Wednesday 9 October 2013

Israel Umat Pilihan Allah


ISRAEL


Officially: State of Israel , Hebrew "Medinat Yisra'el", Arabic "Isra'il", country in the Middle East, located at the eastern end of the Mediterranean Sea. It is bounded to the north by Lebanon, to the northeastby Syria, to the east and southeast by Jordan, to the
southwest by Egypt, and to the west by the Mediterranean Sea. The total area is 7,992 square miles (20,700 square km) excluding East Jerusalem and other territories occupied in the 1967 war. Jerusalem is the capital and the seat of government.

ISTILAH-ISTILAH DALAM PUJIAN

Istilah dalam Pujian dan Penyembahan :.      
ISTILAH-ISTILAH DALAM PUJIAN

BARAK (Ibrani)
Kata dasar : Barak-lutut/berkat.
Kata ini dipergunakan untuk:
1. menyanjung, memberi hormat, memberkati.
2. memuji, merayakan, memuja.
3. mengakui Allah sebagai sumber berkat.
4. mengakui Allah sebagi sumber kuasa.
Bentuk pujian ini menyatakan suatu sikap penghormatan dan keheningan di hadapan Allah. Tidak ada pernyataan dalam kata ini tentang ekspresi vokal ataupun ucapan.
Dasar Alkitab:
Mazmur 103:1-2, Mazmur 103:20-23

TENTANG SANG PENCIPTA, KITAB SUCI DAN PARA NABI

TENTANG SANG PENCIPTA, KITAB SUCI DAN PARA NABI
Oleh PROFESOR DAVID BENJAMIN KELDANI, B.B. (Wafat 1940)
Dahulu Uskup Katholik Roma di Uramiah, Kaldea

Alih Bahasa Oleh: H.W. Pienandoro SH


B. NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERJANJIAN BARU

Bab 12
"EUDOKIA " BERARTI "AHMADIYEH"
(Lukas ii. 14)
Untuk menterjemahkan sebuah masterpiece dari seorang penulis terkemuka dari versi bahasa asing jika orang itu meninggalkan tulisan-tulisan lainnya tetapi dalam bahasanya sendiri, akan tidak sangat sulit. Karena dengan begitu penterjemah itu dapat mempelajari jiwa, alasan-alasan teknis, dan ungkapan-ungkapan dalam karyanya, dan berusaha sebaik mungkin menurut kemampuannya untuk menterjemahkan buku itu kembali ke dalam bahasa aslinya. Tetapi seberapa jauh dia akan berhasil adalah suatu masalah yang hanya seorang penterjemah yang berkemampuan dapat memutuskan dan menentukannya. Sama saja halnya, apabila ada paling tidak sepasang surat atau tulisan Santo Lukas dalam bahasa Ibrani, kitab Injilnya secara komparatif dapat diterjemahkan dengan lebih sedikit kesulitan ke dalam bahasa selain daripada apa yang kini sudah dapat dilakukan. Namun sayang bahwa hal sedemikian itu bukanlah masalahnya. Karena tiada apapun yang tersisa dari tulisan-tulisan kuno dalam bahasa yang dipakai Jesus dari mana Santo Lukas menterjemahkan lagu malaikat itu; juga dia sendiri tidak meninggalkan kepada kita sebuah kitab lain dalam dialek Semit.
Agar saya menjadi lebih baik dimengerti, dan agar para pembaca yang berbahasa Inggris lebih baik menghargai arti penting yang luar biasa dari masalah ini, saya memberanikan untuk menantang para sarjana dalam literatur Inggris dan Perancis untuk menterjemahkan kembali sebuah buku drama karya Shakespeare dalam editi Perancis ke dalam bahasa Inggris tanpa melihat teks asli yang berbahasa Inggris, dan untuk menunjukkan kelembutan dan keelokan (grace and elegance) karya aslinya juga.
Ahli filsafat Muslim yang besar Ibn Sina (Avicenna) menulis dalam bahasa Arab, dan beberapa dari bukunya kemudian diterjemahkan kembali dari bahasaf Latin ke bahasa Arab karena yang asli telah hilang. Apakah reproduksi ini merupakan teks yang persis sama karya Aristotle Muslim ini? Pastilah tidak!
Dalam artikel sebelum ini dalam serial ini, mengenai "Eiriny" kita telah membicarakan masalah penterjemahan ini hingga batas tertentu; dan kita tidak menjumpai kesulitan untuk menemukan ekivalen dalam bahasa Ibrani dari "Shalom", karena kedua-duanya identik baik dalam Septuagint maupun dalam teks Ibrani. Namun kata Yunani "Eudokia" tidak demikian halnya, sebaik pengetahuan saya, dalam versi Septuagint, dan sangatlah sukar untuk menemukan ekivalen atau sinonim dalam bahasa aslinya. Santo Barnabas tidak menyebutkan nyanyian malaikat dan ceritera tentang Gembala dari Betlehem itu dalam Injilnya; demikian pula Synoptic lainnya atau surat-surat dalam Perjanjian Baru.
Bahasa Yunani modern sering menggunakan kata "Eudokia" dan "Eudoxia" untuk kata sebutan feminin; dan kedua kata benda ini terdiri dari dua unsur: "eu" dan "dokeo" dari yang terakhir disebut itu diturunkan "doxa" yang berarti "kemuliaan" atau "pujian" dan sebagainya.
Untuk menemukan kata asli dalam bahasa Semit dalam lagu yang didengar dan diceriterakan oleh gembala yang saleh itu, dan yang pengabar Injil Lukas memformulakannya sebagai "Eudokia", kita dipaksa untuk menyelidiki dan menjejaki dengan benar dari akar kata dalam bahasa Yunani dan derivasinya. Namun sebelum melakukan itu, adalah perlu untuk memberikan kritik dan menunjukkan versi-versi yang salah yang telah melingkari arti Eudokia yang sebenarnya dan menutupi kabar kenabiannya terhadap Ahmad atau Muhammad.
Ada dua versi utama dalam Perjanjian Baru dari teks Yunani, yang satu berasal dari yang disebut bahasa "Syriac," dan yang lain dalam bahasa Latin. Keduanya menyandang judul yang sama pentingnya yaitu "Simplex" atau "Simple" yang keduanya berarti "Pshittha" dan "Vulgate". Terdapat bahan informasi yang baru tentang kedua versi kuno yang terkenal itu yang pasti memalukan bagi para ahli sejarah Kristen yang paling terpelajar dan ahli-ahli teologi yang paling dogmatik. Namun untuk saat ini cukup kiranya untuk mengatakan bahwa versi Aramiah (1) yang disebut Pshittha adalah lebih tua daripada Vulgate yang dalam bahasa Latin. telah diketahui secara umum bahwa Gereja Roma untuk selama empat abad pertama tidaklah memiliki Kitab-Kitab Sucinya atau Liturgy dalam bahasa Latin tetapi dalam bahasa Yunani. Sebelum Konsili Nicea tahun 325 M, Canon dari kitab-kitab Perjanjian Baru belum selesai (completed) atau lebih baik (sudah) mapan (established).Ada beberapa lusin Injil dan Surat-Surat (Epistles) yang membawa beberapa nama apostel yang berbeda-beda dan sahabat-sahabat Jesus lainnya, yang oleh berbagai masyarakat Kristen dianggap sebagai suci, tetapi buku-buku itu ditolak oleh Konsili Nicea sebagai palsu.
Catatan Kaki
(1) Versi Pshittha dari Perjanjian Lama tidak pernah memakai kata "Syria" dan "Syriac," tetapi "Aram" dan "Aramiah".
----- Akhir Catatan Kaki
Karena tempat kedudukan atau pusat bahasa dan pelajaran bahasa Syria adalah Orhai, yaitu Edessa, dan tidak pernah Antiokia, di sinilah buku-buku Perjanjian Baru itu diterjemahkan dari bahasa Yunani sesudah Konsili Nicea yang terkenal dengan nama buruknya itu.
Penelitian dan studi yang mendalam mengenai literatur dan sejarah Kristen masa awal akan menunjukkan bahwa pendeta-pendeta pertama dari Injil adalah orang-orang Yahudi yang berbahasa Aramiah atau Syriac kuno. Apakah "Injil" ini adalah sebuah dokumen yang tertulis, atau sebuah doktrin yang tidak tertulis atau sebuah agama yang diajarkan dan disiarkan secara lisan, adalah suatu masalah tersendiri dan terletak di luar ruang lingkup pembicaraan kita saat ini. Namun satu hal adalah pasti dan betul ada dalam batas-batas pokok pembicaraan kita ini, yaitu orang-orang Kristen masa awal itu melakukan upacara keagamaan mereka dalam bahasa Aramiah. Itu adalah bahasa yang umum dipergunakan oleh orang-orang Yahudi, Syria, Funisia, Kaldea dan Asiria. Nah sekarang menjadi jelas bahwa orang-orang Kristen yang termasuk dalam bangsa-bangsa yang berbahasa Aramiah pastilah lebih memilih membaca buku dan berdo’a dalam bahasa mereka sendiri, dan dengan sendirinya berbagai Injil, Surat-Surat, buku-buku do’a, dan liturgi ditulis dalam bahasa Syria. Bahkan orang Armenia sebelum mereka ciptakan alfabet mereka sendiri dalam abad kelima, telah mempergunakan huruf Syria.
Pada pihak lain, orang-orang yang telah berpindah agama yang bukan orang Yahudi dari ras Semit (non-Semitic gentile) ke "jalan baru" membaca Perjanjian Lama dalam versi bahasa Yunani dari "Seventy." Dengan begitu para sarjana filsafat Yunani dan mantan pendeta "agama" mitologi Yunani, sekali telah mengalami perubahan agama ke keyakinan yang baru dan dengan Septuagint di hadapan mereka, dapat saja tidak mengalami kesukaran dalam memproduksi "Perjanjian Baru" sebagai pelengkapan atau kelanjutan dari Perjanjian Lama.
Bagaimana Injil yang sederhana dari Utusan Allah dari Nazareth itu telah menjadi sumber dari dua alam pikiran Semitik dan Hellenistik yang kuat dan berlaku saat itu; dan bagaiman alam pikiran Yunani yang politeistik itu akhirnya melibas kepercayaan monoteistik Semit di bawah Kaisar Yunani-Latin yang tiranikal, dan di bawah Uskup-Uskup Trinitarian dari Byzantium dan Romawi yang paling tidak toleran dan penuh ketakhayulan, adalah semua itu merupakan titik saat-saat ekstrim untuk studi yang mendalam oleh sarjana-sarjana Muslim.
Lalu ada masalah-masalah mengenai kesatuan keyakinan, tentang doktrin, dan tentang teks yang telah diungkapkan. Untuk selama lebih dari tiga abad Gereja Kristen tidak mempunyai Perjanjian Baru seperti bentuknya sekarang yang kita lihat. Tidak satupun gereja-gereja Semit maupun Yunani, demikian pula Antiokia, Edessa, Byzantium dan Romawi yang memiliki semua buku dari Perjanjian Baru, juga tidak memiliki empat Injil itu sebelum Konsili Nicea. Dan saya heran bagaimana gerangan atau apa jadinya kepercayaan Kristen itu yang hanya memiliki Injil Lukas, atau Markus, atau Yohanes, mengenai dogma-dogma perihal Eucharist, Pembaptisan, Trinitas, konsep ajaib tentang Jesus, dan beberapa lusin dogma dan doktrin lainnya! Pshittha versi Syria tidak memuat apa yang disebut "Yang Penting-Penting" ("Essential") atau "Kalimat-Kalimat Dogma" ("Institutional Words") yang kini masih ada dalam Injil Lukas ( xxii. 17, 18, 19). Dua belas ayat terakhir dari enam belas pasal dari Injil kedua tidak diketemukan dalam manuskrip kuno Yunani. Apa yang disebut "Do’a Tuhan" (Matius vi. 9; Lukas xi. 2) tidak dikenal oleh pengarang –pengarang Injil kedua dan keempat. Pada kenyataannya banyak ajaran penting yang dimuat dalam satu Injil tidak diketahui oleh Gereja yang tidak memiliki Injil itu. Akibatnya ialah bahwa tidak mungkin dapat ada keseragaman dalam pemujaan, disiplin, otoritas, keyakinan, perintah-perintah, dan hukum dalam masa awal gereja, persis seperti sekarang yang juga tidak ada. Semua yang dapat kita kumpulkan dari literatur tentang Perjanjian Baru adalah bahwa orang-orang Kristen dalam era apostel memiliki Kitab-Kitab Suci Yahudi sebagai Injil, dengan Injil yang berisi wahyu yang sebenarnya yang diturunkan kepada Jesus, dan bahwa substansinya persis sama seperti ketika dinyatakan dalam "Nyanyian Malaikat" ("Seraphic Canticle") yaitu ,ISLAM dan AHMADIYEH. Misi khusus yang ditugaskan oleh Allah kepada NabiNya Jesus adalah untuk mengembalikan atau merubah orang-orang Yahudi dari kepercayaan yang menyimpang dan salah mengenai Al Masih keturunan Daud (Davidic Messiah), dan untuk meyakinkan mereka bahwa Kerajaan Tuhan di muka bumi yang mereka harapkan bukanlah datang dari Al Masih keturunan Daud, tetapi keturunan keluarga Ismail yang bernama AHMAD, yang ekivalen sebenarnya dari namanya telah dituliskan dalam Injil Yunani dalam bentuk "Eudoxos" dan "Periclytos" dan bukan "Paraclete" seperti diciptakan oleh gereja. Dengan sendirinya bahwa "Periclyte" itu akan merupakan salah satu pokok pembicaraan utama dalam serial artikel ini. Namun apapun arti dari "Paraclete" (Yohanes xiv. 16, 26; xv. 26; dan xvi. 7) atau kartografi etimologis-nya, tetap ada kebenaran yang bersinar yang ditinggalkan oleh Jesus sesudahnya dan sebuah agama yang belum selesai untuk dilengkapkan dan disempurnakan oleh apa yang dilukiskan oleh Yohanes atau Yahya (ubi supra) dan Lukas( xxiv. 49) sebagai "Ruh" (Spirit). "Ruh" ini bukan Tuhan, yang ketiga dari tiga dalam trinitas ketuhanan, tetapi Ruh Suci dari Ahmad, yang telah ada seperti Ruh para Nabi lainnya di Sorga (cf Injil Barnabas). Jika Ruh Jesus, berdasarkan kesaksian seorang apostel, Yohanes ( xvii. 5, dsb), telah ada sebelum beliau menjadi manusia, orang-orang Muslim juga dapat dibenarkan seratus persen untuk mempercayai telah adanya Ruh Nabi Muhammad saw berdasarkan kesaksian seorang apostel juga, Barnabas! Dan mengapa tidak? Karena masalah ini akan dibicarakan dalam artikel berikutnya, untuk saat ini semua yang ingin saya tanyakan kepada gereja Kristen adalah ini: Apakah semua gereja Kristen di Asia, Afrika, dan Eropah memiliki Injil keempat sebelum Konsili Nicea? Bila jawabannya meyakinkan adanya, berdo’alah, bawalah bukti-bukti anda; bila jawabannya adalah sebaliknya, maka harus diakui bahwa sebagian besar orang Kirsten tidak mengetahui apa-apa tentang "Paraclete" – nya Santo Yohanes, sebuah kata yang dikorupsi yang tidak berarti baik "penghibur" (comforter) ataupun "perantara" (mediator) atau tidak berarti apapun! Hal ini pastilah suatu tuduhan yang serius dan menyedihkan terhadap agama Kristen.
Namun kembali pada pokok persoalan. Pshittha telah menterjemahkan kata "Eudokia" dalam bahasa Yunani (Orang Yunani membacanya "Ivdokia," atau mungkin mengucapkannya "Ivthokia") seperti halnya "Sobhra Tabha" (diucapkan: "Sovra Tava"), yang berarti "harapan baik" (good hope) atau " antisipasi yang baik" (good anticipation); sedang sementara itu di pihak lain Latin Vulgate (Injil dalam bahasa Latin) telah menterjemahkan "Eudokia" sebagai "Bona Volunta" atau "good will" – "itikad baik".
Tanpa takut saya menantang semua pakar atau sarjana Yunani, jika mereka berani, untuk menentang saya bila saya menyatakan bahwa para penterjemah buku-buku versi Syria dan Latin telah membuat kesalahan yang serius dalam interpretasi mereka atas kata "Eudokia." Bagaimanapun harus saya akui bahwa saya dengan berhati-hati tidak dapat menyalahkan para penterjemah itu yang dengan kesengajaan telah merusakkan arti istilah dalam bahasa Yunani ini; karena saya menyadari bahwa kedua versi itu mempunyai sebuah dasar yang tidak signifikan untuk membenarkan terjemahan mereka masing-masing. Namun meskipun demikian, haruslah dicatat bahwa mereka dengan begitu telah kehilangan pengertian ramalan dan arti yang sesungguhnya dari perbendaharaan kata bahasa Semit ketika mereka merubahnya ke dalam kata dalam bahasa Yunani "Eudokia."
Ekivalen yang tepat dan harfiah dari "good hope" dalam bahasa Yunani bukan "eudokia," tetapi "eu elpis" atau agaknya "euelpistia." Eksposisi dari ‘evelpistia" (pengucapan yang benar dalam bahasa Yunani) cukup untuk membuat Pshittha diam. Istilah yang persis dan pasti yang sama untuk "bona volunta" dalam bahasa Latin atau "good will" dalam lidah Yunani pastilah bukan "eudokia," tetapi "euthelyma." Dan penjelasan yang singkat namun mematikan ini sekali lagi adalah sebuah bantahan yang mencukupi kepada para pendeta dari Vatikan, dari Phanar (Konstantinopel), dan dari Canterbury, yang melagukan "Gloria in Excelsis" ketika mereka merayakan sebuah Misa atau melakukan sakramen lainnya.
ETIMOLOGI DAN PENGERTIAN "EUDOKIA"
Sekarang marilah kita melanjutkan usaha memberikan arti yang sebenarnya dari "Eudokia".
Sisipan depan yang bersifat kata sifat "eu" menunjukkan "baik, baik atau sehat, lebih , paling " ("good, well, more, most,") seperti dalam kata "eudokimeo" yang berarti "dihargai, disetujui, dicintai" ("to be esteemed, approved, loved,") dan "untuk mendapatkan kemuliaan" ("to acquire glory"); "eudokimos" berarti "sangat dihargai, paling terkenal dan mulia" ("very esteemed, most renowned and glorious"); "eudoxos" berarti "paling termasyhur dan mulia" ("most celebrated and glorious"); "eudoxia" berarti "seorang yang terkenal, kemasyhuran" ("celebrity, renown"). Substantif dalam bahasa Yunani "doxa" yang dipergunakan dalam kata majemuk "orthodox". "doxology" dan sebagainya, berasal dari kata kerja "dokeo." Setiap siswa literatur berbahasa Inggris mengetahui kata "doxa" berarti "kemuliaan, kehormatan, kemasyhuran" (" glory, honor, renown"). Terdapat banyak ungkapan dalam pengarang-penganrang klasik Yunani di mana "doxa" dipergunakan untuk menunjukkan "kemuliaan" ("glory"); "Peri doxis makheshai" berarti "berjuang untuk kemuliaan" ("to fight for glory"). Seorang orator Athena yang terkenal Demosthenes "lebih menyukai kemuliaan daripada kehidupan yang tenang" ("preferred glory to a tranquil life"), "kemuliaan yang sama dengan kemuliaan para dewa" ("glory equal to that of the gods"). Saya menyadari kenyataan bahwa "doxa", meskipun jarang, dipergunakan untuk menunjukkan
pendapat atau kepercayaan
dogma, prinsip, doktrin, dan
anticipasi atau harapan.
Namun pada umumnya pengertiannya yang umum dan komprehensif adalah "kemuliaan" ("glory"). Sebenarnya, bagian pertama dari Canticle diawali dengan "Doxa (Glory) bagi Allah Yang Maha Tinggi."
Dalam "Dictionnaire Grec - Francais" - kamus bahasa Yunani – Perancis (diterbitkan dalam tahun 1846 di Paris oleh R.C. Alexandre) kata "eudokia" diterjemahkan sebagai "bienveillence, tendresse, volunte, bon plaisir," ("benevolence, tender, goodwill, good pleasure") dan sebagainya; dan pengarangnya memberikan "dokeo" sebagai akar kata dari "doxa" dengan berbagai arti dan pengertiannya seperti telah saya sebutkan di atas.
Orang-orang Yunani yang ada di Konstantinopel yang saya mempunyai beberapa kenalan di antara para guru-gurunya, sementara sependapat mengartikan "eudokia" dengan "kegembiraan, kecantikan, kesenangan, dan keinginan" ("delight, loveliness, pleasantness, and desire"), juga mengakui bahwa kata itu berarti "seorang yang termasyhur, terkenal, keterhormatan" ("celebrity, renown, honourability") dalam pengertian aslinya sekaligus.
ETIMOLOGI DARI BENTUK BAHASA IBRANI MaHMaD DAN HiMDaH, DAN PENGERTIANNYA
Saya yakin bahwa jalan satu-satunya untuk mengerti arti dan semangat Injil adalah untuk mempelajarinya dari sudut pandang yang Islami. Hanya dengan begitu kemudian bahwa sifat yang sesungguhnya dari Wahyu Suci dapat dimengerti, dihargai dan dicintai. Juga hanya kemudian bahwa unsur-unsur yang lancung, palsu, dan heterogen di dalamnya dapat diketemukan dalam ciri-cirinya yang paling hitam dan dihilangkan. Dan dari sudut pandang inilah bahwa saya menyambut baik kata dalam bahasa Yunani "Eudokia" yang dalam pengertian yang sebenarnya dan harfiah dengan sangat mengagumkan sesuai dengan "Mahmad, Mahamod, Himdah" dan "Hemed" dalam bahasa Ibrani yang begitu sering dipergunakan dalam Perjanjian Lama.
Hamad. Kata kerja in yang terbuat dari tiga konsonan yang penting "hmd" dan umum bagi semua dialek Semit, di manapun dalam Tulisan Suci dari bangsa Ibrani menunjukkan arti: mendambakan, jatuh cinta, rindu akan, senang dan gembira dalam," ("to covet, fall in love, long for, take pleasure and delight in") dan "bergairah sekali" ("to desire ardently"). Mereka yang mengetahui bahasa Arab akan dengan sendirinya mengerti arti yang komprehensif dari kata "Shahwat" yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan "lust, cupidity, ardent desire, and appetite." Begitulah arti dan pengertian yang tepat dari kata kerja "hamad" dalam Kitab Suci Ibrani. Salah satu dari perintah dari "Sepuluh Perintah" (Dacalogue) dari Taurat atau Hukum mengandung pasal yang berikut ini: "Lo tahmod ish reikha" artinya "Engkau tidak boleh merindukan isteri tetanggamu" ("Thou shalt not covet the wife of thy neighbour") - Exodus xx. 17).
Hemed. sebagai substantif dalam kedudukan maskulin, dan "Himdah" dalam kedudukan feminin, mempunyai arti: "nafsu, gairah, keenakan, kesenangan, obyek kerinduan dan kegairahan, kecantikan" ("lust, desire, pleasantness, delight, object of longing and desire, loveliness") – Hagai ii. 7; Jeremiah xxv. 34, dsb.).
MaHMaD, MaHaMoD (Ratapan i. 7, 10; ii. 4, dsb.), bentuk-bentuk partisip ini berasal dari kata kerja "hamad" dan berarti "paling didambakan, menyenangkan, mengenakkan, lezat, menarik, mulia, dicintai" ("most covetable, delightful, pleasant, delicious, charming, precious, beloved")
Bahwa bentuk dalam bahasa Arab untuk "MuHaMmaD" dan bentuk dalam bahasa Ibrani "MaHMaD dan MaHaMoD berasal dari satu kata kerja atau akar kata yang sama, dan bahwa keduanya, meskipun ada sedikit perbedaan ortografi antara keduanya, mempunyai satu asal dan pengertian yang umum sedikitpun tidak diragukan sama sekali. Saya telah memberikan pengertian dari bentuk-brentuk dalam bahasa Ibrani sebagaimana orang Yahudi dan para lexicografer telah memahaminya.
Karena itu akan diamati bahwa kata dalam bahasa Yunani "eudokia" harus merupakan representasi harfiah dari substantif dalam bahasa Ibrani HiMDaH, dan bahwa keduanya berarti: "kesenangan, keenakan, kenikmatan yang baik, gairah, kecantikan, kemuliaan," ("delight, pleasantness, good pleasure (bon plaisir), desire, loveliness, preciousness") dan beberapa kata sinonim lainnya.
Nah, dari yang tersebut di atas itu akan diperoleh pengertian bahwa ekivalen yang sesuai dengan MaHaMoD dalam bahasa Ibrani tidak bisa lain daripada "eudoxos" yang adalah obyek dari kegairahan dan kerinduan, yang paling menyenangkan, mengenakkan dan didambakan, dan yang paling mulia, disetujui, dicintai, dan dihargai.
Bahwa di antara anak-anak Adam nama Muhammad harus telah diberikan untuk pertama kalinya hanya kepada anak Abdullah dan Aminah di kota Mekkah, adalah suatu keajaiban yang unik dalam sejarah agama-agama. Tak mungkin ada alat yang artifisial, usaha, atau pemalsuan dalam hal ini. Orang tuanya dan saudara-saudaranya adalah orang-orang yang "fitr" lurus tetapi tidak tahu apa-apa tentang ramalan dalam Kitab-Kitab Suci Ibrani atau Kristiani mengenai seorang Nabi besar yang dijanjikan untuk datang mengembalikan dan mendirikan agama Islam. Pilihan mereka akan nama Muhammad atau Ahmad tidak dapat diterangkan sebagai suatu kejadian yang bertepatan atau peristiwa yang kebetulan. Hal itu sudah barang tentu suatu takdir Tuhan dan karena ilham.
Apakah penyair-penyair dan ahli-ahli sastra Arab telah memelihara atau tidak memelihara pengertian kuno dari partisip pasif bahasa Ibrani dari bentuk pi’el dari kata kerja hamad, saya tidak mempunyai sarana apapun untuk membuktikan dengan satu atau cara lainnya. Namun bentuk partisip pasif dalam bahasa Arab dari konjugasi pi’el dari kata kerja hammida adalah Muhammad, dan bahwa kata yang sama himmid dalam bahasa Ibrani adalah Mahmad atau Mahamod. Pertalian antara kesamaan dan identitas kedua bentuk itu tidak dapat dipermasalahkan.
Dengan setia saya telah mereproduksikan pengertian dari bentuk-bentuk dalam bahasa Ibrani seperti telah diberikan oleh para lexicografer dan penterjemah. Namun pengertian intrinsik atau spiritual dari "Himdah" dan "Mahamod" adalah: "pujian dan pantas untuk dipuji, seorang yang termasyhur dan dihormati, kemuliaan dan mulia" ("praise and praiseworthy, celebrity and celebrated, glory and glorious"). Karena di antara mahluk dan benda yang diciptakan, apa yang dapat "lebih mulia, terhormat, terkenal, dan terpuji daripada yang paling didambakan dan dirindukan" ("more glorious, honorable, illustrious, and praised than that which is most coveted and desired"). Di dalam pengertian praktis inilah bahwa Al Qur’an mempergunakan kata "hamdu" dari mana kata Ahmad dan Muhammad berasal, dan "hamdu" adalah kata yang sama dengan "hemed" dalam bahasa Ibrani. Kemuliaan Nabi Muhammad saw melampaui kemuliaan mahluk lainnya yang manapun, seperti dilukiskan oleh Daniel ( vii 0, dan dalam wahyu Allah: "Law la ka lama Khalaqna ‘l-Aflaka" yang artinya: " Kalau bukan karena engkau, kalau bukan karena engka (wahai Muhammad yang tercinta), Kami tidak telah menciptakan dunia" (atau langit). tetapi kehormatan dan kemuliaan yang tertinggi yang diberikan oleh Allah kepada UtusanNya yang paling dihargai adalah bahwa beliau diperintahkan untuk mendirikan dan menyempurnakan agama Allah yang sejati, yang bernama "Islam," yang seperti nama Nabi Muhammad saw memiliki begitu sangat banyak pengertian yang menghibur dan menyehatkan: "damai, jaminan, keamanan, ketenangan, keselamatan" ("peace, security, safety, tranquility, salvation") dan "Kebaikan" berhdapan dengan "Kejahatan"; tambahan lagi pengertian penyerahan diri dan kepasrahan kepada Kehendak Allah. Visi dengan mana Gembala yang saleh dihormati dalam peristiwa kelahiran Jesus Kristus adalah tepat dan menguntungkan. Karena seorang Misionaris besar Allah, seorang Evangelis Islam telah dilahirkan. Karena Jesus adalah Utusan dari Kerajaan Allah, demikian pula Injilnya adalah suatu Introduksi kepada Al Qur’an. Kebangkitan Jesus adalah permulaan suatu era baru dalam sejarah agama dan moral. Beliau sendiri bukan "Mahamod" yang harus datang sesudahnya untuk menghancurkan Yang Jahat dan Kerajaan Penyembahan Berhala di Tanah jang Dijanjikan. "Binatang Keempat" kekuasaan Romawi yang kuat, masih bertumbuh dan melebarkan daerah taklukannya. Jeruzalem, dengan kuil dan kependetaan yang indah, akan dihancurkan oleh Binatang itu. Jesus "datang kepada kaumnya sendiri; tetapi kaumnya itu tidak sudi menerimanya." Dan mereka di antara orang-orang Yahudi yang menerima beliau dijadikan "anak-anak Kerajaan" tetapi sisanya tersebar di seluruh dunia. Kemudian diikuti oleh sepuluh penindasan yang mengerikan di bawah Kaisar Romawi yang penyembah berhala yang telah memahkotai ribuan orang dengan tiara kesyahidan; dan Constantine Agung dan pengganti-penggantinya dibenarkan untuk menumpas orang-orang yang beriman sesungguhnya pada Keesaan Allah. Kemudian adalah Nabi Muhammad saw – bukan tuhan atau anak tuhan, tetapi "Anak Manusia yang mulia, didambakan, yang paling terkenal, Bar Nasha yang sempurna" yang harus datang dan menghancurkan Binatang itu

