, pandangan-pandangannya bersifat spiritual.
Idealisme modern mempunyai pandangan bahwa realita adalah sama dengan substansi gagasan-gagasan (ide-ide). Di balik duni fenomenal ini ada jiwa yang tidak terbatas yaitu Tuhan, yang merupakan pencipta adanya kosmos. Manusia sebagai makhluk yang berpikir berada dalam lingkungan kekuasaan Tuhan. Dengan menguji menyelidiki ide-ide serta gagasan-gagasannya, manusia akan dapat mencapai kebenaran, yang sumbernya adalah Tuhan sendiri.



Tokoh Esensialisme
William C. Bagley (1874-1946)
Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770 – 1831)
Thomas Briggs
Frederick Breed
Isac L. Kandell

Ajaran Esensialisme
Pandangan Ontologi Esensialisme
1.      Sintesa ide idealisme dan realisme tentang hakikat realita berarti essensialisme mengakui adanya realita obyektif di samping pre-determinasi, supernatural dan transcendal.
2.      Aliran ini dipengaruhi penemuan-penemuan ilmu pengetahuan modern baik Fisika maupun Biologi. Karena itu realita menurut analisa ilmiah dapat dihayati dan diterima oleh Essensialisme. Jadi, Semesta ini merupakan satu kesatuan yang mekanis, menurut hukum alam obyektif (Kausalitas). Manusia adalah bagian alam semesta dan terlihat, tunduk pada hukum alam.
3.      Penafsiran Spiritual atas sejarah. Teori filsafat Heggel yang mensitesakan science dengan religi dalam kosmologi, berarti sebagai interpretasi sepiritual atas sejarah perkembangan realita semesta. Hukum apakah yang mengatur tiap fase perubahan dan tiap peristiwa sejarah, perubahan-perubahan social, dijawab problem itu secara prinsip: “Bahwa sejarah itu adalah pikiran Tuhan – pikiran yang di ekspresikan, dinamika abadi yang merubah dunia, yang mana ia secara sepiritual adalah realitas”.
4.      Faham Makrokosmos dan Mikrokosmos. Makrokosmos adalah keseluruhan alam semesta raya dalam suatu deign dan kesatuan menurut teori kosmologi. Mikrokosmos ialah bagian tunggal, suatu fakta yang terpisah dari keseluruhan itu, baik pada tingkat umum, pribadi manusia, ataupun lembaga.
                                             
Pandangan Epistemologi Essentialisme
       Teori kepribadian manusia sebagai refleksi Tuhan adalah jalan untuk mengerti epistemologi Essentialisme. Sebab, jika manusia mampu menyadari realita dirinya sebagai mikrokosmos dalam makrokosmo, maka manusia pasti mengetahui dalam tingkat atau kualitas apa rasionya mampu memikirkan kesemestaan itu. Dari berdasarkan kualitas itulah dia memproduksi secara tepat pengetahuannya dalam bidang-bidang: Ilmu alam, Biologi, Sosial, Estetika, dan Agama.

1.      Kontraversi jasmaniah-rohaniah. Perbedaan Idealisme dengan realisme ialah karena yang pertama menganggap bahwa rohaniah adalah kunci kesadaran tentang realita. Manusia hanya mengetahu melalui ide atau rohaniah. Sebaliknya realis berpendapat bahwa kita hanya mengetahui sesuatu realita di dalam dan melalui jasmani.
2.      Pengetahuan: (a). Idealisme: Kita hanya mengerti rohani kita sendiri. Tetapi pengertian ini memberi kesadaran untuk mengerti realita yang lain (Personalisme);  Menurut Hegel: “Substansi mental tercermin pada hukum logika (Mikrokosmos) dan hukum alam (Makrokosmos). Hukum dialegtika berfikir, berlaku pula hukum perkembangan sejarah dan kebudayaan manusia (Teori Dinamis); Saya sebagai finite being (Makhluk terbatas) mengetahui hukum dan kebenaran universal sebagai realisasi resonasi jiwa saya dengan Tuhan. (Teori Absolutisme). (b)   Realisme: Realisme dalam pengetahuan sangat dipengaruhi oleh Newton dengan ilmu pengetahuan alamnya, cara menafsirkan manusia dalam realisme adalah: Teori Associationisme: Teori ini sangat dipengaruhi oleh filsafat empirisme John Locke, atau ide-ide dan isi jiwa adalah asosiasi unsure-unsur penginderaan dan pengamatan. Penganut teori ini juga menggunakan metode introspeksi yang dipakai oleh kaum idealis (T.H. Green); Teori Behaviorisme: Aliran behaviorisme berkesimpulan bahwa perwujudan kehidupan mental tercermin pada tingkah laku;  Teori Connectionisme: Teori Connectionisme menyatakan semua makhluk hidup, termasuk manusia terbentuk tingkah lakunya oleh pola-pola connections between (Hubungan-hubungan antara) stimulus (S) dan Respone (R).

Pandangan Axiologi Essentialisme
       Pandangan ontologi dan epistemologinya amat mempengaruhi pandangan axiology ini. Bagi aliran ini, nilai-nilai, seperti juga kebenaran berakar dalam dan berasal dari sumber objektif. Watak sumber ini dari mana nilai-nilai berasal, tergantung pada pandangan-pandangan idealisme dan realisme, sebab Essentialisme terbina oleh kedua sayap tersebut.

Teori Nilai sebagai berikut:
1.      Menurut Idealisme: (a) Idealisme: “Menurut aliran ini bahwa hukum etika adalah kosmos, karena itu seseorang dikatakan baik hanya jika ia secara active berada di dalam dan melaksanakan hukum-hukum itu”. (b) Idealisme Modern: “Idealisme lebih di ungkapkan oleh E. Kant: Bahwa manusia yang baik adalah manusia yang bermoral”. (c) Teori Sosial Idealisme: “Disini E. Kant menekankan akan adanya rasa sosialis, kekluargaan, patriotisme, dan nasionalisme. Yang dimaksud E. Kant adalah adanya kemerdekaan individu agar bisa bersosialisasi dengan manusia lainnya. (d) Teori Estetika: “Bahwa yang disebut nilai adalah suatu keindahan” (E. Kant).
2.      Menurut Realisme: (a) Etika Determinisme: “Semua unsur semesta, termasuk manusia adalah satu kesatuan dalam satu rantai yang tak berakhir dan dalam kesatuan hukum kausalitas. Seseorang tergantung seluruhnya pada sebab-akibat kodrati itu dan yang menentukan keadaannya sekarang, baik ataupun buruk. (b) Teori Sosial: Teori ini lebih menekankan kepada unsure ekonomi, social, politi dan Negara. Free man (Bertrand Russel). Dan lebih menekankan kepada kehidupan sekarang. (c) Teori Estetika: Menurut paham ini bahwa keindahan itu tidak hanya sesuatu yang bagus, namun ada pula yang buruk.

Prinsip-prinsip Essensialisme
Prinsip-prinsip Essensialisme adalah:
1.      Esensialisme berakar pada ungkapan realisme objektif dan idealisme objektif yang moderen, yaitu alam semesta diatur oleh hukum alam sehingga tugas manusia memahami hukum alam adalah dalam rangka penyesuaian diri dan pengelolaannya.
2.      Sasaran pendidikan adalah mengenalkan siswa pada karakter alam dan warisan budaya. Pendidikan harus dibangun atas nilai-nilaiyang kukuh, tetap dan stabil.
3.      Nilai (kebenaran bersifat korespondensi ).berhubungan antara gagasan dengan fakta secara objekjtif.
4.      Bersifat konservatif (pelestarian budaya) dengan merefleksikan humanisme klasik yang berkembang pada zaman renaissance.



