Friday 4 October 2019

Mengapa Dikotomi, Bukan Trikotomi?

Tanya:
Mengapa Pandangan Konseling Alkitabiah Mengenai Manusia Itu Bersifat Dikotomi Bukannya Trikotomi?
Jawab:
Menurut pandangan dikotomi, manusia terdiri dari dua unsur yang berbeda, yaitu raga (body) dan jiwa (soul). Raga mewakili segala sesuatu yang tampak, sementara jiwa mewakili semua yang tak terlihat. Dalam hal ini, istilah soul (jiwa) dan spirit (roh) adalah aspek yang tidak terlihat pada manusia yang ditilik dari dua sudut pandang yang berbeda. Maksudnya, sebenarnya jiwa dan roh itu satu bila dilihat dari segi numerik.
Pemakaian kedua istilah di atas dalam Alkitab membuktikan adanya pemikiran dikotomi. Soul ("nephesh" dalam PL dan "psyche" dalam PB) dan spirit ("rush" dalam PL dan "pneuma" dalam PB). Sebagai contoh, bandingkan Kejadian 35:18 dan Kejadian 31:5, juga Yohanes 12:27 dengan Yohanes 13:21. Argumentasi lainnya, yaitu pentingnya arti jiwa diperlihatkan oleh penggunaannya dalam beraneka konteks untuk menamai totalitas dari aspek yang tidak terlihat pada manusia. Misalnya dalam Markus 12:30, Lukas 1:46, Ibrani 1:18-19, dan Yakobus 1:21. Akhirnya, Alkitab menggunakan kata tubuh dan jiwa bersama-sama untuk menggambarkan manusia seutuhnya, seperti dalam Matius 10:28 dan Matius 16:26.
Dalam menilai dikotomi, soal penciptaan merupakan argumen terkuat. Kejadian 2:7 mencatat bahwa manusia menjadi jiwa yang hidup. Istilah ini mengandung segala sesuatu yang membentuk makhluk yang hidup dan bernapas. Maka lebih tepat apabila dikatakan bahwa manusia mempunyai roh, yang berupa jiwa. Selain itu, kedua istilah tersebut dapat saling dipertukarkan dan hal ini menguatkan dikotomi tersebut. Dari sisi negatifnya, kedua bacaan tadi (1 Tesalonika 5:23 dan Ibrani 4:12) tampaknya membedakan jiwa dari roh, sebagaimana dilakukan oleh mereka yang memiliki pemikiran trikotomi.
Menurut pemikiran trikotomi, manusia terdiri dari tiga unsur berbeda, yaitu tubuh, jiwa, dan roh. Jiwa mencakup prinsip memberi nyawa dan kemampuan yang dimiliki manusia, seperti pikiran, hati, dan kehendak. Sebaliknya, roh adalah kemampuan rohani untuk berhubungan dengan Tuhan. Inilah yang dimaksud dengan dilahirkan kembali dalam keselamatan.
Bukti dari posisi tersebut dapat dijumpai dalam beberapa bacaan Alkitab yang menunjukkan fungsi jiwa dan fungsi roh yang berbeda, seperti Matius 16:26 (apa yang hendak diberikan oleh manusia bagi nyawanya/jiwanya, bukan bagi rohnya) dan Roma 8:16 (Roh Kudus bersaksi kepada roh kita, bukan kepada jiwa kita). Di samping itu, dalam 1 Tesalonika 5:23 kedua istilah tersebut juga dibedakan satu dari yang lain. Yang lebih penting lagi, Ibrani 4:12 menunjukkan bahwa jiwa dan roh dapat dipisahkan oleh firman Tuhan. Oleh sebab itu, seharusnya roh dan jiwa diartikan sebagai dua hal yang berbeda.