ALKITAB BAHASA ASLI

ALKITAB BAHASA ASLI



Umat Kristen pasti mempunyai rasa ingin tahu ('curiosity') tentang Alkitab bahasa asli. Terlebih ketika Alkitab terjemahan tidak menyelesaikan persoalan, maka timbul pikiran untuk melihat Alkitab dalam bahasa aslinya. Alkitab bahasa asli adalah 'final authority' untuk menyelesaikan segala macam perdebatan teologia maupun percekcokan doktrinal. Semua Alkitab terjemahan hanya memuat kebenaran konseptual bukan kebenaran secara arti kata dan tata bahasa. Oleh sebab itu, jika melakukan pembahasan Alkitab secara etimologi, maka harus kembali ke Alkitab bahasa asli karena peralihan bahasa menyebabkan perubahan bentuk kata dan juga susunan kalimat.

Disadari pula bahwa ada perbedaan antara satu bahasa dengan yang lain. Ada bahasa yang banyak 'vocabulary'nya dan ada bahasa yang sedikit. Tidak dapat dikatakan bahwa Alkitab hasil terjemahan akan salah atau kurang bermutu, tetapi hanya ada kekurangan dalam menyampaikan semua idea penulis. Misalnya 'agape' dan 'fileo' dalam bahasa Indonesia kedua-duanya tetap diterjemahkan dengan kata "kasih" saja, sedangkan 'kurios' mempunyai makna ganda yaitu "Tuhan" dan "Tuan".

Karena Allah mengilhamkan kebenaran-Nya dengan bahasa manusia, maka pemakaian tiap-tiap kata dalam wahyu tertulis-Nya pasti adalah dipilih-Nya secara khusus. Bahkan tata bahasa yang dipergunakan-Nya juga pasti yang sesuai dengan aturan tata-bahasa manusia pemakai bahasa itu agar tidak menyebabkan kebingungan bagi penerima wahyu. Selanjutnya karena Allah memakai bahasa Ibrani untuk penulisan kitab Perjanjian Lama dan bahasa Yunani untuk penulisan kitab Perjanjian Baru, maka kitab Perjanjian Lama yang bahasa Ibrani serta kitab Perjanjian Baru yang bahasa Yunani itu sangat enting setidaknya untuk dikenal oleh setiap orang Kristen, apalagi seorang penyampai Firman Tuhan, misalnya pendeta atau Pastur.

Kitab Perjanjian Lama orang Kristen itu berasal dari kitab suci orang Yahudi. Jumlah kitab Perjanjian Lama bertambah sesuai dengan berjalannya waktu sampai nabi Maleakhi menuliskan pasal 4 ayat 6 yang jatuh pada kira-kira 400 tahun sebelum kelahiran Yesus.

Pada waktu kejatuhan Yerusalem ke tangan Babilon, kelihatannya kitab-kitab Perjanjian Lama yang sudah ada pada saat itu diselamatkan oleh nabi Yeremia. Nabi Yeremia yang tahu persis apa yang akan terjadi menyadari bahwa kitab suci jauh lebih berharga dari apapun.
Nebukadnezar yang tahu bahwa Yeremia menubuatkan kejatuhan Yerusalem sangat menghormati Yeremia. Bahkan ia membiarkan Yeremia memilih apakah ia mau tinggal di Yerusalem atau mau ikut ke Babel, dan akhirnya Yeremia memilih tinggal di Yerusalem. Hal ini dapat dibaca dalam Yeremia 39:11-14, "Mengenai Yeremia, Nebukadnezar, raja Babel, telah memberi perintah dengan perantaraan Nebuzaradan, kepala pasukan pengawal, bunyinya: 'Bawalah dan perhatikanlah dia, janganlah
apa-apakan dia, melainkan haruslah kaulakukan kepadanya sesuai dengan permintaannya kepadamu!' Maka Nebuzaradan, kepala pasukan pengawal, beserta Nebusyazban, kepala istana, dan Nergal-Sarezer, panglima, dan semua perwira tinggi raja Babel, mengutus orang - mereka menyuruh mengambil Yeremia dari pelataran penjagaan, lalu menyerahkannya kepada Gedalya bin Ahikam bin Safan untuk membebaskannya, supaya pulang ke rumah. Demikianlah Yeremia tinggal di tengah-tengah rakyat."

Ketika Nebukadnezar merebut Yerusalem, ia membawa pergi sekitar 25.000 orang, bagian terbesar adalah penduduk Yerusalem, ke pembuangan di Babel. Hal ini merupakan deportasi ke-3. Akan tetapi, orang-orang miskin di negeri itu ditinggalkan untuk menjadi tukang kebun anggur dan peladang di Palestina. Tidak mungkin orang-orang seperti itu akan mengadakan pemberontakan melawan kekuasaan Babel atas negeri tersebut, setelah para pemimpin politik terbunuh atau dideportasi. Nebukadnezar menunjuk seorang Yahudi bernama Gedalya untuk memerintah atas orang-orang Yahudi yang tetap tinggal di Palestina. Orang ini mengadakan ibu kotanya di Mizpa, sekitar 11 km sebelah utara Yerusalem. Yeremia datang ke Mizpa agar dapat bersama dengan Gedalya setelah kepala pasukan Nebukadnezar membebaskan nabi Yeremia dan menasehati dia untuk kembali kepada Gedalya.