Ciri-ciri Filsafat Pendidikan Esesensialisme
Ciri-ciri Filsafat Pendidikan Esesensialisme, yang disarikan oleh William C. Bagley adalah sebagai berikut:
1.      Minat-minat yang kuat dan tahan lama sering tumbuh dari upaya-upaya belajar awal yang memikat atau menarik perhatian bukan karena dorongan dari dalam jiwa.
2.      Pengawasan, pengarahan, dan bimbingan orang yang belum dewasa adalah melekat dalam masa balita yang panjang atau keharusan ketergantungan yang khusus pada spesies manusia.
3.      Oleh karena kemampuan untuk mendisiplinkan diri harus menjadi tujuan pendidikan, maka menegakkan disiplin adalah suatu cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Di kalangan individu maupun bangsa, kebebasan yang sesungguhnya selalu merupakan sesuatu yang dicapai melalui perjuangan, tidak pernah merupakan pemberian.
4.      Esesensialisme menawarkan teori yang kokoh kuat tentang pendidikan, sedangkan sekolah-sekolah pesaingnya (progresivisme) memberikan sebuah teori yang lemah. Apabila terdapat sebuah pertanyaan di masa lampau tentang jenis teori pendidikan yang diperlukan sejumlah kecil masyarakat demokrasi di dunia, maka pertanyaan tersebut tidak ada lagi pada hari ini.

Idealisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai pribadi individu dengan menitik beratkan pada aku. Menurut idealisme, bila seorang itu belajar pada taraf permulaan adalah memahami akunya sendiri, terus bergerak keluar untuk memahami dunia obyektif. Dari mikrokosmos menuju ke makrokosmos. Segala pengetahuan yang dicapai oleh manusia melalui indera merperlukan unsur apriori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu. Bila orang berhadapan dengan benda-benda, tidak berarti bahwa mereka itu sudah mempunyai bentuk, ruang dan ikatan waktu. Bentuk, ruang dan waktu sudah ada pada budi manusia sebelum ada pengalaman atau pengamatan. Jadi, apriori yang terarah bukanlah budi kepada benda, tetapi benda-benda itu yang terarah kepada budi. Budi membentuk, mengatur dalam ruang dan waktu.
Dengan mengambil landasan pikir tersebut, belajar dapat didefinisikan sebagai jiwa yang berkembang pada sendirinya sebagai substansi spiritual. Jiwa membina dan menciptakan diri sendiri. Pandangan-pandangan realisme mencerminkan adanya dua jenis determinasi mutlak dan determinasi terbatas adalah: (1) Determinisme mutlak, menunjukkan bahwa belajar adalah mengalami hal-hal yang tidak dapat dihalang-halangi adanya, jadi harus ada, yang bersama-sama membentuk dunia ini. Pengenalan ini perlu diikuti oleh penyesuaian supaya dapat tercipta suasana hidup yang harmonis. (2) Determinisme terbatas, memberikan gambaran kurangnya sifat pasif mengenai belajar. Bahwa meskipun pengenalan terhadap hal-hal yang kausatif di dunia ini berarti tidak dimungkinkan adanya penguasaan terhadap mereka, namun kemampuan akan pengawas yang diperlukan.
Pada prinsipnya, proses belajar menurut Essensialisme adalah melatih daya jiwa potensial yang sudah ada dan proses belajar sebagai proses absorbtion (menyerap) apa yang berasal dari luar. Yaitu warisan-warisan sosial yang disusun dalam kurikulum  tradisional, dan guru berfungsi sebagai perantara.

Pandangan Essensialisme mengenai Kurikulum
       Beberapa tokoh idealisme memandang bahwa kurikulum itu hendaklah berpangkal pada landasan idiil dan organisasi yang kuat. Kurikulum itu bersendikan alas fundamen tunggal, yaitu watak manusia yang ideal dan ciri-ciri masyarakat yang ideal. Kegiatan dalam pendidikan perlu disesuaikan dan ditujukan kepada yang serba baik. Atas ketentuan ini kegiatan atau keaktifan anak didik tidak terkekang, asalkan sejalan dengan fundamen-fundamen yang telah ditentukan.
       Menurut Essensialisme: “Kurikulum yang kaya, yang berurutan dan sistematis yang didasarkan pada target yang tidak dapat dikurangi sebagai suatu kesatuan pengetahuan, kecakapan- kacakapan  dan  sikap  yang  berlaku  di  dalam  kebudayaaan  yang  demokratis. Kurikulum dibuat memang sudah didasarkan pada urgensi yang ada di dalam kebudayaan tempat hidup si anak”.

Peranan Sekolah menurut Essensialisme
Sekolah berfungsi sebagai pendidik warganegara supaya hidup sesuai dengan  prinsip-prinsip dan lembaga-lembaga sosial yang ada di dalam masyarakatnya serta  membina kembali tipe dan mengoperkan kebudayaan, warisan sosial, dan membina  kemampuan penyesuaian diri individu kepada masyarakatnya dengan menanamkan pengertian tentang fakta-fakta, kecakapan-kecakapan dan ilmu pengetahuan.

Penilaian Kebudayaan menurut Essensialisme
Essensialisme sebagai teori pendidikan dan kebudayaan melihat kenyataan  bahwa lembaga-lembaga dan praktik-praktik kebudayaan modern telah gagal dalam banyak hal untuk memenuhi harapan zaman modern. Maka untuk menyelamatkan manusia dan kebudayaannya, harus diusahakan melalui pendidikan.[311]

Teori Pendidikan
1.      Tujuan Pendidikan: Tujuan pendidikan adalah menyampaikan warisan budaya dan sejarah melalui suatu inti pengetahuan yang telah terhimpun, yang telah bertahan sepanjang waktu dan dengan demikian adalah berharga untuk diketahui oleh semua orang. Pengetahuan ini diikuti oleh keterampilan. Keterampilan-keterampilan, sikap-sikap, dan nilai-nilai yang tepat, membentuk unsur-unsur yang inti (esensial) dari sebuah pendidikan. Pendidikan bertujuan untuk mencapai standar akademik yang tinggi, pengembangan  intelek atau kecerdasan.
2.      Metode Pendidikan: (1) Pendidikan berpusat pada guru (teacher centered). (2) Umumnya diyakini bahwa pelajar tidak betul-betul mengetahui apa yang diinginkan, dan mereka haru dipaksa belajar. Oleh karena itu pedagogi yang bersifat lemah-lembut harus dijauhi, dan memusatkan diri pada penggunaan metode-metode tradisional yang tepat. (3)    Metode utama adalah latihan mental, misalnya melalui diskusi dan pemberian tugas; dan penguasan pengetahuan, misalnya melalui penyampaian informasi dan membaca.
3.      Kurikulum: (1) Kurikulum berpusat pada mata pelajaran yang mencakup mata-mata pelajaran akademik yang pokok. (2) Kurikulum Sekolah Dasar ditekankan pada pengembangan keterampilan dasar dalam membaca, menulis, dan matematika. (3) Kurikulum Sekolah Menengah menekankan pada perluasan dalam mata pelajaran matematika, ilmu kealaman, humaniora, serta bahasa dan sastra. Penguasaan terhadap mata-mata pelajaran tersebut dipandang sebagai suatu dasar utama bagi pendidikan umum yang diperlukan untuk dapat hidup sempurna. Studi yang ketat tentang disiplin tersebut akan dapat mengembangkan kesadaran pelajar, dan pada saat yang sama membuat mereka menyadari dunia fisik yang mengitari mereka. Penguasaan fakta dan konsep-konsep pokok dan disiplin-disiplin yang inti adalah wajib.
4.      Pelajar: Siswa adalah makhluk rasional dalam kekuasaan fakta dan keterampilan-keterampilan pokok yang siap melakukan latihan-latihan intelektif atau berpikir. Sekolah bertanggungjawab atas pemberian pelajaran yang logis atau dapat dipercaya. Sekolah berkuasa untuk menuntut hasil belajar siswa.
5.      Pengajar: (1) Peranan guru kuat dalam mempengaruhi dan mengawasi kegiatan-kegiatan di kelas. (2)  Guru berperanan sebagai sebuah contoh dalam pengawalan nilai-nilai dan penguasaan pengetahuan atau gagasan-gagasan.

