Tuesday 25 May 2021

Renungan "Sabar untuk Mengalah"

 Kewajiban ² Orang Percaya

Roma 12:11-12

11 Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan. 

12 Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa! 



Roma 12:11-12

11 Bekerjalah dengan rajin. Jangan malas. Bekerjalah untuk Tuhan dengan semangat dari Roh Allah. 

12 Hendaklah Saudara berharap kepada Tuhan dengan gembira, sabarlah di dalam kesusahan, dan tekunlah berdoa. 

---------------------

Setelah dengan panjang lebar menjelaskan dan menegaskan pengajaran Kekristenan yang paling mendasar dan utama ini, sampailah Rasul Paulus pada tahap berikutnya untuk menekankan kewajiban-kewajiban utama Kekristenan. Kita akan salah memahami agama kita, jika hanya memandangnya sebagai sebuah sistem pemikiran dan pedoman untuk menduga-duga. Tidak, Kekristenan adalah agama yang praktis yang bertujuan untuk mengatur perilaku dan cara hidup yang benar. Kekristenan tidak saja dirancang untuk memberitahukan penghukuman kita, tetapi juga untuk memperbaiki hati dan kehidupan kita. Dari cara Rasul Paulus menuliskan hal ini, sama seperti di dalam surat-surat kerasulan lainnya (sebagaimana tata pengelolaan para pelayan utama dalam kerajaan Kristus), para pelayan rahasia-rahasia Allah bisa belajar bagaimana memberitakan perkataan kebenaran. Tidak untuk menekankan kewajiban yang terpisah dari hak istimewa, juga tidak memisahkan hak istimewa dari kewajiban. Tetapi biarlah keduanya berjalan seiring bersama-sama. Dengan bentuk rancangan yang rumit, keduanya akan saling memajukan dan mendukung satu sama lain. Kesimpulannya, kewajiban-kewajiban itu berasal dari hak-hak istimewa itu sendiri. Dasar praktik Kekristenan harus diletakkan di atas pengetahuan dan iman Kristen. Pertama-tama kita harus memahami bagaimana kita dapat menerima Kristus Yesus Tuhan, dan kemudian kita akan mengetahui bagaimana dapat berjalan bersama-Nya dengan lebih baik. Terdapat sangat banyak kewajiban yang ditulis di dalam pasal ini. Nasihat-nasihat yang diberikan secara ringkas dan tajam. Dengan singkat nasihat-nasihat ini meringkaskan apa yang baik dan apa yang dikehendaki Tuhan kita Yesus Kristus dari diri kita. Nasihat-nasihat ini merupakan ringkasan dari daftar petunjuk, sebuah kumpulan peraturan cara hidup Kristen untuk mengatur perilaku hidup yang benar, seperti yang menjadi tujuan Injil. Tulisan ini dihubungkan dengan wacana terdahulu dengan menggunakan kata “karena itu.” Tulisan ini merupakan penerapan praktis dari kebenaran-kebenaran ajaran Kristen yang merupakan inti dari pemberitaan firman. Rasul Paulus telah berbicara panjang lebar mengenai pembenaran oleh iman dan mengenai kekayaan kasih karunia yang diberikan dengan cuma-cuma, serta janji dan jaminan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita kelak. Itulah sebabnya orang-orang duniawi yang tidak berakhlak akan cenderung mengambil kesimpulan dengan cepat, ”Karena itu kita dapat hidup seperti yang kita sukai dan berjalan sesuai keinginan hati dan pandangan mata kami.” Nah, ini tidak benar, sebab iman yang membenarkan adalah iman yang ”bekerja oleh kasih.” Tidak ada jalan lain menuju sorga selain melalui jalan kekudusan dan ketaatan. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia. Nasihat khusus dari pasal ini dapat diperas menjadi tiga kewajiban utama kekristenan, yaitu kewajiban kita kepada Allah, kepada diri sendiri, dan kepada saudara-saudara kita. Secara umum kasih karunia Allah mengajar kita untuk menjalani kehidupan yang ”saleh, bijaksana, dan adil,” serta menolak semua hal yang berlawanan dengan itu. Nah, pasal ini akan memungkinkan kita dapat memahami apakah yang dimaksud dengan kesalehan, kebijaksanaan, dan keadilan itu, walaupun agak sedikit campur aduk.

Kewajiban-kewajiban Orang Percaya (Roma 12:1-21)

Di sini kita bisa mengamati nasihat-nasihat Rasul Paulus sesuai dengan pola yang telah disebutkan di dalam isi pasal ini.

I. Mengenai kewajiban kita kepada Allah, di dalamnya kita dapat melihat apakah yang dimaksudkan dengan kesalehan itu.

1. Kesalehan adalah penyerahan diri kita kepada Allah, dan dengan demikian meletakkan suatu dasar yang baik. Pertama-tama kita harus memberikan diri kita kepada Tuhan (2Kor. 8:5). Di sini ditekankan bahwa persembahan diri itu sebagai sumber dari semua kewajiban dan ketaatan (ay. 1-2). Manusia terdiri atas tubuh dan roh (Kej. 2:7; Pkh. 12:7)

(1) Tubuh harus dipersembahkan kepada-Nya (ay. 1) Tubuh adalah untuk Tuhan, dan Tuhan untuk tubuh (1Kor. 6:1314). Di sini nasihat tersebut diperkenalkan dengan nada yang penuh perasaan: Aku menasihatkan kamu saudara-saudara. Walaupun ia adalah seorang rasul besar, namun ia menyapa orang-orang Kristen yang paling hina ini dengan sebutan saudara-saudara, suatu sebutan yang penuh dengan kasih sayang dan kepedulian. Ia memohon dengan sangat, inilah cara Injil bekerja, Seakan-akan Allah menasihati kamu dengan perantaraan kami (2Kor. 5:20). Meskipun ia memiliki kuasa untuk memerintahkan, namun mengingat kasih itu, ia merasa lebih baik untuk meminta (Flm. 8-9). Orang-orang miskin berbicara dengan memohon-mohon (Ams. 18:23). Hal ini dilakukan untuk menghaluskan nasihat itu, supaya dapat diungkapkan dengan kekuatan yang lebih menyenangkan. Jika mereka didekati dengan baik, mereka akan lebih dapat dipengaruhi dan akan lebih mudah untuk dibimbing dari pada dipaksa. Nah, amatilah hal-hal yang berikut ini,

[1] Kewajiban itu ditekankan – untuk mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan yang hidup. Secara tidak langsung nasihat ini menyinggung persembahan di bawah hukum Taurat, yang disajikan atau diletakkan di hadapan Allah di atas mezbah, siap untuk dipersembahkan kepada-Nya. Tubuhmu – tubuhmu sendiri secara keseluruhan, begitulah yang dinyatakan, karena menurut hukum Taurat yang dipersembahkan sebagai persembahan adalah tubuh binatang-binatang (1Kor. 6:20). Yang dimaksudkan di sini adalah tubuh dan roh kita. Persembahan binatang-binatang itu dilakukan oleh para imam, namun dipersembahkan oleh orang yang mempersembahkannya, yaitu orang yang mengalihkan semua hak, gelar, dan kepentingannya kepada Allah di dalam persembahan itu, dengan cara meletakkan tangannya ke atas kepala binatang itu. Di sini persembahan itu dilakukan menurut ketetapan Allah yang ditujukan kepada diri-Nya sendiri (lih. 1Ptr. 2:5). Sekaligus kita adalah bait, imam, dan persembahan, seperti halnya Kristus di dalam pengorbanan-Nya yang istimewa. Ada persembahan pendamaian dan persembahan pengakuan. Kristus, yang pernah dipersembahkan untuk menanggung dosa banyak orang, adalah satu-satunya korban pendamaian, namun diri kita dan semua perbuatan kita dipersembahkan kepada Allah melalui Kristus, Imam Besar kita, sebagai persembahan pengakuan kepada kemuliaan Allah. Mempersembahkan persembahan itu menunjukkan suatu tindakan yang dilakukan secara sukarela, dilakukan karena kuasa mutlak dari kehendak atas tubuh dan anggota-anggotanya. Persembahan itu haruslah persembahan yang dilakukan dengan kehendak bebas. Tubuhmu, dan bukan binatang-binatangmu. Persembahan yang sah itu, yang memiliki kuasa dari Kristus, juga memiliki masanya di dalam Kristus. Persembahan tubuh kepada Allah tidak saja berarti menjauhi dosa yang diperbuat dengan atau terhadap tubuh, tetapi juga menggunakan tubuh sebagai pelayan roh di dalam melayani Allah. Itu berarti memuliakan Allah dengan tubuh kita (1Kor. 6:20), secara langsung mengikutsertakan tubuh kita di dalam kewajiban ibadah kita, menjalankan tugas panggilan dengan rajin, dan bersedia untuk menderita bagi Allah dengan tubuh kita ketika kita terpanggil untuk itu. Itu berarti menyerahkan anggota-anggota tubuh kita menjadi senjata-senjata kebenaran (Roma 6:13). Walaupun latihan-latihan jasmani itu terbatas gunanya, namun pada tempatnya yang tepat ia merupakan bukti dan hasil dari persembahan roh kita kepada Allah.

Pertama, Mempersembahkan tubuh itu sebagai persembahan yang hidup, tanpa harus membunuhnya seperti korban-korban binatang di bawah hukum Taurat. Seorang Kristen menjadikan tubuhnya sebagai persembahan bagi Allah, walaupun ia tidak menyerahkannya untuk dibakar. Secara kiasan, tubuh yang dipersembahkan dengan sungguh-sungguh kepada Allah merupakan persembahan yang hidup. Secara tidak langsung, persembahan yang hidup berarti, apa yang mati dengan sendirinya tidak boleh dimakan, apa lagi dipersembahkan (Ul. 14:21). Dan sebaliknya, “Persembahan itu harus disembelih, tetapi kamu dapat dipersembahkan dan tetap tinggal hidup.” Suatu persembahan yang tidak berdarah. Orang-orang yang tidak mengenal Allah mempersembahkan anak-anak mereka kepada berhala-berhala mereka, tidak dalam keadaan hidup, tetapi sebagai korban yang dibunuh. Namun di sini Allah berbelas kasihan, dan meskipun yang dikorbankan kepada-Nya adalah kehidupan, Ia tidak menghendaki persembahan-persembahan seperti itu. Persembahan yang hidup, persembahan yang diilhami oleh kehidupan rohaniah dari roh. Kristus yang hidup di dalam roh oleh iman itulah yang membuat tubuh menjadi persembahan yang hidup (Gal. 2:20). Kasih yang kudus menyalakan persembahan itu dan memberikan hidup ke dalam kewajiban-kewajiban itu (6:13). Hidup, yaitu, hidup bagi Allah (6:11).

Kedua, Karena persembahan itu ditujukan kepada Allah, maka persembahan tubuh itu harus kudus. Tetapi, di samping itu, harus ada kekudusan yang nyata di dalam kebenaran hati dan kehidupan secara keseluruhan, yang olehnya kita menjadi serupa dengan sifat dan kehendak Allah. Bahkan tubuh kita tidak boleh dijadikan sebagai senjata dosa dan kelaliman, tetapi pisahkanlah tubuhmu bagi Allah, dan gunakan hanya untuk maksud-maksud yang kudus, seperti perkakas-perkakas Kemah Allah yang kudus, dipersembahkan untuk ibadah kepada Allah. Roh itulah yang menjadi alat kekudusan, namun roh yang telah dikuduskan itu mengalirkan kekudusan kepada tubuh untuk bergerak dan hidup. Itulah kekudusan yang sesuai dengan kehendak Allah. Jika tidak ada tindakan-tindakan jasmaniah, maka tubuh itu kudus. Tubuh adalah bait Roh Kudus(1Kor. 6:19). Hendaklah kamu hidup dalam pengudusan dan penghormatan(1Tes. 4:4-5).

