Wednesday 2 October 2019

FILSAFAT PAK 1


Sekolah Tinggi Teologi Pokok Anggur Jakarta
Silabus
Mata Kuliah                : Filsafat PAK   
Bobot                          : 2 sks
Dosen                          : Eko Basuki
Waktu                         : 19-23 Januari 2016

Penjelasan
Seminar ini membicarakan ruang lingkup dan metode filsafat pendidikan  sebagai berikut: perbendaharaan kata dan persoalan Filsafat Pendidikan (Ontologi, Epistemologi, Axiologi),  Proses Pendidikan: In put, Institusi Pendidikan, Proses belajar mengajar  ada lima komponen proses (Guru, Kurikulum (Bahan Ajar), Metode Pembelajaran, Media pembelajaran, Anak Didik (Murid)  dan Evaluasi Hasil Akhir),  Out Put dan income; teori tentang Kebenaran, konflik antara etika dan estetika,  yang  berkaitan dengan berbagai pandangan Filsafat  yang  mempengaruhi Pendidikan: (1) Traditional Philosophies of Education:  Idealism, Realism, Materialisme dan Naturalism,  Tradisionalis (Neo-Thomism); (2) Modern Philosophies of Education:  Pragmatism (Experimentalism), Eksistensialisme; (3) Contemporary Theories of Education: Progresivisme, Perenialisme,  Esensialisme  dan  Rekonstruksionisme.

Tujuan  Umum (Kompetensi Dasar)
Melalui keseluruhan studi ini diharapkan setiap peserta dapat:  menjelaskan pengertian konsep-konsep filsafat pendidikan (Ontology, Epistemologi, Axiology; Idealism, Realism, Neo Thomisme, Pragmatisme, dan Existentialism) antara istilah dan problemanya yang dihadapinya dalam kerangka input – instiusi pendidikan -- Proses Belajar Mengajar – Output -- income.

Tujuan Khusus (Hasil Belajar)

1.      Mahasiswa mampu menjelaskan arti, ruanglingkup dan kajian filsafat dan filsafat pendidikan.
2.      Mahasiswa mampu mengemukakan peran filsafat dalam pendidikan kristiani, serta aspek metafisika, epistemologi dan aksiologi dalam praktek pendidikan kristian.
3.      Mahasiswa mampu menjelaskan istilah seperti: ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
4.      Mahasiswa mengidentifikasi aliran-aliran filsafat pendidikan seperti: idealism, realism pragmatism, existentialsm, perenialisme, progresivisme  dan  konstruksionisme.
5.      Mahasiswa mampu mengidentifikasikan corak filsafat pendidikan yang mewarnai pendidikan nasional di Indonesia dan inplikasinya bagi PAK di sekolah dan perguruan tinggi.
6.      Mahasiswa mampu merumuskan pemahamannya sendiri dalam bentuk sebuah tulisan ilmiah, tentang filsafat pendididkan kristiani dalam konteks pelayanan yang tengah dan akan dikerjakannya.


Pokok-pokok Bahasan

1.      Silabus
2.      Perbendaharaan Kata Filsafat Pendidikan
3.      Identitas Tiga Problem Dasar dalam Filsafat Pendidikan: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
4.      Proses Pendidikan: input – instiusi pendidikan -- Proses Belajar Mengajar – Output -- income.
5.      Hubungan Filsafat Pendidikan dengan Agama dan Sekuler

6.      Teori Kebenaran: Konsisten, Koresponden dan Pragmatis

7.      Konflik antara Etika dan Estetika
8.      Aliran-aliran Filsafat yang  Mempengaruhi Pendidikan: (1) Traditional Philosophies of Education:  Idealism, Realism, Materialisme dan Naturalism,  Tradisionalis (Neo-Thomism); (2) Modern Philosophies of Education:  Pragmatism (Experimentalism), Eksistensialisme; (3) Contemporary Theories of Education: Progresivisme, Perenialisme,  Esensialisme  dan Rekonstruksionisme
9.      Formulasi Filsafat Pendidikan Pribadi: Mahasiswa mengembangkan filsafat pendidikan secara perorangan dalam satu paper.

Bahan Utama
Harianto GP.  2015.  Diktat Filsafat Pendidikan Agama Kristen. Surabaya: STT Bethany.

Bahan Acuan Utama
Astley, Jeff.  1994. The Philosophy of Christian Religious Education. Birmingham: Religious Education Press.
Bayles, Ernest E.  1996. Pragmatism in Education. New York: Harper & Row.
Bernadib, Imam. 2002.  Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Adicita karya Nusa.
Boehlke, Robert. 1997.  Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Agama Kristen. Jilid II. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Boehlke, Robert. 1991. Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Agama Kristen. Jilid 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Butle, J.Donald. 1966.  Idealism in Education. New York: Harper & Row.
Butler, J. Donald. 1957. Four Philosophies. New York: Harper & Brothers Publisher.
Daniels, Norman and Keith Lehrer (eds.). 1995.  Philosophy of Education. Colorado: Westview Press, Inc.
Geisler, Norman L. & Paul D. Feinberg. 2002. Filsafat dari Perspektif Kristiani. Malang: Gandum Mas.
Gutek, Gerald L. 1997.  Historical and Philosophical Fourdations of Education. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Henry, Nelson B. (ed.). 1955. Modern Philosophies and Education. Part 1. Chicago: University of Chicago Press.
Kneller, George F. 1971. Introduction to the Philosophy of Education. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Knight, Goerge R. 1980. Philosophy and Education. Berrien Springs: Andrews University Press.
Martin, WM. Oliver. 1969.  Realism in Education. New York: Harper & Row.
Morris, Van Cleve. 1966. Existentialism in Education.  New York: Harper & Row.
Mudyahardjo, Redja. 2004. Filsafat Ilmu Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Ozmon, Howard A. and  Samuel M. Craver. 1995.  Philosophical Foundations of Education. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Peterson, Michael L. 1986.  Philosophy of Education. Downers Grove: InterVarsity Press.
Sadulloh, Uyoh. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: CV Alfabeta.
Suparno, Paul. 1997.  Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Metode

Dalam mewujudkan tujuan khusus atau hasil belajar di atas, kegiatan belajar mengajar ditempuh dengan pendekatan berikut:
1.      Ceramah (penjelasan dari dosen), diskusi dan tanya jawab
2.      Inquiry, Solving Problem
3.      Presentasi
4.      Diskusi
5.      Tugas-tugas pendalaman

Evaluasi dan Kriteria Penilaian

1.      Aktifitas dan kehadiran = 10%
2.      Tugas UTS  = 40%. Pembuatan Rumusan Filsafat Pendidikan (Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi) berdasarkan Nilai-nilai Alkitab. Bagian ini mahasiswa hanya mengumpulkan ayat-ayat Alkitab dan memberi tafsiran.  Setiap mahasiswa merumuskan nilai-nilai Alkitab dari 3 kitab.
3.      Tugas UAS = 50% Judul paper Evaluasi di antara  Ontologi (pilih Ontologi, Epistemologi atau Aksiologi) berdasarkan Kitab Daniel  (pilih 1 Kitab) dengan Pragmatisme (pilih 1 model Filsafat pendidikan) dan penerapannya di Sekolah Minggu Gereja Bethany Nginden Surabaya”. Fisafat Pendidikan pilih dari Ontologi, Epistemologi atau Aksiologi) berdasarkan Nilai-nilai Alkitab. Bagian ini terdiri dari 5 bab adalah: Bab I Pendahuluan, Bab II Filsafat Pendidikan Berdasarkan Kitab …; Bab III memilih satu model filsafat pendidikan  yang Saudara sukai, Bab IV Evaluasi di antara Filsafat pendidikan berdasarkan Kitab …. (1 Kitab) dengan model Filsafat pendidikan (1 model saja) dan penerapannya terhadap instiusi pendidikan di Indonesia; Bab V Kesimpulan dan saran.


Jadwal Kegiatan Belajar
Selasa, 19 Januari 2016
1.      Session 1 Silabus, Perbendaharaan Kata Filsafat Pendidikan, dan Identitas Tiga Problem Dasar dalam Filsafat Pendidikan:  Ontology, Epistemologi, dan Axiology
2.      Session 2 Lima Komponen Dasar dalam Proses Filsafat Pendidikan:  Guru, Murid, Kurikulum, Metode dan Hasil Akhir,  Hubungan Filsafat Pendidikan dengan Agama dan Sekuler  dan Teori Kebenaran: Konsisten, Koresponden dan Pragmatis

Rabu, 20 Januari 2016
1.      Session 3 Konflik antara Etika dan Estetika, Idealism; Presentasi 1- Realism
2.      Session 4  Presentasi 2-Materialisme; Presentasi 3-Tradisionalis (Neo-Thomism)

Kamis, 21 Januari 2016
1.      Session 5 Presentasi 4- Pragmatism (Experimentalism)  
2.      Session 6 Presentasi 5 -  Eksistensialisme

Jumat, 22 Januari 2016
1.      Session 7 Presentasi 6 - Progresivisme   
2.      Session 8 Presentasi 7 - Perenialisme

Sabtu, 23 Januari 2016
1.      Session 9 Presentasi 8 - Esensialisme
2.      Session 10 Presentasi 9 - Rekonstruksionisme  dan Pendalaman Tugas Paper


I. PERBENDAHARAAN KATA FILSAFAT PENDIDIKAN
Pengertian  Filsafat
Filsafat berasal dari dua istilah Yunani “philos” dan “sophia”, yang berarti “cinta kebijaksanaan”; “cinta akan hikmat”; “cinta akan pengetahuan”. Seorang “filsuf” adalah seorang “pencinta”, “pencari” (philos) hikmat atau pengetahuan (sophia).[1] Karena kecintaan, keinginan atau kerinduannya orang berupaya mencari, menggali dan merumuskan kebenaran. Kebenaran hal ini menyangkut pertanyaan-pertanyaan tentang makna dan tujuan hidup yang paling hakiki (the quest of life).[2] Selanjutnya dengan kehidupan atau perkembangan peradaban manusia dan problema kehidupan yang dihadapinya, maka pengertian yang bersifat teoris seperti  yang dilahirkan filsafat Yunani di atas kehilangan kemampuannya untuk memberi jawaban yang layak tentang kebenaran itu. Peradaban itu telah menyebabkan manusia melakukan loncatan besar dalam bidang sains, teknologi, kedokteran dan pendidikan.[3]
Misalnya peradaban manusia Eropa pada abad pertengahan hidup dalam kesadaran  bahwa kenyataan bersifat sakramental, artinya merupakan tanda dan lambang mengenai kenyataan ilahi. Itulah pengalaman hidupnya. Berbeda dengan waktu Renaissance timbullah pengalaman bahwa kenyataan itu merupakan dunia kebendaan, materi, yang hakekatnya bersifat matematis, dapat digariskan, dipatoki dengan jelas dan cermat.[4] Dari sini filsafat menjadi pengalaman kehidupan sehari-hari. Filsafat dapat “mengkodratkan” pengalaman dan menjadikannya kesadaran dalam satu sistem.[5]
Berkaitan dengan konsep filsafat di atas, maka George Knight menjabarkan lebih jelas. Ia merumuskan bahwa filsafat memiliki tiga dimensi sebagai berikut:  pertama, sebagai “subject matter” atau konsep: filsafat mempelajari  masalah-masalah metafisika (apa yang nyata), epistemology (pengetahuan dan bagaimana mengetahui), dan aksiologi (nilai, etika dan keindahan). Kedua, sebagai kegiatan: filsafat menempuh langkah-langkah analisis, sintesis, spekulatif dan  preskriptif. Ketiga, filsafat melibatkan sikap (attitude):  kesadaran diri, penetratif, komprehensif, dan fleksibilitas.[6]  Jadi,  filsafat adalah kegiatan yang senantiasa bertujuan untuk membentuk atau merumuskan “pandangan dunia” (worldview) dalam rangka mencari hikmat atau pengetahuan.
Metode Filsafat
Filsafat mempergunakan banyak cara, berbagai metode, dan multi metode. Metode berasal dari perkataan Yunani “Methodos”, yang artinya: (1) sesuatu prosedur yang dipakai untuk mencapai sesuatu tujuan; (2) sesuatu teknik mengetahui yang dipakai dalam proses mencari ilmu pengetahuan dari sesuatu materi tertentu; (3) sesuatu ilmu yang merumuskan aturan-aturan dari suatu prosedur.[7] Mohammad Noor Syam mengatakan ada beberapa metode filsafat sebagai berikut: pertama, contemplative (perenungan). Merenung berarti memikirkan sesuatu, atau segala sesuatu, tanpa keharusan adanya kontak langsung dengan obyeknya. Obyek perenungan dapat berupa apa saja, misalnya tentang makna hidup, mati, kebenaran, keadilan, keindahan dan sebagainya.  Hal ini cara filsafat untuk memikirkan segalanya secara mendalam.  Kedua, speculative (perenungan atau merenung). Merenung lebih mendalam untuk mencari hakekat ilmu dengan pikiran yang tenang, kritis, pikiran murni dan cenderung menganalisa, menghubungkan antara masalah, dan berulang-ulang sampai mantap.  Ketiga, deductive.  Metode deductive adalah berpikir dan penyelidikan ilmiah umumnya menggunakan metode induktif. Proses induktif adalah penyelidikan berdasarkan eksperimen yang dimulai dari obyek yang khusus untuk mendapat kesimpulan yang bersifat umum.[8]

Ruang Lingkup Kajian Filsafat
Dari definisi “filsafat” di atas, maka ruang lingkup kajian filsafat dapat diartikan sebagai aktifitas pikiran teratur  yang membentuk worldview seseorang sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan.  Jadi,  filsafat  menggambarkan satu aspek dari aspek-aspek pelaksanaan falsafah umum dan menitikberatkan kepada pelaksanaan prinsip dan kepercayaan yang menjadi dasar dari filsafat umum dalam upaya memecahkan persoalan pendidikan secara praktis.
Bila diberi contoh kaitannya dengan pendidikan, maka Donald Butler mengatakan bahwa filsafat memberikan arah dan metodologi terhadap praktek pendidikan, sedangkan praktek pendidikan memberikan bahan-bahan bagi pertimbangan-pertimbangan filosofis. Keduanya sangat berkaitan erat.[9]  Berkaitan dengan hal tersebut, maka John Dewey mengatakan filsafat merupakan suatu pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan (emosional), menuju ke arah karakter manusia, maka filsafat bisa juga diartikan “sebagai teori umum  pendidikan”.[10]