Serangan Nebukadnezar pada tahun 605, 597, dan 589-586 sebelum Masehi mengakibatkan banyak kerusakan dan kehancuran di Yehuda. Bukti arkeologis menunjukkan bahwa banyak dari kota-kota Yehuda telah dihancurkan dan tidak dibangun kembali, suatu fakta yang secara khusus terbukti dalam penggalian-penggalian di Aseka, Bet-Semes dan Kiryat-Sefer, dan juga melalui pemeriksaan permukaan tanah di beberapa
tempat. Penggalian di Lakhis juga menunjukkan bukti tentang penghancuran oleh Babel. Penyerbuan terakhir, pada tahun 589, memuncak dalam pengepungan dan penghancuran Yerusalem yang disusul oleh deportasi terakhir pada tahun 586 sebelum Masehi.

Sekembali dari pembuangan, orang Yahudi mengalami kebangunan rohani. Mereka bukan hanya pergi ke Yerusalem tiga kali setahun, bahkan mendirikan 'sinagoge' di seluruh Israel. Keberadaan 'sinagoge' itu bukan hanya untuk kegiatan keagamaan, bahkan bermanfaat sebagai sekolahan membaca bagi anak-anak. Keadaan ini menyebabkan dibutuhkannya kitab-kitab Perjanjian Lama karena itu adalah bahan bacaan satu-satunya. Keadaan ini juga sekaligus melestarikan kanon kitab Perjanjian Lama karena jumlahnya menjadi semakin banyak sehingga kalau yang satu rusak, masih ada yang lain. Kini terkumpul sekitar 200.000 naskah kuno dalam bentuk 'fragment' dalam bahasa Ibrani dan Aramik.
Dengan cara demikian Allah memelihara firman-Nya, yaitu agar orang-orang di kemudian hari dapat memperbandingkannya. Ada orang bertanya, "Apakah kitab Perjanjian Lama yang ada di tangan umat Kristen masih asli?" Jawabannya, "Tentu, karena ada kurang lebih 200.000 'fragment' yang terkumpul dan dibanding-bandingkan."

Ketika Alexander Agung mengalahkan dunia pada abad ketiga sebelum kelahiran Yesus, bahasa Yunani menjadi bahasa internasional. Satu abad kemudian, yaitu abad kedua sebelum kedatang Yesus, generasi muda Yahudi perantauan menjadi lebih fasih berbahasa Yunani sehingga penerjemahan kitab Perjanjian Lama ke dalam bahasa Yunani dirasakan sangat diperlukan. Kemudian sebuah kitab terjemahan dihasilkan oleh 72 orang
penerjemah, dan disebut 'Septuaginta' yang artinya tujuh puluh, yaitu angka genap dari jumlah penerjemahnya.

Akhirnya pada masa kehadiran Yesus, kitab Perjanjian Lama yang beredar ada dua macam, yaitu yang berbahasa Ibrani dan berbahasa Yunani ('Septuaginta'). Selain terdiri dari dua macam bahasa, ada juga versi yang dipakai di 'sinagoge' dan versi yang dipakai oleh pribadi di rumah. Versi 'sinagoge' disalin ulang dengan sangat teliti. Menurut Gleason L. Archer dalam bukunya "The Zondervan Pictorial Encyclopedia of the Bible" (Grand Rapid: Zondervan Publishing House, 1982), jika ditemukan empat kesalahan, maka dianggap rusak dan segera dimusnahkan.
Mereka tidak menghendaki kehadiran salinan yang ada kesalahan agar jangan sampai makin hari makin banyak salinan yang salah.

Kemudian pada tahun 70 Masehi terjadi penghancuran kota Yerusalem beserta Bait Allah. Orang Israel terkocar-kacir dan tersebar ke mana-mana. Mereka kehilangan identitas sebagai bangsa. Setelah melalui sebuah periode waktu yang agak panjang, sebagian orang Israel menyadari bahwa mereka perlu berbuat sesuatu agar identitas bangsa mereka tidak hilang sama sekali. Mereka menyadari bahwa kitab Perjanjian Lama adalah tumpuan jati diri orang Yahudi serta merupakan pusat integritas keluarga Yahudi. Jika masih ada kanon kitab Perjanjian Lama yang terus-menerus dibacakan di 'sinagoge' dan dalam keluarga masing-masing, maka keyahudian mereka pasti tidak akan hilang.

Pada periode 70-900 Masehi, sekelompok orang Yahudi yang disebut 'Baly ha-masoret' ('master of tradition' atau guru adat-istiadat) berusaha mengumpulkan salinan-salinan untuk memantapkan eksistensi kitab Perjanjian Lama. Perlu diketahui bahwa yang terbakar adalah yang ada di kota Yerusalem, tetapi masih ada banyak salinan yang tersimpan di 'sinagoge-sinagoge' yang bisa dijadikan patokan. Alasan yang mendorong
mereka melakukan pekerjaan itu ialah karena salinan yang ada hanya tertulis dengan huruf mati sedangkan generasi muda Yahudi yang sudah tersebar mengalami kesulitan untuk membaca tanpa huruf hidup. Bagi yang lancar berbahasa Ibrani, ia tidak membutuhkan huruf hidup, melainkan cukup dengan huruf mati (konsonan) saja sudah bisa membaca dan mengerti artinya. Jadi kalau kalimatnya, "Musa turun dari gunung Sinai" itu hanya ditulis "Ms trn dr gnng sn".

Jadi "Baly ha-masoret" itu berusaha mengumpulkan salinan-salinan dan berusaha membubuhkan huruf hidup (vokal) agar generasi yang kurang fasih berbahasa Ibrani bisa belajar membaca. Hasilnya bukan saja iman Yudaisme mereka tetap terpelihara, bahkan bahasa Ibrani tetap lestari sementara bahasa Mesir, Persia dan lain-lain musnah terkikis waktu.
Dengan demikian jati diri mereka sebagai orang Yahudi tetap terpelihara sekalipun mereka tersebar ke segala penjuru dunia.

Dalam melaksanakan tugas yang sangat berat itu para 'Baly ha-masoret' dibantu oleh ahli tata-bahasa ('grammar') yang dalam bahasa Ibrani disebut 'nag danim'. Karena kitab Perjanjian Lama asli yang ditulis Musa, Daud, Samuel dan lain-lain tidak memakai huruf hidup ('vokal') dan juga tanpa tanda baca, maka sulit dimengerti oleh generasi muda Yahudi maupun bangsa lain yang mempelajari bahasa asli kitab Perjanjian Lama. Para 'Baly ha-Masoret' dan 'nag danim', orang-orang Yahudi yang masih sangat fasih bahkan ahli dalam bahasa Ibrani itu, menolong memasang huruf hidup dan tanda baca ke dalam teks yang tadinya hanya terdiri dari huruf mati dan tanpa tanda baca.

Kesederhanaan teks yang ditulis jauh sebelum Masehi itu tentu bukanlah suatu kesalahan karena perkembangan pengetahuan bahasa pada saat itu cuma hanya sampai pada tahap itu. Penambahan huruf hidup dan tanda baca itu sama sekali bukan menambahi firman Tuhan, melainkan hanya menjadikan bunyi yang sudah ada ke dalam tanda baca. Misalnya, "makan" kalau dulu ditulis "mkn" saja, maka sekarang ditambahkan dua huruf "a" sehingga menjadi "makan". Bahkan bahasa Indonesia pernah mengalami beberapa kali penyempurnaan. Dulu "Soekarno" sekarang menjadi "Sukarno". Dulu "djangan" sekarang menjadi "jangan", dan dulu "tjepat" sekarang menjadi "cepat".

Para 'Baly ha-Masoret' dan 'nag danim' yang hidup sesudah 70 Masehi, yang menguatirkan keimanan anak-cucu bangsa Israel telah dipakai Allah untuk memelihara kitab Perjanjian Lama yang sangat dibutuhkan jemaat Perjanjian Baru. Hasil karya mereka disebut 'Masoretic Text' (Teks Masoretik), dipakai oleh baik kaum Yahudi maupun Kristen.

Pada tahun 1947 dunia kekristenan dikejutkan dengan diketemukannya Dead Sea Scroll. Seorang bocah Baduin yang berusaha mencari dombanya yang hilang tanpa sengaja memasuki gua di Wadi Qumran, sebelah barat daya Laut Mati. Di dalam gua yang gelap ia tersandung pada gulungan benda yang dua kaki panjang dan sepuluh inci tebal. Para gembala itu menjualnya ke toko antik di Bethlehem yang memberi beberapa gulung, dan seorang 'Archbishop' dari gereja Orthodox Syria membeli sisanya.
Beberapa orang ahli menelitinya dan menyimpulkan bahwa itu tidak ada nilainya. tetapi E.L. Sukenik, dari Hebrew University di Yerusalem, mengenal keunikan gulungan itu dan membeli tiga gulungan. Gulungan lain dibawa ke American School of Oriental Research, diteliti oleh J.C. Trever dan W.F. Albright, seorang arkeolog Alkitab, akhirnya pada tahun 1948 menyadari bahwa itu adalah gulungan kitab-kitab Perjanjian Lama.

Pada akhir tahun 1951 kembali di sekitar gua-gua Laut Mati, yaitu di gua Wadi Murabba'at ditemukan lagi gulungan-gulungan lain di antaranya juga terdapat gulungan teks 'Masoretik'. Pada tahun 1952 dilakukan eksplorasi yang lebih intensif dan di gua yang terletak di sebelah barat Khirbet Qumran ditemukan hampir keseluruhan kitab Perjanjian Lama kecuali kitab Ester.

Adapun isi dari 'manuscript' (MSS) yang ditemukan di Qumran itu ada sebagian berbeda dari Teks Masoretik namun sama dengan 'Septuaginta' (LXX). Tetapi lebih banyak kesamaannya dengan Teks Masoretik daripada dengan LXX. Kelihatannya MSS yang ditemukan di Qumran adalah teks yang dipergunakan oleh pribadi, bukan yang dipergunakan di 'sinagoge', karena ada banyak catatan pinggir, dan naskah tua yang diperkirakan sebelum Yesus, ternyata ada tambahan huruf hidup (vokal). Diketahui
bahwa naskah bahasa Ibrani sebelum para 'Baly ha-Masoret' memasangkan huruf hidup (vokal) naskah resmi yang dipakai di Bait Allah dan 'sinagoge' itu hanya terdiri dari huruf mati (konsonan) saja. Jadi kalau ada naskah sebelumnya yang terdapat selipan huruf hidup adalah naskah pribadi yang dipakai di keluarga. Biasanya karena anak-anak mereka belum terbiasa membaca tanpa huruf hidup, maka orang tua mereka membantu dengan menambahi huruf hidup bagi mereka.

Kalangan Liberal menjadi kalang-kabut dengan ditemukannya 'Dead Sea Scroll', namun sebagian mereka menjadikannya dasar untuk membangun 'Critical Texts' (Teks Pengritik) untuk mendiskreditkan Teks Masoretik. Tetapi kalangan Fundamental tetap yakin bahwa Teks Masoretik adalah teks terpercaya karena bukan hanya telah dikerjakan dengan sangat hati-hati, bahkan sumber landasannya adalah naskah resmi yang dipakai di 'sinagoge-sinagoge', bukan naskah pribadi yang telah banyak penambahan dan pengurangan. Bisa dipahami kalau sesuatu itu milik pribadi maka bisa ditambah dan dikurangi seperti yang dilakukan terhadap Alkitab hari ini, di mana umat Kristen membuat catatan di pinggir dan menandainya dan lain sebagainya.

Naskah-naskah kitab Perjanjian Baru telah terpelihara melalui orang-orang percaya yang menyayangi naskah itu sehingga orang berusaha memilikinya dengan memperbanyaknya. Dengan cara diperbanyak, maka naskah ini tidak dapat dimusnahkan, dan sekaligus dijaga keotentikannya karena di kemudian hari umat Kristen dapat membanding-bandingkannya.

Menurut The Zondervan Pictorial Encyclopedia of the Bible volume V, kini telah tersimpan ± 3,000 copy naskah Perjanjian Baru tulisan tangan dalam bahasa Yunani dalam bentuk fragment dan 2,000 copy dalam bentuk penjelasan (telah ditambahkan berbagai penjelasan) untuk kebutuhan pembacaan tiap hari, 8,000 manuscript dalam bahasa Latin, dan sekitar 2,000 terjemahan versi kuno. Tersedianya naskah-naskah kuno itu telah menjamin sehingga pekerjaan mengedit sebuah kitab Perjanjian Baru ke dalam buku setelah kertas dan alat cepat ditemukan itu dapat dilakukan. Naskah ini telah dipelihara dengan cara diperbanyak dan disimpan hingga manusia dapat menjilidnya menjadi sebuah kitab pada saat menusia telah menemukan alat cetak dan kertas.

Sesungguhnya naskah-naskah Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani telah tersebar ke mana-mana. Sesudah abad ketiga kelihatannya bahasa Latin menjadi bahasa yang cukup penting, terutama disebabkan karena pemerintahan Roma telah berlangsung cukup lama. Pada saat itu menurut Agustinus, hampir setiap orang yang tahu dua bahasa, yaitu Yunani dan Latin, berusaha menerjemahkan kitab-kitab Perjanjian Baru walaupun tidak lengkap. Itulah sebabnya kini terdapat sekitar 8,000 naskah kuno kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Latin. Secara resmi pada tahun 382, Paus Damasus menunjuk Jerome untuk menerjemahkan atau sebenarnya mengedit terjemahan-terjemahan tidak resmi terhadap empat Injil. Hasil revisi yang dikerjakan oleh Jerome itu itu kemudian dikenal dengan 'Vulgate' dalam bahasa Latin itu berarti "umum", mungkin maksudnya dipakai untuk umum. Versi 'Vulgate' dipakai secara resmi oleh gereja Katolik ratusan bahkan ribuan tahun.

Buku tertua dalam cetakan ialah buku dalam tulisan Tionghoa 'Diamond Sutra', yang dicetak pada tahun 868 dengan alat cetak kayu. Pada abad ke-11, orang Tionghoa meningkatkan penciptaan alat cetak bergerak dengan tanah liat. Namun apa yang telah dicapai di China tidak ada hubungannya dengan penemuan alat cetak di Eropa. Menurut The New Book of Knowledge, Volume XV, Johannes Gutenberg adalah orang pertama yang menemukan alat cetak pada tahun 1440 di benua Eropa.

Buku pertama yang dicetak oleh percetakan Gutenberg ialah Alkitab versi Vulgate yang cakap dalam ukuran folio, yang selesai pada tahun 1456, yang terkenal dengan sebutan 'Gutenberg Bible'.

Pada tahun 1502, persiapan pencetakan Alkitab bahasa Yunani dimulai di bawah pimpinan Kardinal Ximenes dari Spanyol. Kitab Perjanjian Baru dicetak dalam bahasa Latin dan Yunani, dan Perjanjian Lama dicetak paralel tiga bahasa, yaitu Latin, Ibrani dan Yunani LXX. Proyek ini dilakukan di kota Alcala yang dalam bahasa Latin disebut Complutum sehingga Alkitab itu disebut 'Complutension Polyglot'. Perjanjian Baru selesai pada tahun 1514 dan Perjanjian Lama selesai 1517, namun belum pernah beredar karena pada tahun 1520 baru diterima oleh Paus dan pada tahun 1522 baru dipublikasikan.

Sementara itu pada tahun 1515 seorang ahli bahasa yang bernama Desiderius Erasmus berusaha mengedit kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani dengan mendasarkannya pada lima 'manuscript' tradisional yang tersimpan di Basel dan menerbitkannya pada bulan Maret tahun 1516.
Dengan demikian maka kitab Perjanjian Baru bahasa Yunani yang pertama dicetak adalah 'Complutension Polygot' sedangkan yang pertama terbit dan beredar di masyarakat adalah edisi Desiderius Erasmus. Tidak dapat dipungkiri bahwa kitab Perjanjian Baru ini telah memungkinkan Martin Luther menyadari kesalahan Gereja Katolik, demikian juga dengan Bapak-bapak Reformasi yang lain.

Sangat disayangkan karena naskah yang dimiliki oleh Erasmus itu ternyata enam ayat terakhir dari kitab Wahyu telah hilang sehingga ia menerjemahkannya sendiri dari 'Vulgate' ke bahasa Yunani. Namun kemudian setelah ia mendapatkan naskah yang memiliki enam ayat terakhir kitab Wahyu masih utuh, ia memperbaikinya pada edisi kedua. Kemudian setelah melihat 'Manuscript Codex 61' Erasmus memasukkan 1 Yohanes 5:7,8 yang di kalangan teolog disebut 'Johannen Coma'. Dan Luther menerjemahkan edisi kedua yang terbit 1519 dan yang telah disempurnakan ini ke dalam bahasa Jerman. Penyempurnaan demi penyempurnaan dilakukan setelah melihat naskah-naskah kuno dan membanding-bandingkannya dengan 'Polyglot' sehingga keseluruhannya Erasmus menerbitkan lima edisi.
Dalam tiap perbaikan itu tidak ada penambahan atau pengurangan firman Tuhan, melainkan memeriksa hasil karyanya dan membandingkannya dengan naskah-naskah yang jumlahnya sekitar tiga ribu naskah kuno.