[2] Ada tiga alasan untuk menguatkan hal ini:

Pertama, Pikirkanlah mengenai kemurahan Allah: Demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu.Sebuah permohonan penuh kasih sayang, yang seharusnya membuat hati kita luluh dan tunduk: dia tōn oiktirmōn tou Theou. Ini adalah sebuah alasan yang sangat kuat. Itu adalah kemurahan yang ada di dalam Allah dan kemurahan yang berasal dari Allah. Kemurahan di dalam sumber dan kemurahan di dalam aliran, keduanya termasuk di sini. Khususnya belas kasihan Injil (disebutkan di dalam pasal 9), yaitu pengalihan kepada kita, sebagai bangsa-bangsa lain, dari segala sesuatu yang telah disita dan hilang dari bangsa Yahudi karena ketidakpercayaan mereka (Ef. 3:4-6). Demikian juga dengan belas kasihan yang teguh dari diri Daud (Yes. 55:3). Allah adalah Allah yang berbelas kasihan, oleh karena itu marilah kita mempersembahkan tubuh kita kepada-Nya. Pasti Dia akan menggunakan tubuh kita dengan baik, dan tahu menilai kemampuannya, sebab Ia adalah Allah yang belas kasihan-Nya tidak terbatas. Setiap hari kita menerima dari Allah buah-buah belas kasihan-Nya, khususnya belas kasihan untuk tubuh kita. Ia menciptakannya dan Ia juga memeliharanya, Ia menebusnya, Ia memberikan kemuliaan di atasnya. Belas kasihan Tuhan-lah yang membuat kita tidak rusak, sehingga roh kita tetap ada di dalam kehidupan. Dan belas kasihan yang terbesar dari semuanya adalah bahwa Kristus tidak saja memberikan tubuh-Nya untuk persembahan penebus dosa, tetapi juga roh-Nya. Bahwa Ia memberikan diri-Nya sendiri untuk kita, dan memberikan diri-Nya sendiri kepada kita. Nah, tidak bisa tidak kita akan mencari apa yang akan kita serahkan untuk semua ini. Dan apakah yang akan kita berikan? Marilah kita memberikan diri kita sendiri sebagai pengakuan atas semua kemurahan ini. Yaitu seluruh diri kita, semua yang kita miliki, semua yang dapat kita lakukan, dan bagaimanapun, sesungguhnya apa yang dapat kita berikan adalah sangat kecil dibandingkan dengan yang telah kita terima dengan begitu melimpah, lagi pula, hanya itulah yang kita miliki.

Kedua, Persembahan itu berkenan kepada Allah. Akhir yang baik dari semua pekerjaan kita adalah supaya kita berkenan kepada Tuhan (2Kor. 5:9), supaya Ia berkenan dengan diri kita dan perbuatan kita. Nah, persembahan-persembahan hidup ini berkenan kepada Allah, sementara persembahan-persembahan orang jahat, walaupun gemuk dan mahal, menjadi kekejian bagi Allah. Kerendahan hati Allah yang besar itulah yang membuat-Nya bersedia berkenan menerima apa saja dari kita. Kita tidak mengingini apa-apa lagi untuk membuat kita merasa bahagia. Jika persembahan diri kita ini dapat menyenangkan hati-Nya, maka dengan mudah kita menyimpulkan bahwa tidak ada persembahan yang lebih baik selain memberikan diri kita kepada-Nya.

Ketiga, Itu adalah ibadah kita yang sejati. Ada suatu tindakan yang layak di dalamnya, sebab roh itulah yang mempersembahkan tubuh. Kebaktian yang membabi buta adalah ibarat bayi yang tidak memperhatikan ibunya tetapi meminum susunya. Ibadah seperti ini hanya cocok dilakukan kepada dewa-dewa berhala yang memiliki mata tetapi tidak dapat melihat. Allah kita harus disembah di dalam roh dan dengan pengertian. Itulah semua alasan yang mendukungnya, dan tidak akan ada alasan baik apa pun yang dapat menentangnya. Marilah, baiklah kita berperkara(Yes. 1:18). Allah tidak akan membebankan kepada kita hal-hal yang sulit atau tidak masuk akal, tetapi semuanya sesuai dengan dasar alasan yang benar. Tēn logikēn latreian hymōnibadahmu sesuai dengan firman itu, begitulah yang bisa dibaca. Firman Allah tidak mengesampingkan tubuh di dalam penyembahan yang kudus. Ibadah itu hanya dapat berkenan kepada Allah jika sesuai dengan firman yang tertulis itu. Penyembahan itu haruslah penyembahan yang sesuai dengan Injil, penyembahan rohani. Itulah ibadah yang sejati, ibadah yang dapat dan siap kita pertanggungjawabkan, ibadah yang dapat kita pahami sepenuhnya. Allah berurusan dengan kita layaknya dengan makhluk yang berakal budi, jadi Dia pun menghendaki kita berurusan dengan Dia demikian. Dengan demikian tubuh harus dipersembahkan kepada Allah.

(2) Budi kita harus diperbarui untuk Allah. Hal itu ditekankan di sini (ay. 2): “Tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu. Pastikan bahwa ada perubahan yang menyelamatkan dikerjakan di dalam dirimu, dan perubahan itu harus terus berlanjut.” Pertobatan dan pengudusan adalah pembaruan budi, bukan perubahan unsur pokoknya, melainkan perubahan sifat-sifat roh. Itu sama dengan memperbarui hati dan roh – watak dan kecenderungan yang baru, rasa suka dan benci yang baru, pengertian dicerahkan, hati nurani dilembutkan, pikiran dijernihkan, kehendak pribadi tunduk kepada kehendak Allah, kasih sayang menjadi kasih yang rohaniah dan sorgawi, sehingga manusia tidak menjadi sebagaimana adanya dia dahulu – yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang. Ia bertindak berdasarkan dasar-dasar pegangan yang baru, sesuai dengan peraturan-peraturan yang baru, dengan rancangan-rancangan yang baru. Budi adalah bagian dari diri kita yang mengendalikan semua tindakan kita, sehingga perubahan budi merupakan pembaruan manusia seutuhnya, sebab dari situlah terpancar kehidupan (Ams. 4:23). Kemajuan perkembangan pengudusan berarti semakin dan semakin mati terhadap dosa serta semakin dan semakin hidup bagi kebenaran. Itulah gambaran dari pekerjaan pembaruan yang terus berlanjut itu, sampai pekerjaan itu disempurnakan di dalam kemuliaan. Inilah yang disebut penjelmaan kita, sama seperti memberikan bentuk dan rupa yang baru. Metamorphousthe berubah rupalah kamu. Perubahan rupa Kristus diungkapkan dengan kata ini (Mat. 17:2), ketika Ia mengenakan kemuliaan sorgawi, yang membuat wajah-Nya bercahaya seperti matahari. Kata yang sama juga digunakan dalam 2 Korintus 3:18, di situ dikatakan bahwa kita diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar. Perubahan budi ini ditekankan sebagai suatu kewajiban. Tidak berarti kita dapat mengubah diri kita sendiri, dan dengan segera dapat membangun sebuah dunia baru, dengan cara membentuk hati yang baru dengan kekuatan apa pun yang ada di dalam kita. Tidak, perubahan itu adalah pekerjaan Allah (Yeh. 11:19; 36:26-27). Berubahlah kamu, artinya, “gunakan sarana yang telah ditetapkan dan diperintahkan Allah untuk melakukan hal itu.” Allah sendiri yang akan mengubah kita, dan kemudian kita pun akan diubahkan. Namun kita harus mematutkan perbuatan-perbuatan kita untuk berbalik (Hos. 5:4). ”Letakkanlah rohmu di bawah kuasa pengubahan Roh yang terpuji itu. Carilah Allah untuk mendapatkan kasih karunia supaya bisa menggunakan semua sarana kasih karunia-Nya.” Walaupun manusia baru itu diciptakan Allah, namun kita harus mengenakannya (Ef. 4:24), dan mendesak maju menuju kesempurnaan. Nah, di dalam ayat ini kita dapat mengamati lebih jauh,

[1] Musuh besar pembaruan yang harus kita hindari. Musuh besar itu adalah keinginan untuk menjadi serupa dengan dunia ini: Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini. Semua murid dan pengikut Tuhan Yesus harus menjadi orang yang tidak serupa dengan dunia ini. Me syschematizesthe Jangan menuruti hawa nafsumu yang sesuai dengan dunia ini. Kita tidak boleh menyesuaikan diri dengan hal-hal dari dunia ini. Hal-hal dari dunia ini dapat berubah dan semaraknya akan berlalu. Juga jangan menuruti hawa nafsu daging atau keinginan mata. Kita tidak boleh menjadi serupa dengan manusia duniawi, manusia yang ada di dalam dunia kejahatan. Janganlah mengikuti jalan dunia ini (Ef. 2:2), artinya, kita tidak boleh mengikuti orang banyak melakukan kejahatan (Kel. 23:2). Jika orang-orang berdosa datang membujuk kita, janganlah kita menurut mereka, tetapi sesuai dengan kedudukan kita, kita harus bersaksi kepada mereka. Tidak itu saja, bahkan di dalam hal-hal yang dianggap biasa-biasa saja dan tidak mengandung dosa di dalamnya, kita harus tetap menjauhkan diri sejauh-jauhnya, supaya kita tidak menyesuaikan diri dengan kebiasaan dan cara-cara dunia ini. Misalnya, kita tidak boleh menggunakan ketentuan-ketentuan dunia ini sebagai pedoman utama kita untuk bertindak, juga tidak boleh menjadikan kesukaan dunia ini sebagai tujuan akhir kita. Kekristenan yang sejati banyak terdiri atas hal-hal khusus yang tidak terdapat di tempat lain. Namun kita harus berhati-hati dengan sikap yang berlebihan, yaitu kekasaran dan perasaan berlebihan, seperti yang dimiliki sebagian orang. Di dalam hidup bermasyarakat, biasanya terang atau hikmat alam dan kebiasaan bangsa-bangsa dipakai sebagai pedoman kita. Karena itu, dalam hal ini peraturan-peraturan Injil menjadi peraturan yang mengarahkan, dan bukan peraturan yang bertentangan.

[2] Pengaruh besar apa yang tampak dari pembaruan ini, yang harus kita upayakan ini: sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah, apa yang baik, yang berkenan kepada Allah, dan yang sempurna. Di sini, oleh kehendak Allah, artinya, kita dapat memahami kehendak-Nya yang dinyatakan mengenai kewajiban-kewajiban kita, apa yang diminta dari diri kita oleh Tuhan, Allah kita. Inilah kehendak Allah pada umumnya, bahkan pengudusan kita, sehingga apa yang kita doakan dapat kita panjatkan seperti doa yang dinaikkan oleh para malaikat, khususnya kehendak-Nya seperti yang dinyatakan di dalam Perjanjian Baru, di mana di hari-hari terakhir Ia telah berbicara kepada kita melalui Anak-Nya.

Pertama, kehendak Allah itu baik, berkenan kepada Allah, dan sempurna. Inilah tiga ciri yang unggul dari sebuah hukum. Kehendak-Nya baik (Mi. 6:8), sungguh selaras dengan alasan kekal mengenai baik dan jahat. Kehendak Allah itu baik di dalam dirinya sendiri, dan baik bagi kita. Beberapa orang berpendapat bahwa hukum Injili yang disebut baik di sini, dimaksudkan untuk membedakannya dengan hukum Taurat, yang terdiri atas ketetapan-ketetapan yang tidak baik(Yeh. 20:25). Kehendak Allah itu berkenan kepada Allah, menyenangkan Allah. Itu, dan hanya itu yang ditetapkan oleh-Nya. Satu-satunya cara untuk memperoleh kemurahan-Nya sebagai tujuan akhir adalah dengan menyesuaikan diri dengan kehendak-Nya sebagai aturan. Kehendak Allah itu sempurna, sehingga tidak ada lagi yang dapat ditambahkan kepadanya. Kehendak Allah yang telah dinyatakan merupakan peraturan iman dan perbuatan, mengandung semua hal yang cenderung menuju kepada penyempurnaan manusia kepunyaan Allah, untuk memperlengkapi kita bagi setiap perbuatan baik (2Tim. 3:16-17).