Metode Filsafat Pendidikan
Dalam dunia pendidikan dikenal istilah “paedagogie” artinya “pendidikan” dan istilah “paedagogiek” artinya ilmu pendidikan. Pedagogik atau ilmu pendidikan ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki, merenungkan tentang gejala-gejala perbuatan mendidik.  Pedagogik berasal dari kata Yunani “paedagogia” yang berarti “pergaulan dengan anak-anak”. Paedagogos  (paedos “anak”; agoge “saya membimbing, memimpin”) ialah seorang pelayan dalam zaman Yunani kuno, yang pekerjaannya mengantar dan menjemput anak-anak ke dan dari sekolah.  Juga di rumahnya, anak-anak tersebut selalu dalam pengawasan dan penjagaan  dari para  paedagogos itu. Jadi nyatalah bahwa pendidikan anak-anak Yunani kuno sebagian dibesar dan diserahkan kepada paedagogos.[11]  Sedangkan dalam kata Latin  terdiri dari kata “educare”  artinya “merawat, memperlengkapi dengan gizi, agar sehat dan kuat” dan kata “educere” artinya “membimbing keluar dari”. 
Secara historis filsafat pendidikan dikembangkan oleh Aristoteles, Augustinus, dan John Locke adalah filsafat tentang  proses pendidikan sebagai bagian dari sistem filsafat mereka dalam konteks teori-teori etika, politik, epistemologi, dan metafisika  yang mereka anut. Sedangkan filsafat pendidikan yang dikembangkan akhir-akhir ini, oleh pengaruh filsafat analitik, merupakan filsafat tentang disiplin ilmu pendidikan dalam konteks dasar-dasar pendidikan (foundations of education) yang dihubungkan dengan bagian-bagian  lain dalam disiplin ilmu pendidikan, yaitu sejarah pendidikan, psikologi pendidikan, dan sosiologi pendidikan.[12] Berkaitan di atas, maka Donald Butler mengatakan bahwa filsafat memberikan arah dan metodologi terhadap praktek pendidikan, sedangkan praktek pendidikan memberikan bahan-bahan bagi pertimbangan-pertimbangan filosofis. Keduanya sangat berkaitan erat.[13]
John Dewey mengatakan filsafat pendidikan merupakan suatu pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan (emosional), menuju ke arah karakter manusia, maka filsafat bisa juga diartikan “sebagai teori umum pendidikan”.[14] Sedangkan Barnadib mengatakan bahwa filsaat pendidikan ialah ilmu yang pada hakikatnya merupakan “jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam bidang pendidikan”. Karenanya, dengan bersifat filosofi maka filsafat pendidikan merupakan “aplikasi sesuatu filosofis terhadap bidang pendidikan”.[15] Brubachen mengatakan bahwa filsafat dipandang sebagai bunga, bukan sebagai akar tunggal pendidikan. Filsafat pendidikan berdiri secara  bebas dengan memperoleh keuntungan karena mempunyai kaitan dengan ilmu umum, meskipun demikian tidak penting tetapi yang terjadi ialah sesuatu keterpaduan antara pandangan filosofis dengan filsafat pendidikan. Hal itu terjadi karena filsafat sering diartikan sebagai teori pendidikan dalam segala tahap.[16] Sedangkan Jan Hendrik Rapar mengatakan bahwa filsafat pendidikan adalah pemikiran-pemikiran filsafati tentang pendidikan atau pemikiran-pemikiran filsafat tentang proses pendidikan.[17]
Dalam Ensiklopedi  Pendidikan (1982) secara umum pendidikan dapat diartikan sebagai “semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya, serta keterampilannya kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah”.  Penegasan itu menyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha atau upaya sadar tujuan, atau bersahaja, dan karena itu, ia menuntut perencanaan, strategi atau pendekatan.[18] Berkaitan di atas, B.S. Mardiaatmadja  mengatakan bahwa pendidikan adalah suatu usaha bersama dalam  proses terpadu-terorganisir untuk membantu manusia mengembangkan diri dan menyiapkan diri  guna mengambil tempat semestinya dalam pengembangan masyarakat dan dunianya di hadapan Sang Pencita.[19] Ngalim Purwanto juga mendefinisikan bahwa pendidikan adalah  segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan atau agar berguna bagi diri sendiri dan bagi masyarakat.[20]  Poerbakawatja juga sependapat dengan definisi pendidikan yang sebelumnya adalah usaha secara sengaja dari orang dewasa yang mana dengan pengaruhnya meningkatkan kedewasaan dari anak yang selalu diartikan kemampuan untuk memikul tanggung jawab moril dari segala perbuatannya.[21] Jadi, pendidikan secara menyeluruh menyangkut segala segi hidup manusia. John Dewey mengatakan bahwa pendidikan adalah sebagai proses pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, yang menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya rasa (emosi) manusia.[22]  Jadi dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa filsafat pendidikan adalah aktifitas pikiran teratur yang membentuk wolrdview seseorang sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan.

Karena sifat filsafat pendidikan begitu luas maka filsafat pendidikan tidak berdiri pada satu sisi lingkup saja melainkan mempunyai berbagai ruang yang menjadi kajiannya. Brubacher mengatakan bahwa sifat filsafat pendidikan sebagai berikut: Pertama, spekulatif  (sinoptik maupun sintesis) di mana dengan prinsip ini seseorang berpikir secara menyeluruh, komprehensif dan integrative; berpikir tentang sesuatu dari berbagai sudut pandang. Kedua, normative di mana ada sesuatu yang dianggap ideal atau standar, yang dijadikan sebagai titik tolak ataupun patokan, serta kriteria penilaian. Ketiga, kritis (critical) di mana seseorang mampu memberi penjelasan terhadap makna dari istilah atau konsep yang digunakan.[23] 

Berkaitan dengan sifat filsafat pendidikan (spekulatif, normative, dan critical), maka John Verhaar memperlihatkannya  bagaimana kerjanya dalam pendidikan akademis. Verhaar merumuskan dalam tiga taraf, yaitu: instruksi, edukasi, dan formasi.  Pada tataran instruksi yang disajikan kepada para mahasiswa ialah informasi, bukan pendapat; atau sejumlah pendapat tentang sesuatu masalah, tetapi hanya sebagai inventaris pendapat. Taraf instruksi dibedakan dari taraf edukasi atau  formasi. Taraf edukasi  dan formasi perlu refleksi, introspeksi, mawas diri. Pada tataran edukasi terlaksanalah hal-hal yang perlu untuk integrasi intelektual dari data-data  termasuk informasi dari tataran instruksi. Pada umumnya di tataran edukasi itu dikembangkan kemampuan untuk berpikir secara kritis, dengan suatu metode yang konsekuen dan untuk membangun sesuatu teori. Pada tataran formasi ialah penyadaran tentang dirinya sebagai “person”  yang mempunyai banyak keterbatasannya-keterbatasannya dalam pergaulan dengan orang lain.[24] Sedangkan Harry Hamersma membagi menjadi empat bidang besar sebagai berikut: Pertama, filsafat tentang pengetahuan: epistemology, logika, dan kritik ilmu-ilmu. Kedua, filsafat tentang keseluruhan kenyataan: metafisika umum (atau ontology) dan metafisika khusus (teori metafisika, antropologi, dan kosmologi). Ketiga, filsafat tentang tindakan: etika dan estetika. Keempat, sejarah filsafat.[25]
Lebih dalam, maka Jalaluddin dan Idi merumuskan bahwa ruang lingkup filsafat pendidikan terbagi menjadi dua bagian sebagai berikut: secara makro (umum) apa yang menjadi obyek pemikiran filsafat dan obyek pemikiran filsafat pendidikan, yaitu: dalam ruang lingkup yang menjangkau permasalahan kehidupan manusia, alam semesta dan alam sekitarnya.  Secara mikro (khusus) meliputi: Pertama, merumuskan secara tegas sifat hakikat pendidikan (the nature of education). Kedua, merumuskan sifat hakikat manusia, sebagai subyek dan obyek pendidikan (the nature of man). Ketiga, merumuskan secara tegas hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan, agama dan kebudayaan. Keempat, merumuskan hubungan  antara filsafat, filsafat pendidikan dan teori pendidikan. Kelima, merumuskan hubungan antara filsafat Negara (ideologi), filsafat pendidikan dan politik pendidikan (sistem pendidikan). Keenam, merumuskan sistem nilai-norma atau isi moral pendidikan yang merupakan tujuan pendidikan.[26]

II. Identitas Tiga Problem Dasar
dalam Filsafat Pendidikan

Identitas tiga probem dasar dalam filsafat pendidikan adalah menekankan pada ontology (metafisika),  epistemology dan aksiologi.  Ketiga hal tersebut adalah dasar atau pintu filsafat pendidikan.
Makna Ontologi (Metafisika)
Metafisika berasal dari bahasa Yunani Kuno, yang terdiri dari dua kata “meta” dan “fisika”. Meta berarti “sesudah di belakang”, atau “melampaui”, dan “fisika” berarti alam nyata. Istilah metafisika merupakan judul yang diberikan oleh Andronikos dari Rhodes terhadap empat belas buku yang ditulis oleh Aristoteles, yang ditempatkan sesudah fisika yang terdiri dari delapan buku. Aristoteles sendiri tidak menggunakan istilah metafisika dan fisika, melainkan “filsafat pertama untuk metafisika” dan “filsafat kedua untuk fisika”.[27]
Kata “metafisika” itu saat ini memiliki berbagai arti. Metafisika bisa berarti upaya untuk mengkarakterisasi eksistensi atau realitas sebagai suatu keseluruhan, atau berarti sebagai usaha untuk menyelidiki alam yang berada di luar pengalaman atau menyelidiki apakah hakikat yang berada di balik realitas. Tetapi secara umum, metafisika menunjuk pada arti suatu pembahasan filsafati yang komprehensif mengenai seluruh realitas atau tentang segala sesuatu yang ada.
Metafisika dibagi menjadi dua sebagai berikut: metafisika umum (ontologi) dan metafisika khusus (kosmologi, teologi metafisik, dan filsafat antropologi).[28]  Ontolongi membahas tentang teori umum mengenai semua hal, sedangkan metafisika khusus membahas esensi dari yang ada, hakikat dari segala wujud yang ada: siapa manusia, dari mana asal usulnya, apa yang dituju manusia, dan untuk apa hidup di dunia ini.[29]
            Pembahasan ontologi dilakukan dengan membedakan dan memisahkan eksistensi “dari segala sesuatu”. Pertanyaan-pertanyaan ontologi yang utama dan paling sering diajukan adalah sebagai berikut: apakah suatu realitas itu beraneka ragam dan berbeda-beda? Apakah hakekatnya satu atau tidak? Apabila  memang benar satu, apakah realitas yang satu itu.apakah eksistensi yang sesungguhnya dari segala sesuatu yang ada itu merupakan realitas yang tampak atau tidak?
            Ada tiga teori ontologis[30] antara lain: Pertama, idealisme, teori ini mengajarkan bahwa ada yang sesungguhnya berada di dunia ide. Segala sesuatu yang tampak dan mewujudkan nyata dalam alam indrawi hanya merupakan gambaran atau bayangan dari yang sesungguhnya yang berada di dunia ide. Kedua, materialisme menolak hal-hal yang tidak kelihatan. Bagi materialisme, ada yang sesungguhnya adalah yang keberadaannya semata-mata bersifat material atau sama sekali tidak bergantung pada material. Jadi realitas sesungguhnya adalah alam kebendaan dan segala sesuatu yang mengatasi alam kebendaan itu haruslah dikesampingkan.[31]  Ketiga, dualisme mengajarkan bahwa substansi individual terdiri dari dua fundamental yang berbeda dan tak dapat direduksikan kepada yang lainnya. Kedua tipe fundamentalis dari substansional itu ialah material dan mental.[32] Dengan demikian dualisme mengakui bahwa realitas terdiri dari materi atau yang ada secara fisis dan mental atau yang beradanya tidak kelihatan secara fisis. Dualisme harus dibedakan dari monisme dan pluralisme. Monisme dan Pluralisme adalah teori tentang jumlah substansi dan bukan mempersoalkan tipe fundamental dari substansi itu.
 

Epistemologi

Istilah “epistemologi” berasal dari bahasa Yunani Kuno, dengan asal kata “episteme” yang berarti “pengetahuan” dan “logos” (kata, pikiran, percakapan atau ilmu), yang berarti “teori”. Secara etimologi, epistemologi berarti teori pengetahuan. Epistemologi membahas atau mengkaji tentang asal, struktur, metoda, serta keabsahan pengetahuan.[33]
            Epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang bersangkut paut dengan teori pengetahuan.[34]  Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani,  yang terdiri dari dua kata “Episteme” (pengetahuan)  dan “logos” (kata; pikiran; ilmu). Jadi jikalau disimpulkan maknanya, maka istilah epistemologi berarti “kata, pikiran, percakapan tentang pengetahuan atau ilmu pengetahuan”. [35]
Sedangkan, secara tradisional yang menjadi pokok persoalan epistemologi ialah sumber, asal-usul, sifat dasar pengetahuan; bidang, batas, dan jangkauan pengetahuan;  serta validitas dan reliabilitas (reability) dari berbagai klaim pengetahuan. Oleh sebab itu, rangkaian pertanyaan yang biasa diajukan untuk mendalami permasalahan yang dipersoalkan dalam epistemologi adalah sebagai berikut:  Apa pengetahuan itu? Apakah yang menjadi sumber dan dasar pengetahuan itu? Apakah pengetahuan itu berasal dari pengamatan, pengalaman, atau akal budi? Apakah pengetahuan itu adalah kebenaran yang pasti ataukah hanya merupakan dugaan?[36]
            Jika dikatakan bahwa seseorang mengetahui sesuatu, itu berarti ia memiliki pengetahuan tentang sesuatu itu.  Dengan demikian, pengetahuan  adalah suatu kata yang digunakan untuk menunjuk kepada apa yang diketahui oleh seseorang tentang sesuatu. Pengetahuan memiliki subyek yaitu yang mengetahui, karena tanpa ada yang mengetahui tidak mungkin ada pengetahuan. Jika ada subyek, pasti ada obyeknya, yakni sesuatu hal yang  seseorang ketahui atau dihendaki untuk diketahui. 
            Pengetahuan dibagi dalam tiga jenis yaitu: Pertama,  pengetahuan biasa (ordinary knowledge). Kedua, pengetahuan ilmiah (scientific knowledge). Ketiga, pengetahuan filsafat  (philosophical knowledge). [37] Berkaitan hal tersebut, maka sumber utama pengetahuan bisa bersumber  dari akal  budi atau rasio.[38]
           