 



Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme

Rekronstruksionisme  lahir  didasari atas suatu anggapan bahwa kaum progresif  hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada pada masyarakat sekarang ini. Dapat dikatakan bahwa rekonstruksionisme  adalah merupakan kelanjutan dari gerakan  progresivisme. Rekonstruktionisme lahir pada tahun 1930 dan dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg. Ia ingin membangun masyarakat baru, yaitu:  suatu masyarakat yang pantas dan adil. Sekolah harus melakukan perbaikan masyarakat yang spesifik.
 Aliran progresivisme berpendapat bahwa sekolah harus mengarahkan perubahan  terhadap tatanan sosial saat ini. Ada dua alasan mengapa perubahan perlu dilakukan lewat pendidikan sebagai berikut:  (1) Karena masyarakat sedang mengalami suatu krisis yang hebat akibat perang dunia kedua. Peradaban manusia yang sangat sangat luar biasa dan dibangun dalam waktu yang lama, dapat dihancurkan oleh manusia hanya dalam waktu satu malam saja. (2) Manusia memiliki potensi intellectual, teknologi dan moral untuk menciptakan suatu peradaban baru, yaitu suatu perubahan pada masyarakat kea rah “kesejahteraan, kesehatan dan keadilan”.  Oleh karena itu sekolah harus menjadi agen utama untuk merencanakan dan mengarah pada perubahan social.
             Sedangkan aliran Rekonstruktionisme berpendapat kita telah beralih dari masyarakat agraris pedesaan ke masyarakat urban yang berteknologi tinggi, namun masih terdapat kelambatan budaya yang serius, yaitu:  dalam kemampuan manusia menyesuaikan  diri terhadap masyarakat teknologi. Apa yang diperlukan masyarakat yang memiliki perkembangan teknologi yang cepat adalah rekonstruksi masyarakat dan pembentukan serta perubahan tatanan dunia baru.

Tokoh-Tokoh Rekonstruksionisme[312]
George S. Counts (1889-1974)
Theodore Brameld (1904-1987)

Dua Kelompok Rekonstruksionisme
Dalam  gerakan rekonstruksionisme terdapat dua kelompok utama yang sangat berbeda pandangannya tentang kurikulum, yakni:  Rekonstruksionisme Konservatif dan Rekonstruksionisme Radikal.

Rekonstruksionisme Konservatif
         Pendidikan ditujukan kepada peningkatan mutu kehidupan individu maupun masyarakat dengan mencari penyelesaian masalah-masalah yang paling mendesak yang dihadapi masyarakat. Masalah dapat bersifat local, nasional, regional maupun international. Dalam penerapannya problem-solving memegang peranan utama dengan menggunakan bahan dari berbagai displin ilmu.

Rekonstruksionisme Radikal
Pendidikan formal maupun non formal mengabdikan diri demi tercapainya orde sosial baru berdasarkan pembagian kekuasaan dan kekayaan yang lebih adil dan merata. Aliran ini berpendapat bahwa kurikulum yang sekadar mencari pemecahan masalah sosial tidaklah memadai. Masalah sosial justru merupakan indicator adanya masalah lain yang lebih mendalam mengenai struktur masyarakat. Pendidikan haruslah digunakan untuk merombak tata sosial dan lembaga-lembaga sosial yang ada dan membangun struktur sosial baru.
Arah Pendidikan Rekontruksionisme
            Arah pendidikan rekonstruksionisme mengarahkan para siswa mempelajari metoda-metoda yang tepat untuk berurusan dengan krisis-krisis yang sedang dihadapi oleh masyarakat, baik secara lokal, regional maupun yang dihadapi oleh dunia secara global seperti:  perang, depressi ekonomi, terorisme international, kelaparan, inflasi, ketimpangan sosial maupun percepatan teknologi.  Kurikulum disusun untuk mampu menyoroti kebutuhan-kebutuhan terhadap beragamnya problema sosial. Siswa dimungkinkan untuk memiliki pengalaman tangan pertama dalam berbagai  kegiatan reformasi sosial.  Guru berperan sebagai kontrol dan membantu para siswa dalam memecahkan masalah-masalah sosial tanpa berpengaruh di dalamnya.
Proses edukatif  harus didasarkan pada suatu pencarian yang terus menerus untuk suatu masyarakat yang lebih baik, dan hasil dari pencarian ini akan menjadi  realisasi suatu demokrasi dunia yang luas.  Jika seseorang dengan aktif berusaha menciptakan dunia baru melalui aplikasi kecerdasan dan pengetahuan serta teknologi yang berkembang pada saat ini, ia akan menghadapi risiko di mana kekuatan-kekuatan destruktif dunia akan menentukan kondisi dunia ini, di mana manusia yang akan hidup di masa mendatang berada di dalamnya.

Sekolah sebagai Agen Perubahan Sosial
            George S. Counts sebagai pelopor rekonstruksionisme mengemukakan, “ bahwa sekolah akan betul-betul berperan apabila sekolah menjadi pusat bangunan masyarakat baru secara keseluruhan, membasmi kemelaratan, peperangan  dan kesukuan”. Masyarakat yang menderita kesulitan ekonomi dan masalah-masalah social yang besar marupakan tantangan bagi pendidikan untuk menjalankan perannya sebagai agen pembaharuan dan rekonstruksi social, daripada pendidikan hanya mempertahankan status guo.
 Sekolah  harus bersatu dengan kekuatan buruh progressif, wanita, para petani dan kelompok minoritas untuk mengadakan  perubahan-perubahan yang diperlukan. Tujuan pendidikan adalah menumbuhkan kesadaran terdidik yang berkaitan dengan masalah-masalah social, sekonomi, politik yang dihadapi manusia dalam skala global, dan memberi ketrampilan kepada mereka agar memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut. Tujuan akhir pendidikan adalah terciptanya masyarakat baru, yaitu suatu masyarakat global yang memiliki saling ketergantungan.
 Kurikulum haruslah berisikan masalah-masalah sosial, ekonomi, politik yang beraneka ragam, yang dihadapi oleh umat manusia, termasuk masalah-masalah sosial dan pribadi. Isi kurikulum haruslah berguna dalam penyusunan disiplin ilmu sosial dan proses penemuan ilmiah sebagai metode kerja untuk masalah-masalah soslal.
Guru harus mampu menyadarkan peserta didik terhadap masalah-masalah yang dihadapi, membantu mereka mengidentifikasikan masalah-masalah untuk dipecahkan, sehingga memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah tersebut. Guru harus mendorong peserta didik untuk dapat berpikir alternative dalam memecahkan dihadapi baik secara pribadi maupun dihadapi oleh masyarakat. Lebih jauh, guru harus mampu menciptakan aktivitas belajar yang berbeda-beda secara serempak.
Sekolah berfungsi sebagai agen utama untuk perubahan sosial, politik dan ekonomi dimasyarakat. Sekolah bertugas untuk mengembangkan “rekayasa sosial” dan bertujuan untuk mengubah secara radikal wajah masyarakat saat ini dan masa yang akan datsng. Sekolah berfungsi untuk mempelopori masyarakat kea rah masyarakat baru yang diinginkan. Apabila fungsi itu tidak dapat dilakukan, maka masyarakat akan bertindak menyelesaikan masalah-masalah secara individu dan tidak mampu menghasilkan perubahan sosial, melainkan akan menimbulkan berbagai komplik dalam masyarakat.