Setelah dievaluasi, sebenarnya pandangan trikotomi paling mampu menjelaskan mengapa seseorang dapat dikatakan hidup secara jasmaniah namun mati secara rohaniah. Oleh sebab itu, banyak penyajian Injil yang dilakukan berdasarkan pandangan trikotomi. Akan tetapi, keuntungan ini tidak diimbangi oleh adanya dukungan alkitabiah untuk kedudukan tersebut. Mengenai 1 Tesalonika 5:23, pertama-tama kita perlu mengamati, yaitu Paulus sedang sibuk berdoa. Ia tidak sedang membicarakan tentang aspek apa yang membentuk manusia. Kedua, kata "dan" yang menghubungkan jiwa dan roh lebih tepat diartikan sebagai suatu "epeksegese kai" ketimbang sebagai keterkaitan yang sederhana, sehingga kedua istilah yang dipertanyakan tersebut merupakan cara-cara lain dalam membicarakan aspek tidak tampak yang dimiliki manusia. Ketiga, kata kerja "terpelihara" dan kata sifat "seluruhnya" yang sama-sama menjelaskan suatu kata berbentuk tunggal. Kendatipun, kata kerja berbentuk tunggal juga dapat menjelaskan subyek netral dalam tata bahasa Yunani, tata bahasanya berbunyi yaitu "apabila subyek terdiri dari kata benda kolektif yang menunjukkan kumpulan, maka kata kerja yang mengikutinya berbentuk tunggal."(1) Akhirnya, kata "seluruhnya" itu "holoteleis" bukan "holomereis", artinya tidak mengacu pada bagian-bagiannya. Jadi tanda-tanda leksikal, kontekstual, dan gramatikalnya jelas-jelas mengecilkan penafsiran trikotomi ayat tersebut.
Kasus yang terdapat pada Ibrani 4:12 juga sama problemanya. Bacaan tersebut tidak membicarakan soal pemisahan jiwa dari roh, karena tidak terdapat kata depan ek, apo, atau kata. Lagi pula, tidak terdapat kata kerja yang menunjukkan adanya pembagian antara dua hal. Pelengkapnya berupa serangkaian genitif, seperti "memisahkan jiwa dari roh." Dengan kata lain, yang dipastikan di sini yaitu kemampuan firman Tuhan memisahkan jiwa dari jiwa itu sendiri dan roh dari roh itu sendiri. Ungkapan seperti "sendi-sendi dan sumsum" mengokohkan pemahaman kita akan ayat satu ini. Ungkapan ini tidak berarti adanya pemisahan sendi-sendi dari sumsum, karena di antara keduanya tidak ada kaitan. Yang dimaksud di sini, yakni pemisahan tulang sendi yang satu dari tulang sendi yang lain dan pemisahan sumsum tulang dari permukaan tulang. Oleh sebab itu, Ibrani 4:12 tidak dapat dijadikan eksegese untuk mempertahankan trikotomi.
Penganut dikotomi mempunyai cara lebih baik untuk menghubungkan jiwa dengan roh yang sejalan dengan penafsiran Alkitab. Jiwa/nyawa membuat tubuh hidup dan merupakan pusat kesadaran dan kepribadian manusia, mencakup intelektual, afeksi, dan kehendak. Kata roh mengacu pada kemampuan tidak terlihat yang sama dalam hubungannya dengan Tuhan. Seorang yang mati secara rohaniah adalah orang yang kemampuan-kemampuan jiwanya tidak dihubungkan sebagaimana mestinya dengan Tuhan. Dalam kelahiran baru, Roh mengarahkan kembali semua kemampuan jiwa kepada Tuhan sehingga jiwa hidup kembali secara rohaniah.
Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul asli buku:Introduction to Biblical Counseling
Judul buku terjemahan:Pengantar Konseling Alkitabiah -- Pedoman Dasar Prinsip dan Praktik Konseling
Judul bab:Pertanyaan-Pertanyaan tentang Konseling Alkitabiah yang Acapkali Diajukan
Penulis artikel:Ken L. Sarles
Penerjemah:Tidak dicantumkan
Penerbit:Gandum Mas, Malang 2002
Halaman:453 -- 455