Rupanya menurut Robert Estienne, (yang lebih dikenal dengan Stephanus), hasil karya Erasmus masih perlu diperbagus lagi. Ia menerbitkan empat edisi berturut-turut tahun 1546, 1549, 1550, 1551, yang tiap edisinya terdapat perbaikan-perbaikan yang tidak terlalu berarti, seperti penambahan judul perikop dan lain-lain. Edisi ketiga (1550) dari Stephanus ini dikenal dengan sebutan 'Royal Edition (Edition Regia)'. Edisi keempat terbit tahun 1551 dengan dilengkapi pasal dan ayat sebagaimana yang dipakai oleh umat Kristen hari ini. Umat Kristen patut berterima kasih kepada Stephanus yang telah menolong mereka agar lebih gampang mencari bagian firman Tuhan yang diinginkan. Bayangkan jika tidak ada pasal dan ayat, pasti mereka (umat Kristen dan pembaca lainnya) akan mengalami banyak kesulitan. Mungkin Anda dapat melengkapi kajian kita bersama tentang pembagian ayat-ayat Al~Qur'an, siapakah nama mereka yang terlibat dalam pembagian ayat-ayat ini, karena umat Islam pun patut berterima kasih kepada mereka yang berjasa ini.

Theodore Beza, seorang yang tersohor di kalangan Protestan, juga menerbitkan kitab Perjanjian Baru bahasa asli dalam ukuran folio dengan memakai teks Stephanus sebagai dasar. Ketenaran Theodore Beza turut mempopulerkan teks Erasmus dan Stephanus yang dipakainya sebagai dasar sehingga kalangan reformasi memakai teks mereka sedangkan kalangan Katolik memakai 'Polyglot'.

Keluarga Elzevir, pemilik penerbit berbagai buku klasik, ikut meramaikan penerbitan kitab Perjanjian Baru bahasa asli yang sangat digemari masyarakat yang baru mengalami reformasi itu. Pada edisi kedua terbitannya tercantum tulisan, "Kini Anda memiliki teks yang telah diterima oleh semua kalangan, yang di dalamnya tidak ada penambahan
maupun kesalahan."

Akhirnya ungkapan 'received text' atau 'textum receptum' yang biasa disingkat dengan TR, menjadi nama dari teks yang pertama diedit oleh Desiderius Erasmus, diperlengkapi dan diperindah oleh Stephanus, dipromosikan Theodore Beza dan keluarga Elzevir, diberikan kepada teks yang diterima dan dipakai di kalangan umat Kristen. Teks ini kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa termasuk ke dalam bahasa Inggris, 'King James Version', yang diterjemahkan pada tahun 1611 atas perintah raja Inggris yang bernama James dan dikerjakan oleh lebih dari lima puluh ahli bahasa. Teks yang mereka pakai sebagai dasar ialah Teks Stephanus edisi ketiga dan empat dan edisi Beza terbitan tahun 1598.

Masyarakat, terutama umat Kristen, sangat bersukacita atas tersedianya kitab suci dalam bentuk cetakan bahkan dalam bahasa mereka yang dapat mereka miliki secara pribadi dengan harga yang relatif lebih murah dari sebelumnya. Menurut The New Book of Knowledge volume XV, sebelumnya harga sebuah Alkitab tulisan tangan yang rapi itu sama dengan harga sebuah gedung berlantai dua di dekat 'London Bridge'. Sungguh amat disayangkan mereka yang tidak menghargai firman Tuhan yang ada di tangannya hari ini.

'Textum Receptum' (TR) dipakai oleh orang-orang Kristen di seluruh dunia, dan diterjemahkan ke berbagai bahasa oleh misionari modern yang dipelopori oleh misionari Baptis, William Carey, ke India dan akhirnya banyak misionari ke seluruh penjuru dunia. Selama ± 380 tahun tidak ditemukan cara untuk menghalangi tersebarnya firman Tuhan ke seluruh dunia walaupun dilakukan juga serangan kecil-kecilan yang tidak membawa efek terhadap TR.


Karl Lachmann dari Jerman tercatat adalah orang pertama yang menerbitkan edisi Perjanjian Baru yang sifatnya menyerang TR pada tahun 1831. Setelah dua edisi teks pengritik 'Critical Texts' (CT) diterbitkannya ternyata tidak ada yang menggubrisnya. Pada tahun 1857 Samuel Prideaux Tregelles di Inggris juga menerbitkan 'Critical Text'
untuk menyerang TR. Kemudian Constantin Tischendorf seorang yang menemukan naskah Codex Sinaiticus turut menerbitkan teks Perjanjian Baru yang bersifat menyerang keakuratan TR.

Serangan yang kelihatannya memakan banyak korban adalah yang dilakukan melalui dua orang, yaitu Brooke Fos Westcott, seorang Bishop gereja Anglikan, dan Fenton John Anthony Hort, seorang dosen dari Cambridge University. Untuk mempersingkat nama mereka, biasanya hanya ditulis WH.
Mereka menerbitkan 'Critical Text' (CT) untuk menyerang 'Textum Receptum' (TR) pada tahun 1881. Mereka mendasarkan edisi yang mereka terbitkan pada naskah yang diberi nama 'aleph' yang ditemukan di Sinai yang juga disebut 'Sinaiticus' dan naskah yang diberi nama B yang kata mereka tersimpan di perpustakaan Vatikan.

Menurut Dr. D.A. Waite dalam bukunya 'Defending the King James Bible', antara CT hasil WH dengan TR yang sudah dipakai lebih dari tiga ratus tahun terdapat 5,604 perbedaan yang terdiri dari 1,952 penghilangan (35%), 467 penambahan (8%), dan 3,185 perubahan (57%). Dengan perubahanyang besar-besar an ini kelihatannya serangan terhadap firman Tuhan semakin serius dan intensif. Gelombang pertama yang tumbang berjatuhan adalah teolog-teolog Liberal di Jerman. Keraguan mereka terhadap firman Tuhan mulai muncul bahkan akhirnya mereka melihat Alkitab hanya sekedar buku sejarah.

Sementara teolog Jerman tumbang, kemudian angin pukulan CT melanda Eropa sehingga muncul berbagai kritik terhadap Alkitab (buku yang telah berjasa mengubah orang Eropa menjadi manusia bermoral). Akhirnya angina serangan terhadap Alkitab itu sampai juga ke Amerika. Bersama dengan itu muncul berbagai Alkitab bahasa Inggris terjemahan modern yang didasarkan pada teks CT, antara lain: English Revised Version (1881), American Standard Version (1901), New American Standard Version (1960), New English Version (1961), New International Version (1969).

Bagaimana dengan Alkitab bahasa Indonesia? Dulu Alkitab bahasa Indonesia diterjemahkan dari TR. Kelihatannya Alkitab Terjemahan Baru sedikit terpengaruh oleh CT dari WH. Banyak pembaca tidak menyadari maksud di balik banyak ayat dalam Alkitab Terjemahan Baru yang diberi tanda kurung, contoh [...]. Sebagian dosen sekolah teologia di Indonesia yang sudah terhembus angin Liberalisme mengatakan kepada murid-murid mereka bahwa ayat itu tidak ada dalam Alkitab bahasa aslinya. Penjelasan demikian tentu akan mengundang banyak pertanyaan susulan, yaitu siapa yang menambahkan dan mengapa ditambahkan?

Ternyata Lembaga Alkitab Indonesia memberi tanda kurung pada ayat-ayat yang ada dalam teks TR namun tidak ada dalam teks CT. Tindakan demikian masih baik daripada menghilangkan ayat itu sama sekali. Namun sebenarnya lebih baik tidak perlu diberi kurung karena itu adalah firman Tuhan.

Westcott adalah seorang Bishop gereja Anglikan, gereja yang Doktrin Gereja ('ecclesiology')nya hampir sama dengan Gereja Roma Katolik.
Perbedaannya hanya Gereja Roma Katolik berpusat di Roma sedangkan gereja Anglikan berpusat di London. Dan Gereja Roma Katolik dikepalai Paus sedangkan gereja Anglikan dikepalai Raja atau Ratu Inggris. Sedangkan Hort adalah seorang dosen Universitas Cambridge. Dr. D.A. Waite yang meneliti buku-buku yang ditulis mereka menyimpulkan bahwa sesungguhnya mereka bukan seorang yang telah "lahir baru". Istilah "lahir baru" ini dipergunakan oleh umat Kristen untuk menyatakan "bertobat".

Dr. D.A. Waite tersebut menulis, "In this study, I quote from their writings extensively and show from five of their books that they are apostates, liberals, and unbelievers."

Selain Westcott dan Hort, siapa lagi di balik CT yang makin hari makin dominan itu? Critical Text yang hari ini banyak dipakai di Sekolah Theologi adalah edisi ke-26 yang disebut Nestle/Aland Greek New Testament, 26th edition. Eberhard Nestle dan Kurt Aland, kedua-duanya orang Jerman yang membentuk sebuah komisi yang terdiri dari Kurt Aland sendiri, Matthew Black seorang yang imannya diragukan, Carlo M. Martini seorang Kardinal Gereja Katolik, Bruce Metzger dari Princeton, universitas yang sangat liberal, dan Alan Wigren dari Chicago. Mereka inilah yang mengatakan bahwa Rasul Matius salah tulis karena tidak melihat catatan di Bait Allah sehingga yang seharusnya Asa namun ditulis Asaf, demi untuk membela konsep mereka bahwa naskah kuno yang mereka pakai adalah yang terbaik, yang tidak terjamah oleh tangan-tangan jahil.

Sebaliknya orang-orang yang mengedit Textum Receptum adalah orang-orang mengasihi Tuhan, menurut umat Kristen. Desiderius Erasmus, yang sering dikritik karena humanis, adalah humanis abad pertengahan yang berusaha melepaskan diri dari kungkungan universalisme gereja Roma. Ia bukan humanis masa kini yang filosofinya berpusatkan pada manusia dan mengagungkan manusia. Sedangkan Stephanus adalah orang Protestan, orang yang rela mengorbankan nyawa demi membela kebenaran. Apalagi Theodore Beza, teman dekat John Calvin, adalah tokoh reformasi yang sangat terhormat. Edisi Stephanus dan Beza-lah yang secara umum diterima oleh orang-orang Kristen yang baru mendapat kebangunan rohani melalui gerakan reformasi. Edisi keempat Stephanus tahun 1551 yang telah dilengkapi pasal dan ayat telah menjadi berkat bagi jutaan orang, terlebih setelah dijadikan dasar untuk penerjemahan ke berbagai bahasa termasuk King James Version.

Baik Erasmus, Stephanus, maupun Beza, mereka berusaha mewujudkan kitab Perjanjian Baru bahasa asli hanya agar orang-orang Kristen memiliki firman Tuhan di tangan mereka yang praktis, agar mereka dapat mempelajari dan memberitakannya. Mereka tidak memikirkan masalah hak cipta dan lain sebagainya. Hasil karya mereka menyebabkan banyak orang melihat terang Tuhan. Masyarakat Eropa berubah total setelah reformasi dan tersedianya Alkitab dalam cetakan telah memungkinkan mereka membaca dan mempelajarinya. Tingkat moral masyarakat menjadi semakin tinggi
demikian juga dengan tingkat kepatuhan mereka terhadap hukum. Setiap kali orang menyebut firman Tuhan, tentu yang dimaksud adalah Textum Receptum atau terjemahannya pada masing-masing bahasa.

Namun setelah Westcott dan Hort menerbitkan edisi mereka, kebingungan mulai melanda, pertama-tama di kalangan intelektual, karena mereka terpaksa harus memilih teks mana yang harus mereka jadikan patokan, dan akhirnya juga melanda seluruh kekristenan. Di Indonesia hal ini tidak terasa karena umat Kristen hanya memiliki satu versi Alkitab yaitu terbitan Lembaga Alkitab Indonesia. Tetapi bagi masyarakat yang berbahasa Inggris, dengan tersedianya berbagai versi Alkitab, maka agak kerepotan juga.

Pukulan yang paling menyakitkan ialah tertawaan dari pihak luar, misalnya pihak Islam, yang mengatakan bahwa Injil asli orang Kristen sudah tidak ada, yang ada sekarang adalah yang palsu. Adanya kesalahan pada teks Westcott dan Hort biasanya mereka jadikan bukti untuk statemen mereka. Mereka dapat mengatakan, "lihat, nama silsilah saja salah catat, tidak salah toh kalau itu adalah yang palsu?"

Kehadiran Critical Text telah menyebabkan perdebatan yang tidak ada habis-habisnya. Musuh Alkitab mencatat sukses karena mereka berhasil menggoncang dasar iman orang Kristen dan meletakkan batu sandungan terhadap sebagian orang yang belum percaya. Sebagian orang yang tidak memahami masalah ini sempat tersandung karena mereka dipaksa untuk mempertanyakan aspek 'human error' dari teks bahasa asli yang ada pada saat ini. Tentu karena mereka tidak diberi informasi bahwa usaha pengeditan yang teliti telah dilakukan oleh Erasmus, Stephanus, Beda dengan membanding-bandingkan naskah demi naskah hingga akhirnya tidak ditemukan lagi kesalahan dan orang-orang yang benar-benar Kristen pun secara universal telah menerimanya.

Pada saat Alkitab terjemahan tidak jelas terhadap suatu masalah atau terdapat perbedaan antara satu terjemahan dengan terjemahan yang lain, kemanakah umat Kristen akan mencari otoritas final untuk menjelaskannya? Mau tidak mau, Alkitab bahasa asli adalah otoritas final untuk menyelesaikan masalah baik yang praktis maupun yang bersifat doktrinal.

Jika dunia kekristenan hanya memiliki satu versi Alkitab bahasa asli seperti keadaan abad 16, 17 dan 18, maka dengan gampang dan dengan kebulatan hati semua orang Kristen akan mengacu kepada Alkitab bahasa asli yang hanya satu itu. Kini setidaknya tersedia dua Alkitab bahasa asli yang didalamnya terdapat ± 5,604 perbedaan, maka dengan terpaksa setiap orang Kristen harus menetapkan versi manakah yang akan diakuinya sebagai Alkitab bahasa asli yang benar, atau otoritas yang final (The Final Authority).

Teks yang diakui, Received Text atau Textum Receptum yang diedit pertama kali oleh Erasmus dan diperlengkapi oleh Stephanus dan Geza adalah yang telah diperiksa dan ternyata tidak ditemukan kesalahan serta telah membawa manfaat bagi penduduk Kristen dunia lebih dari tiga abad. Sedangkan Critical Text yang diedit oleh Westcott dan Hort serta diedit ulang oleh komite yang dipimpin oleh Nestle dan Aland ternyata terdapat kesalahan yang sangat konyol, yaitu Asa ditulis dengan Asaf.
Masih ada banyak kesalahan lain lagi yang mereka akui, namun pada umumnya kesalahan itu mereka lemparkan kepada sang penulis untuk membangun asumsi bahwa penulis Alkitab tidak diilhami, atau bahwa Alkitab itu bukan buku istimewa melainkan sama seperti catatan sejarah lain.

Untuk membangun doktrin yang benar, umat Kristen membutuhkan dasar yang benar. Doktrin alkitabiah adalah doktrin yang didasarkan "hanya" pada Alkitab saja. Lalu kalau diperhadapkan dua versi Alkitab bahasa asli, yang manakah yang akan mereka pilih? Kini banyak theolog telah kemasukan angin liberalisme, demikian juga sekolah-sekolah theologia. Masalah Alkitab bahasa asli bisa menjadi salah satu faktor untuk mengenal aliran sebuah sekolah theologia. Rata-rata sekolah theology aliran liberal lebih senang memakai Critical Text karena ketika dosen di sekolah tersebut belajar ke luar negeri, ia sudah terlanjur masuk ke sekolah liberal dan yang memakai Critical Text. Namun sekolah theologia aliran fundamental tetap bertahan pada Received Text atau Textum Receptum yang tidak ada kesalahan dan telah mendatangkan manfaat bagi umat Kristen.


-----------------------------------------------------------------------
Sumber: Doktrin Alkitab Alkitabiah, Dr. Suhendra Liauw, Graphe: Jakarta


Kenyataan 1:

Kitab-kitab Perjanjian Lama pada awalnya ditulis dalam bahasa Ibrani (Hebrew) bagi Israel, umat pilihan Allah. Tetapi setelah orang-orang Yahudi terusir dari tanah Palestina dan akhirnya menetap di berbagai tempat, mereka kehilangan bahasa aslinya dan mulai berbicara dalam bahasa Yunani (Greek) yang pada waktu itu merupakan bahasa antarabangsa. Oleh karena itu menjadi penting kiranya untuk menyediakan bagi mereka, terjemahan seluruh Kitab Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani.

Soalan 1:
Ada sesiapa yang pegang kitab perjanjian lama sewaktu itu? Kalau ada siapakah mereka? Selama mana mereka terusir hingga menyebabkan mereka hilang identiti bahasa mereka?



JAWAB :

Anda bisa membaca dulu sejarah bangsa Israel di http://www.sarapanpagi.org/israel-vt134.html#p271


Meski Bahasa Ibrani pada suatu waktu tidak digunakan sebagai bahasa sehari-hari, bukan berarti bahasa Ibrani itu punah. Bahasa Ibrani tetap menjadi bahasa liturgis yang digunakan di sinagoga (rumah ibadah) dan juga di Bait Allah.

Bahasa yang digunakan dalam Alkitab, ada tiga bahasa asli : yakni bahasa Ibrani, bahasa Aram, dan bahasa Yunani.

Alkitab ditulis dalam ketiga bahasa tersebut, dan tergantung dari waktu bagian tertentu ditulis dlm bahasa apa. Bagian-bagian yang paling kuno dari Perjanjian Lama ditulis dalam bahasa Ibrani, yang merupakan bahasa sehari-hari dari bangsa Israel pada zaman itu.