Aksiologi

Secara etimologi, istilah “aksiologi” berasal dari bahasa Yunani Kuno, terdiri dari kata “aksios” yang berarti “nilai” dan kata “logos”  yang berarti “teori”. Aksiologi mempelajari nilai. Jadi, aksiologi adalah teori nilai yang membahas hekikat nilai, tipe nilai, kriteria nilai, dan status metafisika nilai.[39]
Aksiologi menunjuk pada suatu nilai tertentu.  Nilai suatu obyek sangat dipengaruhi nilai subyek yang ada.  Manusia memiliki nilai, sehingga nilai seseorang dari apa yang diungkapkan maupun dilakukan. Nilai-nilai sangat relative, tetapi ada nilai yang jauh lebih mutlak dan ditempat tinggi dibanding dengan nilai-nilai relative yang dibawah. Manusia berbuat baik karena mengetahui nilai yang ada pada dirinya. Pada aksiologi yang mengarah suatu kebaikan yang tertinggi berupa kebahagiaan dan cinta kasih Tuhan.[40]
Bagi Louis Kattsoff bahwa nilai merupakan kualitas empiris yang tidak dapat didefinisikan dan sebagai obyek suatu kepentingan.[41] Meskipun begitu, nilai mempunyai macam makna sebagai berikut: (1) mengandung nilai (artinya, berguna); (2) merupakan nilai (artinya, “baik” atau “benar” atau “indah”); (3) mempunyai nilai (artinya, merupakan obyek keinginan, mempunyai kualitas yang dapat menyebabkan orang mengambil sikap “menyetujui”, atau mempunyai sifat nilai tertentu); (4) memberi nilai (artinya, menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu).[42]
Berkaitan dengan makna nilai, maka timbul beberapa pertanyaan: Apakah yang dinamakan nilai itu? Apakah yang menyebabkan bahwa suatu obyek atau perbuatan bernilai, dan bagaimanakah cara mengetahui? Bilamanakah sebutan nilai dapat diterapkan? Proses kejiwaan apakah yang tersangkut dalam tanggapan-tanggapan penilaian? Bagaimanakah cara menentukan makna-makna yang dikandungnya serta verifikasi yang dapat dilakukan terhadapnya?
 Nilai suatu obyek sangat dipengaruhi oleh nilai subyek yang ada.  Manusia memiliki nilai, sehingga nilai seseorang dari apa yang diungkapkan maupun dilakukan. Nilai-nilai sangat relative, tetapi ada nilai yang jauh lebih mutlak dan ditempat tinggi dibanding dengan nilai-nilai relative yang dibawah. Manusia berbuat baik karena mengetahui nilai yang ada pada dirinya. Pada aksiologi yang mengarah suatu kebaikan yang tertinggi berupa kebahagiaan dan cinta kasih Tuhan.[43]



III. Lima Komponen Dasar

dalam Proses Filsafat Pendidikan


Lima komponen dasar dalam proses filsafat pendidikan mengidentifikasikan: Kurikulum, Guru, Metode,  Murid  dan Hasil Akhir dalam proses Filsafat Pendidikan. Tetapi, S. Nasution mengatakan ada empat elemen filsafat pendidikan sebagai berikut: tujuan pendidikan, mata pelajaran, proses belajar-mengajar, dan evaluasi hasil akhir.[44] Pemahaman di atas diuraikan sebagai berikut:

Visi ke Tujuan Pendidikan
Pemahaman tujuan pendidikan dilihat dari scholastisisme dan  empirisme. Secara “scholastisisme”  di mana Thoma Aquinus dan kawan-kawan mengatakan bahwa tujuan-tujuan pendidikan adalah: Pertama, tidak semata-mata ditujukan untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia, tetapi terutama untuk mencapai kebahagiaan hidup di akhirat dalam pengenalan jiwa dengan  Tuhan. Kedua, untuk mencapai tujuan tersebut pendidikan harus tertuju pada pengembangan keseluruhan potensi manusia yang mencakup:  intelektual, fisik (jasmaniah), volitional (kemauan), dan vokasional (bekerja).[45] 
Sedangkan  secara “empirisme”, maka John Locke dan kawan-kawan mengatakan  bahwa  bertujuan adalah: Pertama, membentuk manusia yang berwatak atau berkebajikan (gentlemen; gentlewoman) yaitu, manusia yang dapat mengendalikan segala perasaan kecenderungan dan berbuat semata-mata berdasarkan pikiran sehat. Kedua, manusia berwatak mempunyai ciri-ciri: bijaksana dalam mengambil keputusan,  cermat dalan berbuat, dan sungguh-sungguh dalam berpikir.[46]
Bila dikaitan dengan pendidikan maka tujuan-tujuan di atas bermula dari sebuah visi. Visi menjabarkan tujuan-tujuan. Visi merupakan perwujudan proses pendidikan. Visi adalah rumusan konsep permulaan untuk diwujudkan dalam  bentuk-bentuk aktifitas (misi) dalam proses pendidikan. Berkaitan dengan visi maka  J.E. Sahetapy mengatakan bahwa  “tanpa visi maka hidup seseorang akan terombang-ambing. Ia seperti kehilangan kompas bila berada di lautan kehidupan bergelombang ganas di malam gelap.  Tanpa misi hidup seseorang akan steril, tak berbuah, tidak berbunga dan tak berkembang”.[47]  W. Gulo berpendapat bahwa ada dua dimensi yang menyatu dalam visi, yaitu dimensi “atas-bawah” dan dimensi “akan-kini”. Dimensi atas-bawah itu tidak lain dari pernyataan Allah yang mengandung nilai-nilai yang ingin diwujudkan dalam situasi yang konkrit seperti: kasih, keadilan, dan kebenaran. Dimensi akan-kini menunjukkan hubungan antara realitas dan idealis. Menurut Gulo, visi dibangun di atas kenyataan yang ada, dimana pemahaman di atas kenyataan yang ada itu dihadirkan yang ideal, yaitu pernyataan Allah.[48] Visi seperti inilah yang diharapkan menjadi landasan konseptual bagi pengelola pendidikan baik secara formal maupun nonformal yang sebagai dasar untuk menjabarkan tujuan. Apabila visi adalah pendorong atau pedoman konseptual, maka tujuan adalah sasaran operasional, dimana untuk mencapai tujuan dimaksud maka perlu untuk menetapkan misinya. Misi ini adalah landasan bagi tatalaksana operasional dari lembaga pendidikan (Sekolah Alkitab atau Teologi) itu, dimana untuk melaksanakan misinya, setiap lembaga pendidikan perlu menetapkan kurikulum pengajaran.[49]  Dengan demikian, maka adanya tujuan yang dinyatakan dari visi dalam proses pendidikan sangatlah penting. Kalau tanpa visi segala kegiatan adalah liar, maka proses pendidikan tanpa tujuan adalah sia-sia.

Mata Pelajaran (Kurikulum)
Bahan pelajaran adalah bahan yang diajarkan kepada peserta didik. Bahan pelajaran dalam arti sempit disebut “kurikulum” (arti luas kurikulum: tujuan pendidikan, bahan pelajaran, proses belajar-mengajar “pendidik dan peserta didik,  dan evaluasi hasil akhir).

Kurikulum dalam Arti Sempit
Secara tradisional (arti sempit), istilah kurikulum diartikan sebagai rencana tentang sejumlah mata pelajaran atau bahan ajaran yang ditawarkan oleh suatu lembaga pendidikan untuk dipelajari oleh siswa dalam mengikuti pendidikan di lembaga itu.[50]  Dalam kamus “Webster’s New International Dictionary”  yang sudah memasukan istilah kurikulum sejak tahun 1953, memberi arti kepada istilah kurikulum sebagai berikut:  1) sebagai sejumlah  pelajaran yang ditetapkan untuk dipelajari oleh siswa di suatu sekolah atau perguruan tinggi, untuk memperoleh suatu ijazah atau gelar. 2) keseluruhan mata pelajaran yang ditawarkan oleh suatu lembaga pendidikan atau suatu departemen tertentu.
Memang umumnya kurikulum dipahami orang sebagai bahan-bahan tercetak (buku, majalah) berisikan pelajaran, petunjuk-petunjuk, gambar-gambar, soal-soal dan sebagainya. Kata lain  kurikulum sebagai bahan pelajaran (subject matter).[51] 

Kurikulum dalam Arti Luas
Sebelum abad ke-20, istilah kurikulum belum banyak digunakan dalam konteks pendidikan.  Konsep-konsep kurikulum mulai berkembang sejak dipublikasikannya buku “The Curriculum” yang ditulis oleh Franklin Bobbitt (1918). Di sini kurikulum mempunyai arti yang lebih meluas. Kurikulum adalah suatu rencana yang menjadi panduan dalam menyelenggarakan proses pendidikan.[52]
Melanjutkan pemikiran di atas, maka  Saylor, Alexander dan Lewis merumuskan kurikulum sebagai berikut: pertama, kurikulum sebagai rencana tentang mata pelajaran atau bahan-bahan pelajaran. Kedua, kurikulum sebagai rencana tentang pengalaman belajar. Ketiga, kurikulum sebagai rencana tentang tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Keempat, kurikulum sebagai rencana tentang tempat belajar.[53]  Tak heran bila Eli Tanya merumuskan  kurikulum berarti “sepanjang hidup belajar, meringkas segala pengalaman dan pengaruh-pengaruh yang terdapat di sekeliling murid.[54] International Council of Religious Education mendefinisikan kurikulum adalah “pengalaman si pelajar di bawah bimbingan.”[55]
Abdul Rajak Husain mengatakan kurikulum adalah  seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar.[56]

Unsur-unsur Design Kurikulum Arti Luas

W.P. Napitupulu merumuskan bahwa komponen kurikulum sebagai berikut: guru – murid -- bahan pelajaran  --  alat-alat pendidikan. Di sini guru memegang peran penting  dan terberat. Keberhasilan proses belajar ditentukan oleh seorang guru.[57] Sementara  Ornstein  mengatakan bahwa proses kurikulum antara caranya (metode  proses belajar-mengajar) dengan materinya (bahan pelajaran). Kedua merupakan proses yang berjalan bersama-sama.[58]   Tetapi rumusan ini sudah tertinggal karena muncul rumusan yang dirangkum oleh Muhammad Ali. Ia  merumuskan komponen-komponen kurikulum sebagai berikut: komponen tujuan, komponen isi atau materi, komponen metode atau organisasi, dan komponen evaluasi.[59]  Uraian komponen-komponen di atas sebagai berikut:

Komponen Tujuan
Komponen tujuan adalah arah atau sasaran yang hendak dituju oleh proses penyelenggara pendidikan.  Dalam setiap kegiatan sepatutnya mempunyai tujuan, karena tujuan menuntun kepada apa yang hendak dicapai, atau sebagai gambaran tentang hasil akhir dari suatu kegiatan.
Penerapan konsep tujuan kurikulum pertama kali dikemukakan oleh Franklin Bobbit. Prosedur yang digunakan dalam pengembangan kurikulum dengan menerapkan konsep ini adalah dengan  merumuskan tujuan-tujuan. Prosedur Bobbit ini selanjutnya oleh Ralp Tyler lebih dirinci yang pertama kali dimunculkan tahun 1949. Tyler mengatakan bahwa prinsip-prinsip perencanaan kurikulum dan pengajaran dengan mengajukan empat pertanyaan: “Tujuan apa yang ingin dicapai? Pengalaman belajar apa yang perlu disiapkan untuk mencapai tujuan itu? Bagaimana kegiatan-kegiatan belajar itu diorganisasi secara efektif? Bagaimana menilai keberhasilan pencapaian tujuan?”[60]

Komponen Isi Kurikulum
Komponen isi kurikulum  adalah materi bahan belajar. Wujud isi kurikulum ada beberapa sebagai berikut: pertama, “Uniform Lesson” (pelajaran seragam). Bahan  pelajaran yang sama ditujukan untuk semua golongan umur. Kedua, “Group-graded Lesson” (pelajaran yang disesuaikan dengan kelompok). Bahan pelajaran yang berbeda ditujukan untuk kelompok umur yang berlainan. Ketiga, “Closely-graded Lesson” (pelajaran yang disesuaikan secara ketat). Misalnya bahan pelajaran khusus untuk satu tahun saja. Keempat, buku-buku pelajaran untuk sekolah. Di Indonesia ditujukan untuk pelajaran-pelajaran tingkat SD, SMP, dan SMU. Kelima, bahan-bahan pelajaran lain.[61]
Wujud kurikulum (bahan pelajaran) yang lainnya adalah: pertama, kurikulum denominasi di mana yang diterbitkan oleh denominasi tertentu, untuk kalangan sendiri. Kedua, kurikulum bukan denominasi di mana penerbitnya bukan denominasi, tetapi komersial. Ketiga, kurikulum usaha bersama di mana  diterbitkan dari beberapa denominasi bersama-sama. Keempat, kurikulum yang berpusatkan isi (Content-centered Curriculum) di mana memusatkan pelajaran Alkitab, membahas bagian-bagian Alkitab satu per satu. Kelima, kurikulum yang berpusatkan pengalaman (Experience Centered Curriculum) di mana isinya menitikberatkan pada pengalaman murid, kemudian menghubungkannya dengan Alkitab atau imam Kristen. Keenam, kurikulum berdasarkan studi unit (Unit of Study) di mana tujuannya adalah memberi pelajaran yang lebih luas, baik pengalaman atau pokok pelajaran.[62] 

Komponen Metode
Komponen  metode atau organisasi adalah bagaimana isi kurikulum yang berupa bahan pelajaran disampaikan kepada siswa. Komponen ini juga disebut kegiatan belajar mengajar  atau  “administrasi kurikulum” (di luar negeri disebut “Administration of the Instructional Program”).  Kegiatan ini merupakan pusat dari semua kegiatan-kegiatan sekolah. Semua mengaturan dan pengaturan mengenai: murid agar dapat belajar dengan tenang, guru-guru supaya dapat mengajar dengan teratur, tenang dan tertib pula; penggunaan alat pelajaran yang efektif dan efisien; penggunaan waktu untu belajar, untuk rekreasi, untuk kegiatan co-curriculair; untuk ulangan-ulangan  dan ujian, dan sebagainya. Semua itu bertujuan agar proses belajar mengajar semakin lancar.

Komponen Evaluasi
Komponen evaluasi adalah bagian yang sangat penting di mana hasil evaluasi dapat memberi petunjuk kepada sasaran yang ingin dituju dapat tercapai atau tidak.