 Teori Pendidikan
            Brameld (Kneller, 19771) 5 tesis dalam pendidikan rekonstruksionisme, yaitu: (1) .  Pendidikan harus dilaksanakan di sini dan sekarang. Pendidikan haruslah dilaksanakan kini dan di sini dalam rangka menciptakan tatanan sosial yang baru yang akan mengisi nilai-nilai dasar budaya masyarakat dan selaras dengan mendasari  kekuatan-kekuatan ekonomi dan sosial dalam masyarakat modern. Pendidikan harus dapat mensponsori perubahan yang benar dalam nurani manusia. Kekuatan teknologi yang hebat harus dimanfaatkan untuk membangun umat manusia dan bukan untuk menghancurkannya.  Masyarakat diubah bukan dengan kekuatan politik, melainkan melalui pendidikan yang mendasar bagi warganya, menuju suatu pandangan baru tentang hidup dan kehidupan bersama. (2) Pendidikan menuju kehidupan demokrasi.     Pendidikan harus mampu mewujudkan kehidupan demokrasi sejati pada masyarakat, dimana sumber dan lembaga utama dalam masyarakat dikontrol oleh warganya sendiri. Semua aspek kehidupan masyarakat seperti; sandang, pangan, papan, kesehatan, industri dan  sebagainya menjadi tanggungjawab masyarakat melalui wakil-wakilnya yang dipili, dan harus direalisasikan secara demokrasi. Masyarakat ideal adalah, masyarakat yang demokratis dan pendapat masyarakat adalah merupakan hal yang sangat dasar. (3) Kondisi Pendidikan. Peserta didik, lembaga sekolah dan proses pendidikan dikondisikan oleh kekuatan budaya dan sosial masyarakat setempat. Hidup beradab adalah hidup berkelompok bukan hidup sendiri-sendiri. Kelompoklah yang meainkan peranan penting di sekolah. Pendidikan merupakan  realisasi dari sosial. Melalui pendidikan individu akan dapat mengembangkan aspek-aspek sosialnya dan bagaimana mengembangkan keterlibatannya dalam perencanaan sosial. (4) Peranan Pendidik.       Dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik, guru haruslah meyakini dirinya sebagai guru yang bijaksana dan demokratis. Pengujian fakta-fakta haruslah dilakukan secara terbuka, walaupun hal itu bertentangan dengan pandangannya. Guru harus dapat menghadirkan pemecahan alternative dengan jelas, dan ia memperkenankan siswanya untuk mempertahankan pandangan-pandangan mereka sendiri. Peranan guru ialah sebagai orang yang menganjurkan perubahan dan mendorong siswa menjadi partisipan aktif dalam proses perbaikan masyarakat.       Guru adalah seorang perombak. Ia membantu pelajar meninggalkan yang lama supaya dapat mengalami yang baru. Huru dan murid bekerja sama mempelajari seni meninggalkan kepribadian yang lama dan menggantikannya dengan kepribadian yang baru yang sesuai dengan tuntutan masa kini. Proses meninggalkan yang lama bukanlah sesuatu yang mudah, namun hal itu sudah diyakini sebagai hal yang baik dan dapat menjawab kebutuhan-kebutuhannya selama ini.  Untuk dapat mendorong pembaharuan bagi peserta didik, maka guru harus menyadari bahwa pada dasarnya individu   telah terbentuk dengan cara-cara tersebut di bawah ini adalah: (a) Keperluan pribadi dan lingkungannya mendesaknya untuk mengembangkan cara-cara bertindak yang paling sesuai dengan keperluan-keperluannya. (b) Perlahan-lahan keperluan dan kemauan lingkungannya berubah. (c) Cara-cara bertindak yang dikembangkan sebelumnya, yang cukup efektif itu, menjadi semakin tidak efektif bahkan  telah  dapat merugikan. (d) Setiap individu tetap mengungkapkan segala cara yang telah dipergunakannya pada masa lampau. (e) Cara bertindak seseorang terus menerus diubah untuk melayani keperluan-keperluan dan kehendak-kehendak baru. (f) Dengan adanya kehendak yang terus menerus, individu yang sedang berkembang itu membentuk suatu gaya hidup atau suatu cara menghadapi segala masalah hidup yang dihadapinya. (g) Gaya  seseorang akan lebih sulit berubah apabila ia telah menjadi tua. Salah satu tugas penting dari guru ialah membantu agar proses perkembangan itu berlangsung terus. Pendidikan yang paling baik ialah pendidikan yang membantu pelajar menghadapi masa kininya yang sangat penting itu sehingga ia mampu menangani secara efektif masa depannya yang dekat yang akan selalu menjadi masa kini juga. (h)  Cara dan tujuan Pendidikan.  Cara dan tujuan pendidikan haruslah bertujuan untuk menemukan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan krisis budaya dewasa ini, dan menyesuaikan kebutuhan dengan sains sosial. Sains sosial haruslah  bertujuan untuk mendorong kita untuk menemukan nilai-nilai yang bersifat universal. (i) Penyusunan Kurikulum.  Kurikulum pendidikan harus terus menerus ditinjau ulang, agar sesuai dengan kebutuhan dan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat.  Oleh karena itu, isi  pelajaran, metode yang dipakai, struktur administrasi dan cara bagaimana guru dilatih haruslah terus disesuaikan dengan kebutuhan kebutuhan masyarakat pada masa kini. Dengan demikian pendidikan akan menjadi relevan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan dapat menghasilkan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.


Implikasi Pendidikan
             Power (1982) mengemukakan implikasi pendidikan rekonstruksionisme sebagai berikut:
1.      Tema: Pendidikan merupakan usaha sosial dan Misi sekolah adalah untuk meningkatkan rekonstruksi sosial.
2.      Tujuan Pendidikan: Menciptakan aturan sosial yang ideal. Budaya harus melihat kemajemukan masyarakat dan memanfaatkannya untuk perubahan sosial kea rah yang lebih baik.
3.      Kurikulum: Kurikulum tidak boleh didominasi oleh budaya mayoritas maupun oleh budaya yang ditentukan atau yang disukai. Semua budaya dan nilai-nilai yang terdapat pada masyarakat berhubungan dan berhak untuk mendapatkan tempat dalam kurikulum.
4.      Kedudukan siswa: Nilai-nilai budaya siswa yang dibawa  ke sekolahg merupakan hal yang berharga.Keluhan pribadi dan tanggung jawab sosial harus terus ditingkatkan dan harus dapat menghormati semua latar belakang budaya yang ada disekitarnya.
5.      Metode: Metode yang harus terus dikembangkan adalah “Learning by doing”.
6.      Peranan Guru: Guru harus menunjukkan rasa hormat yang sejati terhadap semua budaya, baik dalam memberi pelajaran maupun dalam hal lainnya. Pelajaran di sekolah haruslah mewakili budaya masyarakat yang ada.

Potret Guru
          Seorang guru rekonstruksionisme dengan sekuat tenaga mendorong siswa mempelajari mengenai permasalahan-permasalahan sosial dan juga menemukan apa yang dapat merekam lakukan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut




VIII. PENUTUP

Dari kajian Filsafat Pendidikan Agama Kristen di atas (bab per bab) maka saya dapat simpulkan dengan membuat Tabel “Sirkulasi Filsafat Pendidikan Agama Kristen” yang saling berkesinambungan dari pengertian filsafat pendidikan, nilai-nilai dasarnya, model-model aliran filsafat yang mempengaruhi pendidikan, unsur-unsurnya hingga menghasilkan tenaga professional siap pakai di tengah masyarakat.  Tabel “Sirkulasi Filsafat Pendidikan Agama Kristen”  sebagai berikut:

Tabel “Sirkulasi Filsafat Pendidikan Agama Kristen”

Filsafat Pendidikan
Nilai-nilai Dasar
Model-Model Aliran Filsafat yang Mempengaruhi Pendidikan
Unsur-unsur Pendidikan
Tenaga Siap Pakai
Definisi
Filsafat pendidikan:
aktifitas pikiran teratur yang membentuk wolrdview seseorang sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan
Makna Ontologi

Idealism,
Realism,
Materialisme,
 Tradisionalis (Neo-Thomism),
Pragmatism (Experimentalism), Eksistensialisme, Progresivisme, Perenialisme, 
Esensialisme  dan Rekonstruksionisme

Input: Calon Peserta Didik



Tenaga profesional di tengah masyarakat
Visi
Makna Epistemologi

Tujuan
Kurikulum
Proses Belajar Mengajar (Guru-Metode-Murid)
Makna Aksiologi
Hasil belajar
Output: Alumni


Keterangan  singkat dari Tabel “Sirkulasi Filsafat Pendidikan Agama Kristen”  di atas sebagai berikut:

1.      Filsafat pendidikan adalah aktifitas pikiran teratur yang membentuk wolrdview seseorang sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan.