Lalu, berabad-abad kemudian, dipakai bahasa Aram. Perbedaan antara bahasa Ibrani dan bahasa Aram dapat digambarkan sebagai perbedaan antara bahasa Melayu Kuno dan Indonesia sekarang.

Selama pembuangan ke Babel hingga kembali ke Israel ± tahun 538 sebelum Masehi di bawah pimpinan Ezra-Nehemia, bahasa yang digunakan oleh orang Yahudi sudah bercampur dengan bahasa Aram, disebut sebagai bahasa Aram Klasik, dan akhirnya mereka benar-benar berbahasa Aram hingga di era Yesus Kristus. Sebagian kitab Perjanjian Lama yang ditulis di era pembuangan ini, ditulis dalam bahasa Aram, seperti sebagian kitab Daniel, Ezra, dan Nehemia.

Penggalian inskripsi-inskripsi di daerah Israel bertarikh 300 sebelum Masehi hingga 500 Masehi menunjukkan bahwa 70% ditulis dalam bahasa Yunani, 12% dalam bahasa Latin, dan hanya 18% ditulis dalam bahasa Aram. Tidak suatu pun yang ditulis dalam bahasa Ibrani.

Jadi sama-sama bahasa orang Israel, namun yang satu dari zaman dahulu (kuno) yang lain dari zaman kemudian (modern), khususnya zaman Yesus dan para Rasul. Jadi secara sederhana dapat dikatakan bahwa bahasa Ibrani adalah "Aram kuno," dan bahasa Aram adalah "Ibrani modern." Tetapi dalam periode yang lebih kemudian lagi, sudah menjelang zaman Yesus, orang menulis tidak hanya dalam bahasa Aram tetapi juga dalam bahasa Yunani. Maka dalam PL bagian terbesar ditulis dalam bahasa Ibrani, sedangkan sebagian kecil dalam bahasa Aram dan juga bahasa Yunani.

Di Yerusalem sendiri, 40% dari inskripsi Yahudi sebelum tahun 70 Masehi (keruntuhan Yerusalem) ditulis dalam bahasa Yunani, sisanya ditulis dalam bahasa Aram (bukan Ibrani).

Perjanjian Baru (PB) seluruhnya ditulis dalam bahasa Yunani, walaupun pada jaman PB didominasi oleh bahasa Ibrani Aramaik, saya ingin memberikan gambaran singkat mengenai kedudukan ketiga bahasa itu pada zaman Yesus, seperti kita sering berbahasa daerah (betawi, sunda atau jawa) tetapi dalam penulisan tetap dengan bahasa Indonesia.

Bahwa inskripsi berbahasa Yunani pun ditemukan di daerah Iraq; Hal itu tidak mengherankan karena Aleksander Agung (336 - 323 sebelum Masehi) pernah menaklukkan kerajaan Persia, oleh karena itu banyak sekali kebudayaan terutama filsafat Yunani merasuk ke dalam peradaban Timur.

Adanya perluasan jajahan dan pengembangan kebudayaan yang dilakukan oleh Aleksander Agung, bahasa Yunani berakar kuat di daerah Timur Dekat dan wilayah Laut Tengah yaitu mulai abad ke-4 sebelum Masehi.


Pelayanan Yesus ditengah multi kultural dan bahasa :


Salah satu keunikan Injil adalah pewartaan Yesus mula-mula di tengah dunia yang multi etnik dan multilingual di Galilea pada abad pertama Masehi. Dalam Yesaya 8:22 dinubuatkan daerah pelayanan Sang Mesiah: "DEREKH HAYAM EVER HAYARDEN GELIL HAGOYIM" (jalan ke laut, daerah seberang Yordan, Galilea wilayah bangsa-bangsa). Latarbelakang ini sangat mempengaruhi corak keagamaan Kristiani sejak semula. Beberapa ahli menyimpulkan, bahwa Yesus dan penduduk Galilea khususnya dan Israel pada umumnya berbicara dalam bahasa Ibrani, Aram dan sedikit Yunani.

Pertama, mengenai bahasa Ibrani dan Aram sebagai dua bahasa serumpun. Kedua bahasa ini erat bertalian, banyak kata dalam kedua bahasa ini sama. Tata bahasa dan sintaksisnya juga sama. Pada zaman Abraham (kira-kira 1900 SM) kedua bahasa itu dapat dikatakan identik, artinya belum terpecah satu sama lain. Dalam sebuah liturgi Yahudi kuno, disebutkan: "ARAMI OVED AVI VAYERED", 'Bapaku dahulu seorang Aram, seorang pengembara' (Ulangan 26:5). Ini merujuk kepada Yakub, nenek moyang bangsa Israel, bahwa ia disebut orang Aram sebab disitulah letak geografis tempat tinggalnya, meskipun ia bukan dari suku itu. Dan juga karena Yakub pernah tinggal di Aram-naharaim dan anak-anaknya yang kemudian menjadi bangsa Israel.

Berabad-abad kemudian (kira-kira 1,100 - 722 sM) dari bahasa yang satu itu melahirkan dua cabang bahasa: Ibrani di kalangan orang Yahudi di Palestina dan bahasa Aram di kerajaan-kerajaan Aram di Mesopotamia: Damaskus, Zobah dan Hamat.

Bahasa Ibrani dipakai oleh Saul, Daud, Salomo dan nabi-nabi lainnya, sehingga Perjanjian Lama untuk sebagian besar ditulis dalam bahasa ini. Bahasa Ibrani (atau dikenal sebagai bahasa Ibrani klasik) bertahan sebagai bahasa resmi kerajaan Israel sampai jatuhnya Yerusalem tahun 587 sM.

Sementara itu, bahasa Aram berkembang pesat ketika orang-orang Asyiria menguasai kembali Mesopotamia (883-606 sM) dan akhirnya bahasa Aram menjadi bahasa resmi kerajaan. Keadaan ini semakin kuat di kalangan orang-orang Babel (606-539 SM) dan kelak di kalangan Persia (539-333 SM). Pada zaman ini bahasa Aram terus mendesak bahasa Ibrani sampai zaman Yesus, khususnya di wilayah Galilea, Samaria dan daerah-daerah sekitarnya. Pada zaman itu bahasa Aram tersebar luas sebagai 'lingua franca' di wilayah Timur, sedangkan bahasa Yunani dipakai sebagai 'lingua franca' di wilayah Barat. Sementara itu bahasa Ibrani membeku sebagai "bahasa suci (bahasa liturgis)" di Bait Allah dan sinagoge-sinagoge Yahudi.

Kendati secara praktis bahasa Aram berbeda dengan bahasa Ibrani klasik, namun kedua bahasa ini adalah satu rumpun dan pada zaman Yesus bahasa Aram disebut juga sebagai bahasa Ibrani. Hal ini tampak pada catatan-catatan Perjanjian Baru, yang menyebut kata-kata Aram seperti: Gabbatha (Yohanes 19:13) sebagai bahasa Ibrani juga. Begitu pula, sejarahwan Yahudi Flavius Yosephus memberitahukan kepada kita bahwa ia menulis bukunya The Jewish War ditulis dalam 'bahasa Ibrani', meskipun kenyataannya ia menulis "dalam dialek Ibrani", yaitu bahasa Aram. Karena pada zaman itu bahasa Aram, kendatipun dibedakan dari bahasa Ibrani sebagai "bahasa kekusasteraan rabbinis" (yang biasa disebut juga bahasa Ibrani Mishnah), tetapi bahasa Aram hanya dianggap sebagai dialek bahasa Ibrani tutur Galilea. Karena itu, Petrus dikenali karena dialek bahasanya (Matius 26:73).

Bahasa Ibrani, Aram maupun Yunani dijumpai bersama-sama di wilayah Israel pada abad pertama Masehi. Penemuan inskripsi-inskripsi kuno (graffiti, monogram dan simbol) di bekas sinagoge Kapernaum yang ditulis dalam bahasa Ibrani Aram, Paleo-estrangelo Syriac, Yunani, bahkan Latin membuktikan dunia multi-etnik dan multi-lingual Yesus Kristus. Lebih-lebih lagi, jelas sekali dalam Injil Yohanes 19:19 dicatat bahwa inksripsi di atas kayu salib Yesus dicatat dalam bahasa Ibrani, Yunani dan Latin. Untuk pembaca bisa membayangkan, selain teks asli Yunani, di bawah ini dapat kita ikuti rekonstruksi bunyi inskripsi itu dalam Ibrani (baik Ibrani Mishnah maupun Ibrani tutur) dan juga dalam bahasa Latin:

* iesous ho nasoraios ho basileos ton ioudaion (bahasa Yunani).

* Yeshua ha natseri melak ha-yehudim (bahasa Ibrani Mishnah).

* yeshua natsraya malka da yhudeim (bahasa Aram/Syriac).

* iesus nazarenus rex yudaerum (bahasa Latin).


Kalau begitu, bagaimana mengucapkan nama Sang Juru Selamat yang sah? Yeshua, Iesous atau Iesus/Yesus? Jawabnya, semua sah-sah saja, karena semua bahasa itu hidup pada zaman-Nya. Jadi, dalam bahasa Aram inilah Yesus berbicara sehari-hari dan mengajar murid-muridnya, begitu juga ketika dikatakan bahwa Yesus bebicara dengan Paulus dalam bahasa Ibrani (Kisah 26:14), kemungkinan besar dalam bahasa Ibrani tutur Galilea atau Aram. Tetapi ketika membaca Taurat dan Kitab Nabi-nabi di sinagoge, pasti Yesus mendaraskannya dalam bahasa Ibrani (Lukas 4:18-20). Tetapi Yesus juga berbicara dalam bahasa Yunani, misalnya dalam percakapannya dengan seorang perwira di Kapernaum (Lukas 7:1-10).



Tidak hanya ke-3 bahasa itu saja yang berkembang pada masa pelayanan Yesus. Adanya penjajahan Romawi pula mengakibatkan adanya empat bahasa di era Yesus Kristus:

[1] bahasa Ibrani merupakan bahasa liturgis, digunakan untuk membaca Torah, dan sebagainya, tidak digunakan sebagai bahasa sehari-hari, dikenal sebagai bahasa Ibrani Misyna karena adanya campur tangan para ahli Taurat menyusun Talmud;

[2] bahasa Aram, digunakan oleh orang Yahudi lokal sebagai bahasa sehari-hari;

[3] bahasa Yunani, digunakan oleh orang Yahudi pendatang sebagai bahasa pergaulan di Timur Dekat; pada umumnya Yahudi pendatang berbahasa Yunani ini mengunjungi Yerusalem dalam rangka transaksi bisnis dan ziarah ke Bait Allah; dan

[4] bahasa Latin, bahasa kaum penjajah yang digunakan oleh orang-orang Romawi yang menjajah Israel sejak tahun 63 sebelum Masehi.


Sesudah keruntuhan Yerusalem tahun 70 Masehi, bahasa Aram yang mereka gunakan pun berangsur-angsur punah, bercampur dengan bahasa Jerman, Polandia, dan Rusia sehingga timbul dialek-dialek Yahudi yang baru seperti Yidisy, Ladino, dan sebagainya.

Sekitar awal 1800-an kalangan Yahudi yang dipelopori oleh seorang rabi mulai mengusahakan agar bahasa Ibrani kuno yang ditulis di dalam Tanakh (Taurat, Zabur, dan lain-lain) digunakan sebagai bahasa percakapan. Dan mulai saat itulah bahasa Ibrani baru digunakan kembali oleh orang Israel setelah tidak digunakan lebih dari 1000 tahun.



Artikel Terkait :

PERJANJIAN BARU, BAHASA, di http://www.sarapanpagi.org/perjanjian-b ... 5.html#p325



Tanya :
Quote:
Kenyataan 2:
Pada waktu itu di Alexandria berdiam sejumlah besar orang Yahudi yang berbahasa Yunani. Selama pemerintahan Ptolemius II Philadelphus (285 - 246 SM) projek penterjemahan dari seluruh Kitab Suci orang Yahudi ke dalam bahasa Yunani dimulai oleh 72 ahli-kitab Yahudi - menurut tradisi - 6 orang dipilih mewakili setiap dari 12 suku bangsa Israel. Terjemahan ini diselesaikan sekitar tahun 250 - 125 SM dan disebut Septuagint,

Kitab ini sangat popular dan diakui sebagai Kitab Suci rasmi (kanon Alexandria) kaum Yahudi, yang tinggal di wilayah Asia Kecil dan Mesir. Pada waktu itu Ibrani adalah bahasa yang nyaris mati dan orang-orang Yahudi di Palestina umumnya berbicara dalam bahasa Aram. Jadi tidak mengherankan kalau Septuagint adalah terjemahan yang digunakan oleh Yesus, para Rasul dan para penulis kitab-kitab Perjanjian Baru. Bahkan, 300 kutipan dari Kitab Perjanjian Lama yang ditemukan dalam Kitab Perjanjian Baru adalah berasal dari Septuagint. Harap diingat juga bahwa seluruh Kitab Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani.

Soalan 2:
3. Apakah kriteria atau kehebatan 6 orang yang dipilih itu? Dan siapa mereka?



JAWAB :


Tidak ada rujukan nama-nama dari para penterjemah Septuaginta (LXX, L=50, X=10, X=10) .
Infomasi mengenai terjemahan Septuaginta, Anda bisa membaca di artikel yang berjudul SEPTUAGINTA, http://www.sarapanpagi.org/septuaginta-vt116.html



Tanya :
Quote:
Kenyataan 3:
Setelah Yesus disalibkan dan wafat, para pengikut-Nya tidak menjadi punah tetapi malahan menjadi semakin kuat. Pada sekitar tahun 100 Masehi, para rabbi (imam Yahudi) berkumpul di Jamnia, Palestina, mungkin sebagai reaksi terhadap umat Kristen. Dalam konsili Jamnia ini mereka menetapkan empat kriteria untuk menentukan kanon (=standard) Kitab Suci mereka:
[1] Ditulis dalam bahasa Ibrani;
[2] Sesuai dengan Kitab Taurat;
[3] lebih tua dari jaman Ezra (sekitar 400 SM);
[4] dan ditulis di Palestina.

Atas kriteria-kriteria diatas mereka mengeluarkan kanon baru untuk menolak tujuh buku dari kanon Alexandria, yaitu seperti yang tercantum dalam Septuagint, yaitu: Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Sirakh, Barukh, 1 Makabe, 2 Makabe, berikut tambahan-tambahan dari kitab Ester dan Daniel. (Catatan: Surat Nabi Yeremia dianggap sebagai pasal 6 dari kitab Barukh). Hal ini dilakukan atas alasan bahwa mereka tidak dapat menemukan versi Ibrani dari kitab-kitab yang ditolak diatas.



JAWAB :


Dalam penelitian para ahli kitab Yahudi ada beberapa kitab-kitab dalam terjemahan Septuaginta yang tidak lulus kanon. Untuk itu kitab tersebut tidak masuk dalam Kanon Yahudi (dalam Kitab TANAKH Ibrani)
Kanon Yahudi Perjanjian Lama diikuti oleh golongan Kristen non Katolik.

Alkitab Bahasa Asli



Alkitab Bahasa Asli



Umat kristen pasti mempunyai rasa ingin tahu ('curiosity') tentang alkitab bahasa asli. Terlebih ketika Alkitab terjemahan tidak menyelesaikan persoalan, maka timbul pikiran untuk melihat Alkitab dalam bahasa aslinya. Alkitab bahasa asli adalah 'final authority' untuk menyelesaikan segala macam perdebatan teologia maupun percekcokan doktrinal. Semua Alkitab terjemahan hanya memuat kebenaran konseptual bukan kebenaran secara arti kata dan tata bahasa. Oleh sebab itu, jika melakukan pembahasan Alkitab secara etimologi, maka harus kembali ke Alkitab bahasa asli karena peralihan bahasa menyebabkan perubahan bentuk kata dan juga susunan kalimat.

Disadari pula bahwa ada perbedaan antara satu bahasa dengan yang lain. Ada bahasa yang banyak 'vocabulary'nya dan ada bahasa yang sedikit. Tidak dapat dikatakan bahwa Alkitab hasil terjemahan akan salah atau kurang bermutu, tetapi hanya ada kekurangan dalam menyampaikan semua idea penulis. Misalnya 'agape' dan 'fileo' dalam bahasa Indonesia kedua-duanya tetap diterjemahkan dengan kata "kasih" saja, sedangkan 'kurios' mempunyai makna ganda yaitu "Tuhan" dan "Tuan".

Karena Allah mengilhamkan kebenaran-Nya dengan bahasa manusia, maka pemakaian tiap-tiap kata dalam wahyu tertulis-Nya pasti adalah dipilih-Nya secara khusus. Bahkan tata bahasa yang dipergunakan-Nya juga pasti yang sesuai dengan aturan tata-bahasa manusia pemakai bahasa itu agar tidak menyebabkan kebingungan bagi penerima wahyu. Selanjutnya karena Allah memakai bahasa Ibrani untuk penulisan kitab Perjanjian Lama dan bahasa Yunani untuk penulisan kitab Perjanjian Baru, maka kitab Perjanjian Lama yang bahasa Ibrani serta kitab Perjanjian Baru yang bahasa Yunani itu sangat enting setidaknya untuk dikenal oleh setiap orang Kristen, apalagi seorang penyampai Firman Tuhan, misalnya pendeta atau Pastur.

Kitab Perjanjian Lama orang Kristen itu berasal dari kitab suci orang Yahudi. Jumlah kitab Perjanjian Lama bertambah sesuai dengan berjalannya waktu sampai nabi Maleakhi menuliskan pasal 4 ayat 6 yang jatuh pada kira-kira 400 tahun sebelum kelahiran Yesus.