Hubungan Kurikulum dan Rencana Kurikulum

Kurikulum bukan suatu yang statis melainkan dinamis tetapi seseorang tidak dapat menawarkan sebuah kurikulum yang mendapatkan hasil akhir sempurna.[63] Yang ada adalah kurikulum yang efektif dapat memaksimalkan hasil yang maksimal.[64] Karena itu, maka kurikulum terus berkembangan sesuai dengan kebutuhan zaman karenanya kurikulum perlu mempunyai perencanaan. Muhammad Ali menawarkan berbagai perencanaan kurikulum seperti: kurikulum sebagai pengalaman belajar, kurikulum sebagai rencana belajar, kurikulum humanistis, kurikulum sebagai rekonstruksi sosial, kurikulum sebagai teknologi,  kurikulum akademis, dan banyak lagi.[65]

Kurikulum Sentral Proses Pendidikan
Kurikulum  mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan. Kurikulum mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan-tujuan pendidikan.[66] Kurikulum adalah  tak peduli bagaimana rancangan detailnya, terdiri atas unsur-unsur tertentu. Suatu kurikulum biasanya mengandung suatu kenyataan mengenai maksud dan tujuan tertentu. Kurikulum memberi petunjuk tentang beberapa pilihan dan susunan isinya. Kurikulum menyuratkan pola-pola belajar dan mengajar tertentu, baik karena dikehendaki oleh tujuannya maupun oleh susunan isinya. Akibatnya kurikulum memerlukan suatu program pengevaluasian hasil-hasilnya.[67] Jadi, ruang lingkup filsafat pendidikan berbicara menjawab segala persoalan pendidikan  (termasuk kurikulum) baik yang berorientasi kepada nilai-nilai  agama[68] atau pengetahuan (duniawi).[69]

 

Relasi  Visi dengan Kurikulum

Dari pemahaman “visi” dan “kurikulum” dapat direlasikan bahwa  keduanya mempunyai keterkaitan satu dengan yang lain.  Visi adalah perumusan apa yang mau dicapai sedangkan kurikulum (misi) adalah  proses bekerja untuk mewujudkan visi. Jadi, kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan dan selalu menjadi satu kesatuan dalam filsafat pendidikan. Relasi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
 

Falsafah hidup (worldview)
(Visi)
                                                                                                            area teori

filsafat pendidikan 
(frame dan isi “pendidikan”)
 

Ruang lingkup filsafat pendidikan 
yang berbentuk kurikulum
(tujuan, bahan pelajaran,
proses belajar-mengajar, dan evaluasi)
                                                                                                                        area praktek
Alumni di lapangan
(hasil proses pendidikan )

Semula seseorang (pengelola pendidikan) mempunyai falsafah hidup (worldview). Dalam mengisi hidupnya, misalnya ia mempunyai visi “memberitakan Injil”. Untuk mewujudkan visi itu maka ia mendirikan “lembaga pendidikan formal”. Visi itu mewarnai  frame (filsafat) dan isi (pendidikan). Visi “memberitakan Injil”  mengisi kerja ruang lingkup filsafat pendidikan (elemen-elemen kurikulum).  Memang isi kurikulum   tunduk terhadap visi tetapi elemen-elemen kurikukum tergantung kepada filsafat pendidikan (tujuan, bahan pelajaran, proses belajar-mengajar, dan evaluasi).
Dari visi dirumuskanlah tujuan pendidikan, lalu menyusun bahan pelajaran  yang sesuai dengan tujuan pendidikan, mengembangkan strategi proses belajar-mengajar dan memberi penilaian yang berorentasi kepada visi.  Hasil dari kurikulum (proses pendidikan) adalah  alumni di lapangan (praktek).
Proses Kurikulum
Proses kurikulum merupakan cerminan suatu visi. Kegagalan menterjemahkan visi dalam kurikulum adalah menghasilkan kesenjangan antara teori dengan prakteknya. Karena itu, setiap komponen kurikulum haruslah saling kait mengkait dengan tujuan, bahan pelajaran, proses belajar-mengajar, dan penilaian. Jadi, agar kesenjangan teori dan praktek tidak begitu melebar, maka perlu membuat rumusan tujuan pendidikan.  Berhasil tidaknya visi tergantung pada tujuan pendidikan yang dirumuskannya.  Tujuan pendidikan berdasarkan pada visi. Bejamin Bloom, dkk,  membagi tujuan  pendidikan menjadi tiga bagian sebagai berikut:  Pertama, tujuan kognitif meliputi segi intelektual (mengetahui, memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan  mengevaluasi). Kedua, tujuan afektif meliputi kesadaran akan sesuatu, perasaan, dan penilaian sesuatu (memperhatikan, merespon, menghargai, mengorganisasi, dan mengkarakterisasi nilai-nilai). Ketiga, tujuan psikomotor meliputi tingkat kegiatan (melakukan gerakan fisik, menunjukan kemampuan perseptual, memperlihatkan kemampuan fisik yang mengandung  ketahanan kekuatan, melakukan gerakan yang terampil, dan mengadakan komunikasi).[70]
Untuk mentransmisi bahan pelajaran yang berpusat kepada visi  membawa transformasi maka dibutuhkan proses belajar-mengajar (pendidik dan yang dididik) yang  relevan. Proses tersebut tidak saja dipahami adalah metode menyampaikan bahan pelajaran kepada peserta didik di kelas tetapi kehidupan pengajar itu sendiri adalah metode yang efektif dalam mengajar.
Kurikulum yang menghasilkan transformasi seperti di atas dapat mengikuti teori “Holland’s Two-Track Analogy Adapted Model” yang  diadaptasi oleh J. Robert Clinton  dari disertasi Fred Holland di Fuller Theological Seminary sangat  kuat mempengaruhi pada kehidupan mahasiswanya.   Teori ini mengatakan ada empat elemen sebagai berikut: pertama, input (bahan pengajaran atau kuliah yang disampaikan oleh pendidik). Kedua, pengalaman pelayanan (peluang para mahasiswa untuk mempraktekan bahan yang telah diterimanya dalam pertemuan berkala baik yang terstruktur maupun tidak terstruktur di dalam kehidupan nyata). Ketiga, refleksi dinamis (pertemuan berkala yang wujudnya bisa pertemuan kelas, diskusi berkala ataupun tutorial). Keempat, pembinaan rohani (segala kegiatan yang difasilitasi lembaga pendidikan untuk membina dan meningkatkan kualitas kerohanian mahasiswanya).[71]
Untuk menentukan keberhasilan proses belajar-mengajar di atas, maka diperlukan  alat penilaian atau evaluasi. Tentu saja dinyatakan bahwa proses pendidikan berhasil bila alumni di lapangan melayani sesuai dengan visi yang sudah dirumuskan oleh tujuan pendidikan. Misalnya bila visi suatu lembaga pendidikan adalah dalam bidang pastoral maka proses pendidikan menghasilkan alumni-alumni yang melayani bidang pastoral. Juga bila visinya adalah missioner (pemberita Injil) maka  alumni dari proses pendidikan tersebut pelayanan bidang pemberitaan Injil. Tetapi, proses pendidikan dinyatakan kurang begitu berhasil bila  antara visi tidak dijawab oleh praktek.

Proses Belajar Mengajar

Proses belajar mengajar terdiri dari pendidik (guru) dan peserta didik (murid).Tentu saja agar pengajaran menjadi efektif, maka perlu dikembangan metode mengajar (ceramah, tanya-jawab, kombinasi keduanya, atau yang lainnya).  Berkaitan hal tersebut, maka  filsafat pendidikan (dalam arti luas) ialah pemikiran-pemikiran fisafati tentang pendidikan, atau filsafat tentang proses pendidikan, atau filsafat tentang disiplin ilmu pendidikan (the philosophy of the discipline of education). Filsafat tentang proses pendidikan bersangkut-paut dengan cita-cita, bentuk, metode, atau hasil dari proses pendidikan.[72]  Secara sejarah,  proses filsafat pendidikan dikembangkan oleh para filsuf seperti Aristoteles, Augustinus dan Locke sebagai bagian dari sistem  filsafat mereka dalam konteks teori-teori etika, politik, epistemologi, dan metafisika yang mereka anut.[73]
Filsafat pendidikan dapat dibedakan menjadi dua bagian adalah filsafat pendidikan praktek dan filsafat ilmu pendidikan. Filsafat pendidikan praktek  adalah analisis kritis dan komprehensif tentang bagaimana seharusnya pendidikan diselenggarakan dan dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Filsafat praktek pendidikan dapat dibedakan menjadi: filsafat proses pendidikan (biasa disebut “filsafat pendidikan”) dan filsafat sosial pendidikan. Filsafat proses pendidikan adalah analisis kritis dan komprehensif tentang  bagaimana seharusnya kegiatan dilaksanakan dalam kehidupan manusia.  Filsafat proses pendidikan biasanya membahas tiga masalah pokok, yaitu: Apakah sebenarnya pendidikan itu? Apakah tujuan pendidikan itu sebenarnya? Bagaimana cara mencapai tujuan pendidikan?[74]


Hubungan Guru-Murid
Istilah “hubungan guru–murid” adalah “interpersonal relationship” atau hubungan pribadi demi pribadi.[75]  Pada pengertian ini, hubungan itu menempatkan guru maupun murid sebagai dua pihak yang menjalin relasi sejajar melalui sesuatu yang dapat mengikat mereka.  Pengikatan hubungan tersebut terjadi melalui periode tertentu. Penopang hubungan guru-murid adalah penggunaan waktunya, demikian keyakinan Howard Mayes.  Hubungan adalah suatu keadaan relasi yang sangat berharga dan yang memerlukan waktu untuk menciptakannya.[76]  Hubungan guru-murid adalah hubungan antara dua pihak oleh karena suatu ikatan, dan memerlukan waktu untuk menumbuhkannya.
Dalam buku Teknik Mengajar, Benson mengemukakan mengatakan bahwa “Faktor yang juga menentukan keberhasilan seorang guru ialah sifat hubungan guru dengan anak didiknya.  Mengajar meliputi hubungan pribadi dan persahabatan yang akrab antara pengajar dan muridnya.  Kasih seorang guru masih dikenang setelah fakta yang diajarkannya sudah lama terlupakan.”[77]
Hubungan pribadi guru-murid adalah bagian penting dari proses pengajaran.  Baik buruknya hubungan antara pembimbing dan yang dibimbing merupakan unsur yang amat penting dalam menentukan berhasil atau tidaknya bimbingan yang diberikan.[78]  Hubungan guru-murid memiliki berperan penting bagi pengajaran.

 

Model–Model Hubungan

Model-Model hubungan berikut ini berdasarkan kesimpulan dari tindakan dan perilaku dari tokoh atau kelompok orang dalam masanya, seperti dikisahkan Alkitab.  Tokoh, orang atau kelompok yang diambil adalah yang menampakkan pola tertentu dalam praktik mengajarnya. 

 

Hubungan Model Perjanjian Lama

Proses pendidikan pada masa Perjanjian Lama memiliki cakupan sangat luas karena menyangkut berbagai aspek kehidupan.  Metode yang digunakan lebih bersifat indoktrinasi yang dilakukan oleh pihak guru, yaitu orang tua, nabi, atau orang yang dipercaya mengajar.  Usaha indoktrinasi dilakukan untuk menjaga iman secara turun-temurun.[79] Edward L. Hayes menyakini bahwa kata “Lamath” adalah yang paling sering digunakan untuk maksud mengajar.  Kata itu sendiri berarti “mengajar”, yang secara harfiah berarti “memukul dengan tongkat”.  Maksud mengajar di sini adalah mendorong murid untuk peniruan atau latihan.[80]  Hubungan guru-murid pada masa itu, dapat disimpulkan dari cara guru mengajar yang otoriter itu.  Tindakan indoktrinasi dan otoriter itu untuk suatu tujuan yang jelas dan benar yaitu menengakkan iman dan pengabdian kepada Allah.[81]  Tepatlah bila hubungan guru-murid pada masa itu disebut model “hubungan otoriter bertujuan”.

 

Hubungan Model Yesus

Yesus sebagai guru telah mengajar berdasarkan otoritas, wibawa atau kuasa.  Orang yang mendengar pengajaran-Nya menjadi takjub, terpukau, dan kemudian memberi respon positif (Matius 7:28-29).  Murid-murid dan orang banyak memanggil Dia sebagai “Rabi”, artinya “Yang Agung” (Matius 26:25,49; Markus 9:5; 11:21; Yohanes 1:38,49; 3:2; 4:31).[82]  J.M. Price dalam buku Yesus Guru Agung juga menyatakan bahwa Yesus menekankan hubungan perseorangan dalam pengajaran-Nya.  Sebagian besar waktu-Nya dihabiskan bersama dengan pribadi-pribadi atau kelompok kecil.  Yesus menaruh simpati, berbicara, memberi makan dan menyembuhkan mereka.[83]  Yesus meneladankan sebuah model hubungan yang baik, berwibawa tetapi bersahabat.  Hubungan yang dikembangkan-Nya adalah “hubungan kewibawaan yang bersahabat”.

Hubungan Model Paulus
Paulus mengajar dengan menggunakan pendekatan dialogis, tanya jawab dan diskusi.[84]  Pendapat itu dilengkapi dengan informasi dari William Barclay bahwa Paulus adalah seorang rabi, yang pada masa kini setara dengan guru besar.  Ia memiliki kemahiran dan kepandaian dalam bidangnya.[85]  Kecakapan Paulus dalam mengajar sangat mengagumkan pendengarnya.  Ia dapat mengelola proses belajar dengan menempatkan dirinya sebagai otoritas namun tidak berlaku secara otoritatif.[86]  Hubungan guru-murid yang dikembangkan oleh Paulus adalah “hubungan kewibawaan yang dialogis”.

 

Hubungan Model Jemaat Mula-Mula

Edward L. Hayes berpendapat, bahwa kehidupan orang Kristen mula-mula menyatu dalam wujud ibadah, persekutuan, dan belajar.[87]  Di antara jemaat ada semangat untuk saling mengajar dalam rangka penumbuhan iman. Paulus, seperti yang dikisahkan dalam Kolose 3:16 dan 1 Korintus 14:26, berperan memberi dorongan agar mereka saling mengajar dalam suasana terbuka, bebas mengemukakan pendapat, serta berdiskusi untuk menanggapi firman Tuhan.[88]  Hubungan guru-murid yang terbentuk dapat dibayangkan melalui suasana belajar mereka.  Hubungan kebersamaan dan saling menumbuhkan” tampaknya dapat ditetapkan sebagai sebutan bagi model hubungan guru-murid yang terjadi pada waktu itu.

 

Penerapan Model Hubungan

Model hubungan guru-murid yang diciptakan oleh seorang guru sesungguhnya tidak ekstrem.  Guru-guru Kristen akan menerapkan unsur hubungan dengan variasi dan kombinasi-kombinasi.  Guru yang berdisiplin, ternyata juga mengusahakan hubungan akrab dengan murid-muridnya.  Sebaliknya, guru yang sangat akrab dengan murid, sesungguhnya memperhatikan disiplin di kelas juga. Ada relatifitas pilihan guru dalam menciptakan hubungan dan gaya kepemimpinan.  Ada titik-titik koordinat yang adalah titik temu antara satu ektrem dengan ekstrem yang lain atau bagian kecil suatu ekstrem dengan bagian besar ekstrem lainnya.[89]  Ada aspek-aspek yang belum diusahakan dengan baik oleh guru bagi hubungan guru-murid yang efektif.  Secara faktual model suatu hubungan tidak diterapkan sepenuhnya oleh guru dalam membina hubungan dengan murid, tetapi secara ideal dan untuk efektivitas pengajaran ternyata guru juga belum mengusahakannya dengan baik.
Hubungan guru-murid yang efektif bagi proses pengajaran ditentukan oleh beragam faktor.  Berdasarkan pendapat-pendapat beberapa ahli pendidikan, hal-hal yang perlu diteliti berkaitan dengan hal ini adalah filsafat guru, kerohanian guru, kepribadian guru, kebijakan pengelolaan pengajaran khususnya pemilihan metode, kebijakan memimpin kelas, hubungan pribadi dengan murid, dan cara berkomunikasi.

 

Faktor Keadaan Diri Guru

Pemahaman tentang keadaan diri guru adalah hal penting yang perlu diteliti berkaitan dengan hubungan guru-murid, sebab guru adalah penentu kualitas hubungan tersebut.  Aspek atau faktor pada diri guru sangat beragam. Ada beberapa aspek di bawah ini yang relevan dengan persoalan ini.