2.      Tetapi dalam pekerjaannya maka filsafat pendidikan tergantung dengan nilai-nilai dasar filsafat: makna ontology, makna epistemology dan makna aksiologi.  (a) Makna ontology  (metafisika umum) membahas segala sesuatu yang ada secara menyeluruh dan sekaligus. Pembahasan ini dilakukan dengan membedakan dan memisahkan eksistensi “dari segala sesuatu”. Pertanyaan-pertanyaan ontologi yang utama dan paling sering diajukan adalah sebagai berikut: apakah suatu realitas itu beraneka ragam dan berbeda-beda? Apakah hakekatnya satu atau tidak? Apabila  memang benar satu, apakah realitas yang satu itu.apakah eksistensi yang sesungguhnya dari segala sesuatu yang ada itu merupakan realitas yang tampak atau tidak? (b) Makna epistemology membahas tentang: Apa pengetahuan itu? Apakah yang menjadi sumber dan dasar pengetahuan itu? Apakah pengetahuan itu berasal dari pengamatan, pengalaman, atau akal budi? Apakah pengetahuan itu adalah kebenaran yang pasti ataukah hanya merupakan dugaan?  (c)Axiologi menunjuk pada suatu nilai tertentu.  Nilai suatu obyek sangat dipengaruhi nilai subyek yang ada.  Manusia memiliki nilai, sehingga nilai seseorang dari apa yang diungkapkan maupun dilakukan. Nilai-nilai sangat relative, tetapi ada nilai yang jauh lebih mutlak dan ditempat tinggi dibanding dengan nilai-nilai relative yang dibawah. Manusia berbuat baik karena mengetahui nilai yang ada pada dirinya. Pada axiologi yang mengarah suatu kebaikan yang tertinggi berupa kebahagiaan dan cinta kasih Tuhan.

3.      Aliran-aliran Filsafat yang  Mempengeruhi Pendidikan: Idealism, Realism, Materialisme,  Tradisionalis (Neo-Thomism), Pragmatism (Experimentalism), Eksistensialisme, Progresivisme, Perenialisme,  Esensialisme  dan Rekonstruksionisme. Aliran tersebut selalu membagi menjadi tiga nilai dasar (ontologi, epistimologi dan aksiologi) yang membicarakan unsure-unsur pendidikan.

4.      Unsur-unsur pendidikan adalah: Input (peserta didik), Visi – Tujuan – Kurikulum – Proses Belajar Mengajar (Guru –  Metode - Murid)  – Hasil Belajar – Output (Alumni).

5.      Para alumni akan mampu menjadi  tenaga profesional di tengah  masyarakat.

















Diagram Perbandingan Tiga Problema dengan Lima Pandangan Filsafat



Sekolah  Tinggi Theologia Berita Hidup





Filsafat
Pendidikan Agama Kristen
(2 sks)





Dosen:
Dr. EKO BASUKI, D.Th.