Perngertian Pragmatisme dalam Pendidikan

Pengertian Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan. Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis.2 Aliran ini bersedia menerima segala sesutau, asal saja hanya membawa akibat praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang praktis yang bermanfaat. Dengan demikian, patokan pragmatisme adalah “manfaat bagi hidup praktis”.
Kata pragmatisme sering sekali diucapkan orang. Orang-orang menyebut kata ini biasanya dalam pengertian praktis. Jika orang berkata, Rencana ini kurang pragmatis, maka maksudnya ialah rancangan itu kurang praktis. Pengertian seperti itu tidak begitu jauh dari pengertian pragmatisme yang sebenarnya, tetapi belum menggambarkan keseluruhan pengertian pragmatisme.
Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah, apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata.
Oleh sebab itu kebenaran sifatnya menjadi relatif tidak mutlak. Mungkin sesuatu konsep atau peraturan sama sekali tidak memberikan kegunaan bagi masyarakat tertentu, tetapi terbukti berguna bagi masyarakat yang lain. Maka konsep itu dinyatakan benar oleh masyarakat yang kedua.
Pragmatisme dalam perkembangannya mengalami perbedaan kesimpulan walaupun berangkat dari gagasan asal yang sama. Kendati demikian, ada tiga patokan yang disetujui aliran pragmatisme yaitu, (1) menolak segala intelektualisme, dan (2) absolutisme, serta (3) meremehkan logika formal.
Metafisika Pragmatisme
Filsafat pragmatisme secara umum dipandang berupaya menengahi pertikaian idealisme dan empirisme serta berupaya melakukan sintesis antara keduanya. Pragmatisme mendasarkan dirinya pada metode filsafat yang memakai sebab-sebab praktis dari pikiran serta kepercayaan sebagai ukuran untuk menetapkan nilai dan kebenaran. Di sini pandangan William James tentang pragmatism agaknya mewakili pertanyaan kita tentang pragmatism tersebut. pragmatisme adalah sikap memandang jauh terhadap benda-benda pertama, prinsip-prinsip, serta kategori-kategori yang dianggap sangat penting untuk melihat ke depan pada benda-benda terakhir berdasarkan akibat dan fakta-fakta.
Dalam penjabaran William di atas, kita bisa mengetahui betapa filsafat pragmatisme selalu menjadi pemikiran filsafat yang didasarkan pada metode dan pendirian ketimbang pada doktrin filsafat yang bersifat sistematis. Oleh karena itu, pragmatisme kerap pula disadari sebagai upaya-upaya penyelidikan eksperimental berdasarkan metode sains modern. Pengalaman menjadi sesuatu yang begitu fundamental dan begitu menentukan.
Para pragmatis selalu menolak jika filsafat mereka dikatakan berlandaskan suatu pemikiran metafisik sebagaimana metafisika tradisional yang selalu memandang bahwa dalam hidup ini terdapat sesuatu yang bersifat absolute dan berada di luar jangkauan pengalaman-pengalaman empiris. Dari itu, bagi mereka seandainya pun realitas adikodrati memang ada, mereka berasumsi bahwa manusia tidak akan mampu mengetahui hal itu.
Pemikiran ini menunjukkan bahwa epistemology pragmatisme sepenuhnya berbasis pendekatan empiris : apa yang bisa dirasakan itulah yang benar. Artinya, akal, jiwa, dan materi adalah sesuatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Sebab hanya dengan mengalamilah pengetahuan itu dapat diserap. Pengalaman menjadi parameter ketika sesuatu dapat diterima kebenarannya. Oleh karena itu, para pragmatis tidak nyaris pernah mendasarkan satu hal kebenaran. Menurut mereka, pengalaman yang pernah mereka alami akan berubah jika realitas yang mereka alami pun berubah.