Faktor-Faktor Pendorong

Filsafat pendidikan yang dipahami akan turut memberi dampak terhadap pemikiran tentang kebijakan serta pelaksanaan pendidikan.[90] Pandangan hidup yang dimiliki seorang guru mendasari kualitas guru.[91]  Pandangan hidup guru menjadi titik tolak bagaimana guru akan mengajar dan menjalin hubungan dengan murid.
Guru Kristen perlu termotivasi mengajar oleh karena panggilannya menjadi guru adalah rahmat Allah.  Berdasarkan Efesus 4:11-12 dan Roma 12:7, karunia guru dan keguruan yang diberikan Allah adalah karunia yang sejajar dengan karunia lainnya. Itulah motivasi yang baik bagi seorang guru.  Tugas guru sangat penting, dan tanggung jawabnya berat.  Di dalam pekerjannya ia menghadapi jiwa manusia yang besar nilainya di hadapan Allah.[92]  Motivasi itu akan memberi dorongan yang baik untuk menjalankan tugas pengajaran, termasuk bagaimana membangun hubungan dengan murid sebagai bagian dari proses pengajaran itu sendiri.
Motivasi yang baik harus disertai tujuan yang baik.  Sasaran akhir seluruh upaya mengajarkan iman Kristen mestinya membimbing, menuntun, memberi pengarahan, dan dorongan bagi individu dan kelompok sedemikian rupa sehingga mereka menyadari dan menjalani panggilan hidupnya dalam kerangka menjadi murid Kristus (Mat. 28:19-20).[93]  Tujuan guru yang baik adalah membawa ajaran sehat dan jujur (Tit. 1:9; 2:7), yang berakar di dalam ajaran Kitab Suci (2Tim. 3:16), yang perlu terus ditekuni (2Tes. 2:15; Kol. 2:7).  Tujuan pemuridan adalah tujuan tertinggi yang harus disimak oleh guru dalam menjalankan tugasnya.  Sebab dalam kerangka menjadi murid Yesus-lah individu dan kelompok akan semakin mengenal jati dirinya dan akan semakin mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan perbuatan (Mat. 22:37-39).  Tujuan tertinggi dari setiap kegiatan belajar mengajar yang dikelola haruslah membawa dan mendorong peserta didik untuk lebih banyak belajar mengenal Allah.

 

Iman dan Kerohanian

Iman dan kerohanian seorang guru sangat berperan dalam proses pendidikan dan pengajaran.  Hubungan guru-murid sebagai faktor penting keberhasilan pengajaran, ditentukan juga oleh kualitas iman dan kerohanian guru.[94]  Iman dan kerohanian seorang guru harus sungguh bermutu.
Benson menguraikan kualitas iman itu sebagai kualitas iman kepada Allah, kepada Alkitab dan kepada panggilan Allah.  Iman seorang guru Kristen yang efektif haruslah iman yang aktif, iman yang tergetar akan keajaiban Alkitab dan iman yang sadar secara mendalam akan panggilan mengajar.[95]  Pemikiran itu serupa dengan pendapat Sijabat bahwa kualitas guru memang menyangkut kualitas iman guru itu, yang terdiri atas iman tentang kedududukannya dalam Kristus, tentang panggilan dan tentang penyerahan hidup.[96]  Guru yang dapat menciptakan hubungan efektif dengan murid adalah yang memiliki iman berkualitas.
Seorang guru harus mempunyai pengalaman rohani, demikian dikatakan Homrighausen dan Enklaar.[97]  Ia harus mengenal Tuhan Yesus dan hatinya dijamah oleh Roh Kudus. Tuntutan dasar bagi kerohanian seorang guru adalah sudah dilahirkan kembali.  Kelahiran kembali adalah suatu perubahan menyeluruh secara terpadu dan dramatis yang dapat disamakan dengan kelahiran, kejadian, kembali atau kebangkitan.[98]  Seseorang yang sudah dilahirkan kembali pasti sudah mengalami: pengakuan dosa (Rm. 3:23), kesadaran akan akibat dosa (Rm. 6:23), pertobatan yang benar (Luk. 13 :5), kesadaran akan perlunya Tuhan dan Juru Selamat (Kis. 4:12), dan percaya kepada Tuhan Yesus (Yoh. 1:12-13).  Karena itu, dalam diri seorang guru yang sudah dilahirkan kembali terlihat: imannya nyata (Yak. 2:26), membenci dosa (1Yoh. 3:9; 5:18); mengalahkan keduniawian (1Yoh. 5:4); memiliki pengetahuan yang benar tentang Allah (Kol. 3:10); tampak serupa dengan pribadi Allah (Ef. 4:24; Kol. 3 :10); tampak serupa dengan Kristus (Rm. 8:29; 1Yoh. 3;2); serta menyukai hukum Allah (Rm. 7:22).[99]  Kelahiran kembali adalah faktor kerohanian yang sangat perlu dimiliki guru dalam proses pengajaran.

 

Kepribadian Guru

Benson juga menyebutkan bahwa aspek kepribadian guru turut mempengaruhi hubungan guru tersebut dengan orang-orang lain.[100]  Aspek kepribadian yang sangat penting bagi hubungan guru dengan orang lain, dalam hal ini murid, ditegaskan Benson dengan mengatakan:

“Setiap orang (khususnya murid) yang berhubungan dengan dia (guru) terpengaruh oleh kehidupannya karena kuasa Roh kudus sangat nyata di dalam dirinya.  Setiap guru Kristen perlu bertumbuh menuju kepribadian matang yang seperti Kristus”.[101]

Kepribadian yang matang dapat diawali dengan adanya konsep diri positif dan profesionalisme pada diri guru.[102]  Aspek kepribadian itu bersangkut paut dengan aspek fisik, pikiran, temperamen, dan spiritual.[103]  Sesungguhnya dapat dipahami bahwa kepribadian guru, yakni keberadaan hati, watak, perilaku dan akal budi perlu berkualitas baik.  Hal itu sesuai dengan Firman Tuhan dalam Markus 12:30 agar manusia mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati, jiwa dan akal budi.
Pada segi lain, hati seorang guru seharusnya penuh kasih.  Guru harus mengasihi Allah (Mzm. 97:10), taat kepada Allah (1Yoh. 5:3), bersukacita (Mzm. 5:12), mengasihi murid-muridnya, dan mengasihi firman Tuhan.  Dalam 1 Korintus 13 disebutkan bahwa kasih itu sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak sombong, sopan, tidak egois, tidak pemarah, tidak mendendam, dan tidak suka ketidakadilan.  Pestalozzi yang diakui sebagai pendiri Sekolah Dasar Modern, mengatakan:

“guru harus memiliki kasih yang menjadi dasar bagi hubungan antara orang, ketertiban yang berlaku dalam ruang kelas dan kemampuan mengendalikan diri yang dihargai lebih tinggi ketimbang kepintaran…”[104]

Perilaku guru yang berkualitas tampak dari watak yang baik pula. Guru yang baik dengan karakter dasar apapun akan tampak penuh kasih, pengabdian, bijaksana, dan adil.[105]  Pengabdiannya diberikan dengan semangat kerelaan.[106]  Watak, sifat dan yang tampak dalam perilaku guru yang baik menjadi tanda adanya komitmen penyerahan hidup yang benar.[107]

 

Faktor Kepemimpinan Instruksional

Hubungan guru-murid yang terjadi di kelas ditentukan melalui peranan guru.  Kepemimpinan guru di kelas merupakan bentuk nyata dari peran guru di kelas.

 

Peran Guru

Homrighausen dan Enklaar berpendapat bahwa guru adalah penafsir iman, seorang gembala bagi murid-muridnya, pedoman dan pemimpin, dan seorang penginjil.[108]  Sijabat menambahkan, peranan guru juga sebagai seorang ahli, motivator, fasilitator, pemimpin, komunikator, agen sosialisasi, dan pelajar.  Guru yang memiliki ragam peran dalam proses pengajaran itu pasti tidak akan terpisah dari persoalan interaksi dengan murid.  Pada seluruh peranan tersebut, guru menjadi pusat interaksi dalam menjalankan setiap peranan tersebut.  Tugas dan peran guru penting dan tanggung jawabnya sangat berat, termasuk ketika berinteraksi dengan muridnya.[109]
Tugas dan perannya yang sangat penting membuat guru layak disebut sebagai “Arsitek Jiwa”, demikian Stephen Tong memberikan sebutan bagi guru.  Guru bukan sekedar tukang batu yang sedang membangun rumah.  Guru adalah seorang perancang total yang meliputi segala aspek.[110]  Satu aspek yang penting adalah peran guru sebagai “a center of constantly changing relationship”, demikian dinyatakan Wayne R. Rood, dalam buku The Art of Teaching Christianity.  Guru adalah pusat perubahan dari hubungan-hubungan, termasuk hubungan guru-murid.  Sikap, kebijakan dan perilaku guru di kelas adalah yang menentukan bagaimana hubungannya dengan murid berubah lebih baik atau buruk.[111]  Jelaslah, peran guru sangat penting dalam proses pengajaran, terutama dalam menciptakan keberadaan suatu hubungan guru-murid.

 

Mendisain Pengajaran

Seperti yang dikatakan Sijabat, bahwa filsafat seseorang akan mempengaruhi kebijakan pelaksanaan pengajarannya di kelas.  Karena itu, filsafat dan keyakinan guru menentukan cara guru merencanakan pengajarannya, termasuk dalam memilih metode mengajar.
Guru yang berkomitmen untuk memiliki hubungan baik dengan murid serta mengajar dengan baik akan melakukan perencanaan dan persiapan mengajar dengan baik pula.  Persiapan mengajar adalah hal yang perlu dan baik untuk dilakukan.  John T. Sisemore memberikan alasan tentang perlunya perencanaan, yaitu bahwa Alkitab mengutamakan perencanaan pengajaran yang: terencana (2Tim. 2:15), dan teratur (2Tim. 3:16).  Roh Kudus menghormati perencanaan, karena dapat: menolong guru (1Kor. 2:12), dan memberi kekuatan (Yoh. 14:26).[112]  Perencanaan yang baik membuat guru siap, yakin, kuat dan mantap dalam mengajar.  Keadaan baik dari guru ini membuat proses mengajar berjalan baik, dan murid dilayani dengan baik.  Perencanaan sangat penting dilakukan guru untuk mengawali terciptanya hubungan yang baik.
Perihal pemilihan metode juga menentukan kualitas hubungan guru-murid.  Sijabat menyatakan bahwa pemilihan metode mengajar akan mempengaruhi kualitas interaksi guru-murid.[113]  Pendapat tersebut yang didasarkan juga kepada pendapat ahli lainnya, yakni Lawrense O. Richards dan Jim Wilhoit, menandakan bahwa pemilihan metode mempengaruhi interaksi dan hubungan guru-murid.

 

Kebijakan Pengelolaan Kelas

Guru yang memimpin dan mengelola kelas mempunyai berbagai kebijakan-kebijakan.  Sijabat mengusulkan ada tiga hal penting, yaitu mengaturan lingkungan kelas, pengaturan disiplin yang berhubungan dengan peraturan dan pembinaan motivasi.  Dua di antaranya, yakni penentuan peraturan dan bimbingan motivasi adalah yang menentukan penciptaan hubungan guru-murid.  Sijabat memberikan penegasan bahwa pengelolaan peraturan harus dilakukan dalam suasana hubungan antar pribadi yang tulus dan terbuka.[114]  Sedangkan untuk menimbulkan motivasi yang baik, seorang guru perlu menghargai murid dan membina hubungan persahabatan.  Kecermatan pengambilan kebijakan guru dalam mengelola kelas sangat menentukan keadaan hubungan guru-murid yang terjadi.
Pengelolaan kelas yang didasari persahabatan akan menjadi landasan bagi guru untuk memiliki kebijakan pengelolaan kelas yang tepat.  Benson menekankan, bahwa keterlibatan murid dalam pengajaran adalah penting bagi hubungan yang hangat dan saling menerima antara guru-murid.  Situasi itu akan berguna sekali untuk memecahkan masalah disiplin, dan kelakuan yang berkaitan dengan peraturan dan kebijakan di kelas.[115]  Guru disarankan memelihara situasi agar murid merasa terlindungi, baik hak dan harga dirinya dalam setiap kesempatan interaksi.[116]  Guru juga disarankan mengembangkan suasana humor tanpa  sarkastik terhadap murid.  Guru mengajak murid menertawakan diri sendiri agar merasa aman dan tidak dijadikan lelucon.[117]  Pengelolaan kelas efektif adalah yang melibatkan murid, ada keakraban, dan ada kerjasama guru-murid.
Kerjasama dan keakraban dengan murid-murid di kelas dapat mendukung suasana nyaman dalam belajar.  Guru dan murid yang dapat mengusahakan suasana demikian telah menciptakan pola saling membangun, seperti yang dikatakan dalam Roma 14:19, “Sebab itu marilah kita mengejar apa yang mendatangkan damai sejahtera dan yang berguna untuk saling membangun.”  Situasi kelas, di mana guru dan murid-murid saling bekerjasama dan bersahabat merupakan simpul hubungan guru-murid yang efektif.

 

Berkomunikasi di Kelas

Hukum penting dalam pengajaran yang dinamis adalah komunikasi yang jernih.  Hukum yang berdasarkan 1 Korintus 2:4; 14:9 itu menuntut guru untuk menggunakan kata dan konsep yang mudah dipahami.  Agar komunikasi dapat jernih disarankan guru menurunkan ketegangan, membuang istilah–istilah, menggunakan kata yang jelas dan menggunakan bermacam pendekatan indera.[118]  Cara berkomunikasi sangat perlu diatur oleh guru supaya proses pengajaran dan interaksi guru-murid lebih lancar.

Kualitas isi perkataan guru adalah penting.  Guru harus tahu bahwa perkataan yang diucapkannya senantiasa “memiliki kuasa” apakah untuk membangun atau sebaliknya meruntuhkan semangat.  Menurut Efesus 4:29 “Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu supaya mereka yang mendengarnya beroleh kasih karunia.”  Guru harus belajar menetapkan sikapnya agar senantiasa dapat mengeluarkan perkataan yang membangun dan memberi harapan.[119]  Pengendalian kualitas isi komunikasi bicara sangat mendukung kualitas hubungan dengan muridnya.
Guru yang baik, saat mengajar matanya melihat seluruh pendengar, dan menggunakan sorotan mata untuk bisa menguasai setiap pendengar, sehingga jiwa-jiwa itu terpaku kepadanya.[120]  John M.Gregory, menyatakan, “gerakan tangan seorang penceramah, cahaya mukanya yang tersenyum dan penuh semangat,..sering kali lebih banyak menarik perhatian pendengar daripada isinya.”[121] Pengaturan ekspresi wajah berperan penting dalam komunikasi antara guru-murid.  Pandangan mata, dan cahaya muka turut menentukan efektivitas komunikasi tanpa bahasa.  Gerakan tangan, kaki dan keseluruhan badan akan melengkapi peran komunikasi non-verbal selama proses pengajaran.
Ekspresi wajah yang baik memang diharapkan ada pada seorang guru.  Penulis kitab Pengkotbah menyatakan, “..Hikmat manusia menjadikan wajahnya bercahaya dan berubahlah kekerasan wajahnya.” (Pkh. 8:1).  Ini menguatkan keyakinan bahwa guru yang wajahnya berseri bercahaya menandakan pada dirinya terdapat hikmat.  Sedangkan guru yang berhikmat mengasihi murid dan selalu mengusahakan hubungan yang baik dengan murid.