Surabaya, 6 Juli 2015


[1]Harry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1981) 10.
[2]B. Samuel Sidjabat, Strategi Pendidikan Kristen (Yogyakarta: Andi Offset, 1994)  2.
[3]Titus,  et.al., Persoalan-persoalan Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1984) 7-9.
[4]C. A. van Peursen, Orientasi di Alam Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1980) 10-11.
[5]Ibid. 11; 17.
[6]George R. Knight, Issues and Alternatives in Educational Philosophy (Michigan: Andrews University Press,  1982) 4-5. 
[7]Mohammad Noor Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila  (Surabaya: Usaha Nasional, 1986)  24.
[8] Ibid.
[9]Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek (Bandung:  Remaja Rosda Karya, 2005) 14.
[10]Arifin H.M.,  Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teori dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipline (Jakarta:Bina Aksara, 1993) 2.
[11]M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan: Teoritis dan Praktis (Bandung: Remadja Karya, 1988) 1.
[12]Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996)  82.
[13]Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek, 14.
[14]Arifin H.M., Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teori dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipline (Jakarta: Bina Aksara, 1993) 2. 
[15]Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode (Yogyakarta: Andi Offset, 1994) 14.
[16]Jalaluddin & Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997) 4.
[17]Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat,  83.
[18]B. Samuel Sidjabat, Strategi Pendidikan Kristen, 8.
[19]B.S. Mardiatmadja, Tantangan Dunia Pendidikan (Yogyakarta: Kanisius, 1986) 19.
[20]M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan: Teoritis dan Praktis, 11. 
[21]Jalaluddin & Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan, 14.
[22]Arifin H.M., Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teori dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipline, 1.
[23]Baca John S. Brubacher, Modern Philosophies of Education (Tokyo: McGraw Hill Book Comnpany, 1978).
[24]John W.M. Verhaar SJ, Filsafat yang Mengelak (Yogyakarta: Kanisius, 1980)  69, 70.
[25]Harry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, 14.
[26]Jalaluddin & Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan, 17.
[27]Jan Hendrik Rapar, Pengantar Fislafat, 44.
[28]Ibid. 44.
[29]Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, 16.
[30]Ibid. 45.
[31]Ibid.
[32]Ibid. 46.
[33]Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan  (Bandung: Alfabeta, 2003) 29; baca juga Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, 16.   
[34]Ibid. 37.
[35]Ibid.
[36]Jan Hendrik Rapar, Pengantar  Filsafat, 37.
[37]Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, 39.
[38]Ibid. 39.
[39]Dagobert Rune, Dictionary of  Philosophy (New Jersey: Litlefield Adams, 1963) 32.
[40]Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan (Bandung: Remadja Rosdakarya, 2001) 232.
[41]Baca Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1992) 333-348.
[42]Ibid. 332.
[43]Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan, 232.
[44]S. Nasution,  Pengembangan Kurikulum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990) 3.
[45]Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan, 233.
[46]Ibid.
[47]J.E. Sahetapy, “Tinjauan Kritis atas Isu-isu Hak Asasi Manusia”, Simposium PASTI ke IX di  Surabaya, 5-6 September (2000)  8.
[48]W. Gulo, “Penampakan Identitas dan Ciri Khas dalam Penyelenggaraan Sekolah Kristen”,  Identitas & Ciri Khas Pendidikan Kristen di Indonesia antara Konseptual dan Operasional (2000) 90.
[49]Purnawan Tenibemas, “Cermin Besar bagi Sekolah Alkitab atau Teologi”, Jurnal Pengarah, April (2005) 4.   
[50]Muhammad Ali, Pengembangan Kurikulum di Sekolah (Bandung: Sinar Baru, 1992) 3.
[51]M. Moh. Rifai, Administrasi dan Supervisi Pendidikan (Bandung: Jemmars, 1982) 115.
[52]Muhammad Ali, Pengembangan Kurikulum di Sekolah, 2.
[53]Ibid., 2-3.
[54]Eli Tanya, Gereja dan Pendidikan Agama Kristen (Cipanas: STT Cipanas, 1999)  27.
[55]Randolph C. Miller, Education for Christian Living (New Jersey: Prentice Hall, 1956) 44.
[56]Abdul Rajak Husain, Penyelenggaraan Pendidikan Nasional (Solo: CV Aneka, 1995) 34.
[57]W.P. Napitupulu, Dimensi-dimensi Pendidikan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1969) 58.
[58]Ornstein/Levine, Foundations of Education (Dallas: Houghton Mifflin Company, 1989) 528.
[59]Muhammad Ali, Pengembangan Kurikulum di Sekolah, 52-60.
[60]Baca Ralph Tyler, Basic Principles of Curriculum and Instruction (Chicago-London: The University of Chicago Press, 1970). 
[61]Paul H. Vieth, The Church and Christian Education (ST. Louis: Bethany Press, 1951) 36-37.
[62]Eli Tanya, Gereja dan Pendidikan Agama Kristen,  29.
[64]Greta Hofmann Nemiroff, Reconstructing Education (New York: Bergin & Garvey, 1992) 143.
[65]Muhammad Ali, Pengembangan Kurikulum di Sekolah , 4-14.
[66]Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek, 4.
[67] Bebby C.E., Pendidikan di Indonesia, Penilaian dan Pedoman Perencanaan (Jakarta: LP3S, 1993) 144.
[68]Berlatar belakang nilai-nilai agama di mana proses pendidikan menitikberatkan kepada ketuhanan atau agama. Semua pendidikan dimaksudkan untuk membawa si anak agar ia selalu berbakti kepada Tuhannya, selalu hidup menuruti dan sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh agamanya.
[69]Berlatar belakang pengetahuan di mana proses pendidikan menitikberatkan ke duniawian. Mereka mendidik anak-anak untuk dapat dan sanggup hidup di dunia ini yang penuh dengan rintangan-rintangan dan kesukaran-kesukaran yang harus diatasinya, untuk mencapai kebahagiaan hidupnya. Hal ini terjadi pada abad ke-18 dan ke-19 (abad rasio), yang pada waktu itu teknik dan ilmu pengetahuan alam sedang maju pesat. Waktu itu orang lebih mengutamakan hal-hal yang berhubungan  dengan kehidupan duniawi dan kebendaan daripada hal-hal yang bersifat kerohanian.
[70]S. Nasution, Pengembangan Kurikulum, 49-50.
[71]Purnawan Tenibemas, “Cermin Besar bagi Sekolah Alkitab atau Teologi”.
[72]Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat,  82.
[73]Ibid.
[74]Stella van Petten Henderson, Introduction to Philosophy of Education (Chicago: The University of Chicagi Press, 1959) 237.
[75]Stephen Tong. Arsitek Jiwa II (Jakarta: Lembaga Reformed, 1995) 32.
[76]Edward dan F.Simpson, “Principles of Biblical Teaching and Learning”, Introduction to Bibical Christian Education. Edit:  Werner C. Graendorf (Chicago: Moody, 1988) 71.
[77]C. H. Benson, Teknik Mengajar (Malang: Gandum Mas,1980) 8.
[78]Mary G. Setiawani, Pembaharuan Mengajar (Jakarta: Kalam Hidup, 1996) 62.
[79]Homrighausen dan Enklaar, Pendidikan Agama Kristen (Jakarta: BPK, 1984) 13-16.
[80]Edward L. Hayes, The Biblical Foundation of Christian Education”, 28.
[81]Homrighausen dan Enklaar, Pendidikan Agama Kristen, 13-14.
[82]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 19.
[83]J.M. Price, Yesus Guru Agung (Bandung: LLB, 1997) 54.
[84]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 23
[85]William Barclay, Duta bagi Kristus (Jakarta: Gunung Mulia, 1985) 11-13.
[86]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 68.
[87]Edward L. Hayes, 30.
[88]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 25.
[89]Ibid. 112.
[90]B.S. Sijabat, Strategi Pendidikan Kristen, 1.
[91]Ibid. 248.
[92]Homrighausen & Enklaar, 180-181.
[93]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 68.
[94]Benson, 6.
[95]Ibid. 6-7.
[96]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 35.
[97]Homrighausen & Enklaar, 181.
[98]Stephen Tong, Arsitek Jiwa II, 23-25.
[99]Jachin Karuniadi, Kelahiran Baru (Bandung: LLB, 1979) 6, 7-32, 36-38.
[100]Benson, 12.
[101]Ibid. 7.
[102]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 34.
[103]Stephen Tong, Arsitek Jiwa I (Jakarta: Lembaga Reformed, 2001) 33-35.
[104]Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Paraktek PAK. Jilid 1 (Jakarta: Gunung Mulia, 1997) 247.
[105]Stephen Tong, Arsitek Jiwa II, 25-26.
[106]Homrighausen dan Enklaar, 182.
[107]B.S. Sijabat, Strategi Pendidikan Kristen, 249.
[108]Homrighausen & Enklaar, 180.
[109]Ibid. 181.
[110]Stephen Tong, Arsitek Jiwa I, 51.
[111]Wayne R. Rood, The Art of Teaching Christianity (New York: Abingdon Press, 1968) 51.
[112]John T.Sisemore, Guru dan Murid: Teman Sekerja (Bandung: LLB, t.t.) 6-17.
[113]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 90-91.