Pada waktu kejatuhan Yerusalem ke tangan Babilon, kelihatannya kitab-kitab Perjanjian Lama yang sudah ada pada saat itu diselamatkan oleh nabi Yeremia. Nabi Yeremia yang tahu persis apa yang akan terjadi menyadari bahwa kitab suci jauh lebih berharga dari apapun.
Nebukadnezar yang tahu bahwa Yeremia menubuatkan kejatuhan Yerusalem sangat menghormati Yeremia. Bahkan ia membiarkan Yeremia memilih apakah ia mau tinggal di Yerusalem atau mau ikut ke Babel, dan akhirnya Yeremia memilih tinggal di Yerusalem. Hal ini dapat dibaca dalam Yeremia 39:11-14, "Mengenai Yeremia, Nebukadnezar, raja Babel, telah memberi perintah dengan perantaraan Nebuzaradan, kepala pasukan pengawal, bunyinya: 'Bawalah dan perhatikanlah dia, janganlah
apa-apakan dia, melainkan haruslah kaulakukan kepadanya sesuai dengan permintaannya kepadamu!' Maka Nebuzaradan, kepala pasukan pengawal, beserta Nebusyazban, kepala istana, dan Nergal-Sarezer, panglima, dan semua perwira tinggi raja Babel, mengutus orang - mereka menyuruh mengambil Yeremia dari pelataran penjagaan, lalu menyerahkannya kepada Gedalya bin Ahikam bin Safan untuk membebaskannya, supaya pulang ke rumah. Demikianlah Yeremia tinggal di tengah-tengah rakyat."

Ketika Nebukadnezar merebut Yerusalem, ia membawa pergi sekitar 25.000 orang, bagian terbesar adalah penduduk Yerusalem, ke pembuangan di Babel. Hal ini merupakan deportasi ke-3. Akan tetapi, orang-orang miskin di negeri itu ditinggalkan untuk menjadi tukang kebun anggur dan peladang di Palestina. Tidak mungkin orang-orang seperti itu akan mengadakan pemberontakan melawan kekuasaan Babel atas negeri tersebut, setelah para pemimpin politik terbunuh atau dideportasi. Nebukadnezar menunjuk seorang Yahudi bernama Gedalya untuk memerintah atas orang-orang Yahudi yang tetap tinggal di Palestina. Orang ini mengadakan ibu kotanya di Mizpa, sekitar 11 km sebelah utara Yerusalem. Yeremia datang ke Mizpa agar dapat bersama dengan Gedalya setelah kepala pasukan Nebukadnezar membebaskan nabi Yeremia dan menasehati dia untuk kembali kepada Gedalya.

Serangan Nebukadnezar pada tahun 605, 597, dan 589-586 sebelum Masehi mengakibatkan banyak kerusakan dan kehancuran di Yehuda. Bukti arkeologis menunjukkan bahwa banyak dari kota-kota Yehuda telah dihancurkan dan tidak dibangun kembali, suatu fakta yang secara khusus terbukti dalam penggalian-penggalian di Aseka, Bet-Semes dan Kiryat-Sefer, dan juga melalui pemeriksaan permukaan tanah di beberapa
tempat. Penggalian di Lakhis juga menunjukkan bukti tentang penghancuran oleh Babel. Penyerbuan terakhir, pada tahun 589, memuncak dalam pengepungan dan penghancuran Yerusalem yang disusul oleh deportasi terakhir pada tahun 586 sebelum Masehi.

Sekembali dari pembuangan, orang Yahudi mengalami kebangunan rohani. Mereka bukan hanya pergi ke Yerusalem tiga kali setahun, bahkan mendirikan 'sinagoge' di seluruh Israel. Keberadaan 'sinagoge' itu bukan hanya untuk kegiatan keagamaan, bahkan bermanfaat sebagai sekolahan membaca bagi anak-anak. Keadaan ini menyebabkan dibutuhkannya kitab-kitab Perjanjian Lama karena itu adalah bahan bacaan satu-satunya. Keadaan ini juga sekaligus melestarikan kanon kitab Perjanjian Lama karena jumlahnya menjadi semakin banyak sehingga kalau yang satu rusak, masih ada yang lain. Kini terkumpul sekitar 200.000 naskah kuno dalam bentuk 'fragment' dalam bahasa Ibrani dan Aramik.
Dengan cara demikian Allah memelihara firman-Nya, yaitu agar orang-orang di kemudian hari dapat memperbandingkannya. Ada orang bertanya, "Apakah kitab Perjanjian Lama yang ada di tangan umat Kristen masih asli?" Jawabannya, "Tentu, karena ada kurang lebih 200.000 'fragment' yang terkumpul dan dibanding-bandingkan."

Ketika Alexander Agung mengalahkan dunia pada abad ketiga sebelum kelahiran Yesus, bahasa Yunani menjadi bahasa internasional. Satu abad kemudian, yaitu abad kedua sebelum kedatang Yesus, generasi muda Yahudi perantauan menjadi lebih fasih berbahasa Yunani sehingga penerjemahan kitab Perjanjian Lama ke dalam bahasa Yunani dirasakan sangat diperlukan. Kemudian sebuah kitab terjemahan dihasilkan oleh 72 orang
penerjemah, dan disebut 'Septuaginta' yang artinya tujuh puluh, yaitu angka genap dari jumlah penerjemahnya.

Akhirnya pada masa kehadiran Yesus, kitab Perjanjian Lama yang beredar ada dua macam, yaitu yang berbahasa Ibrani dan berbahasa Yunani ('Septuaginta'). Selain terdiri dari dua macam bahasa, ada juga versi yang dipakai di 'sinagoge' dan versi yang dipakai oleh pribadi di rumah. Versi 'sinagoge' disalin ulang dengan sangat teliti. Menurut Gleason L. Archer dalam bukunya "The Zondervan Pictorial Encyclopedia of the Bible" (Grand Rapid: Zondervan Publishing House, 1982), jika ditemukan empat kesalahan, maka dianggap rusak dan segera dimusnahkan.
Mereka tidak menghendaki kehadiran salinan yang ada kesalahan agar jangan sampai makin hari makin banyak salinan yang salah.

Kemudian pada tahun 70 Masehi terjadi penghancuran kota Yerusalem beserta Bait Allah. Orang Israel terkocar-kacir dan tersebar ke mana-mana. Mereka kehilangan identitas sebagai bangsa. Setelah melalui sebuah periode waktu yang agak panjang, sebagian orang Israel menyadari bahwa mereka perlu berbuat sesuatu agar identitas bangsa mereka tidak hilang sama sekali. Mereka menyadari bahwa kitab Perjanjian Lama adalah tumpuan jati diri orang Yahudi serta merupakan pusat integritas keluarga Yahudi. Jika masih ada kanon kitab Perjanjian Lama yang terus-menerus dibacakan di 'sinagoge' dan dalam keluarga masing-masing, maka keyahudian mereka pasti tidak akan hilang.

Pada periode 70-900 Masehi, sekelompok orang Yahudi yang disebut 'Baly ha-masoret' ('master of tradition' atau guru adat-istiadat) berusaha mengumpulkan salinan-salinan untuk memantapkan eksistensi kitab Perjanjian Lama. Perlu diketahui bahwa yang terbakar adalah yang ada di kota Yerusalem, tetapi masih ada banyak salinan yang tersimpan di 'sinagoge-sinagoge' yang bisa dijadikan patokan. Alasan yang mendorong
mereka melakukan pekerjaan itu ialah karena salinan yang ada hanya tertulis dengan huruf mati sedangkan generasi muda Yahudi yang sudah tersebar mengalami kesulitan untuk membaca tanpa huruf hidup. Bagi yang lancar berbahasa Ibrani, ia tidak membutuhkan huruf hidup, melainkan cukup dengan huruf mati (konsonan) saja sudah bisa membaca dan mengerti artinya. Jadi kalau kalimatnya, "Musa turun dari gunung Sinai" itu hanya ditulis "Ms trn dr gnng sn".

Jadi "Baly ha-masoret" itu berusaha mengumpulkan salinan-salinan dan berusaha membubuhkan huruf hidup (vokal) agar generasi yang kurang fasih berbahasa Ibrani bisa belajar membaca. Hasilnya bukan saja iman Yudaisme mereka tetap terpelihara, bahkan bahasa Ibrani tetap lestari sementara bahasa Mesir, Persia dan lain-lain musnah terkikis waktu.
Dengan demikian jati diri mereka sebagai orang Yahudi tetap terpelihara sekalipun mereka tersebar ke segala penjuru dunia.

Dalam melaksanakan tugas yang sangat berat itu para 'Baly ha-masoret' dibantu oleh ahli tata-bahasa ('grammar') yang dalam bahasa Ibrani disebut 'nag danim'. Karena kitab Perjanjian Lama asli yang ditulis Musa, Daud, Samuel dan lain-lain tidak memakai huruf hidup ('vokal') dan juga tanpa tanda baca, maka sulit dimengerti oleh generasi muda Yahudi maupun bangsa lain yang mempelajari bahasa asli kitab Perjanjian Lama. Para 'Baly ha-Masoret' dan 'nag danim', orang-orang Yahudi yang masih sangat fasih bahkan ahli dalam bahasa Ibrani itu, menolong memasang huruf hidup dan tanda baca ke dalam teks yang tadinya hanya terdiri dari huruf mati dan tanpa tanda baca.

Kesederhanaan teks yang ditulis jauh sebelum Masehi itu tentu bukanlah suatu kesalahan karena perkembangan pengetahuan bahasa pada saat itu cuma hanya sampai pada tahap itu. Penambahan huruf hidup dan tanda baca itu sama sekali bukan menambahi firman Tuhan, melainkan hanya menjadikan bunyi yang sudah ada ke dalam tanda baca. Misalnya, "makan" kalau dulu ditulis "mkn" saja, maka sekarang ditambahkan dua huruf "a" sehingga menjadi "makan". Bahkan bahasa Indonesia pernah mengalami beberapa kali penyempurnaan. Dulu "Soekarno" sekarang menjadi "Sukarno". Dulu "djangan" sekarang menjadi "jangan", dan dulu "tjepat" sekarang menjadi "cepat".

Para 'Baly ha-Masoret' dan 'nag danim' yang hidup sesudah 70 Masehi, yang menguatirkan keimanan anak-cucu bangsa Israel telah dipakai Allah untuk memelihara kitab Perjanjian Lama yang sangat dibutuhkan jemaat Perjanjian Baru. Hasil karya mereka disebut 'Masoretic Text' (Teks Masoretik), dipakai oleh baik kaum Yahudi maupun Kristen.

Pada tahun 1947 dunia kekristenan dikejutkan dengan diketemukannya Dead Sea Scroll. Seorang bocah Baduin yang berusaha mencari dombanya yang hilang tanpa sengaja memasuki gua di Wadi Qumran, sebelah barat daya Laut Mati. Di dalam gua yang gelap ia tersandung pada gulungan benda yang dua kaki panjang dan sepuluh inci tebal. Para gembala itu menjualnya ke toko antik di Bethlehem yang memberi beberapa gulung, dan seorang 'Archbishop' dari gereja Orthodox Syria membeli sisanya.
Beberapa orang ahli menelitinya dan menyimpulkan bahwa itu tidak ada nilainya. tetapi E.L. Sukenik, dari Hebrew University di Yerusalem, mengenal keunikan gulungan itu dan membeli tiga gulungan. Gulungan lain dibawa ke American School of Oriental Research, diteliti oleh J.C. Trever dan W.F. Albright, seorang arkeolog Alkitab, akhirnya pada tahun 1948 menyadari bahwa itu adalah gulungan kitab-kitab Perjanjian Lama.

Pada akhir tahun 1951 kembali di sekitar gua-gua Laut Mati, yaitu di gua Wadi Murabba'at ditemukan lagi gulungan-gulungan lain di antaranya juga terdapat gulungan teks 'Masoretik'. Pada tahun 1952 dilakukan eksplorasi yang lebih intensif dan di gua yang terletak di sebelah barat Khirbet Qumran ditemukan hampir keseluruhan kitab Perjanjian Lama kecuali kitab Ester.

Adapun isi dari 'manuscript' (MSS) yang ditemukan di Qumran itu ada sebagian berbeda dari Teks Masoretik namun sama dengan 'Septuaginta' (LXX). Tetapi lebih banyak kesamaannya dengan Teks Masoretik daripada dengan LXX. Kelihatannya MSS yang ditemukan di Qumran adalah teks yang dipergunakan oleh pribadi, bukan yang dipergunakan di 'sinagoge', karena ada banyak catatan pinggir, dan naskah tua yang diperkirakan sebelum Yesus, ternyata ada tambahan huruf hidup (vokal). Diketahui
bahwa naskah bahasa Ibrani sebelum para 'Baly ha-Masoret' memasangkan huruf hidup (vokal) naskah resmi yang dipakai di Bait Allah dan 'sinagoge' itu hanya terdiri dari huruf mati (konsonan) saja. Jadi kalau ada naskah sebelumnya yang terdapat selipan huruf hidup adalah naskah pribadi yang dipakai di keluarga. Biasanya karena anak-anak mereka belum terbiasa membaca tanpa huruf hidup, maka orang tua mereka membantu dengan menambahi huruf hidup bagi mereka.

Kalangan Liberal menjadi kalang-kabut dengan ditemukannya 'Dead Sea Scroll', namun sebagian mereka menjadikannya dasar untuk membangun 'Critical Texts' (Teks Pengritik) untuk mendiskreditkan Teks Masoretik. Tetapi kalangan Fundamental tetap yakin bahwa Teks Masoretik adalah teks terpercaya karena bukan hanya telah dikerjakan dengan sangat hati-hati, bahkan sumber landasannya adalah naskah resmi yang dipakai di 'sinagoge-sinagoge', bukan naskah pribadi yang telah banyak penambahan dan pengurangan. Bisa dipahami kalau sesuatu itu milik pribadi maka bisa ditambah dan dikurangi seperti yang dilakukan terhadap Alkitab hari ini, di mana umat Kristen membuat catatan di pinggir dan menandainya dan lain sebagainya.

Naskah-naskah kitab Perjanjian Baru telah terpelihara melalui orang-orang percaya yang menyayangi naskah itu sehingga orang berusaha memilikinya dengan memperbanyaknya. Dengan cara diperbanyak, maka naskah ini tidak dapat dimusnahkan, dan sekaligus dijaga keotentikannya karena di kemudian hari umat Kristen dapat membanding-bandingkannya.

Menurut The Zondervan Pictorial Encyclopedia of the Bible volume V, kini telah tersimpan ± 3,000 copy naskah Perjanjian Baru tulisan tangan dalam bahasa Yunani dalam bentuk fragment dan 2,000 copy dalam bentuk penjelasan (telah ditambahkan berbagai penjelasan) untuk kebutuhan pembacaan tiap hari, 8,000 manuscript dalam bahasa Latin, dan sekitar 2,000 terjemahan versi kuno. Tersedianya naskah-naskah kuno itu telah menjamin sehingga pekerjaan mengedit sebuah kitab Perjanjian Baru ke dalam buku setelah kertas dan alat cepat ditemukan itu dapat dilakukan. Naskah ini telah dipelihara dengan cara diperbanyak dan disimpan hingga manusia dapat menjilidnya menjadi sebuah kitab pada saat menusia telah menemukan alat cetak dan kertas.

Sesungguhnya naskah-naskah Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani telah tersebar ke mana-mana. Sesudah abad ketiga kelihatannya bahasa Latin menjadi bahasa yang cukup penting, terutama disebabkan karena pemerintahan Roma telah berlangsung cukup lama. Pada saat itu menurut Agustinus, hampir setiap orang yang tahu dua bahasa, yaitu Yunani dan Latin, berusaha menerjemahkan kitab-kitab Perjanjian Baru walaupun tidak lengkap. Itulah sebabnya kini terdapat sekitar 8,000 naskah kuno kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Latin. Secara resmi pada tahun 382, Paus Damasus menunjuk Jerome untuk menerjemahkan atau sebenarnya mengedit terjemahan-terjemahan tidak resmi terhadap empat Injil. Hasil revisi yang dikerjakan oleh Jerome itu itu kemudian dikenal dengan 'Vulgate' dalam bahasa Latin itu berarti "umum", mungkin maksudnya dipakai untuk umum. Versi 'Vulgate' dipakai secara resmi oleh gereja Katolik ratusan bahkan ribuan tahun.

Buku tertua dalam cetakan ialah buku dalam tulisan Tionghoa 'Diamond Sutra', yang dicetak pada tahun 868 dengan alat cetak kayu. Pada abad ke-11, orang Tionghoa meningkatkan penciptaan alat cetak bergerak dengan tanah liat. Namun apa yang telah dicapai di China tidak ada hubungannya dengan penemuan alat cetak di Eropa. Menurut The New Book of Knowledge, Volume XV, Johannes Gutenberg adalah orang pertama yang menemukan alat cetak pada tahun 1440 di benua Eropa.

Buku pertama yang dicetak oleh percetakan Gutenberg ialah Alkitab versi Vulgate yang cakap dalam ukuran folio, yang selesai pada tahun 1456, yang terkenal dengan sebutan 'Gutenberg Bible'.

Pada tahun 1502, persiapan pencetakan Alkitab bahasa Yunani dimulai di bawah pimpinan Kardinal Ximenes dari Spanyol. Kitab Perjanjian Baru dicetak dalam bahasa Latin dan Yunani, dan Perjanjian Lama dicetak paralel tiga bahasa, yaitu Latin, Ibrani dan Yunani LXX. Proyek ini dilakukan di kota Alcala yang dalam bahasa Latin disebut Complutum sehingga Alkitab itu disebut 'Complutension Polyglot'. Perjanjian Baru selesai pada tahun 1514 dan Perjanjian Lama selesai 1517, namun belum pernah beredar karena pada tahun 1520 baru diterima oleh Paus dan pada tahun 1522 baru dipublikasikan.