Corak paling kuat dari pragmatism adalah kuatnya pemikiran tentang konsep kegunaan. Makna kegunaan dalam pragmatisme lebih ditetapkan pada kebenaran sains, bukan pada hal-hal bersifat metafisik. Maka, dalam pragmatisme pengetahuan tidak selalu mesti diidentikkan dengan kepercayaan, tetapi kerap menjadi dua hal yang sama sekali terpisah. Kebenaran yang mungkin dianggap perlu dipercayai (to believe) bagi para pragmatis selalu menjadi sesuatu hal bersifat professional atau pribadi dan itu tidak perlu dikabarkan pada public. Sedangkan, hal-hal yang diangap perlu diketahui haruslah selalu dikabarkan atau didemonstrasikan pada pengamat yang qualified dan tak berpihak. Kepercayaan memang ada dalam pengetahuan meski banyak pula kepercayaan tidak akan ditemukan siapapun di banyak pengetahuan.
Pandangan-pandangan itu semuanya terangkai oleh konsep kegunaan dan fungsi pragmatis. Oleh karena itu, para pragmatis kerap mengungkapkan betapa apa yang kita mesti ketahui keraplah bukan sesuatu yang mesti kita percayai. Dalam sisi yang lain, sebab konsep kegunaan, apa yang ita percayai tidak selalu menjadi sesuatu hal yang pragmatisme selalu hadir menjadi relative dan kasuistik. Sebuah kebenaran yang dipandang benar-benar valid dan berguna, di waktu yang lain bisa menjadi sesuatu hal yang sama sekali mesti dilupakan.
Tokoh-tokoh Filsafat Pragmatisme
Filosuf yang terkenal sebagai tokoh filsafat pragmatisme adalah William James dan John Dewey.
  1. William James (1842-1910 M)
William James lahir di New York pada tahun 1842 M, anak Henry James, Sr. ayahnya adalah orang yang terkenal, berkebudayaan tinggi, pemikir yang kreatif. Selain kaya, keluarganya memang dibekali dengan kemampuan intelektual yang tinggi. Keluarganya juga menerapkan humanisme dalam kehidupan serta mengembangkannya. Ayah James rajin mempelajari manusia dan agama. Pokoknya, kehidupan James penuh dengan masa belajar yang dibarengi dengan usaha kreatif untyuk menjawab berbagai masalah yang berkenaan dengan kehidupan.
Karya-karyanya antara lain, Tha Principles of Psychology (1890), Thee Will to Believe (1897), The Varietes of Religious Experience (1902) dan Pragmatism (1907). Di dalam bukunya The Meaning of Truth, Arti Kebenaran, James mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri dan terlepas dari segala akal yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita anggap benar dalam pengembangan itu senantiasa berubah, karena di dalam prakteknya apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu, tidak ada kebenaran mutlak, yang ada adalah kebenaran-kebenaran (artinya, dalam bentuk jamak) yaitu apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman khusus yang setiap kali dapat diubah oleh poengalaman berikutnya.
Nilai pengalaman dalam pragmatisme tergantung pada akibatnya, kepada kerjanya artinya tergantung keberhasilan dari perbuatan yang disiapkan oleh pertimbangan itu. Pertimbangan itu benar jikalau bermanfaat bagi pelakunya, jika memperkaya hidup serta kemungkinan-kemungkinan hidup.
Di dalam bukunya, The Varietes of Religious Experience atau keanekaragaman pengalaman keagamaan, James mengemukakan bahwa gejala keagamaan itu berasal dari kebutuhan-kebutuhan perorangan yang tidak disadari, yang mengungkapkan diri di dalam kesadaran dengan cara yang berlainan. Barangkali di dalam bawah sadar kita, kita menjumpai suatu relitas cosmis yang lebih tinggi tetapi hanya sebuah kemungkinan saja. Sebab tiada sesuatu yang dapat meneguhkan hal itu secara mutlak. Bagi orang perorangan, kepercayaan terhadap suatu realitas cosmis yang lebih tinggi merupakan nilai subjektif yang relatif, sepanjang kepercayaan itu memberikan kepercayaan penghiburan rohani, penguatan keberanian hidup, perasaan damain keamanan dan kasih kepada sesama dan lain-lain.
James membawakan pragmatisme. Isme ini diturunkan kepada Dewey yang mempraktekkannya dalam pendidikan. Pendidikan menghasilkan orang Amerika sekarang. Dengan kata lain, orang yang paling bertanggung jawab terhadap generasi Amerika sekarang adalah William James dan John Dewey. Apa yang paling merusak dari filsafat mereka itu? Satu saja yang kita sebut: Pandangan bahwa tidak ada hukum moral umum, tidak ada kebenaran umum, semua kebenaran belum final. Ini berakibat subyektivisme, individualisme, dan dua ini saja sudah cukup untuk mengguncangkan kehidupan, mengancam kemanusiaan, bahkan manusianya itu sendiri.