[114]Ibid. 109.
[115]C.H. Benson, 68, 93.
[116]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 113.
[117]Ibid.
[118]Edward dan F. Simpson, 72-73.
[119]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 113.
[120]Stephen Tong, Arsitek Jiwa I, 53.
[121]John M. Gregory, 7 Hukum Mengajar (Malang: Gandum Mas, t..t.) 47.
[122]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 112-113.
[123]Stephen Tong, Arsitek Jiwa II, 32.
[124]C.H. Benson, 8.
[125]Edward dan F. Simpson, 71.
[126]Stephen Tong, Arsitek Jiwa I, 54.
[127]Mary Go Setiawani, 78.
[128]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 108.
[129]Tong Stephen, Arsitek Jiwa II, 85-99.
[130]Ibid.
[131]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 112.
[132]Stephen Tong, Arsitek Jiwa II, 85-99.
[133]B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional, 112.
[134]Hasan Alwi (pemred.), Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002) 17. 
[135]Winarno Surakhmad, Pengantar Interaksi Mengajar-Belajar (Bandung: Tarsito, 1982) 34.
[136]Linda J. Vogel, Mengajar dan Belajar di dalam Kelompok Masyarakat Iman (Semarang: STBI, tp.th) 55.
[137]Ad. Rooijakkers, Mengajar dengan Sukses (Jakarta: Grasindo,1982)  6.
[138]Ibid. 58.
[139]Ibid. 60-61.
[140]Ratna Wilis Dahar,  Teori-Teori Belajar (Bandung:  Erlangga,  1989) 11.
[141]Muhibbin  Syah,  Psikologi Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995) 88.
[142]Ibid. 90.
[143]B.S. Sidjabat,  Menjadi Guru yang Profesional, 40.
[144]E.P. Hutabarat, Cara Belajar, 12.
[145]Zainudin Arif, Andragogi (Bandung: Angkasa, 1994)  5.
[146]Ibid. 6.
[147]Ibid. 7.
[148]Winarno Surakhmad, Pengantar Interaksi Mengajar Belajar, 66. 
[149]Hutabarat E.P.,  Cara Belajar (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986) 20.
[150]Ibid. 25.
[151]Winarno Surakhmad,  Pengantar Interaksi Mengajar Belajar,  66.
[152]Muhibbin Syah,  Psikologi Pendidikan, 227. 
[153]Ibid.
[154]Zainudin Arif, Andragog, 78-80.
[155]B.S.  Sidjabat, Menjadi Guru yang Profesional, 93. 
[156]Baca H.R. Mill,   Teaching and Training A Handbook for Intruction (New York:  Micmillan, 1977).
[157]Baca David Kolb, Styles of Learning Invertory (1981).
[158]Mary Go Setiawani, Pembaruan Mengajar (2004) 22-33.
[159]Jay Kesler, Tolong Saya Punya Anak Remaja (Jakarta: BPK, 1986).
[160]O.  Hallesby, Temperamen dan Iman Kristen (Jakarta: Tenda Artika, 1989) 7.
[161] H. Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, 2002, 108.
[162]Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, 29.
[163]Ibid. 35.
[164]Ibid. 35.
[165] Jujun S. Suriasumantri,  Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999) 32.
[166] Ibid.
[167] Mark B. Woodhouse, Berfilsafat sebuah Langkah Awal  (Yogyakarta: Kanisius, 2000) 34.
[168] Ibid. 35.
[169] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, 89.
[170] Ibid. 90.
[171] Ibid.
[172] George F. Kneller, Introduction To The Philosophy of Education (The United States of America, 1971) 29-30.
[173]J. Donald Butle1, Four Philosopy  (New York: Harper & Brothers Publishing, 1950) 34.
[174]J. Donald Butler, Four Philosophies And Their Practice in Education and Religion (New York: Harper & Brothers Publishers, 1957) 35-37.
[175]Norman L. Geisler, Etika Kristen Pilihan dan Isu (Malang: SAAT, 2000) 122.
[176]Dagobert Rune, Dictionary of  Philosophy, 98.
[177]Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, 41.
[178]George R. Knight, Philosophy and Education (Michigan: Andrew University Press, 1980)  41-112;  Michael L. Peterson, Philosophy of Education (Leicester: InterVarsity Press,  1986) 23-76. 
[179] J. Donald Butler, Idealism in Education (New York: Harper & Row, 1966) 80.
[180]Ibid. 81.
[181]J. Donald Butle, Idealism in Education (New York: Harper & Row, 1966) 5-37. 
[182]J. Donald Butler, Idealism in Education, 85.
[183]Ibid. 87.
[184]Ibid. 92.
[185]Ibid. 93.
[186]Ibid.
[187]Ibid. 96.
[188]Ibid.
[189]Ibid. 97.
[190]Ibid. 99-102.
[191]Ibid.
[192]Ibid. 104.
[193]Ibid.
[194]Ibid. 110.
[195]Ibid. 111.
[196]Ibid.
[197]Ibid. 112.
[198]Ibid.
[199]Ibid. 113.
[200]Ibid. 114.
[201]Ibid.
[202]Ibid. 114-115.
[203]Ibid. 115.
[204]Ibid. 117.
[205]Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan (Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2007) 41.
[206]George R. Knight,  Philosophy and Education (London: Andrews University Press, 1980) 52.
[207] Jack Terry tt, Education Philosophy (Texsas: SBTC, 1982) 101.
[208]Ozmon & Craver, Philosophical Foundations of Education (Virginia: Commonwealth Univercity, 1995) 39.
[209]Howard A. Ozmon dan Samuel M. Craver, Philosophical Foundations of Education (New Jersey: Prentice Hall, 1991) 39-53.
[210]Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, 103-112.
[211]Wakhudin dan Trisnahada, Filsafat Naturalisme (Bandung: PPS-UPI, 2009); akhmadsudrajat.wordpress.com. (Diambil tanggal 17 Januari 2009).
[213]Jack Terry, Education Philosophy, 101-103.
[214]Ibid. 104-105.
[215]Ibid. 105-106.
[216]Ibid. 106.
[217]Ibid. 107;  WM. Oliver Martin, Realism in Education (Newk York: Harper & Row Publishers, 1969) 148-156.
[218]Cek pembahasan tentang Filsafat Pendidikan Realism:  Naturalisme berasal dari kata “nature.” Kadang pendefinisikan “nature” hanya dalam makna dunia material saja, sesuatu selain fisik secara otomatis menjadi “supranatural.” Tetapi dalam realita, alam terdiri dari alam material dan alam spiritual, masing-masing dengan hukumnya sendiri. Era Pencerahan, misalnya, memahami alam bukan sebagai keberadaan benda-benda fisik tetapi sebagai asal dan fondasi kebenaran. Ia tidak memperlawankan material dengan spiritual, istilah itu mencakup bukan hanya alam fisiktetapi juga alam intelektual dan moral. Salah satu ciri yang paling menakjubkan dari alam semesta adalah keteraturan. Benak manusia sejak dulu menangkap keteraturan ini. Terbit dan tenggelamnya matahari, peredaran planet-planet dan susunan bintang-bintang yang bergeser teratur dari malam ke malam sejak pertama kali manusia menyadari keberadaannya di dalam alam semesta, hanya merupakan contoh-contoh sederhana. Ilmu pengetahuan itu sendiri hanya menjadi mungkin karena keteraturan tersebut yang kemudian dibahasakan lewat hukum-hukum matematika. Tugas ilmu pengetahuan umumnya dapat dikatakan sebagai menelaah, mengkaji, menghubungkan semua keteraturan yang teramati. Ilmu pengetahuan bertujuan menjawab pertanyaan bagaimana dan mengapa. Namun khusus untuk kosmologi, pertanyaan ‘mengapa’ ini di titik tertentu mengalami kesulitan yang luar biasa.
[219]K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1979) 75.
[220]Jalaluddin & Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997) 66-67; baca juga Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan,113-116.
[221]Democritus adalah seorang filosof Yunani Kuno yang hidup sekitar tahun 460-370 SM. Ia adalah atomis pertama, materialis pertama dan perintis sains mekanik. Ketika ditanya, “Alam ini dibuat dari apa?” atau “Apakah yang riil itu” ia menjawab, “Alam terdiri dari dua bagian. Pertama adalah atom, bagian yang sangat kecil sekali dan tak terbatas jumlahnya, mempunyai kualitas yang sama, tetapi mengandung perbedaan yang bemacam-macang tentang besar dan bentuknya. Kedua adalah ruang kosong di mana atom-atom tersebut bergerak.
Atom adalah terlalu kecil untuk dilihat mata, dan tak dapat rusak. Atom menggabungkan diri berkombinasi dengan cara bermacam-macam membentuk manusia, binatang, tanam-tanaman, batu-batuan dan sebagainya. Jika atom itu dalam jumlah yang sangat besar bertabrakan serta terpental ke berbagai jurusan, timbullah bermacam-macam benda. Atom ini bersama gerakan-gerakannya di angkasa merupakan penjelasan tentang fenomena-fenomena. Democritus merupakan seorang rasionalis yang mengatakan bahwa akal itu tahu benda-benda yang benar. Persepsi indra hanya memberi pengetahuan yang relatif.
[222]Kelompok materialis, sebagaimana kelompok aliran-aliran lainnya tidak sepakat atas segala persoalan, atau tidak berpegang seluruhnya kepada persoalan-persoalan tersebut di atas. Dalam dunia sekarang, materialisme dapat mengambil salah satu dari dua bentuk, satu mekanisme atau materialisme mekanik (mechanistic materialism) dengan tekanan pada sains alam; dan kedua materialisme dialektik (dialectical materialsm) yang merupakan filsafat resmi Rusia, Cina, dan kelompok-kelompok komunis lainnya di seluruh dunia. Materialisme mekanik mempunyai daya tarik yang sangat besar oleh karena kesederhanaannya. Dengan menerima pendekatan itu, seseorang merasa telah dapat membebaskan diri dari problema-problema yang membingungkan yang selama beabad-abad. Apa yang riil (benar, sungguh-sungguh ada) dalam manusia adalah badannya, dan ukuran kebenaran atau realitas adalah sentuhan penglihatan dan suara, yakni alat-alat verifikasi eksperimental (Juhaya S. Pradja, 1987).