Kedua, bahwa menjadi perhatian orang-orang Kristen untuk dapat membedakan manakah kehendak Allah, apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. Itu berarti, mengenalnya dengan melakukan penilaian dan pembuktian, mengenalnya berdasarkan pengalaman, mengenal kemuliaan kehendak Allah melalui pengalaman ketaatan akan kehendak Allah itu. Itu berarti dapat memilih apa yang baik (Flp. 1:10). Itu juga dokimazein (kata yang sama yang digunakan di sini) untuk menguji hal-hal yang berbeda, sehingga dari masalah-masalah yang meragukan kita dapat dengan mudah memahami apa yang menjadi kehendak Allah dan yakin dengan itu. Itu berarti menjadi orang yang kesenangannya ialah takut akan TUHAN (Yes. 11:3).Ketiga, bahwa orang-orang yang paling mampu membedakan apa yang baik, yang berkenan kepada Allah, dan yang sempurna, adalah mereka yang diubahkan oleh pembaruan budi mereka. Asas kasih karunia yang hidup ada di dalam roh. Selama hal itu masih terjadi, tidak akan ada penilaian yang menyimpang atau sarat prasangka mengenai perkara-perkara Allah. Hal itu akan menjadikan roh mau menerima dan menyambut pewahyuan kehendak ilahi. Janjinya adalah, Barang siapa mau melakukan kehendak-Nya, ia akan tahu pengajaran itu(Yoh. 7:17).Akal yang sehat dapat membantah dan membedakan kehendak Allah. Sementara hati yang jujur dan rendah, yang telah menggerakkan indra rohani dan mewujudkan firman itu, akan menyukai dan melakukannya, serta merasakan kenikmatan dan keistimewaannya. Dengan demikian, menjadi saleh artinya menyerahkan diri kita kepada Allah.

2. Kapan hal ini telah dilaksanakan, yaitu melayani Dia dengan ketaatan kepada Injil sepenuhnya. Selanjutnya di sini diberikan beberapa petunjuk kepada kita (ay. 11-12) dalam melayani Tuhan. Untuk apa kita mempersembahkan diri kepada-Nya, selain supaya kita dapat melayani Dia? Yang memiliki aku, dan kemudian diikuti dengan, yang aku sembah (Kis. 27:23). Menjadi saleh adalah melayani Allah. Bagaimana caranya?

(1) Kita harus menjadikannya sebagai usaha kita, dan tidak boleh malas mengerjakannya. Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor. Di dalam pekerjaan dunia yang menjadi panggilan khusus kita, kerajinan kita tidak boleh kendor (1Tes. 4:11). Namun, tampaknya yang dimaksud di sini adalah pekerjaan melayani Tuhan, pekerjaan Bapa kita (Luk. 2:49). Orang-orang yang mengaku sebagai orang Kristen harus benar-benar menjadikan hidup keagamaan mereka sebagai pekerjaan mereka. Mereka harus memilihnya, mempelajarinya, dan memberikan diri mereka kepadanya. Mereka harus mencintainya, melibatkan diri di dalamnya, tinggal di dekatnya, dan menjadikannya sebagai pekerjaan besar dan utama mereka. Setelah kita menjadikannya sebagai pekerjaan kita, kerajinan kita di dalamnya tidak boleh kendor, tidak boleh mengikuti kesenangan kita sendiri, dan harus mempertimbangkannya ketika timbul persaingan dengan kewajiban-kewajiban kita. Kita tidak boleh berlambat-lambat di dalam hidup keagamaan kita. Pelayan-pelayan yang malas diperhitungkan sebagai pelayan-pelayan yang jahat.

(2) Kita harus menyala-nyala di dalam roh, dalam melayani Tuhan. Allah harus dilayani dengan roh, di bawah pengaruh Roh Kudus (1:9; Yoh. 4:24). Apa pun yang kita lakukan di dalam hidup keagamaan kita adalah untuk menyenangkan hati Allah, tidak lebih dari itu, dan hal itu harus dilakukan dengan roh kita yang dibentuk oleh Roh Allah. Harus ada semangat di dalam roh kita – semangat yang kudus, kehangatan, kasih sayang yang menyala-nyala di dalam semua yang kita lakukan, seperti orang-orang yang mengasihi Allah tidak saja dengan hati dan jiwa mereka, tetapi dengan segenap hati dan jiwa. Ini adalah api kudus yang membakar korban persembahan dan membawanya naik ke sorga, suatu persembahan yang baunya harum semerbak, yaitu melayani Tuhan. To kairo douleuontes (demikian beberapa naskah menulisnya seperti itu), melayani waktu, yaitu memanfaatkan peluang-peluang kita dan mendatangkan yang terbaik darinya, sesuai dengan masa kasih karunia sekarang ini.

(3) Bersukacita dalam pengharapan. Allah disembah dan dihormati oleh pengharapan dan kepercayaan kita kepada-Nya. Khususnya ketika kita bersukacita di dalam pengharapan serta merasa puas dengan keyakinan itu, yang menunjukkan adanya keyakinan kita akan kepastian terwujudnya dan penghargaan tinggi terhadap keunggulan dari apa yang kita harapkan itu.

(4) Bersabar dalam kesesakan. Allah juga dilayani dengan cara bersabar dalam kesesakan. Tidak saja dengan cara bekerja bagi-Nya ketika Ia memanggil kita untuk bekerja, tetapi juga dengan cara duduk diam dengan tenang ketika Ia memanggil kita untuk menderita. Bersabar demi kepentingan Allah, dan dengan pandangan yang tertuju kepada kehendak dan kemuliaan-Nya, merupakan kesalehan yang sejati. Perhatikan baik-baik, orang-orang yang bersukacita di dalam pengharapan cenderung untuk bersabar di dalam kesesakan. Dengan percaya akan mengalami sukacita yang disediakan di hadapan kita, hal itu akan menopang roh kita untuk tetap bertahan di bawah semua tekanan dari luar.

(5) Bertekun di dalam doa. Doa adalah sahabat bagi pengharapan dan kesabaran, dan kita melayani Tuhan bila kita melakukannya. Proskarterountes. Kata ini menunjukkan semangat dan ketekunan di dalam doa. Kita tidak boleh menjadi dingin dalam menjalankan kewajiban ini, juga tidak boleh merasa jemu (Luk. 18:1; 1Tes. 5:17; Ef. 6:18; Kol. 4:2). Ini adalah kewajiban kita yang dengannya kita langsung menghormati Allah.

II. Mengenai kewajiban kita yang memberikan rasa hormat kepada diri kita sendiri, yaitu kesederhanaan.

1. Sebuah pandangan yang sederhana atas diri kita sendiri (ay. 3). Hal ini disampaikan di dalam kata-kata pembukaan yang penuh kesungguhan: Berdasarkan kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, aku berkata. Berdasarkan kasih karunia kebijaksanaan, yang dengannya Rasul Paulus dapat memahami betapa pentingnya dan mulianya kewajiban ini. Berdasarkan kasih karunia kerasulan, yang olehnya ia memiliki kuasa untuk menekankan dan memerintahkan kewajiban itu. ”Aku berkata, akulah yang ditugaskan untuk mengatakan hal itu, di dalam nama Allah. Aku berkata, dan janganlah kamu melawan.” Hal itu dikatakan kepada setiap orang dari antara kita, setiap orang serta yang lainnya juga. Kesombongan adalah dosa yang berkembang biak di dalam diri semua orang, itulah sebabnya masing-masing kita harus diperingatkan dan diperlengkapi untuk menghadapi semua hal itu. Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan. Kita harus berhati-hati untuk tidak memiliki pandangan diri yang berlebihan atau memberikan nilai yang terlampau tinggi atas penilaian kita, kemampuan kita, pribadi kita, dan hasil kerja kita. Kita tidak boleh menyombongkan diri, tidak boleh terlampau memandang tinggi kebijaksanaan dan keberhasilan kita, juga tidak boleh beranggapan sudah menjadi orang yang berarti (Gal. 6:3). Satu-satunya pikiran tinggi yang boleh dan harus kita pikirkan ialah bahwa sebenarnya kita terlampau baik untuk menjadi hamba dosa dan budak dunia ini. Namun, di samping itu, kita harus tetap berpikir sederhana, artinya, kita harus merendah terhadap pandangan atas diri kita, kemampuan kita, serta rahmat dan kasih karunia sesuai dengan apa yang kita terima dari Allah, dan bukan sebaliknya. Kita juga tidak boleh terlalu yakin dan menjadi panas dalam memperdebatkan hal-hal yang meragukan, jangan berlebihan melampaui batas-batas kewenangan kita, dan juga jangan menghakimi dan mengecam keras orang-orang yang berbeda pandangan dengan kita. Kita juga harus menjauhkan keinginan untuk pamer kedagingan. Hal-hal ini dan hal lain yang serupa merupakan buah-buah dari kesederhanaan pandangan terhadap diri sendiri. Kata-kata yang digunakan mengandung arti lain yang sesuai. Sebenarnya kata of himself (KJV; TL: dirinya) tidak ada dalam naskah asli. Oleh karena itu seharusnya kalimat itu dibaca, Tidak ada orang yang bijaksana lebih daripada yang patut bagi dia, yaitu menjadi bijaksana secara wajar. Kita tidak boleh mengejar hal-hal yang terlampau besar bagi kita (Mzm. 131:1-2), berkanjang pada hal-hal yang tidak pernah kita lihat (Kol. 2:18), pada hal-hal tersembunyi yang tidak diperuntukkan bagi kita (Ul. 29:29), serta jangan ingin menjadi bijaksana melebihi yang telah tertulis. Ada pengetahuan yang dapat membuat orang menjadi sombong, yang dapat menjangkau buah yang terlarang untuk dimakan. Kita harus berhati-hati dalam hal ini, dan harus mengejar pengetahuan yang condong kepada kesederhanaan, yang memperbaiki hati dan memperbaharui kehidupan. Beberapa orang mengartikan kesederhanaan sebagai sesuatu yang dapat menahan kita di tempat dan kedudukan kita sendiri, sehingga tidak mengganggu batas-batas karunia dan jabatan orang lain. Lihatlah contoh yang diberikan perihal kerendah-hatian di dalam menerapkan berbagai karunia rohani yang besar di dalam 2 Korintus 10:13-15. Pada pokok bahasan ini termasuk juga nasihat, Janganlah menganggap dirimu pandai (ay. 16). Sangatlah baik untuk menjadi pandai, tetapi sangat buruk untuk menganggap diri sendiri pandai. Sebab, masih lebih ada harapan bagi seorang bodoh daripada orang yang memandang diri sendiri bijaksana. Sangat baik ketika kulit muka Musa bercahaya, tetapi ia tidak mengetahuinya. Nah, alasan mengapa kita tidak boleh memikirkan yang tinggi-tinggi tentang diri kita sendiri, kemampuan-kemampuan kita, dan pencapaian-pencapaian kita, adalah sebagai berikut:

(1) Karena apa pun yang baik yang kita miliki, telah dikaruniakan oleh Allah kepada kita masing-masing. Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas (Yak. 1:17). Apakah yang kita punyai, yang tidak kita terima? Dan, jika memang kita telah menerimanya, mengapakah kita harus memegahkan diri? (1Kor. 4:7). Orang yang terbaik dan paling berguna di dunia ini, tidak lebih banyak dan tidak lebih baik dari pada kasih karunia cuma-cuma dari Allah yang memampukan dia setiap hari. Ketika kita berpikir tentang diri kita sendiri, kita harus ingat untuk tidak memikirkan bagaimana kita memperolehnya, seolah-olah karena kekuatan dan kuasa tangan kitalah kita memperoleh semua karunia ini. Sebaliknya, pikirkanlah betapa baiknya Allah kepada kita, sebab Ia-lah yang telah memberikan kita kuasa untuk melakukan apa yang baik, dan di dalam Dia-lah kesanggupan kita.

(2) Karena Allah mengaruniakan karunia-karunia-Nya dalam ukuran tertentu: Menurut ukuran iman. Perhatikan baik-baik, ukuran karunia-karunia rohaniah disebut sebagai ukuran iman oleh Rasul Paulus, sebab ini adalah kasih karunia yang menyeluruh. Apa yang baik yang kita punyai dan kita lakukan, jauh dari benar dan berkenan kepada Allah jika tidak didasarkan di dalam iman dan mengalir dari iman, dan tidak lebih dari itu. Nah, iman dan karunia-karunia rohaniah lainnya dikaruniakan menurut ukuran, sesuai dengan yang cocok bagi kita menurut pandanganYang Mahabijaksana. Kristus menerima Roh yang diberikan kepada-Nya dengan tidak terbatas (Yoh. 3:34), namun orang-orang kudus menerimanya menurut ukuran iman masing-masing (lih. Ef. 4:7). Kristus sendiri, yang memiliki kasih karunia dengan tidak terbatas, lemah lembut dan rendah hati. Jadi, masakan kita yang terbatas ini menjadi sombong dan menganggap diri pandai?