  1. John Dewey (1859-1952 M)
Sekalipun Dewey bekerja terlepas dari William James, namun menghasilkan pemikiran yang menampakkan persamaan dengan gagasan James. Dewey adalah seorang yang pragmatis. Menurutnya, filsafat bertujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia serta lingkungannya atau mengatur kehidupan manusia serta aktifitasnnya untuk memenuhi kebutuhan manusiawi.
Sebagai pengikut pragmatisme, John Dewey menyatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis, tidak ada faedahnya.
Dewey lebih suka menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme. Pengalaman adalah salah satu kunci dalam filsafat instrumentalisme. Oleh karena itu filsafat harus berpijak pada pengalaman dan mengolahnya secara aktif-kritis. Dengan demikian, filsafat akan dapat menyusun sistem norma-norma dan nilai-nilai.
Instrumentalisme ialah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam itu dengan cara utama menyelidiki bagaimana pikiran-pikiran itu dengan cara utama menyelidiki bagaimana pikiran-pikiran itu berfungsi dala penemuan-penemuan yang berdasarkan pengalaman yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan.
Menurut Dewey, kita ini hidup dalam dunia yang belum selesai penciptaannya. Sikap Dewey dapat dipahami dengan sebaik-baiknya dengan meneliti tiga aspek dari yang kita namakan instrumentalisme. Pertama, kata “temporalisme” yang berarti bahwa ada gerak dan kemajuan nyata dalam waktu. Kedua, kata futurisme, mendorong kita untuk melihat hari esok dan tidak pada hari kemarin. Ketiga, milionarisme, berarti bahwa dunia dapat diubah lebih baik dengan tenaga kita. Pandangan ini dianut oleh William James.
  1. Kritik-kritik terhadap Pragmatisme
Kekeliruan Pragmatisme dapat dibuktikan dalam tiga tataran pemikiran :
  1. Kritik dari segi landasan ideologi Pragmatisme
Pragmatisme dilandaskan pada pemikiran dasar (Aqidah) pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme). Hal ini nampak dari perkembangan historis kemunculan pragmatisme, yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari empirisme. Dengan demikian, dalam konteks ideologis, Pragmatisme berarti menolak agama sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Jadi, pemikiran pemisahan agama dari kehidupan merupakan jalan tengah di antara dua sisi pemikiran tadi. Penyelesaian jalan tengah, sebenarnya mungkin saja terwujud di antara dua pemikiran yang berbeda (tapi masih mempunyai asas yang sama). Namun penyelesaian seperti itu tak mungkin terwujud di antara dua pemikiran yang kontradiktif. Sebab dalam hal ini hanya ada dua kemungkinan. Yang pertama, ialah mengakui keberadaan Al Khaliq yang menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan. Dan dari sinilah dibahas, apakah Al Khaliq telah menentukan suatu peraturan tertentu lalu manusia diwajibkan untuk melaksanakannya dalam kehidupan, dan apakah Al Khaliq akan menghisab manusia setelah mati mengenai keterikatannya terhadap peraturan Al Khaliq ini.
Sedang yang kedua, ialah mengingkari keberadaan Al Khaliq. Dan dari sinilah dapat dicapai suatu kesimpulan, bahwa agama tidak perlu lagi dipisahkan dari kehidupan, tapi bahkan harus dibuang dari kehidupan.
  1. Kritik dari segi metode pemikiran
Pragmatisme yang tercabang dari Empirisme nampak jelas menggunakan Metode Ilmiyah, yang dijadikan sebagai asas berpikir untuk segala bidang pemikiran, baik yang berkenaan dengan sains dan teknologi maupun ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan. Ini adalah suatu kekeliruan.
  1. Kritik terhadap Pragmatisme itu sendiri
Pragmatisme adalah aliran yang mengukur kebenaran suatu ide dengan kegunaan praktis yang dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ide ini keliru dari tiga sisi.