 

Faktor Kepemimpinan Edukasional

Kepemimpinan guru kepada murid adalah praktek guru sebagai pemimpin yang berperan menciptakan hubungan-hubungan yang bersifat pribadi atau perseorangan kepada setiap murid.  Seorang guru perlu mengenal, menjalin hubungan, membimbing dan memimpin murid secara perorangan.  Hubungan guru-murid secara perorangan ini setidaknya berkaitan dengan hubungan pribadi guru-murid, serta bagaimana penerapkan disiplin dan penghargaan.[122]

 

Hubungan Pribadi Guru-Murid

Hubungan pribadi guru-murid perlu ditumbuhkan. Jika setiap murid dipandang sebagai oknum pribadi demi pribadi maka dengan sendirinya guru telah menyatakan kehangatan “interpersonal-relationship”.  Di dalamnya ada keprihatinan, kesabaran, kehangatan, perhatian, dan ketekunan yang sungguh-sungguh.[123]  Hubungan guru-murid memang meliputi usaha guru memiliki hubungan pribadi yang akrab dengan murid.[124]  Pendapat tersebut diatas berdasarkan refleksi hubungan Tuhan Allah dengan manusia yang diikat oleh karena ikatan yang unggul, yakni kasih.
Menurut Edward dan F. Simpson, salah satu dari sepuluh hukum mengajar adalah terjalinnya “Relationship of love”, yakni “hubungan dalam kasih” antara pribadi guru dan murid.  Pendapat mereka berdasarkan Galatia 5:22, yang mendorong guru untuk menyatakan kasih kepada muridnya.[125]  Kasih perlu melandasi guru dalam berkomunikasi antar pribadi dengan murid.  Hubungan pribadi yang didasari kasih jika dijalankan dengan benar akan menghasilkan ikatan dan kontak yang sangat dalam. Stepen Tong menyebutnya sebagai kontak dari jiwa ke jiwa, dari hati ke hati, dari pikiran ke pikiran, dari emosi ke emosi.[126]  Sebuah hubungan pribadi yang mendalam seperti Paulus menyebut Timotius sebagai “anakku yang terkasih” (2Tim. 1:2).  Hubungan pribadi yang begitu dalam pasti memberi jaminan kualitas hubungan guru-murid.
Hubungan pribadi guru-murid adalah interaksi antar pribadi yang nyata dalam hal praktis.  Guru harus mengetahui perkembangan jiwa murid dan masalah pribadi mereka.  Mengerti guru-murid adalah syarat utama dalam komunikasi timbal-balik.  Komunikasi yang baik dapat membuat penyaluran pengetahuan menjadi lebih efektif.[127] Hubungan pribadi yang semakin akrab antara guru dan murid turut membangun komunikasi yang baik.  Interaksi positif antar pribadi akan menciptakan hubungan guru-murid yang baik.

 

Penerapan Disiplin, Kebebasan, dan Penghargaan

Guru harus terlibat dalam tugas kedisiplinan, seperti yang diteladankan Allah kepada manusia dalam Ibrani 12:5-10.[128]  Kedisiplinan yang dimaksud di sini meliputi penetapan dan penegakan peraturan, bimbingan untuk pencapaian tugas belajar, teguran-teguran, dan hukuman-hukuman.  Pelaksanaannya perlu bijaksana, tetapi tetap terjaga dan efektif.  Jika seorang guru memiliki kasih yang berlimpah, namun tidak memiliki ketegasan dan keadilan, keberanian dan wibawa untuk menghadapi dosa, ia akan menjadi guru yang tidak berotoritas.[129]  Kedisiplinan bukan suatu pilihan bagi guru, tetapi tugas yang harus dilakukannya agar hubungan dengan murid terjaga, sehingga proses pengajaran berjalan baik.
Ada segi lainnya yang perlu mendasari dan menjadi penyeimbang dalam pelaksanaan pengajaran, khususnya dalam membina hubungan, yakni kasih.  Stephen Tong menyatakan:

“guru yang memiliki keadilan, kekerasan, disiplin yang kuat sekali, tanpa mempunyai cinta kasih, akhirnya akan menjadikan dia seorang yang kejam dan tidak berperikemanusiaan yang cukup, dan akan lebih banyak menyakiti daripada membangun, lebih banyak meruntuhkan daripada mendirikan, dan mendatangkan rendah diri (inferiority) yang hebat lebih daripada memberikan keyakinan diri (confidence) orang yang dididik.”[130]

Kasih hraus mendasari dan menjadi fokus penting.  Jika murid menanggapi dengan kurang tepat, sikap guru yang baik hanyalah “menghargai”-nya.  Selajalan dengan Roma 14:1-2, guru hendaknya memberi penghargaan dulu kepada murid yang telah berpendapat, lalu guru mengoreksi secara positif untuk membimbing kepada usulan perbaikan pemikiran.[131]  Pemberian penghargaan kepada murid adalah tindakan positif yang dapat mendukung hubungan yang efektif.
Selain penghargaan dalam bentuk tindakan, penghargaan dalam bentuk pujian perlu dilakukan pula.  Murid yang memang patut memperoleh pujian dapat diberikan hadiah, ucapan, kata-kata atau nilai yang membangun semangat.  Penghargaan-penghargaan itu dapat turut membangun semangat murid dalam belajar.  Tindakan itu sejalan dengan firman Tuhan, “Kita yang kuat, wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan jangan kita mencari kesenangan kita sendiri.  Setiap orang di antara kita harus mencari kesenangan sesama kita demi kebaikan untuk membangunnya” (Rm. 15:1-2). Pemberian pujian kepada murid adalah untuk kebaikan murid, kelas, dan juga untuk membangun hubungan guru-murid yang baik
Kedisiplinan adalah hal penting, demikian juga penerapan kasih.  Agar dapat menerapkan dengan tepat, sifat dasar dari Allah adalah rujukannya. Allah adalah adil dan disiplin, tetapi juga penuh dengan cinta kasih.  Kedua sifat itu harus diseimbangkan dan diharmoniskan di dalam jiwa seorang guru.  Kekerasan dan ketegasan dari Allah diharmoniskan dengan cinta kasih dan kelembutan Allah di dalam diri seorang guru, sehingga ia mempunyai otoritas yang luar biasa.[132]  Firman Tuhan di dalam Amsal 23:13 dan Amsal 13:24, memang mengijinkan pendidikan secara keras tetapi, bagian lain firman Tuhan berkata: “..janganlah bangkitkan amarah anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan” (Ef. 6:4).  Kebijaksanaan dan keseimbangan dalam menerapkan disiplin dan kasih sangat diharapkan untuk dilakukan oleh seorang guru.
Secara praktis konsep teologis itu menganjurkan guru untuk selalu membina persahabatan dengan murid tanpa mengorbankan tujuan disiplin.[133]  Guru hendaknya tidak melemahkan disiplin terhadap murid karena persahabatan, atau menjaga jarak untuk melemahkan persahabatan demi disiplin.  Guru hendaknya lebih pandai dalam membawa diri agar dapat menghadapi tugas yang menuntut pencapaian tujuan, namun sekaligus membina persahabatan yang terbuka dan tegas.


Metode Mengajar

Kata “mengajar”  (verb) berarti “memberi pelajaran (guru – murid), melatih, memarahi (memukuli, menghukum, dsb) supaya jera.[134] : ia – berenang. Mengajar adalah peristiwa bertujuan, terarah pada tujuan dan dilaksanakan khusus untuk mencapai tujuan itu. Apabila yang dituju atau yang akan dicapai titik C, maka dengan sendirinya proses mengajar belum dapat dianggap selesai apabila yang dicapai di dalam kenyataan barulah titik A atau B.[135]  Dengan demikian, taraf pencapaian tujuan pengajaran merupakan petujuk praktis tentang sejauh manakah interaksi edukatif itu harus di bawa untuk mencapai tujuan yang terakhir. Linda J. Vogel mengatakan bahwa mengajar memberi kuliah atau berceramah.[136]

Kekuatan dan Kelemahan
Kekuatan mengajar ditentukan oleh tiga faktor sebagai berikut:  Pertama, gaya pribadi si pengajar dan bentuk  pengajaran yang digunakan. Kedua, mata kuliah atau mata pelajaran yang diajarkan. Ketiga, keterampilan mengajar yang digunakan. Faktor pertama dan kedua merupakan hal yang sudah  pasti serta tak bisa diubah. Artinya, hal tersebut sudah jelas, pasti pada saat memilih seorang pengajar tertentu untuk suatu vak tertentu.  Tetapi, faktor ketiga, yaitu keterampilan mengajar merupakan  hal yang bisa diubah atau diperbaiki dengan cara: persiapan jam pelajaran atau jam kuliah, pelaksanaan, dan umpan balik.[137] Tetapi sebaliknya, bila mengajar akan menjadi lemah kalau tidak memperhatikan ketiga faktor tersebut.

Guru yang Terbaik dan Guru yang Terjelek
Tiga guru yang terbaik sebagai berikut: pertama, guru secara aktif harus dapat menterjemahkan sendiri jiwa tujuan umum dalam bentuk-bentuk yang khusus, yang dikaitkan dengan tujuan akhir. Tujuan akhir adalah agar dengan pengetahuan membaca itu anak-anak dapat mendalami tata susila, ilmu kebijaksanaan di dalam berbagai hasil kebudayaan (buku dan lain-lain). Kedua, setiap guru bertolak dari suatu filsafat. Artinya, seorang guru mendapat kepercayaan dan kehormatan mengajar, kepadanya juga dipercayakan kemampuan untuk mengambil keputusan yang bersifat normative; keputusan-keputusan dipandang sebagai “penjelmaan filsafat hidup” yang dianutnya. Filsafat guru berwujud dalam perumusan tujuan pendidikan. Tujuan pendididikan memberi arah yang umum pada filsafat yang mendasari segala kegiatan pendidikan. Ketiga, metode guru mengajar berpedoman pada tujuan pendidikan artinya memilih metoda  yang wajar harus antara lain berpedoman pada tujuan khusus yang akan dicapainya. Hakekat tujuan inilah yang dipakai oleh guru sebagai petunjuk untuk memilih satu atau serangkaian metoda yang efektif.[138]
Tiga guru yang terjelek sebagai berikut: bila guru itu tidak cakap dan  tidak mempunyai filosofi pengetahuan dasar sebagai seorang guru di mana guru: tidak mengenal setiap muridnya yang dipercayakan kepadanya,  tidak memiliki kecakapan memberi bimbingan,  tidak memiliki dasar pengetahuan yang luas tentang tujuan pendidikan, dan ia tidak memiliki pengetahuan yang bulat dan baru mengenal ilmu yang diajarkan.[139]

Belajar
            Gage mengatakan bahwa belajar sebagai suatu proses dimana suatu organisma berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman.[140] Pengertian belajar mengandung makna adanya perubahan perilaku, perilaku terbuka, belajar dan pengalaman, belajar dan kematangan. Selanjutnya, perubahan perilaku yang ada pada anak didik setelah belajar merupakan hasil yang harus dicapai dalam pendidikan. Perubahan yang menyeluruh dalam segala aspek belajar, misalnya aspek pengetahuan (kognitif) harus ada perubahan dari yang belum tahu menjadi tahu. Perubahan aspek sikap (afektif), anak didik setelah belajar ada perubahan dari yang tidak baik menjadi baik, buruk menjadi baik. Hal tersebut misalnya seorang jahat menjadi orang yang jujur atau ramah dan suka menolong. Selanjutnya menurut Gage juga mengatakan bahwa anak didik dalam belajar ada perubahan secara aspek ketrampilan (Psikomotor).  Aspek ketrampilan ini diharapkan anak didik setelah belajar dari tidak trampil menjadi trampil.
            Berkaitan di atas, Muhahibin mengatakan bahwa pendidikan adalah belajar menekankan tercapainya pemahaman yang lebih luas dan mendalam terhadap apa yang dipelajari. [141]   Jadi, belajar semata-mata mengumpulkan atau menghafalkan yang tersaji dalam bentuk informasi atau materi pelajaran.
            Skinner berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif.  Timbulnya tingkah laku itu lantaran adanya hubungan antara “stimulus” atau “rangsangan” (S) dengan “respon” atau “tanggapan, reaksi” ( R ). Berkaitan dengan sebelumnya, maka Caplin berpendapat belajar sebagai pusat latihan dan pengalaman. Begitu juga Hintsman menekankan adanya belajar apabila mempengaruhi organisme lain (manusia lain), sedang Wittig berpendapat belajar lebih bersifat perubahan yang reltif tetap yang terjadi dalam segala macam atau keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil pengalaman.[142] Jadi,  belajar berarti perubahan semua aspek tingkah laku, yang didapatkan dari latihan dan pengalaman.

Belajar Imitasi dan Observasi
            Prosedur lain yang juga penting dan menjadi bagian yang integral (menyatu) dengan prosedur-prosedur belajar menurut teori social learning, ialah proses imitasi atau peniruan.  Dalam hal ini, seorang guru dan orang tua harus menjadi “model”, figur atau tokoh yang dijadikan contoh perilaku sosial yang sangat mempengaruhi kehidupan yang merupakan hasil belajar anak.

Rate Penerimaan Belajar
Penerimaan Belajar dan Penemuan Belajar

Klasifikasi Perubahan dalam Belajar
            Jika dalam mengajar dipahami sebagai upaya menciptakan terjadinya peristiwa belajar, sudah tentu kegiatan belajar mengajar merupakan perbuatan yang tidak terpisahkan satu sama lain.  Karena itu konsep mengajar harus terlebih dahulu kita tinjau dari segi pengertian belajar.  Belajar dapat diartikan sebagai proses perubahan yang dialami seseorang, yang melibatkan salah satu atau keseluruhan dimensi kepribadiannya. 
Menurut  Sidjabat perubahan dalam belajar harus mencakup tiga aspek belajar. Tiga aspek belajar yang dimaksud yaitu aspek kognitif (pengetahuan), aspek afektif (sikap), dan aspek psikomotor (ketrampilan).  Anak belajar ada perubahan dari belum tahu menjadi tahu (perubahan pengetahuan), perubahan belajar dari perilaku yang buruk berubah menjadi perilaku yang baik (perubahan sikap), dan perubahan belajar dari  tidak bisa menjadi bisa (mampu) ada perubahan ketrampilan.[143]
            Jadi dalam proses belajar maka seharusnyalah terjadi perubahan setelah belajar. Perubahan dapat terjadi dari segi intelek atau kemampuan berpikir.  Perubahan dapat pula terjadi dengan melibatkan segi rohani, emosi,tingkah laku, ketrampilan dan segi-segi fisik.  Perubahan sebagai hasil peristiwa belajar senantiasa menghasilkan hal-hal dn keadaan baru dalam diri peserta didik.