(3) Karena selain mengaruniakan kepada kita, Allah juga mengaruniakan karunia-karunia kepada orang-orang lain: kepada kamu masing-masing. Kalau kita memonopoli Roh, atau merasa memiliki hak kepemilikan tunggal atas karunia-karunia rohani, maka kemungkinan kita telah menyombongkan diri. Sebaliknya, orang-orang lain juga memiliki bagian seperti kita. Allah adalah Bapa kita bersama, dan Kristus adalah sumber bersama bagi semua orang kudus, dan semuanya memperoleh kemurahan dari Dia. Itulah sebabnya, betapa jahatnya kita jika meninggikan diri sendiri dan menganggap rendah orang lain, seolah-olah hanya kitalah orang yang diperkenan sorga, dan kebijaksanaan akan mati bersama kita. Rasul Paulus menggambarkan alasan ini dengan membuat perbandingan yang diambil dari anggota-anggota tubuh jasmani (1Kor. 12:12; Ef. 4:16): Sebab seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota ... dst. (ay. 4-5). Perhatikan baik-baik di sini:

[1] Semua orang kudus membentuk satu tubuh di dalam Kristus, yang menjadi Kepala dari tubuh itu serta menjadi pusat bagi kesatuan mereka semua. Orang-orang percaya tidak berada di dunia ini seperti timbunan yang kacau dan berantakan, tetapi teratur rapi dan saling terkait satu sama lain, sebagaimana mereka disatukan bersama-sama pada satu kepala, digerakkan dan dihidupkan oleh Roh yang sama.

[2] Orang-orang percaya tertentu adalah anggota-anggota dari tubuh ini, bagian-bagiannya, yang artinya mereka adalah bagian dari keseluruhan, dan dalam hubungan dengan tubuh secara keseluruhan, mereka memperoleh hidup dan roh dari Sang Kepala. Ada beberapa anggota tubuh yang lebih besar dan lebih berguna dibandingkan dengan yang lain, dan masing-masing menerima roh dari kepala sesuai bagiannya. Jika jari yang kecil harus menerima zat makanan sama seperti kaki, betapa tidak pantasnya hal itu dan akan sangat merugikan jadinya! Kita harus ingat bahwa kita bukanlah keseluruhannya, jika tidak, berarti kita telah memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kita pikirkan. Kita hanyalah bagian-bagian dan anggota-anggota dari tubuh ini.

[3] Tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama (ay. 4), namun masing-masing memiliki tempat masing-masing dan bekerja sesuai tugas yang telah ditetapkan. Tugas mata adalah untuk melihat, tugas tangan adalah untuk bekerja, dan seterusnya. Demikian juga halnya dalam tubuh rohani, beberapa orang memiliki kemampuan tertentu dan dipanggil untuk melakukan pekerjaan tertentu. Begitu juga halnya dengan orang-orang lain yang dipanggil untuk melakukan pekerjaan lain yang cocok bagi mereka. Pemimpin-pemimpin, pelayan-pelayan, orang-orang di dalam persekutuan Kristen, memiliki beberapa tugas masing-masing, dan tidak boleh saling mengganggu satu sama lain, dan juga tidak boleh saling berbenturan dalam melaksanakan tugas masing-masing.

[4] Masing-masing anggota memiliki tempat dan tugas masing-masing, untuk kebaikan tubuh secara keseluruhan dan kebaikan masing-masing anggota lain. Kita tidak saja menjadi anggota tubuh Kristus, tetapi kita juga menjadi anggota yang seorang terhadap yang lain (ay. 5). Kita berdiri dalam hubungan satu sama lain. Kita terlibat untuk melakukan semua yang baik yang dapat kita lakukan bagi kita satu sama lain, dan bertindak dalam kaitan untuk keuntungan bersama. Lihatlah gambarannya yang lebih lengkap di dalam 1 Korintus 12:14 dan seterusnya. Oleh karena itu kita tidak boleh menyombongkan diri dengan meninggikan pencapaian kita. Karena apa pun yang kita punyai, jika kita menerimanya, maka kita menerimanya bukan untuk diri kita sendiri, melainkan untuk kebaikan orang-orang lain juga.

2. Penggunaan yang wajar atas karunia-karunia yang telah diberikan Allah kepada kita. Sementara di satu sisi kita tidak boleh meninggikan talenta-talenta kita, sebaliknya di sisi lain kita juga tidak boleh menguburnya. Berhati-hatilah supaya kita tidak menjadi malas dalam hal memberikan diri kita untuk orang lain dengan berpura-pura rendah hati dan menyangkal diri. Kita tidak boleh berkata, “Saya sendiri bukan apa-apa, karena itu saya akan duduk diam dan tidak berbuat apa-apa,” tetapi kita harus berkata, “Saya sendiri bukan apa-apa, dan itulah sebabnya saya akan memberikan diri saya sepenuhnya di dalam kekuatan kasih karunia Kristus.” Rasul Paulus memerincikan jabatan-jabatan gerejawi yang ditetapkan bagi beberapa jemaat tertentu, dengan tujuan supaya masing-masing pejabat dapat belajar bagaimana menjalankan tugas masing-masing untuk menjaga ketertiban dan meningkatkan pertumbuhan di dalam jemaat. Supaya masing-masing mengetahui kedudukan masing-masing dan memenuhi tugas itu. Demikianlah kita mempunyai karunia. Contoh-contoh yang diberikan berikutnya menjelaskan hal yang bersifat umum ini. Mempunyai karunia, marilah kita menggunakannya. Wewenang dan kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan pelayanan merupakan karunia Allah. Karunia yang berlain-lainan. Rancangan langsung dari masing-masing jabatan ini berbeda-beda, walaupun kecenderungan akhir dari semuanya sama. Menurut kasih karunia itu, charismata kata tēn charin. Kasih karunia Allah yang diberikan dengan cuma-cuma merupakan sumber dan asal dari semua karunia yang diberikan kepada umat manusia. Kasih karunia itulah yang menetapkan jabatan itu, melayakkan, dan mengarahkan orang itu, bekerja untuk membuat orang itu mau melakukan dan terus melakukannya. Di dalam jemaat mula-mula terdapat beberapa karunia yang luar biasa, yaitu karunia berbahasa lidah, membedakan bermacam-macam roh, karunia untuk menyembuhkan, namun di sini Paulus berbicara mengenai karunia-karunia yang biasa (bdk. 1Kor. 12:4; 1Tim. 4:14; 1Ptr. 4:10). Ia memerincikan tujuh karunia khusus (ay. 6-8), yang tampaknya dimaksudkan untuk menunjukkan begitu banyaknya jabatan berbeda yang digunakan oleh jemaat-jemaat mula-mula sebagai kebijaksanaan pokok, khususnya jemaat yang besar. Terdapat dua karunia umum yang dinyatakan di sini, yaitu karunia bernubuat dan melayani. Yang pertama merupakan tugas para penilik jemaat, yang berikut merupakan tugas para diaken. Keduanya merupakan para pejabat utama di dalam jemaat (Flp. 1:1). Namun, supaya pekerjaan itu dapat dilaksanakan secara lebih baik dan berhasil, tampaknya pekerjaan-pekerjaan tertentu yang menjadi tugas masing-masing harus dibagi dan diberikan melalui persetujuan dan kesepakatan bersama, sebab yang disebut pekerjaan setiap orang dapat berarti bukan pekerjaan siapa pun. Dengan demikian masing-masing dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat dan baik, pekerjaan yang vir unius negotii – satu orang dengan satu pekerjaan. Itulah sebabnya Daud memilih orang-orang Lewi (1Taw. 23:4-5), sehingga dengan kebijaksanaan ini pekerjaan lebih mudah diatur dan diarahkan. Oleh karena itu, lima karunia berikutnya dimasukkan ke dalam dua kelompok karunia sebelumnya.

(1) Karunia bernubuat. Jika karunia itu adalah untuk bernubuat baiklah kita melakukannya sesuai dengan iman kita. Karunia bernubuat ini tidak dimaksudkan sebagai karunia luar biasa untuk memberitahukan sebelumnya hal-hal yang akan terjadi, tetapi sebagai pekerjaan biasa untuk memberitakan firman, begitulah pemahaman yang sebenarnya dari bernubuat ini (1Kor.14:1-3, dst.; 11:4; 1Tes. 5:20). Tugas para nabi di dalam Perjanjian Lama tidak saja memberitahukan hal-hal yang akan terjadi di masa depan, tetapi juga memperingatkan orang-orang akan dosa dan kewajiban mereka, serta mengingatkan kembali apa yang telah mereka ketahui sebelumnya. Dengan demikian para pemberita Injil juga merupakan nabi-nabi. Dan memang demikian adanya, sejauh pewahyuan firman itu masih berlangsung, yaitu memberitahukan hal-hal yang akan terjadi. Memberitakan firman menunjuk kepada kehidupan kekal umat manusia, langsung menunjuk kepada keadaan di masa depan. Nah, orang-orang yang memberitakan firman harus melakukannya sesuai dengan iman mereka kata tēn analogian tēs pisteōs, artinya,

[1] Harus sesuai dengan cara kita bernubuat, sesuai dengan dengan karunia iman yang dianugerahkan kepada kita. Rasul Paulus berbicara mengenai ukuran iman, yang dikaruniakan kepada kita masing-masing (ay. 3). Hendaknya orang yang memberitakan firman menyatakan kebenaran yang ia beritakan dengan menggunakan semua karunia iman yang ia miliki, pertama-tama atas hatinya sendiri. Sama seperti orang tidak dapat mendengar dengan baik tanpa iman, demikian juga para pelayan firman tidak akan dapat memberitakan firman dengan baik tanpa iman. Pertama-tama orang harus percaya terlebih dahulu, dan baru kemudian berkata-kata (Mzm. 116:10; 2Kor. 4:13). Lagi pula kita harus ingat mengenai ukuran iman yang dianugerahkan, bahwa, walaupun tidak semua orang mempunyai iman, namun masih banyak orang memiliki iman di samping kita sendiri. Itulah sebabnya kita harus memperbolehkan orang lain membagikan pengetahuan dan kemampuannya untuk mengajar sama seperti kita, walaupun dalam beberapa hal sedikit berbeda dari kita. “Berpeganglah pada keyakinan yang engkau miliki itu, bagi dirimu sendiri. Jangan menjadikannya sebuah aturan bagi orang lain, ingatlah bahwa engkau hanya mempunyai sebanyak ukuran yang dianugerahkan kepadamu.”

[2] Mengenai isi nubuat kita. Nubuat itu harus sesuai dengan ukuran dari pengajaran iman kita, sebagaimana dinyatakan di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Dengan aturan iman seperti ini orang-orang Berea menguji firman yang diberitakan oleh Paulus (Kis. 17:11; bdk. Kis. 26:22; Gal. 1:9). Ada sejumlah kebenaran pokok, yang boleh saya sebut demikian, sebagai prima axiomata – aksioma-aksioma utama, yang diajarkan dengan jelas dan seragam di dalam Kitab Suci yang dijadikan sebagai pedoman dalam pemberitaan firman, yang dengannya (walaupun kita tidak boleh memandang rendah nubuat) kita harus menguji segala sesuatu dan kemudian memegang teguh yang baik (1Tes. 5:20-21). Kebenaran yang masih belum jelas harus diuji dengan kebenaran yang lebih jelas, dan kemudian disambut jika ternyata cocok dan sesuai dengan pernyataan iman. Karena suatu kebenaran pasti tidak akan bertentangan dengan kebenaran lainnya. Lihatlah di sini bagaimana perhatian yang harus diberikan oleh para pemberita firman, yaitu untuk memberitakan pengajaran yang sehat, sesuai dengan bentuk firman secara utuh (Tit. 2:8; 2Tim. 1:13). Bernubuat tidak harus sesuai dengan ukuran seni, kaidah berpikir, dan kepandaian berbicara, namun harus sesuai dengan ukuran iman: sebab firman iman itulah yang kita beritakan. Nah, ada dua pekerjaan khusus yang harus diperhatikan oleh orang yang bernubuat, yaitu mengajar dan menasihati, dan cukup tepat untuk dilakukan oleh orang yang sama dan pada saat yang sama. Ketika ia melakukan suatu tugas yang satu, biarlah ia memperhatikan sungguh-sungguh tugas itu, dan ketika ia mengerjakan tugas yang lainnya, biarlah ia juga mengerjakan tugas itu dengan sebaik-baiknya. Jika oleh kesepakatan di antara para pelayan jemaat, kedua tugas itu dipisahkan, baik secara tetap maupun secara dapat saling dipertukarkan, sehingga ada satu orang yang mengajar dan yang lain menasihati (artinya, di dalam bahasa modern dikatakan, yang satu menjelaskan secara terperinci dan yang lain memberitakan firman), biarlah masing-masing melakukan pekerjaannya sesuai dengan ukuran iman masing-masing.