Pertama, Pragmatisme mencampur adukkan kriteria kebenaran ide dengan kegunaan praktisnya. Kebenaran suatu ide adalah satu hal, sedang kegunaan praktis ide itu adalah hal lain. Kebenaran sebuah ide diukur dengan kesesuaian ide itu dengan realitas, atau dengan standar-standar yang dibangun di atas ide dasar yang sudah diketahui kesesuaiannya dengan realitas. Sedang kegunaan praktis suatu ide untuk memenuhi hajat manusia, tidak diukur dari keberhasilan penerapan ide itu sendiri, tetapi dari kebenaran ide yang diterapkan. Maka, kegunaan praktis ide tidak mengandung implikasi kebenaran ide, tetapi hanya menunjukkan fakta terpuaskannya kebutuhan manusia .
Kedua, pragmatisme menafikan peran akal manusia. Menetapkan kebenaran sebuah ide adalah aktivitas intelektual dengan menggunakan standar-standar tertentu. Sedang penetapan kepuasan manusia dalam pemenuhan kebutuhannya adalah sebuah identifikasi instinktif. Memang identifikasi instinktif dapat menjadi ukuran kepuasan manusia dalam pemuasan hajatnya, tapi tak dapat menjadi ukuran kebenaran sebuah ide. Maka, pragmatisme berarti telah menafikan aktivitas intelektual dan menggantinya dengan identifikasi instinktif. Atau dengan kata lain, pragmatisme telah menundukkan keputusan akal kepada kesimpulan yang dihasilkan dari identifikasi instinktif .
Ketiga, pragmatisme menimbulkan relativitas dan kenisbian kebenaran sesuai dengan perubahan subjek penilai ide –baik individu, kelompok, dan masyarakat– dan perubahan konteks waktu dan tempat. Dengan kata lain, kebenaran hakiki Pragmatisme baru dapat dibuktikan –menurut Pragmatisme itu sendiri– setelah melalui pengujian kepada seluruh manusia dalam seluruh waktu dan tempat. Dan ini mustahil dan tak akan pernah terjadi. Maka, pragmatisme berarti telah menjelaskan inkonsistensi internal yang dikandungnya dan menafikan dirinya sendiri.
Implementasi Aliran Filsafat Pragmatisme
Dalam pelaksanaannya, pendidikan pragmatisme mengarahkan agar subjek didik saat belajar di sekolah tak berbeda ketika ia berada di luar sekolah. Oleh karenanya, kehidupan di sekolah selalu disadari sebagai bagian dari pengalaman hidup, bukan bagian dari persiapan untuk menjalani hidup. Di sini pengalaman belajar di sekolah tidak berbeda dengan pengalaman saat ia belajar di luar sekolah. Pelajar menghadapi problem yang menyebabkan lahirnya tindakan penuh dari pemikiran yang relative. Di sini kecerdasan disadari akan melahirkan pertumbuhan dan pertumbuhan akan membawa mereka di dalam beradaptasi dengan dunia yang berubah. Ide gagasan yang berkembang menjadi sarana keberhasila.
  1. Instrumemtalisme
Dewey berpendapat bahwa berpikir sebagai alat untuk memecahkan masalah. Dengan demikian maka ia mengesampingkan penelitian ilmu murni yang secara langsung berkaitan dengan kehidupan konkret.
  1. Eksperimentalisme
Kita menguji kebenaran suatu peoposisi dengan melakukan percobaan. Dengan demikian maka tidak ada kebenaran yang pasti dan dapat dijadikan pedoman dalam bertindak. Misalnya: suatu UU terus menerus diuji. Lantas, kapan masyarakat bisa menjadikan UU itu sebagai pedoman untuk bertindak? Pendek kata dalam hidup bermasyarakat, kita memerlukan kebenaran yang ditetapkan, bukan terus-menerus diuji.
  1. Pendidikan
Dewey menekankan pendidikan formal berdasarkan minat  anak-anak dan pelajaran yang diberikan hendaknya disesuaikan dengan minat anak-anak. Dengan pandangan yang demikian maka pelajaran yang berlangsung di sekolah tidak difokuskan karena minat setiap anak itu berbeda-beda. Demikian juga dengan pelajaran-pelajaran pokok yang harus diajarkan kepada anak-anak tidak dapat diterapkan dengan baik.
  1. Moral
Penolakan dewey terhadap gagasan adanya final end berdasarkan finalis kodrat manusia dan sebagai gantinya ia menekankan peran ends-in-view, membuat teorinya jatuh pada masalah ”infinite regress” (tidak adanya pandangan yang secara logis memberi pembenaran akhir bagi proses penalaran. Karena adanya final end yang berlaku universal ditolak dan yang ada adalah serangkaian ends-in-view maka pembenaran terhadap ends-in-view tidak pernah dilakukan secara defenitif. Akibatnya tidak ada tolak ukur yang tegas untuk menilai tindakan itu baik atau tidak