Klasifikasi dan Definisi Empat bidang Hasil Belajar
Empat hasil belajar sebagai berikut: pertama, pengetahuan, yaitu dalam bentuk bahan informasi, fakta, gagasan, keyakinan, prosedur, hukum, kaidah, standar dan konsep lainnya. Kedua, kemampuan, yaitu dalam bentuk kemampuan untuk menganalisis, mereproduksi, mencipta, mengatur, merangkumkan, membuat generalisasi, berpikir rasional dan menyesuaikan. Ketiga, kebiasaan dan keterampilan, yaitu dalam  bentuk kebiasaan perilaku dan keterampilan dalam menggunakan semua kemampuan. Keempat, sikap, yaitu dalam bentuk apresiasi, minat, pertimbangan dan selera.[144] 

Kesiapan untuk Belajar
Arti Kesiapan untuk Belajar
Hasil studi terakhir  menunjukkan bahwa orang dewasa mempunyai masa kesiapan untuk belajar dibandingkan dengan anak-anak. Masa ini sebagai akibat dari peranan sosialnya. Berkaitan hal tersebut, maka  Robert J. Havighurst membagi masa dewasa itu atas beberapa fase dan  mengidentifikasikan 10 peranan sosial dalam masa dewasa. Ketiga fase masa dewasa itu adalah masa dewasa pertengahan umur antara 30-45 tahun dan masa dewasa akhir berumur 55 tahun lebih. Sedangkan kesepuluh peran sosial pada masa dewasa adalah sebagai: pekerja, kawan, orangtua kepala rumah tangga, anak dari orang tua yang sudah berumur, warga negara, anggota organisasi, kawan sekerja, anggota keagamaan dan pemakai waktu luang.  Melengkapi hal tersebut, maka Havighurst mengatakan bahwa, penampilan orang dewasa dalam melaksanakan peranan sosialnya berubah sejalan dengan perubahan dari ketiga fase masa dewasa itu, sehingga hal ini mengakibatkan pula perubahan dalam kesiapan belajar.[145]
Kesiapan belajar bagi orang dewasa dengan anak-anak berbeda. Anak-anak cenderung mempunyai perspektif untuk menunda aplikasi apa yang ia pelajari. Bagi anak-anak, pendidikan dipandang sebagai suatu proses  penumpukan pengetahuan dan keterampilan, yang nantinya diharapkan akan dapat bermanfaat dalam kehidupannya kelas. Sebaliknya, bagi orang dewasa, mereka cenderung untuk mempunyai perspektif untuk secepatnya mengaplikasikan apa yang mereka pelajari. Mereka terlibat dalam kegiatan belajar, sebagian besar karena adanya respon terhadap apa yang dirasakan dalam kehidupannya sekarang. Karenanya, pendidikan bagi orang dewasa dipandang sebagai suatu proses untuk meningkatkan kemampuannya dalam memecahkan masalah hidup yang ia hadapi.[146]

Praktek yang Bertentangan dengan Maksud Kesiapan belajar
            Praktek yang bertentangan dengan maksud kesiapan belajar sebagai berikut:
Pertama, para pendidik orang dewasa dianggap berperan sebagai seorang guru yang mengajarkan mata pelajaran tertentu. Memang  kesehariannya begitu, tetapi fungsi pendidik sebenarnya bukan begitu, melainkan  pendidik berperan sebagai pemberi bantuan kepada orang yang belajar. Akibatnya, tingkat belajar menjadi tinggi bila pendidik dapat memuaskan kebutuhannya.  Kedua, peserta didik belajar dengan materi yang tidak dibutuhkan dalam perencanaan hidupnya atau kebutuhan untuk ingin menjadi ahli (salah jurusan). Akibatnya, kesiapan belajar jadi merosot dan belajar tidak secara maksimal. Ketiga, pendapat E.L. Thorndike yang mengatakan bahwa kemampunan  untuk belajar seseorang menurun secara perlahan sesudah umur 20 tahun. Memang hal itu tidak salah tetapi banyak orang salah mengartikan “kemampuan belajar yang menurun” dianggap sebagai kekuatan inteleknya tidak (kurang) mampu belajar. Irving Lorge  meneliti hal tersebut dan hasilnya bahwa “menurunya itu” hanya dalam kecepatan belajarnya dan bukan dalam kekuatan inteleknya.[147]


Mengevaluasi Variabel Anak Didik yang Menentukan Kesiapannya
Belajar  sebagai proses perubahan tingkah laku merupakan proses yang terjadi di dalam satu situasi, bukan di dalam satu ruang hampa. Situasi belajar ditandai dengan adanya motif-motif yang  ditetapkan atau diterima oleh murid.[148] Kesulitan yang ada pada umumnya dihadapi oleh orang yang belajar adalah tidak cukupnya pengetahuan mereka mengenai cara-cara belajar.
 Dalam proses belajar murid memerlukan kesiapan. Beberapa faktor yang mempengaruhi kesiapan belajar adalah: pertama,  kurang dapat memusatkan perhatian kepada pelajaran yang sedang dihadapi. Kedua, tidak dapat menguasai kaidah yang berkaitan sehingga tidak dapat memahami pelajaran. Ketiga, lambat membaca sehingga tidak dapat membaca bahan yang seharusnya dibaca.[149] Karena itu, perlunya motivasi dalam diri murid untuk belajar. Motivasi belajar adalah jantung kegiatan belajar dan  suatu pendorong yang membuat seseorang belajar.[150] Jadi, keras tidaknya usaha belajar  dilakukan seseorang bergantung kepada besar tidaknya motivasi belajar.
Evaluasi akhir terhadap anak didik adalah apabila usaha murid telah menghasilkan pola tingkah laku yang dituju semula di mana proses belajar dapat dikatakan mencapai titik akhir sementara.  Hasil utama adalah “tambahan“ perubahan tingkah laku. Dengan demikian, akhirnya terdapat satu kesatuan yang menyeluruh (kebulatan tingkah laku).[151] 

Hubungan Guru dengan Anak Didik
Hubungan antara keberhasilan pengajaran dan sifat Guru dalam Domain Kognitif. Seorang pendidik harus banyak membaca dan selalu mengikuti perkembangan informasi yang terjadi dalam masyarakat. Keterbukaan seorang guru dalam menerima segala informasi dari luar sangat mempengaruhi pengetahuan seorang anak didik yang diajar. Dengan demikian, maka:

1.      Guru dihadapan siswa sebagai sumber informasi. Dengan banyaknya pengetahuan dan wawasan guru, maka keberhasilan dalam mengajar dapat dirasakan bagi siswa yang diajar.[152] 
2.      Hubungan antara keberhasilan pengajaran dan sifat dalam Domain Affektif. Seorang guru harus menjadi teladan hidup bagi anak didiknya.  Sikap guru yang baik akan sangat menolong siswa berinteraksi  dengan baik kepada gurunya. Seorang guru harus menjaga hubungan yang harmonis dengan anak didiknya. Dengan menjaga hubungan baik, maka anak didik merasa tenang dan nyaman. Dengan demikian proses belajar pun akan berjalan dengan lancar.  Sebaliknya jika seorang guru memiliki karakter yang kurang baik, interaksi dengan anak didik pun merasa tidak harmonis sehingga menimbulkan ketidaktenangan.[153]
3.      Guru yang memiliki sifat otoriter, yaitu seorang guru  menyampaikan materi dalam proses belajar mengajar memiliki sifat menguasa kepada anak didik. Siswa harus mengikuti apa yang guru kehendaki. Siswa tidak ada kesempatan untuk bertanya atau memberikan usulan saat terjadi proses belajar mengajar. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman seorang guru dalam mengajar tidak memperhatikan pentingnya mengembangkan keaktifan siswa. Dengan demikian secara tidak langsung membentuk anak didik menjadi seorang yang berjiwa melawan atau menentang.
4.      Proses pembelajaran guru memberi kesempatan kepada anak didik untuk bersama-sama menciptakan suasana kekeluargaan dan suasana demokratis. Guru dan siswa saling menghargai satu dengan yang lain. Dengan demikian proses belajar dapat berjalan dengan baik sesuai yang diharapakan dalam tujuan pembelajaran.
           
Dengan uraian di atas, maka dapat dilihat bahwa seorang guru wajib memberi kesempatan kepada siswa untuk berhasil dan guru pun sangat membuka diri untuk menerima masukan-masukan dari siswa jika hal itu dirasa perlu. 


Bagaimana Belajar itu Terjadi?


Definisi “Piramid Pengalaman Belajar”
“Kerucut Pengalaman” belajar dari Edgar Dale memperhatikan hubungan bahan dan sarana belajar sebagai berikut: Pertama, buku teks. Buku merupakan modal dalam belajar. Buku merupakan sumber belajar apabila oleh peserta dipergunaan untuk memperoleh informasi yang diperlukan. Pengajaran yang berpusat pada buku-buku teks biasanya peserta disuruh membaca buku itu, selanjutnya mengulang isinya dan yang terakhir mengevaluasi apa yang telah diperoleh dari buku tersebut. Kedua, bahan belajar yang dibuat sendiri oleh fasilitator. Apabila buku teks tidak ada untuk keperluan kegiatan belajar, maka fasilitator dapat membuat sendiri bahan belajar tersebut sesuai dengan kebutuhan peserta selanjutnya didistribusikan kepada peserta. Ketiga, alat pandang dengar. Dalam menggunakan alat pandang dengar, ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan, di antaranya: (1) perencanaan pemakaian alat pandang dengar harus direncanakan oleh fasilitator dan perseta sesuai dengan teknik dan isi satuan pelajaran. (2) seleksi alat pandang, (3) mempersiapkan peralatan, (4) mempersiapkan peserta, (5) meringkaskan informasi, dan (6) mendiskusikan informasi.[154]
Contoh pengalaman yang dinyatakan “Pyramid Pengalaman Belajar”.  Dalam belajar melibatkan keseluruhan dimensi dari individu karena manusia adalah makhluk utuh yang memiliki dimensi: lahiriah, jasmaniah, pribadi dan sosial.  Setiap individu memiliki pancaindra. Karena alasan itulah proses belajar yang baik melibatkan keseluruhan panca indera semaksimal mungkin.
            Melibatkan pancaindera dalam kegiatan belajar:

1. Dengar-à  2. Lihat-à 3. Bicara-à 4.Berbuat-à dan 5. Berbicara dan Berbuat[155]
           
Belajar harus mengaktifkan pendengaran, penglihatan, perasaan, penciuman, perabaan dan pengalaman bahkan gerak. Berkaitan hal itu, maka  H.R Mill dalam piramid belajar, mengatakan dari segi pengembangan pengetahuan bahwa seseorang untuk memperoleh pengetahuan biasanya seseorang lebih banyak belajar melalui: penglihatan (75%) daripada pendengaran (25%). Selanjutnya pandangan belajar dari segi pengembangan ketrampilan, yaitu: seseorang meningkatkan ketrampilan, maka seseorang belajar melalui praktek (65%) daripada penglihatan (25%) dan pendengaran (10%).[156]  
           
Berkaitan dengan  pemahaman belajar, maka David Kolb  mengatakan bahwa  ada  empat Styles of Learning Inventory (pengalaman belajar)[157] sebagai berikut:  Pertama, “tipe converger”, yaitu belajar melalui proses konseptualisasi abstrak (berpikir) dan eksperimentasi (berbuat). Kedua, tipe diverger, yaitu belajar melalui pengalaman-pengalamaan konkret (perasaan) dan observasi reflektif (pengamatan). Dengan tipe ini anak didik lebih didominasi oleh intuisi, perasaan, dan sensitivitas. Ketiga, tipe assimilator, belajar melalui konseptualisasi abstrak (kuat dalam berpikir) dengan observasi reflektif (pengamatan).  Keempat, tipe accomodator yaitu belajar melalui pengalaman konkret (perasaan dan ekperimental aktif (berbuat).

Murid (Peserta Didik)
Mengenal peserta didik berarti perlu mengenal sifat-sifat positif maupun negatif anak didik sebagai berikut:
Sifat-sifat Positif Anak Didik

Sifat Anak Didik
Berkembang Inteligensinya
            Inteligensi merupakan sifat dasar anak didik yang sifatnya berkembang. Oleh karena itu, maka pendidikan memberikan kesempatan kepada anak didik untuk intelektualnya berkembang secara maksimal. Ada beberapa tokoh psikologi yang mendefinisikan  inteligensi  sebagai berikut: (1) Terma: Inteligensi adalah kemampuan untuk melakukan berpikir abstrak. Dengan memanipulasi simbol-simbol, terutama kata-kata. Tindakan yang intelligent meliputi: pengarahan, penyesuaian dan kritik terhadap diri sendiri dalam adaptasi mental.  (2) Thorndike: Inteligensi adalah kemampuan melakukan respons yang baik dan diperlihatkannya dengan kecakapannya untuk berhubungan secara efektif dengan situasi-situasi yang baru, baik situasi abstrak, mekanis maupun sosial. (3) Stoddart: Inteligensi adalah kemampuan untuk memahami masalah-masalah yang ditandai dengan adanya: (a) kesulitan, (b) kompleksitas, (c) keabstrakan, (d) ekonomi, (e) kesesuaian terhadap tujuan, (f) nilai sosal, dan (g) originalitas. (4) Wechsler: Inteligensi adalah kecakapan global dari individu  untuk bertindak secara bertujuan, berpikir secara rasional dan berhubungan dengan lingkungan secara efektif.
            Dari uraian definisi di atas maka  dapat disimpulkan bahwa Inteligensi adalah kemampuan untuk memudahkan penyesuaian secara tepat terhadap berbagai segi dari keseluruhan lingkungan seseorang.