Pertama, Baiklah orang yang mengajar, melayani dengan memberi pelajaran. Kegiatan mengajar adalah kegiatan untuk menjelaskan dan membuktikan apa adanya kebenaran-kebenaran Injil tanpa disertai penerapan praktis, sama seperti kegiatan menjelaskan isi Kitab Suci. Gembala-gembala dan pengajar-pengajar merupakan jabatan yang sama(Ef. 4:11), namun kekhususan kedua pekerjaan tersebut sedikit berbeda. Nah, orang yang memiliki kemampuan mengajar, dan menjalankan kegiatan itu, baiklah ia tetap setia dalam pekerjaan itu. Karunia itu adalah karunia yang baik, biarlah ia menggunakannya, dan memberikan perhatiannya kepada bidang pekerjaan itu. Orang yang mengajar, baiklah ia mengajar, begitulah kata beberapa orang untuk melengkapi, Ho didaskōn, en tē didaskalia. Baiklah ia sering melakukannya, melakukannya secara terus-menerus, serta rajin di dalamnya. Hendaknya ia tinggal di dalam pekerjaan yang tepat baginya itu, dan ada di dalamnya sebagai bagian dari dirinya. Lihatlah di dalam 1 Timotius. 4:15-16, di sana hal itu dijelaskan dengan dua perkataan, en toutois isthi, dan epimene autois, hiduplah di dalamnya dan bertekunlah dalam semuanya itu.

Kedua, Baiklah orang yang menasihatimelayani dengan cara memberikan nasihat. Hendaknya ia memberikan diri sepenuhnya kepada pekerjaan itu. Pekerjaan ini adalah pekerjaan bagi seorang gembala, sama seperti seorang pengajar yang telah disebut sebelumnya, yaitu untuk menerapkan kebenaran-kebenaran dan peraturan-peraturan Injil secara lebih dekat kepada masalah dan keadaan jemaat, serta menekankan hal-hal yang lebih bersifat praktis. Banyak orang sangat cermat dalam mengajar, namun sebaliknya menjadi sangat dingin dan tidak terampil dalam memberi nasihat. Yang pertama membutuhkan pikiran yang jernih, sementara yang lainnya membutuhkan hati yang hangat. Nah, karena tampak dengan jelas bahwa karunia-karunia ini dipisahkan (bahwa karunia yang satu menjadi lebih menonjol di dalam diri orang tertentu sementara karunia yang lain menonjol di dalam diri orang lain), demi pendidikan jemaat akan lebih baik jika membagi pekerjaan sesuai dengan itu. Dan apa pun pekerjaan kita, baiklah kita perhatikan dengan sungguh-sungguh. Melayani dengan melaksanakan pekerjaan kita berarti memberikan waktu dan pemikiran kita yang terbaik atas pekerjaan itu, menggunakan segala kesempatan untuk mengerjakannya, dan tidak saja berusaha mengerjakannya, tetapi juga bagaimana mengerjakannya dengan baik. Pelayanan. Jika seseorang memiliki karunia diakonian, yaitu jabatan sebagai seorang diaken, atau sebagai pembantu gembala dan pembantu pengajar, hendaknya dia menggunakan jabatan itu dengan baik. Ini termasuk pengurus jemaat (misalnya), penatua, atau penilik atas pelayanan bagi orang-orang miskin. Dan mungkin masih ada lagi pelayanan-pelayanan lain yang bisa ditambahkan, dan jemaat mula-mula sangat bersungguh-sungguh dalam melakukan pekerjaan ini, dan lebih banyak memberikan perhatian penuh sebagai penekanan pada pekerjaan ini. Di dalamnya termasuk pekerjaan yang berkaitan dengan ta exo dari jemaat, mengawasi pekerjaan di luar rumah Allah (lih. Neh. 11:16). Melayani meja (Kis. 6:2). Nah, baiklah dia yang menerima tugas pelayanan ini melayani dengan penuh kesetiaan dan kerajinan, khususnya,

[1] Siapa yang membagi-bagikan sesuatu, hendaklah ia melakukannya dengan hati yang ikhlas. Para pelayan jemaat yang menjadi bendahara atas derma untuk orang miskin, akan mengumpulkan uang dan membagikannya sesuai dengan kebutuhan orang-orang miskin yang ada. Baiklah mereka melakukannya dengan en aplotēti dengan murah hati dan setia. Tidak mengubah apa pun dari semua yang telah mereka terima untuk digunakan sendiri, juga tidak boleh membagikan dengan maksud jahat, atau dengan mempertimbangkan orang, tidak cepat marah dan menyulitkan orang-orang miskin, juga tidak berdalih untuk berusaha menyisihkan mereka. Tetapi sebaliknya, dengan segala keikhlasan dan kejujuran tidak memiliki maksud-maksud lain, selain memuliakan Allah dan berbuat baik. Beberapa orang memahami hal itu sebagai pemberian derma pada umumnya: Orang yang memiliki sesuatu yang diperlukan, hendaknya ia memberi, serta memberinya dengan berlimpah-limpah dan dengan murah hati. Begitulah firman itu diterjemahkan (2Kor. 8:2; 9:13). Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita dan berlimpah-limpah.

[2] Siapa yang memberi pimpinan, hendaknya ia melakukannya dengan rajin. Tampaknya, yang dimaksudkan oleh Rasul Paulus di sini adalah para pembantu gembala dalam menegakkan disiplin jemaat. Mereka menjadi mata, tangan, dan mulut dalam pengelolaan gereja, atau para pelayan yang memiliki tugas utama dalam jemaat untuk mengatur, sebab kita menjumpai orang-orang yang bertugas untuk berkhotbah dan mengajar(1Tim. 5:17). Nah, tugas-tugas seperti itu harus dilaksanakan dengan rajin. Perkataan tersebut menunjukkan perhatian dan kerajinan untuk menemukan apa yang salah, mengembalikan orang-orang yang tersesat, untuk mencela dan menegur orang-orang yang jatuh, untuk menjaga kemurniaan jemaat. Orang-orang itu harus menanggung banyak kepedihan yang akan membuktikan kesetiaan mereka dalam melaksanakan kepercayaan ini, dan tidak membiarkan kehilangan satu peluang pun yang dapat memudahkan dan memajukan pekerjaan itu.

[3] Siapa yang menunjukkan kemurahan, hendaklah ia melakukannya dengan sukacita. Beberapa orang berpendapat bahwa yang dimaksudkan di sini secara umum adalah, supaya semua orang menunjukkan kemurahan di dalam segala sesuatu: Hendaknya mereka bersedia melakukan hal itu, dan bersukacita di dalamnya. Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita. Namun, secara khusus, tampaknya yang dimaksudkan di sini adalah para pengurus jemaat tertentu yang bertugas untuk mengurus orang-orang yang sakit dan orang-orang asing. Umumnya mereka adalah janda-janda yang dalam hal ini menjadi pelayan jemaat (1Tim. 5:910), walaupun mungkin ada juga orang-orang lain yang dipekerjakan. Nah, tugas ini harus dilaksanakan dengan penuh sukacita. Roman muka yang menyenangkan dalam kegiatan kemurahan hati akan mendatangkan kelegaan dan penghiburan bagi orang-orang yang sedang menderita, yaitu ketika orang melihat kegiatan itu tidak dilakukan dengan rasa enggan dan sikap tidak rela, tetapi dengan sikap yang menyenangkan dan kata-kata yang lembut, dan dengan semua sikap yang menunjukkan kerelaan dan kesigapan. Orang-orang yang sakit dan sedih, umumnya akan cenderung lebih mudah menyakiti hati dan marah kepada orang lain. Karena itu, mereka yang melayani orang-orang demikian, tidak hanya harus sabar, tetapi juga harus bersukacita, supaya pekerjaan yang mereka lakukan akan terasa lebih ringan dan menyenangkan, serta menjadi lebih berkenan kepada Allah.

III. Perihal bagian kewajiban kita yang berkenaan dengan saudara-saudara kita. Mengenai hal ini telah banyak diberikan contoh dalam bentuk nasihat-nasihat singkat. Nah, semua kewajiban kita terhadap sesama kita telah diringkas dalam satu kata yang indah, yaitu kasih. Di dalamnya diletakkan dasar dari semua kewajiban kita bersama. Itulah sebabnya Rasul Paulus menyebutkan hal ini terlebih dahulu, yang dijadikan sebagai pakaian seragam murid-murid Kristus, serta hukum utama agama kita: Hendaklah kasih itu jangan pura-pura, tidak dinyatakan dalam pujian dan sikap yang dibuat-buat, tetapi dalam perbuatan nyata, bukan dengan perkataan atau dengan lidah saja (1Yoh. 3:18). Kasih yang benar adalah kasih yang bersungguh-sungguh, bukan seperti ciuman seorang musuh, yang menipu. Kita harus bersukacita mendapat kesempatan untuk membuktikan keikhlasan kasih kita (2Kor. 8:8). Lebih khusus lagi, kita berutang kasih kepada sahabat-sahabat kita dan juga kepada musuh-musuh kita. Paulus memerinci kedua hal itu.

1. Kepada sahabat-sahabat kita. Orang yang mempunyai sahabat harus menunjukkan sikap bersahabat. Orang-orang Kristen berutang untuk saling mengasihi, dan mereka harus membayarnya.

(1) Kasih yang dipenuhi dengan rasa sayang (ay. 10): Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara, philostorgoi. Ini tidak saja menunjukkan kasih, tetapi juga kesiapan dan kerelaan untuk mengasihi, kasih sayang yang paling sejati dan bebas, kebaikan hati yang seolah-olah memancar dari sebuah sumber. Tepatnya kasih seperti ini menunjuk kepada kasih orangtua kepada anak-anak mereka, yang karena yang paling lembut, juga yang paling alamiah, tidak dipaksakan, dan tidak terbatas. Seperti itulah hendaknya kita saling mengasihi, dan di sanalah sifat dan hukum kasih yang baru dituliskan di dalam hati kita. Kasih sayang seperti ini akan membuat kita dapat menyatakan diri dalam perkataan dan tindakan yang penuh dengan rasa hormat dan kesediaan untuk membantu sedapat-dapatnya. –Satu sama lain. Di sini dapat berarti karunia kasih itu dipercayakan kepada kita, sebab sudah menjadi kewajiban kita untuk saling mengasihi dan juga kewajiban orang lain untuk mengasihi kita. Adakah yang lebih manis di dunia seberang sorga ini selain mengasihi dan dikasihi? Siapa memberi minum, ia sendiri akan diberi minum. Kasih yang penuh rasa hormat: Hendaklah kamu saling mendahului dalam memberi hormat. Daripada bersaing mengejar keunggulan, marilah kita bersaing saling mendahului memperlakukan orang lain lebih unggul daripada kita. Hal ini dijelaskan di dalam Filipi 2:3, hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri. Untuk itulah alasan yang baik itu diberikan, karena, jika kita dapat mengenal hati kita sendiri, kita tahu bahwa ternyata diri kita lebih jahat dari pada yang dilakukan oleh orang lain di dunia ini. Kita harus lebih dahulu memperhatikan karunia, anugerah, dan hasil kerja saudara-saudara kita, dan menghargai mereka atas hal itu. Lebih dahulu dalam memuji orang lain dan lebih senang mendengar orang lain dipuji daripada diri kita sendiri, tē timē allēlous proēgoumenoi mendahului, atau saling mendahului dalam menghormati. Atau demikian beberapa orang memahaminya: saling mendahului untuk memberi kehormatan, bukan untuk mengambil kehormatan. ”Berusahalah, siapa dari antara kamu yang paling terdahulu dalam memberi hormat kepada orang yang berhak menerimanya, dan dalam melaksanakan semua kewajiban kasih Kristen (yang semuanya tercakup di dalam kata kehormatan) kepada saudara-saudaramu pada setiap kesempatan. Hendaklah semua usahamu untuk maju adalah yang paling sederhana, berguna, dan rendah hati.” Jadi, pengertiannya sama dengan Titus 3:14, Biarlah orang-orang kita juga belajar, proistasthai – saling mendahului dalam melakukan pekerjaan yang baik. Tetapi, walaupun kita harus melebihkan orang lain (begitulah terjemahan kita dalam memahami hal ini), dan membesarkan orang lain, sebagai lebih mampu dan pantas dari pada diri kita, namun kita tidak boleh menjadikan itu sebagai alasan untuk berpangku tangan dan tidak melakukan apa-apa. Kita juga tidak boleh berpura-pura menghormati orang lain, kemampuan kerja mereka dan hasil kerja mereka, dan memperturutkan hati kita dalam kenyamanan dan kemalasan. Itulah sebabnya Rasul Paulus dengan segera menambahkan, Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor (ay. 11).