[223]Jalaluddin & Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, 65.
[224]J. Donald Butler, Four Philosophies, 81-82.
[225]Gerald L. Gutek, Historical and Philosophical Foundations of Education (New Jersey: Prentice-Hall, inc., 1997) 103.
[226]Gerald L. Gutek, Historical and Philosophical Foundations of Education, 104.
[227]Ibid.
[228]M.A.W. Brouwer, Sejarah Barat Modern dan Sejaman (Bandung: Alumni, 1980) 11-12; baca juga Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1980) 36-37.
[229]J. Donald Butler, Four Philosophies, 72-73.
[230]J. Donald Butler, Four Philosophies and Their Practice in Education and Religion ( New York: Harper & Brother Publishers, 1957)  64-79.
[231]Gerald L. Gutek, Historical and Philosophical Foundations of Education, 279-80.
[232]Ibid.
[233]J. Donald Butler, Four Philosophies, 76-77.
[234]Bobbi De Porter & Mike Hernacki, Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan (Bandung: Kaifa, 2000) 44.
[235]Hawasi, Thomas Aquinas: Menyelaraskan antara Iman dan Akal (Jakarta: Polyama, 2003) iii.
[236]The World University Encyclopedia (Washington DC: Publisher Company Inc, 1965) 3088.
[237]Hawasi, Thomas Aquinas, iv.
[238]Darmodiharjo, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Jakarta: Gramedia) 68.
[239]Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat (Jakarta: Rajagrafindo Perkasa, 1996) 32.
[240] Hawasi, Thomas Aquinas, 6.
[241]Jostein Gaarder, Dunia Sophie (Bandung: Mizan, 1999) 201.
[242]Hawasi, Thomas Aguinas, 7.
[243]Ibid. 10.
[244]Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika:Sejak Jaman Yunani sampai Abad ke 19  (Yogyakarta, Kanisius, 1997) 85.
[245]Ibid. 22-23.
[246]Hawasi, Thomas Aquinas, 24.
[247] Ibid. 26-27.
[248]Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika:Sejak Jaman Yunani sampai Abad ke-19, 85.
[249]Hawasi, Thomas Aquinas, 32.
[250]Anton Bakker, Ontologi Metafisika Umum  (Yogyakarta: Kanisius, 1992) 33.
[251]Hawasi, Thomas Aquinas, 35.
[252]Harun Hadiwijono, Sari FIlsafat Barat I (Yogyakarta: Kanisius, 1992) 107-108.
[253]Hawasi, Thomas Aquinas, 39.
[254]Ibid. 43.
[255]Ibid. 46.
[256]The World University Encyclopedia (Washington DC: Publisher Company Inc, 1965) 3088.
[257] Lihat http//en.wikipedia.org/wiki/neothomisme (Diambil 25 Agustus 2000).
[258]Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan, 18.
[259]Ibid. 23.
[260]Ibid. 34.
[261] Dominic Strinati, Popular Culture: Pengantar Menuj Teori Budaya Populer (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1995) 17.
[262]Ibid. 18.
[263]Hawasi, Thomas Aquinas, 4.
[264]Werner C Graendorf, Introduction of Biblical Christian Education (Chicago: Moody Press, 1981) 16.
[265]Charles Ryrie, Teologi Dasar I (Yogyakarta: Andi, 1991) 245.
[266]Ibid. 265.
[267]Ibid. 266-268.
[268]Jack Terry, Education Philosophy, 111 mengatakan bahwa pragmatisme mempunyai banyak nama seperti:  “experimentalism”, “progressivism”, “instrumentalism”, bahkan “reconstructionism”.  Berkaitan ini,  Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan (Bandung: Rosdakarya, 2004) 235-240 mengatakan bahwa salah satu aliran filsafat pendidik dari beberapa aliran filsafat yang ada seperti: idealisme, realisme, scholastisisme, empirisme,  dan neopositivisme.
[269]George F. Kneller, Introduction to the Philosophy of`Education (New York: John Wiley & Sons, Inc., 1971)  13; baca juga J. Donald Butler, Four Philosophies (New York: Harper & Brothers Publisher, 1957) 417.
[270]Howard A. Ozmon & Samuel M. Craver, Philosophical Foundations of Education (New Jersey: Prentice Hall, 1995) 121-170;  J. Donald Butler, Four Philosophies, 417-443; baca  juga Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung: CV Alfabeta, 2003)  118 mengatakan bahwa pendiri filsafat pragmatisme di Amerika adalah Charles Sandre Peirce (1839-1914), William James (1842-1910), dan John Dewey (1859-1952). Ketiga filosof tersebut berbeda, baik dalam metodologi maupuan dalam kesimpulannya. Pragmatisme Pierce dilandasi oleh fisika dan matematika, filsafat Dewey dilandasi oleh sains-sains sosial dan biologi, sedangkan filsafat  James adalah personal, psikologis, dan bahkan mungkin religius. Tetapi sebenarnya, latarbelakang pragmatisme  dapat ditemukan hasil kerja dari: Francis Bacon (a new way of thinking), John Locke dan Jean-Jacques Rousseau (the centrality of Experience), Auguste Comte dan Charles Darwin dan (science and society). Sedangkan tokoh yang mempengharuhi semua itu para filosos Yunani mulanya seperti: Heraclitus dan The Sophists.
[271]Howard A. Ozmon & Samuel M. Craver, Philosophical Foundations of Education,  121. Istilah lainnya yang dapat diberikan para filsafat pragmatisme adalah intrumentalisme dan eksperimentalisme. Disebut instrumentalisme, karena mengganggap bahwa dalam hidup ini tidak dikenal tujuan akhir, melainkan hanya tujuan berikutnya, termasuk dalam pendidikan tidak mengenal tujuan akhir. Dikatakan eksperimentalisme, karena filsafat ini menggunakan metode eksperimen dan berdasarkan atas pengalaman dalam menentukan kebenarannya.
[272] William James, Pragmatism (New York: Longmans, 1907) 54-55.
[273] Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004) 42.
[274]George R. Knight, Philosophy and Education (Michigan: Andrews University Press, 1980) 67-68.
[275]Jack Terry, Education Philosophy, 112. 
[276]Nel Noddings, Philosophy of Education (USA: Westview Press, 1995)  31.
[277]George R. Geiger, “An Experimentalist Approach to Education”, Modern Philosophies and Education, ed. Nelson B. Henry (1955) 138.
[278]Howard A. Ozmon dan Samuel M. Craver, Philosophical Foundations of  Education, 122- 131.
[279]Baca Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan,119-123.
[280]George R. Knight, Philosophy and Education, 13.
[281]Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan,235-237.
[282]Ibid. 35.
[283]Ibid. 35.
[284]Ernest E. Bayles, Pragmatism in Education (New York: Harper & Row, 1966) 42.
[285]J.P. Sarumpaet, Perbandingan Pendidikan, Perancis, Inggris, Amerika Serikat dan Uni Soviet (Jakarta: Djambatan, 1965) 144-145.
[286]Baca John Dewey, Democracy and Education (New York: The McMillan Company, 1964) 69.
[287]Ibid.; baca Gerald L. Gutek, Historical and Philosophical Foundations of Education (New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1997) 318-321.
[288]Ibid. 56.
[289]Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif, 55.
[290]Ibid. 83-89.
[291]Ernest E. Bayles, Pragmatism in Education (Newk York: Harper & Row Publishers, 1966)  92-108.
[292]Howard A. Ozmon & Samuel M. Craver, Philosophical Foundations of Education, 145-146.
[293] Baca Sidney Hook, in Education for Modern Man (New York: Knopf, 1963).
[294]William Heard Kilpatrick, In Education for a Changing Civilization (New York: Macmillan, 1927).
[295]George R. Geiger, “An Experimentalist Approach to Education”, 144.
[296]Ibid. 100.
[297]Jack Terry, Education Philosophy, 123.
[298]Wasty Soemanto dan Hendyat Soetopo,  Dasar & Teori Pendidikan Dunia Tantangan bagi Para Pemimpin Pendidikan (Surabaya: Usaha Nasional, 1982) 121-125.
[299]Imam Barnadib, Fisafat Pendidikan, Sistem dan Metode, 29.
[300]Baca Theodore Brameld, The Pattern of Educational Philosophy (New York: The Mac. Milland Company, 1956).
[301]John Dewey, Experience and Education: Pendidikan Berbasis Pengalaman (Bandung: Teraju, 2004) 10,12.
[302]Jack Terry, Education Philosophy, 123.
[303]George R. Knight, Philosophy and Education, 73.
[304]Jack Terry, Education Philosophy, 122.
[305]Ernest E. Bayles, Pragmatism in Education, 21.
[306]Ibid. 69.
[307]George R. Geiger, “An Experimentalist Approach to Education”, 149-153.
[308]Baca  John Dewey, Experience and Education, 19-33.
[309]Howard A. Ozmon dan Samuel M. Craver, Philosophical Foundations of Education,  244-256.
[310]Van Cleve Morris, Existentialism in Education: What it Mean’s `(Newk York: Harper & Row Publishers, 1966) 134.
[311]George F. Kneller, Introduction to the Philosophy of  Education (New York:  John Wiley & Sons, Inc., 1964)  57-60.
[312]Howard A. Ozmon dan  Samuel M. Craver, Philosophical Foundations of  Education, 175-184.

Misi Kristus Sedunia

PELAJARAN SEKOLAH MINGGU

  TANGGAL   PELAJARAN SEKOLAH MINGGU KATEGORI Babak pertama        ...