Model pembelajaran pragmatisme adalah anak belajar di dalam kelas dengan cara berkelompok. Dengan berkelompok anak akan merasa bersama-sama terlibat dalam masalah dan pemecahanya. Anak akan terlatih bertanggung jawab terhadap beban dan kewajiban masing-masing. Sementara, guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan motivator. Model pembelajaran ini berupaya membangkitkan hasrat anak untuk terus belajar, serta anak dilatih berpikir secara logis. Sebagaimana yang diungkap oleh Power (Sadulloh, 2003:133) bahwa, implikasi dari filsafat pendidikan pragmatisme terhadap pelaksanaan pendidikan mencakup tiga hal pokok. Ketiga hal pokok tersebut, yaitu:
  • Tujuan Pendidikan, tujuan pendidikan pragmatisme adalah memberikan pengalaman untuk penemuan hal-hal baru dalam hidup sosial dan pribadi.
  • Kedudukan Siswa, kedudukan siswa dalam pendidikan pragmatisme merupakan suatu organisasi yang memiliki kemampuan yang luar biasa dan kompleks untuk tumbuh.
  • Kurikulum, kurikulum pendidikan pragmatis berisi pengalaman yang teruji yang dapat diubah. Demikian pula minat dan kebutuhan siswa yang dibawa ke sekolah dapat menentukan kurikulum. Guru menyesuaikan bahan ajar sesuai dengan minat dan kebutuhan anak tersebut.
  • Metode, metode yang digunakan dalam pendidikan pragmatisme adalah metode aktif, yaitu learning by doing (belajar sambil bekerja), serta metode pemecahan masalah (problem solving method), serta metode penyelidikan dan penemuan (inquiri and discovery method). Dalam praktiknya (mengajar), metode ini membutuhkan guru yang memiliki sifat pemberi kesempatan, bersahabat, seorang pembimbing, berpandangan terbuka, antusias, kreatif, sadar bermasyarakat, siap siaga, sabar, bekerjasama, dan bersungguh-sungguh agar belajar berdasarkan pengalaman dapat diaplikasikan oleh siswa dan apa yang dicita-citakan dapat tercapai.
  • Peran Guru. Peran guru dalam pendidikan pragmatisme adalah mengawasi dan membimbing pengalaman belajar siswa, tanpa mengganggu minat dan kebutuhannya.
Selain hal di atas, pendidikan pragmatisme kerap dianggap sebagai pendidikan yang mencanangkan nilai-nilai demokrasi dalam ruang pembelajaran sekolah. Karena pendidikan bukan ruang yang terpisah dari sosial, setiap orang dalam suatu masyarakat juga diberi  kesempatan untuk terlibat dalam setiap pengambilan keputusan pendidikan yang ada. Keputusan-keputusan tersebut kemudian mengalami evaluasi berdasarkan situasi-situasi sosial yang ada.
KESIMPULAN
Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan. Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis.
Filosuf yang terkenal sebagai tokoh filsafat pragmatisme adalah William James dan John Dewey.
Seperti dengan aliran-aliran filsafat pada umumnya, pragmatisme juga memiliki kekeliruan sehingga menimbulkan kritik-kritik terhadap aliran filsafat ini. Kekeliruan pragmatisme dapat dibuktikan dalam tiga tataran pemikiran: (1) kritik dari segi landasan ideologi pragmatisme, (2) kritik dari segi metode pemikiran, dan (3) kritik terhadap pragmatisme itu sendiri.
Pragmatisme memandang bahwa siswa merupakan organisme rumit yang mempunyai kemampuan luar biasa untuk tumbuh, sedangkan guru berperan untuk memimpin dan membimbing pengalaman belajar tanpa ikut campur terlalu jauh atas minat dan kebutuhan siswa.
Daftar Pustaka
Damsar.2012. Pengantar Sosiologi Pendidikan.Jakarta : Kencana Media Prenada Group
http://filsafatpendidikanpragmatisme.blogspot.co.id/ ( diakses pada tanggal 25 September 2015 pukul 13.00 WIB )
https://afidburhanuddin.wordpress.com/2013/11/07/pragmatisme-dalam-pendidikan/ ( diakses pada tanggal 25 September 2015 pukul 13.00 WIB )