(3) Kasih yang murah hati (ay. 13): Membantu dalam kekurangan orang-orang kudus. Kasih itu hanya omong kosong saja kalau hanya sebatas ungkapan kata-kata yang berisikan kebaikan hati dan rasa hormat tetapi tidak melakukan apa-apa sementara kekurangan saudara-saudara kita membutuhkan bantuan nyata, dan kita mampu melakukannya.

[1] Bukan merupakan hal yang aneh bagi orang-orang kudus di dunia ini mengalami kekurangan kebutuhan pokok untuk menunjang kehidupan jasmani mereka. Di zaman jemaat mula-mula mengalami penganiayaan yang meluas di mana-mana, banyak orang kudus mengalami penderitaan hebat. Orang-orang miskin selalu ada pada kita, bahkan juga banyak orang kudus yang miskin. Pasti barang-barang yang ada di dunia ini bukanlah hal-hal yang terbaik. Jika memang itu yang terbaik, tentunya orang-orang kudus yang menjadi kesayangan sorga tidak akan dibiarkan begitu saja dengan barang-barang duniawi yang begitu sedikit.

[2] Menjadi kewajiban orang-orang yang mempunyai barang atau uang yang dibutuhkan untuk membantu, atau (mungkin lebih baik) untuk membagi segala sesuatu dengan orang-orang yang berkekurangan itu. Tidak cukup hanya mengambil keluar hati kita, tetapi kita juga harus mengambil keluar dompet kita, bagi orang-orang yang lapar (lih. Yak. 2:15-16; 1Yoh. 3:17). Membagi segala sesuatu koinōnountes. Hal ini menunjukkan bahwa saudara-saudara kita yang miskin memiliki semacam kepentingan di dalam harta yang telah dianugerahkan Allah kepada kita. Mengingat hal itu, pertolongan kita harus bersumber dari turut mengerti dan merasakan kekurangan mereka sebagai sesama, seolah-olah kita menderita bersama mereka. Kemurahan hati dan kebaikan orang-orang Filipi kepada Paulus disebut dengan istilah, mengambil bagian dalam kesusahannya (Flp. 4:14). Kita harus selalu siap selama kita memiliki kemampuan dan kesempatan untuk meringankan beban orang-orang yang berkekurangan. Tetapi secara khusus kita terikat untuk berbagi dengan sesama orang-orang kudus. Kita berutang kasih secara umum kepada sesama makhluk, tetapi secara khusus kita berutang kasih kepada sesama orang-orang Kristen, terutama kepada kawan-kawan kita seiman (Gal. 6:10). Membagikan, tais mneiais – untuk mengingat orang-orang kudus, begitulah beberapa orang di zaman dahulu kala mengartikannya, dan bukannya tais chreiais. Terdapat utang dalam ingatan kepada orang-orang yang mewarisi janji-janji itu oleh iman dan kesabaran mereka, yaitu untuk menghargai, membebaskan, dan mengenang mereka. Biarlah kenangan kepada orang-orang benar mendatangkan berkat (Ams. 10:7). Paulus menyebut contoh lain dari kasih yang berlimpah-limpah ini, yakni, memberikan tumpangan. Orang-orang yang memiliki rumah sendiri harus siap menjamu orang-orang yang berkeliling melakukan pekerjaan yang baik, atau menjamu mereka yang karena takut teraniaya, terpaksa harus mengembara untuk mencari tempat bernaung. Di zaman itu belum ada banyak tempat penginapan seperti yang kita miliki sekarang. Mungkin juga karena orang-orang Kristen yang mengembara itu tidak berani terlampau sering menginap di tempat-tempat penginapan. Atau juga karena mereka tidak mempunyai cukup uang untuk membayar harga penginapan itu. Itulah sebabnya jika kita menyambut mereka untuk menginap dengan cuma-cuma, maka perbuatan itu akan menjadi suatu kebaikan yang istimewa. Selain itu, memberi tumpangan juga merupakan kewajiban yang sudah lama ada sejak dahulu kala. Jika ada kesempatan, kita harus menjamu orang-orang asing, sebab kita tidak tahu apa yang ada di dalam hati seorang asing. Ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan, disebutkan sebagai salah satu contoh kemurahan hati yang diterima oleh orang-orang yang memperoleh belas kasihan: tēn philoxenian diōkontes mengikuti atau mengejar kesempatan untuk memberi tumpangan. Hal itu menunjukkan bahwa tidak saja kita harus mengambil kesempatan, tetapi berusaha mencari kesempatan itu, dan dengan demikian menunjukkan belas kasihan. Seperti Abraham, yang duduk di pintu kemah (Kej. 18:1), dan Lot, yang duduk di pintu gerbang kota Sodom (Kej. 19:1), sambil menunggu-nunggu kedatangan para musafir, yang mungkin mereka jumpai dan kemudian mencegat mereka dengan sebuah undangan yang ramah, dan dengan demikian tanpa diketahui mereka telah menjamu malaikat-malaikat (Ibr. 13:2).

(4) Kasih yang bersimpati (ay. 15): Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis. Di mana ada saling mengasihi di antara anggota-anggota tubuh rohaniah, akan ada perasaan semacam itu terhadap sesama (lihat 1Kor. 12:26). Kasih yang sejati akan menarik perhatian kita dalam kesusahan dan sukacita sesama kita, dan mengajarkan kita untuk menjadikannya sebagai kesusahan dan sukacita kita sendiri. Amatilah campuran umum yang terjadi di dalam dunia ini, ada sebagian orang yang bersorak-sorai dan ada juga yang menangis (seperti yang terjadi dengan orang-orang itu, dalam Ezr. 3:12-13), sebab pencobaan itu, sama seperti kasih karunia lainnya, begitu jugalah kasih persaudaraan dan simpati Kristen. Tidak berarti kita harus turut mengambil bagian di dalam kegembiraan atau perkabungan yang penuh dosa dari orang lain, tetapi kita hanya boleh berada di dalam sukacita dan dukacita yang benar dan masuk akal. Kita tidak boleh menaruh iri hati kepada orang-orang kaya, tetapi bersukacita bersama mereka. Kita harus bergembira bahwa orang lain berhasil dan terhibur meskipun kita tidak. Tidak memandang rendah orang-orang yang sedang ada di dalam kesusahan, tetapi turut merasa prihatin dengan keadaan mereka, dan siap menolong mereka, seperti menolong diri kita sendiri yang ada di dalam tubuh yang sama. Inilah yang dimaksudkan dengan melakukan sesuatu seperti yang Allah lakukan, yang tidak saja menginginkan keselamatan hamba-Nya (Mzm. 35:27), tetapi juga turut disesakkan dalam segala kesesakan mereka (Yes. 63:9).

(5) Kasih yang mempersatukan: ”Hendaklah kamu sehati sepikir dalam hidupmu bersama (ay. 16), artinya, usahakan sekuat tenagamu untuk seia sepakat. Bila tidak ada kesepakatan, setidaknya seia seperasaan. Usahakan semuanya tetap bersatu, tidak menimbulkan bentrokan, pertentangan, dan saling menjegal satu sama lain. Sebaliknya, berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera (Flp. 2:2; 3:15-16; 1Kor. 1:10), to auto eis allēlous phronountes mengharapkan kebaikan yang sama bagi orang lain seperti yang Anda harapkan bagi diri sendiri,” begitulah yang dipahami oleh beberapa orang. Artinya, kita harus mengasihi saudara-saudara kita seperti diri kita sendiri, menginginkan kesejahteraan mereka seperti kesejahteraan kita sendiri.

(6) Kasih yang rendah hati: Janganlah kamu memikirkan perkara-perkara yang tinggi, tetapi arahkan dirimu kepada perkara-perkara yang sederhana (ay. 16). Kasih yang sejati tidak akan pernah ada, tanpa kerendahan hati (Ef. 4:1-2; Flp. 2:3). Ketika Tuhan Yesus kita mencuci kaki murid-murid-Nya, yang Ia ajarkan kepada kita adalah kasih persaudaraan (Yoh. 13:5; 14:34). Perbuatan itu terutama dimaksudkan untuk menunjukkan kepada kita bahwa saling mengasihi dengan benar itu berarti bersedia membungkuk untuk melakukan perbuatan baik yang paling hina demi kebaikan satu sama lain. Kasih adalah karunia yang bersifat merendahkan hati, Non bene conveniunt – majestas et amor keagungan dan kasih itu baik, tetapi tidak sebanding. Perhatikan baik-baik bagaimana hal itu ditekankan di sini.

[1] Janganlah kamu memikirkan perkara-perkara yang tinggi. Kita tidak boleh mengingini dengan sangat kehormatan dan kedudukan yang lebih tinggi, juga tidak boleh memandang kemegahan dan martabat duniawi dengan nilai yang tinggi sekali atau dengan sangat mendambakannya, tetapi lebih baik memandangnya dengan rasa tidak suka yang kudus. Ketika Daud mencapai kedudukan yang tinggi, rohnya tetap rendah hati (Mzm.131:1): aku tidak mengejar hal-hal yang terlalu besar. Orang-orang Roma yang hidup di dalam ibu kota kekaisaran yang memerintah atas raja-raja di bumi ini (Why. 17:18), yang sedang berada pada puncak kemegahannya pada zaman itu, dan mungkin dalam waktu yang tidak lama lagi akan menganggap diri mereka lebih baik daripada bangsa-bangsa lain. Bahkan benih yang kudus itu telah dicemari oleh ragi ini. Orang-orang Kristen Roma juga melakukan hal yang sama seperti sejumlah warga negara Roma lainnya. Itulah sebabnya Rasul Paulus begitu sering memperingatkan mereka terhadap sikap tinggi hati ini (bdk. 11:20). Mereka tinggal di dekat istana, dan setiap hari berhubungan dengan kecemerlangan serta keagungan istana itu, ”Baiklah,” kata Rasul Paulus, ”Jangan pikirkan hal itu, jangan jatuh cinta kepadanya.”

[2] Tetapi arahkanlah dirimu kepada perkara-perkara yang sederhana – Tois tapeinois synapagomenoi.

Pertama, yang mungkin dimaksudkan di sini adalah hal-hal yang sederhana. Kepada hal-hal itulah kita harus mengarahkan diri. Jika di dalam dunia ini, kita berada dalam keadaan yang miskin dan rendah, kesenangan kita sederhana dan tidak banyak, pekerjaan kita hina dan rendah, namun kita harus tetap mengarahkan pikiran kita ke sana, dan menerimanya. Tafsiran lainnya: Cukupkanlah dirimu dengan hal-hal yang sederhana. Terimalah tempat yang telah ditetapkan Allah dalam pengaturan penyelenggaraan-Nya untuk menempatkan kita, di mana pun dan bagaimanapun keadaannya. Kita tidak boleh memandang rendah apa pun selain dosa. Dengan rendah hati kita harus menerima tempat tinggal yang sederhana, makanan yang sederhana, pakaian yang bersahaja, tempat penginapan yang sederhana, jika itu memang menjadi bagian kita, dan jangan menggerutu. Bahkan ketika Allah menetapkan kita kepada hal-hal yang sederhana, kita harus menerimanya dengan semangat, dengan kekuatan dari sifat kita yang baru (begitulah kata synapagomai mengartikannya dengan tepat, dan hal itu sangat penting), sama seperti sifat busuk yang lama diserap ke dalam hal-hal yang tinggi. Kita harus menyesuaikan diri dengan hal-hal yang sederhana. Kita harus lebih menjadikan keadaan yang rendah dan lingkungan sekitar yang sederhana sebagai pusat keinginan kita dari pada hal-hal yang tinggi.