Sementara itu pada tahun 1515 seorang ahli bahasa yang bernama Desiderius Erasmus berusaha mengedit kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani dengan mendasarkannya pada lima 'manuscript' tradisional yang tersimpan di Basel dan menerbitkannya pada bulan Maret tahun 1516.
Dengan demikian maka kitab Perjanjian Baru bahasa Yunani yang pertama dicetak adalah 'Complutension Polygot' sedangkan yang pertama terbit dan beredar di masyarakat adalah edisi Desiderius Erasmus. Tidak dapat dipungkiri bahwa kitab Perjanjian Baru ini telah memungkinkan Martin Luther menyadari kesalahan Gereja Katolik, demikian juga dengan Bapak-bapak Reformasi yang lain.

Sangat disayangkan karena naskah yang dimiliki oleh Erasmus itu ternyata enam ayat terakhir dari kitab Wahyu telah hilang sehingga ia menerjemahkannya sendiri dari 'Vulgate' ke bahasa Yunani. Namun kemudian setelah ia mendapatkan naskah yang memiliki enam ayat terakhir kitab Wahyu masih utuh, ia memperbaikinya pada edisi kedua. Kemudian setelah melihat 'Manuscript Codex 61' Erasmus memasukkan 1 Yohanes 5:7,8 yang di kalangan teolog disebut 'Johannen Coma'. Dan Luther menerjemahkan edisi kedua yang terbit 1519 dan yang telah disempurnakan ini ke dalam bahasa Jerman. Penyempurnaan demi penyempurnaan dilakukan setelah melihat naskah-naskah kuno dan membanding-bandingkannya dengan 'Polyglot' sehingga keseluruhannya Erasmus menerbitkan lima edisi.
Dalam tiap perbaikan itu tidak ada penambahan atau pengurangan firman Tuhan, melainkan memeriksa hasil karyanya dan membandingkannya dengan naskah-naskah yang jumlahnya sekitar tiga ribu naskah kuno.

Rupanya menurut Robert Estienne, (yang lebih dikenal dengan Stephanus), hasil karya Erasmus masih perlu diperbagus lagi. Ia menerbitkan empat edisi berturut-turut tahun 1546, 1549, 1550, 1551, yang tiap edisinya terdapat perbaikan-perbaikan yang tidak terlalu berarti, seperti penambahan judul perikop dan lain-lain. Edisi ketiga (1550) dari Stephanus ini dikenal dengan sebutan 'Royal Edition (Edition Regia)'. Edisi keempat terbit tahun 1551 dengan dilengkapi pasal dan ayat sebagaimana yang dipakai oleh umat Kristen hari ini. Umat Kristen patut berterima kasih kepada Stephanus yang telah menolong mereka agar lebih gampang mencari bagian firman Tuhan yang diinginkan. Bayangkan jika tidak ada pasal dan ayat, pasti mereka (umat Kristen dan pembaca lainnya) akan mengalami banyak kesulitan. Mungkin Anda dapat melengkapi kajian kita bersama tentang pembagian ayat-ayat Al~Qur'an, siapakah nama mereka yang terlibat dalam pembagian ayat-ayat ini, karena umat Islam pun patut berterima kasih kepada mereka yang berjasa ini.

Theodore Beza, seorang yang tersohor di kalangan Protestan, juga menerbitkan kitab Perjanjian Baru bahasa asli dalam ukuran folio dengan memakai teks Stephanus sebagai dasar. Ketenaran Theodore Beza turut mempopulerkan teks Erasmus dan Stephanus yang dipakainya sebagai dasar sehingga kalangan reformasi memakai teks mereka sedangkan kalangan Katolik memakai 'Polyglot'.

Keluarga Elzevir, pemilik penerbit berbagai buku klasik, ikut meramaikan penerbitan kitab Perjanjian Baru bahasa asli yang sangat digemari masyarakat yang baru mengalami reformasi itu. Pada edisi kedua terbitannya tercantum tulisan, "Kini Anda memiliki teks yang telah diterima oleh semua kalangan, yang di dalamnya tidak ada penambahan
maupun kesalahan."

Akhirnya ungkapan 'received text' atau 'textum receptum' yang biasa disingkat dengan TR, menjadi nama dari teks yang pertama diedit oleh Desiderius Erasmus, diperlengkapi dan diperindah oleh Stephanus, dipromosikan Theodore Beza dan keluarga Elzevir, diberikan kepada teks yang diterima dan dipakai di kalangan umat Kristen. Teks ini kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa termasuk ke dalam bahasa Inggris, 'King James Version', yang diterjemahkan pada tahun 1611 atas perintah raja Inggris yang bernama James dan dikerjakan oleh lebih dari lima puluh ahli bahasa. Teks yang mereka pakai sebagai dasar ialah Teks Stephanus edisi ketiga dan empat dan edisi Beza terbitan tahun 1598.

Masyarakat, terutama umat Kristen, sangat bersukacita atas tersedianya kitab suci dalam bentuk cetakan bahkan dalam bahasa mereka yang dapat mereka miliki secara pribadi dengan harga yang relatif lebih murah dari sebelumnya. Menurut The New Book of Knowledge volume XV, sebelumnya harga sebuah Alkitab tulisan tangan yang rapi itu sama dengan harga sebuah gedung berlantai dua di dekat 'London Bridge'. Sungguh amat disayangkan mereka yang tidak menghargai firman Tuhan yang ada di tangannya hari ini.

'Textum Receptum' (TR) dipakai oleh orang-orang Kristen di seluruh dunia, dan diterjemahkan ke berbagai bahasa oleh misionari modern yang dipelopori oleh misionari Baptis, William Carey, ke India dan akhirnya banyak misionari ke seluruh penjuru dunia. Selama ± 380 tahun tidak ditemukan cara untuk menghalangi tersebarnya firman Tuhan ke seluruh dunia walaupun dilakukan juga serangan kecil-kecilan yang tidak membawa efek terhadap TR.


Karl Lachmann dari Jerman tercatat adalah orang pertama yang menerbitkan edisi Perjanjian Baru yang sifatnya menyerang TR pada tahun 1831. Setelah dua edisi teks pengritik 'Critical Texts' (CT) diterbitkannya ternyata tidak ada yang menggubrisnya. Pada tahun 1857 Samuel Prideaux Tregelles di Inggris juga menerbitkan 'Critical Text'
untuk menyerang TR. Kemudian Constantin Tischendorf seorang yang menemukan naskah Codex Sinaiticus turut menerbitkan teks Perjanjian Baru yang bersifat menyerang keakuratan TR.

Serangan yang kelihatannya memakan banyak korban adalah yang dilakukan melalui dua orang, yaitu Brooke Fos Westcott, seorang Bishop gereja Anglikan, dan Fenton John Anthony Hort, seorang dosen dari Cambridge University. Untuk mempersingkat nama mereka, biasanya hanya ditulis WH.
Mereka menerbitkan 'Critical Text' (CT) untuk menyerang 'Textum Receptum' (TR) pada tahun 1881. Mereka mendasarkan edisi yang mereka terbitkan pada naskah yang diberi nama 'aleph' yang ditemukan di Sinai yang juga disebut 'Sinaiticus' dan naskah yang diberi nama B yang kata mereka tersimpan di perpustakaan Vatikan.

Menurut Dr. D.A. Waite dalam bukunya 'Defending the King James Bible', antara CT hasil WH dengan TR yang sudah dipakai lebih dari tiga ratus tahun terdapat 5,604 perbedaan yang terdiri dari 1,952 penghilangan (35%), 467 penambahan (8%), dan 3,185 perubahan (57%). Dengan perubahanyang besar-besar an ini kelihatannya serangan terhadap firman Tuhan semakin serius dan intensif. Gelombang pertama yang tumbang berjatuhan adalah teolog-teolog Liberal di Jerman. Keraguan mereka terhadap firman Tuhan mulai muncul bahkan akhirnya mereka melihat Alkitab hanya sekedar buku sejarah.

Sementara teolog Jerman tumbang, kemudian angin pukulan CT melanda Eropa sehingga muncul berbagai kritik terhadap Alkitab (buku yang telah berjasa mengubah orang Eropa menjadi manusia bermoral). Akhirnya angina serangan terhadap Alkitab itu sampai juga ke Amerika. Bersama dengan itu muncul berbagai Alkitab bahasa Inggris terjemahan modern yang didasarkan pada teks CT, antara lain: English Revised Version (1881), American Standard Version (1901), New American Standard Version (1960), New English Version (1961), New International Version (1969).

Bagaimana dengan Alkitab bahasa Indonesia? Dulu Alkitab bahasa Indonesia diterjemahkan dari TR. Kelihatannya Alkitab Terjemahan Baru sedikit terpengaruh oleh CT dari WH. Banyak pembaca tidak menyadari maksud di balik banyak ayat dalam Alkitab Terjemahan Baru yang diberi tanda kurung, contoh [...]. Sebagian dosen sekolah teologia di Indonesia yang sudah terhembus angin Liberalisme mengatakan kepada murid-murid mereka bahwa ayat itu tidak ada dalam Alkitab bahasa aslinya. Penjelasan demikian tentu akan mengundang banyak pertanyaan susulan, yaitu siapa yang menambahkan dan mengapa ditambahkan?

Ternyata Lembaga Alkitab Indonesia memberi tanda kurung pada ayat-ayat yang ada dalam teks TR namun tidak ada dalam teks CT. Tindakan demikian masih baik daripada menghilangkan ayat itu sama sekali. Namun sebenarnya lebih baik tidak perlu diberi kurung karena itu adalah firman Tuhan.

Westcott adalah seorang Bishop gereja Anglikan, gereja yang Doktrin Gereja ('ecclesiology')nya hampir sama dengan Gereja Roma Katolik.
Perbedaannya hanya Gereja Roma Katolik berpusat di Roma sedangkan gereja Anglikan berpusat di London. Dan Gereja Roma Katolik dikepalai Paus sedangkan gereja Anglikan dikepalai Raja atau Ratu Inggris. Sedangkan Hort adalah seorang dosen Universitas Cambridge. Dr. D.A. Waite yang meneliti buku-buku yang ditulis mereka menyimpulkan bahwa sesungguhnya mereka bukan seorang yang telah "lahir baru". Istilah "lahir baru" ini dipergunakan oleh umat Kristen untuk menyatakan "bertobat".

Dr. D.A. Waite tersebut menulis, "In this study, I quote from their writings extensively and show from five of their books that they are apostates, liberals, and unbelievers."

Selain Westcott dan Hort, siapa lagi di balik CT yang makin hari makin dominan itu? Critical Text yang hari ini banyak dipakai di Sekolah Theologi adalah edisi ke-26 yang disebut Nestle/Aland Greek New Testament, 26th edition. Eberhard Nestle dan Kurt Aland, kedua-duanya orang Jerman yang membentuk sebuah komisi yang terdiri dari Kurt Aland sendiri, Matthew Black seorang yang imannya diragukan, Carlo M. Martini seorang Kardinal Gereja Katolik, Bruce Metzger dari Princeton, universitas yang sangat liberal, dan Alan Wigren dari Chicago. Mereka inilah yang mengatakan bahwa Rasul Matius salah tulis karena tidak melihat catatan di Bait Allah sehingga yang seharusnya Asa namun ditulis Asaf, demi untuk membela konsep mereka bahwa naskah kuno yang mereka pakai adalah yang terbaik, yang tidak terjamah oleh tangan-tangan jahil.

Sebaliknya orang-orang yang mengedit Textum Receptum adalah orang-orang mengasihi Tuhan, menurut umat Kristen. Desiderius Erasmus, yang sering dikritik karena humanis, adalah humanis abad pertengahan yang berusaha melepaskan diri dari kungkungan universalisme gereja Roma. Ia bukan humanis masa kini yang filosofinya berpusatkan pada manusia dan mengagungkan manusia. Sedangkan Stephanus adalah orang Protestan, orang yang rela mengorbankan nyawa demi membela kebenaran. Apalagi Theodore Beza, teman dekat John Calvin, adalah tokoh reformasi yang sangat terhormat. Edisi Stephanus dan Beza-lah yang secara umum diterima oleh orang-orang Kristen yang baru mendapat kebangunan rohani melalui gerakan reformasi. Edisi keempat Stephanus tahun 1551 yang telah dilengkapi pasal dan ayat telah menjadi berkat bagi jutaan orang, terlebih setelah dijadikan dasar untuk penerjemahan ke berbagai bahasa termasuk King James Version.

Baik Erasmus, Stephanus, maupun Beza, mereka berusaha mewujudkan kitab Perjanjian Baru bahasa asli hanya agar orang-orang Kristen memiliki firman Tuhan di tangan mereka yang praktis, agar mereka dapat mempelajari dan memberitakannya. Mereka tidak memikirkan masalah hak cipta dan lain sebagainya. Hasil karya mereka menyebabkan banyak orang melihat terang Tuhan. Masyarakat Eropa berubah total setelah reformasi dan tersedianya Alkitab dalam cetakan telah memungkinkan mereka membaca dan mempelajarinya. Tingkat moral masyarakat menjadi semakin tinggi
demikian juga dengan tingkat kepatuhan mereka terhadap hukum. Setiap kali orang menyebut firman Tuhan, tentu yang dimaksud adalah Textum Receptum atau terjemahannya pada masing-masing bahasa.

Namun setelah Westcott dan Hort menerbitkan edisi mereka, kebingungan mulai melanda, pertama-tama di kalangan intelektual, karena mereka terpaksa harus memilih teks mana yang harus mereka jadikan patokan, dan akhirnya juga melanda seluruh kekristenan. Di Indonesia hal ini tidak terasa karena umat Kristen hanya memiliki satu versi Alkitab yaitu terbitan Lembaga Alkitab Indonesia. Tetapi bagi masyarakat yang berbahasa Inggris, dengan tersedianya berbagai versi Alkitab, maka agak kerepotan juga.

Pukulan yang paling menyakitkan ialah tertawaan dari pihak luar, misalnya pihak Islam, yang mengatakan bahwa Injil asli orang Kristen sudah tidak ada, yang ada sekarang adalah yang palsu. Adanya kesalahan pada teks Westcott dan Hort biasanya mereka jadikan bukti untuk statemen mereka. Mereka dapat mengatakan, "lihat, nama silsilah saja salah catat, tidak salah toh kalau itu adalah yang palsu?"

Kehadiran Critical Text telah menyebabkan perdebatan yang tidak ada habis-habisnya. Musuh Alkitab mencatat sukses karena mereka berhasil menggoncang dasar iman orang Kristen dan meletakkan batu sandungan terhadap sebagian orang yang belum percaya. Sebagian orang yang tidak memahami masalah ini sempat tersandung karena mereka dipaksa untuk mempertanyakan aspek 'human error' dari teks bahasa asli yang ada pada saat ini. Tentu karena mereka tidak diberi informasi bahwa usaha pengeditan yang teliti telah dilakukan oleh Erasmus, Stephanus, Beda dengan membanding-bandingkan naskah demi naskah hingga akhirnya tidak ditemukan lagi kesalahan dan orang-orang yang benar-benar Kristen pun secara universal telah menerimanya.

Pada saat Alkitab terjemahan tidak jelas terhadap suatu masalah atau terdapat perbedaan antara satu terjemahan dengan terjemahan yang lain, kemanakah umat Kristen akan mencari otoritas final untuk menjelaskannya? Mau tidak mau, Alkitab bahasa asli adalah otoritas final untuk menyelesaikan masalah baik yang praktis maupun yang bersifat doktrinal.

Jika dunia kekristenan hanya memiliki satu versi Alkitab bahasa asli seperti keadaan abad 16, 17 dan 18, maka dengan gampang dan dengan kebulatan hati semua orang Kristen akan mengacu kepada Alkitab bahasa asli yang hanya satu itu. Kini setidaknya tersedia dua Alkitab bahasa asli yang didalamnya terdapat ± 5,604 perbedaan, maka dengan terpaksa setiap orang Kristen harus menetapkan versi manakah yang akan diakuinya sebagai Alkitab bahasa asli yang benar, atau otoritas yang final (The Final Authority).

Teks yang diakui, Received Text atau Textum Receptum yang diedit pertama kali oleh Erasmus dan diperlengkapi oleh Stephanus dan Geza adalah yang telah diperiksa dan ternyata tidak ditemukan kesalahan serta telah membawa manfaat bagi penduduk Kristen dunia lebih dari tiga abad. Sedangkan Critical Text yang diedit oleh Westcott dan Hort serta diedit ulang oleh komite yang dipimpin oleh Nestle dan Aland ternyata terdapat kesalahan yang sangat konyol, yaitu Asa ditulis dengan Asaf.
Masih ada banyak kesalahan lain lagi yang mereka akui, namun pada umumnya kesalahan itu mereka lemparkan kepada sang penulis untuk membangun asumsi bahwa penulis Alkitab tidak diilhami, atau bahwa Alkitab itu bukan buku istimewa melainkan sama seperti catatan sejarah lain.