Pragmatisme

Pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis.[1] Dengan demikian, bukan kebenaran objektif dari pengetahuan yang penting melainkan bagaimana kegunaan praktis dari pengetahuan kepada individu-individu.[2]
Dasar dari pragmatisme adalah logika pengamatan, di mana apa yang ditampilkan pada manusia dalam dunia nyata merupakan fakta-fakta individual, konkret, dan terpisah satu sama lain.[1][2] Dunia ditampilkan apa adanya dan perbedaan diterima begitu saja.[2] Representasi realitas yang muncul di pikiran manusia selalu bersifat pribadi dan bukan merupakan fakta-fakta umum.[2] Ide menjadi benar ketika memiliki fungsi pelayanan dan kegunaan.[2] Dengan demikian, filsafat pragmatisme tidak mau direpotkan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar kebenaran, terlebih yang bersifat metafisik, sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan filsafat Barat di dalam sejarah.[2]

Awal mulaSunting

William James
Aliran ini terutama berkembang di Amerika Serikat, walau pada awal perkembangannya sempat juga berkembang ke InggrisPerancis, dan Jerman.[1] William James adalah orang yang memperkenalkan gagasan-gagasan dari aliran ini ke seluruh dunia.[1] William James dikenal juga secara luas dalam bidang psikologi.[1] Filsuf awal lain yang terkemuka dari pragmatisme adalah John Dewey.[1] Selain sebagai filsuf, Dewey juga dikenal sebagai kritikus sosial dan pemikir dalam bidang pendidikan.[3]
Secara etimologis, kata 'pragmatisme' berasal dari kata bahasa Yunani pragmatikos yang berarti cakap dan berpengalaman dalam urusan hukum, dagang, dan perkara negara.[4] Istilah pragmatisme disampaikan pertama kali oleh Charles Peirce pada bulan Januari 1878 dalam artikelnya yang berjudul How to Make Our Ideas Clear.[2]

Teori tentang kebenaranSunting

Menurut teori klasik tentang kebenaran, dikenal dua posisi yang berbeda, yakni teori korespondensi dan teori koherensi.[2] Teori korespondensi menekankan persesuaian antara si pengamat dengan apa yang diamati sehingga kebenaran yang ditemukan adalah kebenaran empiris,[2][5] sedangkan teori koherensi menekankan pada peneguhan terhadap ide-ide a priori atau kebenaran logis, yakni jika proposisi-proposisi yang diajukan koheren satu sama lain.[2][5] Selain itu, dikenal lagi satu posisi lain yang berbeda dengan dua posisi sebelumnya, yakni teori pragmatis.[2][5] Teori pragmatis menyatakan bahwa 'apa yang benar adalah apa yang berfungsi.'[5] Bayangkan sebuah mobil dengan segala kerumitan mesin yang membuatnya bekerja, namun yang sesungguhnya menjadi dasar adalah jika mobil itu dapat bekerja atau berfungsi dengan baik.[5]

Perkembangan pragmatismeSunting

Apa yang disebut dengan neo-pragmatisme juga berkembang di Amerika Serikat dengan tokoh utamanya, Richard Rorty.[2] Salah satu pemikirannya yang terkenal adalah bagaimana bahasa menentukan pengetahuan.[6] Karena bahasa hadir dalam bentuk jamak, demikianlah pengetahuan pun tidak hanya satu dan tidak dapat dipandang universal, atau dengan kata lain, tidak ada pola yang rasional terhadap pengetahuan.[6] Budaya atau nilai-nilai yang ada dilihat secara fungsinya terhadap manusia.[6]

ReferensiSunting

  1. ^ a b c d e f Harun Hadiwijono. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius. 130-131.
  2. ^ a b c d e f g h i j k l Adi Armin. 2003. Richard Rorty. Jakarta:Teraju. 20-28, 96.
  3. ^ (Inggris)C.F. Delaney. 1999. "Dewey, John". In The Cambridge Dictionary of Philosophy. Robert Audi, ed. 229-231. London: Cambridge University Press.
  4. ^ A. Mangunhardjana. 1997. Isme-isme dalam Etika dari A sampai Z. Yogyakarta: Kanisius. Hlm.189.
  5. ^ a b c d e (Inggris)John Hospers. 1997. An Introduction to Philosophical Analysis. London:Routledge. 43-47.
  6. ^ a b c Franz Magnis-Suseno. 2000. 12 Tokoh Etika Abad ke-20. Yogyakarta: Kanisius. 242-243.

Misi Kristus Sedunia

PELAJARAN SEKOLAH MINGGU

  TANGGAL   PELAJARAN SEKOLAH MINGGU KATEGORI Babak pertama        ...