Kedua, yang mungkin dimaksudkan di sini adalah orang-orang yang sederhana. Begitulah kita memahaminya (saya berpendapat keduanya harus dimasukkan), Arahkanlah dirimu kepada orang-orang yang sederhana.Kita harus bergaul dan menyesuaikan diri dengan orang-orang yang miskin serta sederhana di dunia ini, sepanjang mereka juga takut akan Allah. Walaupun Daud adalah seorang raja yang berkuasa, ia bersekutu dengan semua orang yang takut kepada Allah (Mzm. 119:63). Kita tidak perlu merasa malu bergaul dengan orang-orang yang sederhana, sementara Allah yang mahabesar memandang ke bawah langit dan bumi untuk melihat orang-orang semacam itu. Kasih yang sejati menghargai kasih karunia yang ada pada kain yang kotor dan juga pada kain kirmizi. Sebutir permata adalah tetap permata, meskipun tergeletak di dalam kotoran. Kebalikan dari mengarahkan diri adalah mencela (Yak. 2:1-4). Arahkan dirimu, artinya, sesuaikan dirimu dengan mereka, tundukkan dirimu kepada mereka demi kebaikan mereka, seperti yang dilakukan oleh Rasul Paulus (1Kor. 9:19, dst.). Beberapa orang berpendapat bahwa kata yang asli yang dipakai merupakan kata kiasan yang diambil dari kehidupan para musafir. Ketika dalam perjalanan, orang-orang yang lebih kuat dan lebih gesit menunggu orang-orang yang lemah dan lamban. Mereka berhenti, dan kemudian membawa orang-orang itu bersama mereka. Demikianlah orang-orang Kristen harus bersikap lembut kepada teman-teman seperjalanan mereka. Untuk menguatkan maksud ini, Rasul Paulus menambahkan, Janganlah menganggap dirimu pandai! Dengan maksud yang sama seperti pada ayat 3. Kita tidak akan pernah dapat mengarahkan diri kepada orang lain di dalam hati kita sementara kita menganggap diri kita pandai. Itulah sebabnya sikap menganggap diri pandai ini harus dimatikan. Me ginesthe phronimoi par’ heautois – “Janganlah menganggap dirimu sendiri bijak, janganlah percaya akan kecukupan kebijaksanaanmu sendiri, sehingga memandang rendah orang lain, atau menganggap engkau tidak membutuhkan mereka (Ams. 3:7), juga jangan malu membagikan apa yang engkau miliki kepada orang lain. Kita adalah anggota satu sama lain, saling bergantung, harus bersedia saling membantu, dan itulah sebabnya, janganlah menganggap dirimu sendiri bijak. Ingatlah bahwa yang kita usahakan adalah perkara-perkara kebijaksanaan. Nah, barang usaha itu terdiri dari kegiatan menerima dan mengembalikan.”

(7) Kasih yang melibatkan diri kita, sedapat-dapatnya, kalau itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang! (ay. 18). Bahkan dengan orang-orang yang tidak dapat akrab dan dekat dengan kita, karena dipisahkan oleh jarak atau pekerjaan, kita juga harus hidup damai dengan mereka. Artinya, kita tidak boleh membahayakan dan mengganggu mereka, serta tidak membuka peluang bagi mereka untuk bertengkar dengan kita. Kita juga jangan menyakiti hati mereka dan suka membalas dendam, tidak mencari gara-gara untuk bertengkar dengan mereka. Jadi, kita harus berusaha memelihara perdamaian, jangan sampai retak, dan kita harus merekatkannya kembali seandainya terlanjur retak. Hikmat yang dari atas itu murni dan mendamaikan. Perhatikanlah baik-baik bagaimana nasihat ini dibatasi. Nasihat ini tidak dinyatakan untuk memaksa kita menghadapi kemustahilan: Sedapat-dapatnya, kalau itu bergantung padamu. Dengan demikian, berusahalah hidup damai (Ibr. 12:14), berusahalah memelihara ikatan damai sejahtera (Ef. 4:3). Pikirkanlah hal-hal yang dapat membawa damai – jika itu memungkinkan. Tidak mungkin kita tidak melukai hati Allah dan hati nurani kita bila kita tidak mengusahakan perdamaian: Id possumus quod jure possumus – apa saja mungkin, sekalipun tidak ada kesalahan. Hikmat yang dari atas itu pertama-tama murni, selanjutnya pendamai (Yak. 3:17). Kedamaian tanpa kemurnian adalah damai yang berasal dari istana Iblis. Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu. Harus ada dua kata untuk saling menyepakati perdamaian. Kita hanya dapat berbicara untuk diri kita sendiri. Tidak dapat dihindarkan mungkin kita akan terpaksa menjadi seperti Yeremia, seorang yang menjadi buah perbantahan (Yer. 15:10). Kita tidak dapat menghindari hal ini. Perhatian kita haruslah jangan sampai di pihak kita kurang memelihara perdamaian. Aku ini suka perdamaian, tetapi apabila aku berbicara, maka mereka menghendaki perang (Mzm. 120:7).

2. Kepada musuh-musuh kita. Sejak manusia menjadi musuh Allah, mereka menjadi sangat condong untuk saling memusuhi satu sama lain. Tinggalkanlah pusat kasih itu sekali saja, maka akan segera terjadi bentrokan dan gangguan di dalam barisan, atau berada pada jarak yang tidak nyaman. Dari semua orang, mereka yang beragama mempunyai cukup alasan untuk kemungkinan bertemu dengan musuh di dalam dunia yang senyumnya jarang sepadan dengan senyum Kristus. Nah, Kekristenan mengajarkan kepada kita bagaimana berperilaku terhadap musuh-musuh kita. Perintah-perintah ini sangat berbeda dibandingkan semua peraturan dan cara yang ada, yang pada umumnya mengarah kepada kemenangan dan penguasaan. Perintah ini mengarah kepada kedamaian dan kepuasan batin. Siapa pun musuh kita yang mengharapkan hal-hal yang buruk bagi kita dan berusaha untuk berbuat kejahatan kepada kita, kita berpegang pada peraturan supaya jangan sampai pernah menyakiti mereka, tetapi sedapat-dapatnya kita harus berusaha untuk melakukan yang baik.

(1) Jangan berbuat jahat kepada mereka (ay. 17): Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan, sebab itu adalah pembalasan yang bodoh dan hanya pantas dilakukan oleh binatang-binatang yang tidak menyadari adanya makhluk di atas mereka atau keadaan yang ada di hadapan mereka. Atau jika umat manusia ada dalam keadaan perang (seperti yang diimpikan sebagian orang), pembalasan seperti itu memang cukup dapat diterima. Tetapi kita telah belajar bahwa Allah berbuat seperti itu terhadap musuh-musuh-Nya (Mat. 5:45). Kita juga belajar bahwa Kristus pun demikian, yang telah mati bagi kita ketika kita masih seteru (5:8, 10), yang begitu mengasihi dunia yang telah membenci-Nya tanpa sebab. “Kepada siapa pun, tidak kepada orang Yahudi dan juga tidak kepada orang Yunani. Tidak kepada seseorang yang pernah menjadi sahabatmu, sebab dengan membalas kejahatan dengan kejahatan, engkau pasti akan kehilangan dia. Tidak kepada seseorang yang menjadi musuhmu, sebab dengan tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, engkau mungkin dapat memenangkan dia.” Maksud yang sama juga dinyatakan di dalam ayat 19, Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan. Mengapa hal ini harus disampaikan dengan nada yang penuh kasih sayang jika dibandingkan dengan nasihat-nasihat lainnya di dalam pasal ini? Pasti karena nasihat ini dimaksudkan untuk menenangkan hati yang sedang marah, sedang panas membara terbakar oleh kebencian yang disulut oleh berbagai hasutan. Rasul Paulus mengungkapkan dirinya dengan bahasa yang menawan ini untuk menenangkan dan mengubah hati mereka. Apa saja yang mengembuskan kasih akan menenangkan aliran darah, meredakan badai, dan mendinginkan panas yang melampaui batas. Maukah engkau menenangkan seorang saudaramu yang sedang sakit hati? Sapalah dia dengan sebutan saudaraku yang kekasih. Kata-kata yang lembut seperti itu, jika diucapkan dengan tepat, akan sangat manjur untuk menghalau amarah. Janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, artinya, kalau ada seseorang melakukan perbuatan jahat apa pun kepadamu, janganlah ingin atau berusaha membalas dengan kejahatan atau ketidaknyamanan yang sama kepadanya. Pemerintah tidak dilarang untuk menegakkan keadilan bagi orang-orang yang menjadi korban kejahatan itu, dengan cara menghukum mereka yang melakukan kejahatan. Pemerintah juga tidak dilarang untuk membuat dan melaksanakan hukum yang adil terhadap para penjahat. Namun, yang dilarang adalah pembalasan pribadi, yang bersumber dari amarah dan keinginan jahat seseorang. Hal ini memang pantas untuk dilarang, sebab kita akan dianggap sebagai hakim yang tidak berhak untuk menangani perkara kita sendiri. Bah kan, hakim dalam mengadili orang yang berbuat salah bertindak atas dasar perasaan pribadi saja dan bukan atas dasar kepedulian untuk menjaga kedamaian dan ketertiban umum, maka peradilan seperti ini, walaupun tampaknya sudah umum terjadi, tetap dianggap sebagai pembalasan pribadi yang dilarang di sini. Lihatlah betapa ketatnya hukum Kristus mengenai hal ini (Mat. 5:38-40). Kita tidak saja dilarang untuk membalas dendam dengan tangan kita sendiri, tetapi juga dilarang untuk mengingini dan memiliki hasrat yang kuat supaya hukuman yang dijatuhkan atas perkara kita dapat memuaskan kecenderungan hati kita untuk membalas dendam. Hal ini merupakan pelajaran yang sulit bagi sifat manusia yang sudah rusak, sehingga itulah sebabnya Rasul Paulus menambahkan,

[1] Penawar untuk menangkalnya: Tetapi berilah tempat kepada murka Allah. Jangan kepada amarah kita, sebab dengan memberikan tempat kepada amarah kita berarti memberikan tempat kepada Iblis (Ef. 4:26-27). Kita harus menolak, melumpuhkan, memadamkan, dan menekan hal ini. Sebaliknya,

Pertama, kepada amarah seteru kita. “Berikan tempat untuk itu, artinya bersikaplah menyerah. Jangan membalas marah dengan marah, tetapi lebih baik membalas dengan kasih. Karena kesabaran mencegah kesalahan-kesalahan besar(Pkh. 10:4). Terimalah penghinaan dan kerugian, seperti batu yang jatuh diterima dalam tumpukan wol, sehingga batu itu tidak memantul kembali dan juga tidak bergerak lebih jauh lagi.” Dengan demikian hal itu menjelaskan apa yang diajarkan oleh Juruselamat kita, Siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu(Mat. 5:39). Daripada merancang bagaimana membalas dendam kepada orang yang berbuat jahat, lebih baik kita bersiap sedia untuk menerima perbuatan jahat lainnya. Ketika hawa nafsu seseorang sedang memuncak, dan geloranya kuat, biarlah itu terus mengalir, supaya jangan karena dilawan amarah itu menjadi lebih dahsyat dan besar. Ketika orang lain sedang marah, biarlah kita tetap tenang. Inilah penawar untuk menangkal rasa dendam, dan tampaknya hal ini sangat masuk akal. Tetapi,

Kedua, Banyak orang menyerahkannya kepada murka Allah: ”Berikan tempat kepada murka Allah, berikan kesempatan bagi Dia untuk mengambil alih takhta penghakiman, dan biarkan Dia saja yang berurusan dengan musuhmu.”