Untuk membangun doktrin yang benar, umat Kristen membutuhkan dasar yang benar. Doktrin alkitabiah adalah doktrin yang didasarkan "hanya" pada Alkitab saja. Lalu kalau diperhadapkan dua versi Alkitab bahasa asli, yang manakah yang akan mereka pilih? Kini banyak theolog telah kemasukan angin liberalisme, demikian juga sekolah-sekolah theologia. Masalah Alkitab bahasa asli bisa menjadi salah satu faktor untuk mengenal aliran sebuah sekolah theologia. Rata-rata sekolah theology aliran liberal lebih senang memakai Critical Text karena ketika dosen di sekolah tersebut belajar ke luar negeri, ia sudah terlanjur masuk ke sekolah liberal dan yang memakai Critical Text. Namun sekolah theologia aliran fundamental tetap bertahan pada Received Text atau Textum Receptum yang tidak ada kesalahan dan telah mendatangkan manfaat bagi umat Kristen.


-----------------------------------------------------------------------
Sumber: Doktrin Alkitab Alkitabiah, Dr. Suhendra Liauw, Graphe: Jakarta

 

 

Kenyataan 1:

Kitab-kitab Perjanjian Lama pada awalnya ditulis dalam bahasa Ibrani (Hebrew) bagi Israel, umat pilihan Allah. Tetapi setelah orang-orang Yahudi terusir dari tanah Palestina dan akhirnya menetap di berbagai tempat, mereka kehilangan bahasa aslinya dan mulai berbicara dalam bahasa Yunani (Greek) yang pada waktu itu merupakan bahasa antarabangsa. Oleh karena itu menjadi penting kiranya untuk menyediakan bagi mereka, terjemahan seluruh Kitab Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani.

Soalan 1:
Ada sesiapa yang pegang kitab perjanjian lama sewaktu itu? Kalau ada siapakah mereka? Selama mana mereka terusir hingga menyebabkan mereka hilang identiti bahasa mereka?




JAWAB :

Anda bisa membaca dulu sejarah bangsa Israel di
http://www.sarapanpagi.org/israel-vt134.html#p271


Meski Bahasa Ibrani pada suatu waktu tidak digunakan sebagai bahasa sehari-hari, bukan berarti bahasa Ibrani itu punah. Bahasa Ibrani tetap menjadi bahasa liturgis yang digunakan di sinagoga (rumah ibadah) dan juga di Bait Allah.

Bahasa yang digunakan dalam Alkitab, ada tiga bahasa asli : yakni bahasa Ibrani, bahasa Aram, dan bahasa Yunani.

Alkitab ditulis dalam ketiga bahasa tersebut, dan tergantung dari waktu bagian tertentu ditulis dlm bahasa apa. Bagian-bagian yang paling kuno dari Perjanjian Lama ditulis dalam bahasa Ibrani, yang merupakan bahasa sehari-hari dari bangsa Israel pada zaman itu.

Lalu, berabad-abad kemudian, dipakai bahasa Aram. Perbedaan antara bahasa Ibrani dan bahasa Aram dapat digambarkan sebagai perbedaan antara bahasa Melayu Kuno dan Indonesia sekarang.

Selama pembuangan ke Babel hingga kembali ke Israel ± tahun 538 sebelum Masehi di bawah pimpinan Ezra-Nehemia, bahasa yang digunakan oleh orang Yahudi sudah bercampur dengan bahasa Aram, disebut sebagai bahasa Aram Klasik, dan akhirnya mereka benar-benar berbahasa Aram hingga di era Yesus Kristus. Sebagian kitab Perjanjian Lama yang ditulis di era pembuangan ini, ditulis dalam bahasa Aram, seperti sebagian kitab Daniel, Ezra, dan Nehemia.

Penggalian inskripsi-inskripsi di daerah Israel bertarikh 300 sebelum Masehi hingga 500 Masehi menunjukkan bahwa 70% ditulis dalam bahasa Yunani, 12% dalam bahasa Latin, dan hanya 18% ditulis dalam bahasa Aram. Tidak suatu pun yang ditulis dalam bahasa Ibrani.

Jadi sama-sama bahasa orang Israel, namun yang satu dari zaman dahulu (kuno) yang lain dari zaman kemudian (modern), khususnya zaman Yesus dan para Rasul. Jadi secara sederhana dapat dikatakan bahwa bahasa Ibrani adalah "Aram kuno," dan bahasa Aram adalah "Ibrani modern." Tetapi dalam periode yang lebih kemudian lagi, sudah menjelang zaman Yesus, orang menulis tidak hanya dalam bahasa Aram tetapi juga dalam bahasa Yunani. Maka dalam PL bagian terbesar ditulis dalam bahasa Ibrani, sedangkan sebagian kecil dalam bahasa Aram dan juga bahasa Yunani.

Di Yerusalem sendiri, 40% dari inskripsi Yahudi sebelum tahun 70 Masehi (keruntuhan Yerusalem) ditulis dalam bahasa Yunani, sisanya ditulis dalam bahasa Aram (bukan Ibrani).

Perjanjian Baru (PB) seluruhnya ditulis dalam bahasa Yunani, walaupun pada jaman PB didominasi oleh bahasa Ibrani Aramaik, saya ingin memberikan gambaran singkat mengenai kedudukan ketiga bahasa itu pada zaman Yesus, seperti kita sering berbahasa daerah (betawi, sunda atau jawa) tetapi dalam penulisan tetap dengan bahasa Indonesia.

Bahwa inskripsi berbahasa Yunani pun ditemukan di daerah Iraq; Hal itu tidak mengherankan karena Aleksander Agung (336 - 323 sebelum Masehi) pernah menaklukkan kerajaan Persia, oleh karena itu banyak sekali kebudayaan terutama filsafat Yunani merasuk ke dalam peradaban Timur.

Adanya perluasan jajahan dan pengembangan kebudayaan yang dilakukan oleh Aleksander Agung, bahasa Yunani berakar kuat di daerah Timur Dekat dan wilayah Laut Tengah yaitu mulai abad ke-4 sebelum Masehi.


Pelayanan Yesus ditengah multi kultural dan bahasa :


Salah satu keunikan Injil adalah pewartaan Yesus mula-mula di tengah dunia yang multi etnik dan multilingual di Galilea pada abad pertama Masehi. Dalam Yesaya 8:22 dinubuatkan daerah pelayanan Sang Mesiah:
"DEREKH HAYAM EVER HAYARDEN GELIL HAGOYIM" (jalan ke laut, daerah seberang Yordan, Galilea wilayah bangsa-bangsa). Latarbelakang ini sangat mempengaruhi corak keagamaan Kristiani sejak semula. Beberapa ahli menyimpulkan, bahwa Yesus dan penduduk Galilea khususnya dan Israel pada umumnya berbicara dalam bahasa Ibrani, Aram dan sedikit Yunani.

Pertama, mengenai bahasa Ibrani dan Aram sebagai dua bahasa serumpun. Kedua bahasa ini erat bertalian, banyak kata dalam kedua bahasa ini sama. Tata bahasa dan sintaksisnya juga sama. Pada zaman Abraham (kira-kira 1900 SM) kedua bahasa itu dapat dikatakan identik, artinya belum terpecah satu sama lain. Dalam sebuah liturgi Yahudi kuno, disebutkan:
"ARAMI OVED AVI VAYERED", 'Bapaku dahulu seorang Aram, seorang pengembara' (Ulangan 26:5). Ini merujuk kepada Yakub, nenek moyang bangsa Israel, bahwa ia disebut orang Aram sebab disitulah letak geografis tempat tinggalnya, meskipun ia bukan dari suku itu. Dan juga karena Yakub pernah tinggal di Aram-naharaim dan anak-anaknya yang kemudian menjadi bangsa Israel.

Berabad-abad kemudian (kira-kira 1,100 - 722 sM) dari bahasa yang satu itu melahirkan dua cabang bahasa: Ibrani di kalangan orang Yahudi di Palestina dan bahasa Aram di kerajaan-kerajaan Aram di Mesopotamia: Damaskus, Zobah dan Hamat.

Bahasa Ibrani dipakai oleh Saul, Daud, Salomo dan nabi-nabi lainnya, sehingga Perjanjian Lama untuk sebagian besar ditulis dalam bahasa ini. Bahasa Ibrani (atau dikenal sebagai bahasa Ibrani klasik) bertahan sebagai bahasa resmi kerajaan Israel sampai jatuhnya Yerusalem tahun 587 sM.

Sementara itu, bahasa Aram berkembang pesat ketika orang-orang Asyiria menguasai kembali Mesopotamia (883-606 sM) dan akhirnya bahasa Aram menjadi bahasa resmi kerajaan. Keadaan ini semakin kuat di kalangan orang-orang Babel (606-539 SM) dan kelak di kalangan Persia (539-333 SM). Pada zaman ini bahasa Aram terus mendesak bahasa Ibrani sampai zaman Yesus, khususnya di wilayah Galilea, Samaria dan daerah-daerah sekitarnya. Pada zaman itu bahasa Aram tersebar luas sebagai 'lingua franca' di wilayah Timur, sedangkan bahasa Yunani dipakai sebagai 'lingua franca' di wilayah Barat. Sementara itu bahasa Ibrani membeku sebagai "bahasa suci (bahasa liturgis)" di Bait Allah dan sinagoge-sinagoge Yahudi.

Kendati secara praktis bahasa Aram berbeda dengan bahasa Ibrani klasik, namun kedua bahasa ini adalah satu rumpun dan pada zaman Yesus bahasa Aram disebut juga sebagai bahasa Ibrani. Hal ini tampak pada catatan-catatan Perjanjian Baru, yang menyebut kata-kata Aram seperti:
Gabbatha (Yohanes 19:13) sebagai bahasa Ibrani juga. Begitu pula, sejarahwan Yahudi Flavius Yosephus memberitahukan kepada kita bahwa ia menulis bukunya The Jewish War ditulis dalam 'bahasa Ibrani', meskipun kenyataannya ia menulis "dalam dialek Ibrani", yaitu bahasa Aram. Karena pada zaman itu bahasa Aram, kendatipun dibedakan dari bahasa Ibrani sebagai "bahasa kekusasteraan rabbinis" (yang biasa disebut juga bahasa Ibrani Mishnah), tetapi bahasa Aram hanya dianggap sebagai dialek bahasa Ibrani tutur Galilea. Karena itu, Petrus dikenali karena dialek bahasanya (Matius 26:73).

Bahasa Ibrani, Aram maupun Yunani dijumpai bersama-sama di wilayah Israel pada abad pertama Masehi. Penemuan inskripsi-inskripsi kuno (graffiti, monogram dan simbol) di bekas sinagoge Kapernaum yang ditulis dalam bahasa Ibrani Aram, Paleo-estrangelo Syriac, Yunani, bahkan Latin membuktikan dunia multi-etnik dan multi-lingual Yesus Kristus. Lebih-lebih lagi, jelas sekali dalam Injil Yohanes 19:19 dicatat bahwa inksripsi di atas kayu salib Yesus dicatat dalam bahasa Ibrani, Yunani dan Latin. Untuk pembaca bisa membayangkan, selain teks asli Yunani, di bawah ini dapat kita ikuti rekonstruksi bunyi inskripsi itu dalam Ibrani (baik Ibrani Mishnah maupun Ibrani tutur) dan juga dalam bahasa Latin:

*
iesous ho nasoraios ho basileos ton ioudaion (bahasa Yunani).

*
Yeshua ha natseri melak ha-yehudim (bahasa Ibrani Mishnah).

*
yeshua natsraya malka da yhudeim (bahasa Aram/Syriac).

*
iesus nazarenus rex yudaerum (bahasa Latin).


Kalau begitu, bagaimana mengucapkan nama Sang Juru Selamat yang sah? Yeshua, Iesous atau Iesus/Yesus? Jawabnya, semua sah-sah saja, karena semua bahasa itu hidup pada zaman-Nya. Jadi, dalam bahasa Aram inilah Yesus berbicara sehari-hari dan mengajar murid-muridnya, begitu juga ketika dikatakan bahwa Yesus bebicara dengan Paulus dalam bahasa Ibrani (Kisah 26:14), kemungkinan besar dalam bahasa Ibrani tutur Galilea atau Aram. Tetapi ketika membaca Taurat dan Kitab Nabi-nabi di sinagoge, pasti Yesus mendaraskannya dalam bahasa Ibrani (Lukas 4:18-20). Tetapi Yesus juga berbicara dalam bahasa Yunani, misalnya dalam percakapannya dengan seorang perwira di Kapernaum (Lukas 7:1-10).



Tidak hanya ke-3 bahasa itu saja yang berkembang pada masa pelayanan Yesus. Adanya penjajahan Romawi pula mengakibatkan adanya empat bahasa di era Yesus Kristus:

[1] bahasa Ibrani merupakan bahasa liturgis, digunakan untuk membaca Torah, dan sebagainya, tidak digunakan sebagai bahasa sehari-hari, dikenal sebagai bahasa Ibrani Misyna karena adanya campur tangan para ahli Taurat menyusun Talmud;

[2] bahasa Aram, digunakan oleh orang Yahudi lokal sebagai bahasa sehari-hari;

[3] bahasa Yunani, digunakan oleh orang Yahudi pendatang sebagai bahasa pergaulan di Timur Dekat; pada umumnya Yahudi pendatang berbahasa Yunani ini mengunjungi Yerusalem dalam rangka transaksi bisnis dan ziarah ke Bait Allah; dan

[4] bahasa Latin, bahasa kaum penjajah yang digunakan oleh orang-orang Romawi yang menjajah Israel sejak tahun 63 sebelum Masehi.


Sesudah keruntuhan Yerusalem tahun 70 Masehi, bahasa Aram yang mereka gunakan pun berangsur-angsur punah, bercampur dengan bahasa Jerman, Polandia, dan Rusia sehingga timbul dialek-dialek Yahudi yang baru seperti Yidisy, Ladino, dan sebagainya.

Sekitar awal 1800-an kalangan Yahudi yang dipelopori oleh seorang rabi mulai mengusahakan agar bahasa Ibrani kuno yang ditulis di dalam Tanakh (Taurat, Zabur, dan lain-lain) digunakan sebagai bahasa percakapan. Dan mulai saat itulah bahasa Ibrani baru digunakan kembali oleh orang Israel setelah tidak digunakan lebih dari 1000 tahun.



Artikel Terkait :

PERJANJIAN BARU, BAHASA, di
http://www.sarapanpagi.org/perjanjian-b ... 5.html#p325



Tanya :

Quote:

Kenyataan 2:
Pada waktu itu di Alexandria berdiam sejumlah besar orang Yahudi yang berbahasa Yunani. Selama pemerintahan Ptolemius II Philadelphus (285 - 246 SM) projek penterjemahan dari seluruh Kitab Suci orang Yahudi ke dalam bahasa Yunani dimulai oleh 72 ahli-kitab Yahudi - menurut tradisi - 6 orang dipilih mewakili setiap dari 12 suku bangsa Israel. Terjemahan ini diselesaikan sekitar tahun 250 - 125 SM dan disebut Septuagint,

Kitab ini sangat popular dan diakui sebagai Kitab Suci rasmi (kanon Alexandria) kaum Yahudi, yang tinggal di wilayah Asia Kecil dan Mesir. Pada waktu itu Ibrani adalah bahasa yang nyaris mati dan orang-orang Yahudi di Palestina umumnya berbicara dalam bahasa Aram. Jadi tidak mengherankan kalau Septuagint adalah terjemahan yang digunakan oleh Yesus, para Rasul dan para penulis kitab-kitab Perjanjian Baru. Bahkan, 300 kutipan dari Kitab Perjanjian Lama yang ditemukan dalam Kitab Perjanjian Baru adalah berasal dari Septuagint. Harap diingat juga bahwa seluruh Kitab Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani.

Soalan 2:
3. Apakah kriteria atau kehebatan 6 orang yang dipilih itu? Dan siapa mereka?




JAWAB :


Tidak ada rujukan nama-nama dari para penterjemah Septuaginta (LXX, L=50, X=10, X=10) .
Infomasi mengenai terjemahan Septuaginta, Anda bisa membaca di artikel yang berjudul SEPTUAGINTA,
http://www.sarapanpagi.org/septuaginta-vt116.html



Tanya :

Quote:

Kenyataan 3:
Setelah Yesus disalibkan dan wafat, para pengikut-Nya tidak menjadi punah tetapi malahan menjadi semakin kuat. Pada sekitar tahun 100 Masehi, para rabbi (imam Yahudi) berkumpul di Jamnia, Palestina, mungkin sebagai reaksi terhadap umat Kristen. Dalam konsili Jamnia ini mereka menetapkan empat kriteria untuk menentukan kanon (=standard) Kitab Suci mereka:
[1] Ditulis dalam bahasa Ibrani;
[2] Sesuai dengan Kitab Taurat;
[3] lebih tua dari jaman Ezra (sekitar 400 SM);
[4] dan ditulis di Palestina.

Atas kriteria-kriteria diatas mereka mengeluarkan kanon baru untuk menolak tujuh buku dari kanon Alexandria, yaitu seperti yang tercantum dalam Septuagint, yaitu: Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Sirakh, Barukh, 1 Makabe, 2 Makabe, berikut tambahan-tambahan dari kitab Ester dan Daniel. (Catatan: Surat Nabi Yeremia dianggap sebagai pasal 6 dari kitab Barukh). Hal ini dilakukan atas alasan bahwa mereka tidak dapat menemukan versi Ibrani dari kitab-kitab yang ditolak diatas.




JAWAB :


Dalam penelitian para ahli kitab Yahudi ada beberapa kitab-kitab dalam terjemahan Septuaginta yang tidak lulus kanon. Untuk itu kitab tersebut tidak masuk dalam Kanon Yahudi (dalam Kitab TANAKH Ibrani)
Kanon Yahudi Perjanjian Lama diikuti oleh golongan Kristen non Katolik.

 

Misi Kristus Sedunia

PELAJARAN SEKOLAH MINGGU

  TANGGAL   PELAJARAN SEKOLAH MINGGU KATEGORI Babak pertama        ...