[2] Alasan untuk menentang pembalasan manusia: Sebab ada tertulis, pembalasan itu adalah hak-Ku. Kita mendapati hal itu tertulis di dalam Ulangan 32:35. Allah adalah Raja yang berdaulat, Hakim yang adil, dan hak untuk menyelenggarakan penghakiman itu ada di dalam tangan-Nya. Sebab Ia adalah Allah yang mahatahu, Ia sanggup menimbang semua tindakan di dalam keseimbangan yang sangat tepat. Dan sebagai Allah yang mahasuci, Ia sangat membenci dosa dan tidak dapat tahan melihat ketidakadilan. Beberapa kekuasaan ini Ia percayakan ke dalam tangan hakim-hakim dunia ini (Kej. 9:6; 13:4). Itulah sebabnya hukuman sah yang mereka jatuhkan dipandang sebagai perpanjangan pembalasan Allah. Ini adalah alasan yang baik mengapa kita tidak boleh melakukan pembalasan sendiri. Sebab, jika pembalasan itu merupakan hak Allah, maka

Pertama, kita tidak boleh melakukan pembalasan sendiri. Kita telah melangkahi singgasana Allah jika kita melakukan pembalasan dan merampas tugas yang menjadi hak-Nya itu.

Kedua, kita tidak perlu melakukan pembalasan sendiri. Sebab Allah yang akan melakukannya, jika dengan penuh kerendahan hati kita menyerahkan perkara itu kepada-Nya. Ia akan membalaskannya untuk kita sepanjang ada alasan yang kuat atau keadilan untuk pembalasan itu. Lebih jauh lagi kita tidak dapat menginginkannya. Aku tidak mendengar, sebab Engkau juga yang akan mendengar ya Tuhan (lihat Mzm. 38:15-16, TL). Dan jika Allah yang mendengar, untuk apa kita mendengar?

(2) Kita tidak hanya dilarang untuk menyakiti musuh-musuh kita, agama kita menuntut hal-hal yang lebih tinggi untuk hal itu, dan mengajarkan kepada kita untuk berbuat baik kepada mereka sedapat-dapatnya. Ini adalah suatu perintah yang khas dimiliki dalam Kekristenan, dan yang sangat dijunjung tinggi: Kasihilah musuhmu (Mat. 5:44). Di sini kita diajar untuk menunjukkan kasih itu kepada musuh-musuh kita dengan perkataan maupun perbuatan.

[1] Dengan perkataan: Berkatilah siapa yang menganiaya kamu (ay. 14). Sudah menjadi hal yang umum bagi umat Allah untuk dianiaya, baik dengan tangan yang kuat maupun dengan lidah yang penuh kedengkian. Nah, di sini kita diajar untuk memberkati orang-orang yang menganiaya kita. Berkatilah mereka, artinya, pertama, “Berbicaralah yang baik tentang mereka. Seandainya ada hal-hal yang patut dihargai dan dipuji di dalam diri mereka, perhatikan hal itu baik-baik, dan kemudian sebutkan hal itu untuk menghormati mereka.” Kedua, “Berbicaralah dengan penuh rasa hormat kepada mereka, sesuai dengan kedudukan mereka, jangan membalas caci maki dengan caci maki, dan kepahitan dengan kepahitan.” Dan ketiga, kita harus mengharapkan yang baik bagi mereka, dan menginginkan kebaikan bagi mereka, dan bukannya berupaya melakukan balas dendam. Bahkan, keempat, kita harus menaikkan keinginan itu kepada Allah dengan berdoa bagi mereka. Jika kita tidak memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu yang lain kepada mereka, kita masih dapat menyaksikan keinginan baik kita dengan berdoa bagi mereka. Sebab untuk hal itu, Tuhan kita tidak saja memberikan sebuah peraturan bagi kita, tetapi juga suatu contoh untuk mendukung peraturan itu (Luk. 23:34) – Berkatilah dan jangan mengutuk. Hal itu menunjukkan adanya suatu kemauan baik sepenuhnya di dalam semua contoh dan ungkapan mengenai hal itu. Bukan, “Berkatilah mereka ketika engkau sedang berdoa, dan kutukilah mereka pada kesempatan yang lain,” melainkan, “Berkatilah mereka senantiasa, dan jangan pernah mengutuki mereka sama sekali.” Kutukan itu adalah sesuatu yang buruk bagi mulut orang-orang yang kesukaannya adalah memuji Allah dan yang kebahagiaannya adalah supaya diberkati oleh-Nya.

[2] Dengan perbuatan (ay. 20): “Jika seterumu lapar, jika engkau memiliki kemampuan dan kesempatan, bersiaplah dan bersungguh-sungguhlah untuk menunjukkan kebaikan apa saja kepadanya dan lakukan pekerjaan kasih apa saja demi kebaikannya. Jangan sampai engkau kurang bersungguh-sungguh karena ia adalah seterumu, tetapi lebih bersungguh-sungguhlah, supaya dengan demikian engkau dapat menunjukkan ketulusan pengampunanmu kepadanya.” Itulah yang dikatakan oleh Uskup Agung Cranmer (tokoh reformasi dari Gereja Inggris abad keenam belas – pen.), bahwa cara untuk menjadikan seseorang sebagai sahabat adalah dengan cara membalas kejahatannya dengan kebaikan. Pengajaran ini dikutip dari Amsal 25:21-22. Walaupun pengajaran ini tampak tinggi, tetapi pengajaran itu sudah tidak asing lagi dalam Perjanjian Lama. Amatilah di sini,

Pertama, Apa yang harus kita lakukan. Kita harus berbuat baik kepada musuh-musuh kita. “Jika seterumu lapar, janganlah menghinanya dan berkata, Sekarang Allah sedang membalas dendam untukku kepadanya, dan membela perkaraku. Jangan membuat tafsiran seperti itu dari keadaannya yang berkekurangan ini. Tetapi berilah ia makan.” Kemudian, apabila ia membutuhkan pertolonganmu, dan engkau mempunyai kesempatan untuk membuatnya tetap kelaparan dan memperlakukannya dengan semena-mena, maka berilah ia makan (psōmize auton, sebuah kata yang sangat penting). “Berilah ia makan berlimpah-limpah, bahkan, berilah ia makan hati-hati dan sabar,” frustulatim pasce berilah ia makan sedikit-sedikit, “berilah ia makan dengan penuh kelembutan, seperti kita memberi makan anak-anak dan orang sakit. Berusahalah sedemikian rupa sehingga kamu dapat mengungkapkan kasihmu. Jika ia haus, berilah dia minum, potize auton minumkan kepadanya, sebagai bukti pendamaian dan persahabatan. Jadi tegaskan kasihmu kepadanya.”

Kedua, mengapa kita harus melakukan hal ini. Sebab dengan berbuat demikian kamu menumpukkan bara api di atas kepalanya. Ada dua arti yang diberikan orang mengenai perkataan ini, yang saya kira keduanya harus dipahami bersama, yaitu, “Kamu akan,”

1. “Melembutkan hatinya ke dalam pertobatan dan persahabatan, serta menenangkan hatinya terhadapmu,” (meminjam istilah orang-orang yang pekerjaannya melebur logam, mereka tidak saja menaruh bara api di bawah logam, tetapi juga menumpukkan bara api di atasnya). Seperti itulah hati Saul dilembutkan dan ditaklukkan oleh kebaikan Daud (1Sam. 24:16; 26:21). “Engkau akan memenangkan seorang sahabat dengan cara itu, dan jika kebaikanmu tidak memengaruhinya, maka,”

2. “Hal itu akan memperburuk penghukumannya dan membuat kejahatannya kepadamu menjadi lebih tidak dapat diampuni. Dengan ini engkau akan mempercepat tanda-tanda kemurkaan dan pembalasan Allah.” Hal ini tidak harus menjadi tujuan kita dalam menunjukkan kebaikan kepadanya, tetapi untuk membesarkan hati kita bahwa hal-hal seperti itu akan terjadi. Inilah maksud dari nasihat yang ada pada ayat terakhir, yang menunjukkan adanya suatu hal yang bertentangan yang tidak mudah dimengerti oleh dunia ini. Bahwa dalam semua perselisihan dan perbantahan, mereka yang melakukan pembalasan adalah orang-orang yang kalah, sedangkan mereka yang mengampuni adalah orang-orang yang menang.

(1) “Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan. Jangan biarkan kejahatan dari hasutan mana pun menguasai dirimu, atau menimbulkan kesan seperti itu kepadamu, sampai membuat engkau hilang kendali, mengganggu kedamaianmu, menghancurkan kasihmu, mengganggu dan membingungkan hatimu, membuatmu melakukan hal-hal yang tidak patut atau merencanakan atau berusaha melakukan pembalasan.” Orang yang tidak sanggup menanggung sakit hati dengan tenang berarti sudah benar-benar dikalahkan olehnya.

(2) “Tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan, dengan kebaikan dari kesabaran dan tahan diri, bahkan, dengan kasih sayang dan kemurahan hati kepada mereka yang telah berbuat jahat kepadamu. Carilah cara untuk mengalahkan rancangan jahat mereka kepadamu, dan juga cara untuk mengubah mereka, atau setidaknya untuk memelihara damaimu sendiri.” Orang yang memegang peraturan ini di dalam hatinya lebih baik daripada orang yang kuat.

3. Sebagai penutup masih ada dua nasihat yang masih belum disentuh. Nasihat-nasihat ini bersifat umum, yang menasihatkan hal-hal selebihnya supaya mereka memiliki kehidupan diri yang baik dan dipuji.

(1) Memiliki kehidupan diri yang baik (ay. 9): Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik. Allah telah menunjukkan apa yang baik kepada kita. Kewajiban Kristen yang ini berbentuk larangan terhadap hal-hal yang jahat, yang bertentangan dengan diri mereka. Nah, perhatikan baik-baik,

[1] Kita tidak saja dilarang untuk berbuat jahat, tetapi kita juga harus menjauhi yang jahat. Kita harus membenci dosa dengan rasa benci yang tak terhingga dan tanpa mengenal damai dengannya, memiliki rasa permusuhan terhadapnya sebagai yang buruk dari segala yang terburuk, yang berlawanan dengan sifat kita yang baru dan kepentingan kita yang sejati. Kita harus membenci semua bentuk penampilan dosa, bahkan pakaian penutup badan yang tercemar dengan kedagingan.

[2] Kita tidak saja harus melakukan apa yang baik, tetapi juga harus berpaut kepada yang baik. Hal ini menunjukkan sebuah pilihan yang sengaja, kasih sayang yang tulus, dan ketekunan terhadap apa yang baik. “Berpautlah kepada Dia yang baik, tetaplah setia kepada Tuhan (Kis. 11:23), dengan rasa ketergantungan dan kerelaan.” Hal ini ditambahkan kepada perintah kasih persaudaraan, sebagai petunjuk pelaksanaannya. Kita harus mengasihi saudara-saudara kita, tetapi tidak berarti mengasihi mereka sedemikian rupa karena mereka melakukan berbagai dosa, atau karena mengabaikan berbagai kewajiban. Jangan membenarkan dosa apa pun karena orang yang telah melakukan dosa itu, tetapi tinggalkanlah semua teman-teman di dalam dunia ini, untuk berpaut kepada Allah dan kewajiban-kewajiban-Nya.

(2) Menjadi orang yang dikenal baik (ay. 17, TL): “Pikirkanlah barang yang baik di dalam pemandangan orang sekalian, artinya, tidak saja melakukan, tetapi berusaha mencari dan memikirkan, serta melakukannya dengan sangat berhati-hati hal-hal yang menunjukkan keramahan dan patut dipuji, dan dengan demikian meninggikan iman kepercayaan kita kepada semua orang yang berhubungan denganmu,” (lihat Flp. 4:8). Perbuatan-perbuatan kebajikan dan kemurahan hati ini merupakan cara yang khusus supaya kita sebagai orang kudus dapat dikenal baik di antara orang banyak, dan itulah sebabnya perbuatan ini harus dilakukan dengan rajin oleh semua orang yang mempertimbangkan kemuliaan Allah dan penghargaan atas pekerjaan mereka.

Misi Kristus Sedunia

PELAJARAN SEKOLAH MINGGU

  TANGGAL   PELAJARAN SEKOLAH MINGGU KATEGORI Babak pertama        ...