Fungsi Intelingensi
Fungsi inteligensi adalah: 
1.      untuk memahami situasi-situasi yang beraneka ragam,
2.      untuk belajar memahami dan membandingkan fakta-fakta yang luas, halus, abstrak dengan cepat dan tepat,
3.      memusatkan proses mental terhadap masalah-masalah
4.      menunjukkan fleksibelitas dan kecerdikan dalam upaya mencari cara-cara penyelesaian

Pertumbuhan
Secara teoritis pertumbuhan atau perkembangan intelektual berhenti pada usia 20 atau 25  tahun. Bagi orang yang lebih inteligen pertumbuhan berlangsung lebih cepat dan terus berlangsung dalam waktu yang lebih lama. Sebaliknya orang yang kurang inteligen berkembang lebih lambat dan pertumbuhan ini akan berhenti lebih awal.
Berbeda dengan kemampuan mental. Menurut Wechsler, kemajuan kemampuan mental seseorang bisa berlangsung hingga usia 30 tahun dan sedikit menurun sampai usia 60 tahun. Menurut Hereditas, bahwa potensi untuk perkembangan inteligensi diwariskan melalui orang tua.
            Menurut Bernard, berdasarkan hasil penelitiannya dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang menunjang perkembangan intelektual yang optimal adalah: (a) Orang tua yang menaruh minat terhadap anak-anak: menyediakan waktu untuk bercengkerama dengan mereka, menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. (b) Faktor-faktor cinta dan kasih sayang, penerimaann terhadap anak, perlakuan konsisten yang menunjang kesehatan mental. (c) Meninjau tempat-tempat penting seperti museum, kebun binatang, perpustakaan, konser, teater dan taman.
            Salah satu bukti bahwa inteligensi anak didik  berkembang dapat kita ketahui di sekolah bahwa di antara mereka ada:  anak yang cerdas dan ada anak yang lamban.
 Bagi anak yang cerdas, ciri-cirinya: ia mempunyai energi yang lebih besar, dorongan ingin tahu lebih besar, sikap sosialnya lebih baik, aktif, lebih mampu melakukan abstraksi, lebih cepat dan lebih jelas menghayati hubungan-hubungan bekerja atas dasar rencana dan inisiatif sendiri, suka menyelidiki sesuatu yang baru dan lebih luas, lebih mantap dengan tugas-tugas rutin yang sederhana, lebih cepat mempelajari proses-proses mekanis, tidak menyukai tugas-tugas yang belum dimengertti, tidak suka menggunakan  cara hafalan dengan ingatan, malas mempelajari  hal-hal yang tidak menarik minatnya. Selain itu, ia dapat menempatkan dan mengatur bahan-bahan, menemukan dan merumuskan hubungan-hubungan dan kesimpulan-kesimpulan, membaca bahan-bahan yang lebih sulit. Ia dapat membantu anak-anak yang lebih rendah. Ia dapat diberi tugas yang lebih luas dan lebih rumit.
            Bagi anak yang lamban, ciri-cirinya: ia belajar dalam unit-unit yang lebih sempit, kemajuannya ingin sering diperiksa, perlu banyak perbaikan, perbendaharaan kata lebih terbatas,  memerlukan banyak kata baru untuk memperjelas pengertian, sulit membuat kesimpulan-kesimpulan, tidak mudah mengerti, kurang memiliki kreatifitas dan perencanaan, ia lamban menguasai ketrampilan mekanis dan metodis, lebih mudah mengerjakan tugas-tugas rutin, cepat mengambil kesimpulan tetapi kurang kritis dan mudah puas dengan jawaban yang dangkal. Ia kurang senang dengan kemajuan orang lain,  mudah marah, kurang percaya diri, lebih berminat terhadap kehidupan di luar sekolah.

Berkembang Emosi
            Emosi adalah  sifat dasar anak didik yang bisa berkembang. Emosi merupakan gejolak atau goncangan perasaan di dalam organisme, atau pengalaman afektif yang mengiringi suasana bergejolak  dalam organisme. Emosi yang negatif dapat berupa kebencian dan teror yang berakhir pada perkelahian, tetapi emosi yang positif dapat berupa: kasih sayang dan perhatian, cinta dan ambisi.
            Implikasinya adalah bahwa para siswa harus ditolong untuk dapat mengontrol emosinya agar berkembang ke arah hal-hal yang positif dan konstruktif. Sedangkan bahwa dalam  hubungannya dengan emosi anak didik, guru hendaknya mempelajari keadaan rumah atau masyarakat sekitar tempat  tinggal  anak-anak. Adanya masalah dalam keluarga atau masyarakat tempat ia bergaul akan berpengaruh terhadap emosi anak. Dengan demikian, maka secara mental akan tampak kurang berminat untuk belajar.  Menurut Beatty, bimbingan dalam pengenalan dan penanganan masalah emosi ini: apabila dintegrasikan kedalam transaksi belajar-mengajar, akan memperbaiki cara-cara anak menyesuaikan diri dan akan mendorong kemajuan dalam bidang akademis.
            Ada beberapa sumber emosi  sebagai berikut: (1) sumber emosi yang negatif perlu diketahui. Beberapa anak didik sering datang ke sekolah dengan emosi yang tidak baik, misalnya:  lekas marah dan mudah tersinggung. Hal ini mungkin disebabkan oleh: sakit kepala kerena gangguan mata, kurang tidur atau lapar, tegang dengan orang tua, ketidakseimbangan kelenjar-kelenjar, atau kondisi sekolah sendiri yang kaku dan terlalu banyak tuntutan kepada anak. (2) Sumber emosi yang positif dan konstruktif dapat kita ketahui antara lain: adanya perhatian yang cukup dari orang tua, atau guru atau orang dewasa lainnya, anak mendapat rasa kasih sayang  baik dari orang tua maupun guru, suasana yang penuh persahabatan dan persaudaraan, anak cukup mendapat reward, suasana yang humoris, orang tua dan guru yang mau mengerti kesulitan-kesulitan anak.
            Pada posisi di sinilah bahwa tugas guru adalah membina dan mengembangkan emosi anak didik ke arah yang positif. Anak sekolah perlu diarahkan menuju ke tingkat kematangan  emosi.  Para remaja  harus dilatih dan dididik agar menyadari kematangan emosinya sehingga mampu bertingkahlaku yang lebih baik di tengah-tengah perkembangannya menuju ke tingkat kedewasaan emosionalnya.  Dengan demikian, maka prestasi belajar berhubungan erat dengan stabil tidaknya emosi anak didik. Jadi, bagi anak didik yang emosinya stabil dan tenang akan menghasilkan prestasi belajar yang tinggi. Sebaliknnya emosi yang  tidak stabil dan hati yang kacau  akan menghasilkan prestasi belajar yang rendah.

Berkembang Bakat
            Bakat adalah sebagai sifat dasar anak didik  telah ada sejak dalam kandungan ibunya. Semua manusia mempunyai sifar dasar ini. Kenyataan adanya bakat itu bisa diketahui setelah anak menginjak umur 4-5 tahun. Pada usia ini sudah bisa kita ketahui bakatnya, misalnya:  bakat bernyanyi. Bagi yang berbakat menyannyi pada usia ini mereka sudah bisa menyanyi dengan nada yang tepat dan bisa menyelaraskan suaranya dengan nada alat musik tertentu. Setelah mereka masuk sekolah, peranan sekolah mengembangkan bakat anak didik itu dengan cara mengadakan latihan pada hari-hari tertentu.Selanjutnya untuk anak tingkat SMA, suatu bakat bisa dikembangkan melalui jalur Intra dan Ekstra Kurikuler.
Dengan demikian, maka tujuan  akhir  pengembangan  bakat adalah  menjadi  pribadi  yang  mahir,  mandiri  dan profesional dalam bidang kemampuan ketrampilan (life skilnya).

Berkembang Gairah Kerohanian
            Mary Go Setiawani mengatakan bahwa  perkembangan kerohanian anak didik dapat dikenali sejak usia 2-3 tahun. Pada usia tersebut sikap rohaninya meniru tingkah laku orang tuannya, suka mendengar cerita Alkitab dan tahu kasih Allah. Penuturannya selanjutnya sebagai  berikut:[158]
            Ciri khas kerohanian anak didik setiap jenjang usia mengalami perkembangan ke arah yang lebih dewasa dan lebih baik sebagai berikut:  (a) kondisi kerohanian anak usia 4-5 tahun: mengenal Allah melalui kasih orang dewasa terhadap diri mereka, iman terhadap Allah dinyatakan  melalui percayanya terhadap orang dewasa, dapat belajar mengenal Allah melalui kebaktian, memiliki kesadaran akan hal salah dan benar, dan baru dapat belajar berdoa. (b)  kondisi kerohanian anak usia 6-8 tahun:  imannya menaruh minat terhadap kebenaran, dapat berdoa dengan kata-kata sendiri secara spontan, mempunyai rasa ingin tahu tentang surga dan neraka, semua pengalaman rohaninya adalah meniru tingkah laku dan teladan orang dewasa dan pada umumnya suka pergi ke sekolah minggu. (c) kondisi kerohanian anak usia 9-11 tahun: sudah mulai matang untuk menerima keselamatan, memuja tokoh-tokoh pahlawan, suka membaca Alkitab dan berdoa, dapat menerima pengajaran Alkitab yang agak mendalam dan memperhatikan keselamatan jiwa orang lain. (d) kondisi kerohanian anak usia 12-14 tahun: siap sedia menerima keselamatan, mulai memiliki pendirian sendiri untuk beribadah, bukan paksaan orang tua lagi, menerima pengalaman agama yang nyata, banyak bertanya tentang agama, sedang mencari kebenaran sejati, dan dapat mengalami kehidupan yang berpusat kepada Kristus. (e)  kondisi kerohanian pada usia 15-17 tahun: waktu yang tepat untuk menerima keselamatan pribadi, timbul keraguan terhadap bermacam-macam persoalan kepercayaan, tidak tahan melihat orang yang tak selaras dalam tutur kata dan perbuatan, menitikberatkan pengalaman nyata agama yang dianutnya, dan mudah terdorong emosi, dan bertekat mau menyerahkan diri kepada Tuhan. (f) kondisi kerohanian pada usia 18-25 tahun: menuntut kebenaran yang logis, ingin mengalami sendiri kesungguhan dari agama yang dianutnya,  dan memberikan respons panggilan Tuhan dan mulai dapat melayani Tuhan dengan giat.

Berkembang Mentalnya
            Sifat dasar anak didik yang perlu diperhatikan perkembangannya adalah sisi mentalnya sebagai berikut:  (a) kondisi mental pada usia 6-8 tahun:  daya khayalnya sangat kuat, masih berpikir secara harafiah, belum dapat menerima hal-hal yang abstrak, kemampuan membaca masih rendah dan semakin bertambah, memiliki daya ingat yang sangat baik, dan kemampuan untuk berpikir secara logis masih terbatas. (b) kondisi mental pada usia 9-11 tahun: suka koleksi benda-benda, daya kreativitasnya tinggi, mulai bisa berpikir secara logis, suka bertanya, memiliki daya ingat yang baik, pengertiannya terhadap hal-hal yang rumit dan abstrak masih terbatas, dan dapat membaca. (c) kondisi mental pada usia 12-14 tahun: suka mengkritik, menuntut segala sesuatu yang logis, daya pengertian kurang pengalaman, bisa mengerti hal-hal yang abstrak, daya ingat cukup baik, tetapi menuntut alasan, terlalu cepat mengambil keputusan dan kesimpulan, kemampuan membaca berkembang dengan pesat, suka mengkhayal dan mungkin ada kaitannya dengan pertumbuhan jasmaninya yang begitu pesat. (d) kondisi mental pada usia 15-17 tahun: kemampuan berpikir secara logis sudah mencapai tahap kedewasaan, mempunyai daya imajinasi yang penuh kreatif, menuntut berdikari, suka berdebat, tidak bisa menerima pendapat oranng begitu saja, memperhatikan masa depan dan  memiliki cita-cita sendiri. (e) kondisi mental pada usia 18-25 tahun:  mulai timbul pemikiran-pemikiran yang bijaksana, menerima pemikiran yang baru, timbul keraguan atas kepercayaan dan otoritas, memiliki keinginan untuk menuntut kebenaran, mengenal kemampuan diri sendiri untuk memilih karier, dan mulai bisa komitmen pada kejujuran.

Berkembang Cita-citanya
            Cita-cita anak didik sifatnya ada yang tetap, ada yang bingung dan ada yang berkembang terus. Dari sejak usia pra-sekolah sudah banyak anak didik yang menetapkan cita-cita mereka. Ada yang bercita-cita menjadi guru sejak usia Sekolah Dasar, cita-cita ini tidak berubah dan kenyataan akhir ia menjadi seorang guru. Ada juga yang cita-citanya berkembang terus.
Setelah SMP melihat seorang guru yang menjadi idolanya ia bercita-cita menjadi seorang guru. Setelah SMA ia berkembang cita-citanya bahwa ia akan menjadi seorang manager suatu perusahaan atau teknisi informatika atau programmer komputerisasi. Tentunya untuk mencapai cita-cita itu harus disesuaikan dengan bakatnya.
            Pada tingkat SMA, cita-cita yang terus berkembang perlu mendapat arahan dan wawasan karier dari seorang guru pembimbing. Pada umumnya hal ini diperhadapkan dan ditangani oleh guru Bimbingan dan Konseling (Guru BK). Di tangan guru BK cita-cita anak dapat diarahkan dalam memilih dan menentukan perguruan tinggi mana yang sesuai dengan bakatnya, karena  cita-cita yang baik untuk diidamkan adalah cita-cita yang bisa tercapai dengan dasar bakat yang dimilkinya. Dengan demikian, maka dalam mencari pekerjaan ia tidak ragu-ragu menempatkan diri dan tidak merasa takut tidak mampu bekerja. Ia akan memliki rasa percaya diri yang kuat dan akan menjadi seorang pekerja yang handal dan profesional.
            Dari pemahaman di atas, maka dengan tegas dikatakan bahwa salah satu fungsi sekolah adalah memupuk bakat dan memantapkan cita-cita peserta didik sampai pada tingkat pengakuan atau pernyataan yang tepat pada diri siswa.

Sifat Anak Didik yang Berubah (Tidak Stabil)
            Sifat dasar anak didik yang bersifat berubah-ubah atau belum stabil adalah: fisiknya, tingkah lakunya, prinsipnya dan jati dirnya. Uraian tersebut sebagai berikut:

Berubah Fisik (Jasmaninya)
Berubah  fisiknya atau jasmaninya sebagai berikut: (a). kondisi fisik pada usia 6-8 tahun: Jasmaninya terus bertumbuh, jasmaninya cepat letih, dan dapat menyesuaikan diri dalam permainan kelompok. (b) kondisi fisik pada usia 9-11 tahun: keadaan kesehatan cukup baik, semangatnya berkobar-kobar, mudah lapar dan selera makannya cukup baik, dan daya tahan tubuh semakin kuat. (c) kondisi fisik pada usia  12-14 tahun: pertumbuhan fisiknya berkembang dengan sangat pesat dan  mengakibatkan ketidakstabilan  emosi, berat dan tinggi badan bertambah, anak perempuan lebih cepat daripada laki-laki, Sedang mengalami proses kematangan seksual, anak perempuan lebih cepat, dan pita suara semakin dewasa, yang  menyebabkan suarra anak laki-laki berubah. (d) kondisi fisik pada usia 15-17 tahun: pertumbuhan jasmani semakin lambat, tatapi semakin bertambah dewasa, anak putri mulai mementingkan kecantikan secara lahiriah, nafsu makan besar, apalagi anak putra, dan sering mengikuti aktivitas dengan melampaui batas dan melalaikan disiplin hidup. (e) kondisi fisik pada usia 18-25 tahun: tubuh kuat dan tidak mudah letih, mengalami kematangan seksual, mulai sibuk beraktivitas, mulai berusaha menyesuaikan diri dengan teman sebaya, dan mulai saling tertarik dan ingin mendekati lawan jenisnya.
Pada umumnya anak putra remaja atau pemuda akan merasakan gairah seksual dari pengalaman-pengalaman:  bergurau dengan lawan jenisnya, sentuhan fisik dengan lawan jenisnya, berkencan dengan lawan jenisnya, membicarakan maslah seksual dengan teman-teman, membaca media cetak atau elektronika mengenai uraian tentang seksual, melihat foto gambar porno, melihat foto lawan jenis yang telanjang, melihat blue film atau VCD porno. Jikalau kehilangan bimbingan yang tepat, tidak sedikit remaja yang akan tersesat dan cabul atau melakukan penyimpangan seksual sebelum menikah
            Keadaan jasmani anak berbeda-beda dalam hal tinggi, berat dan koordinasi  organ-organ tubuhnya. Ada yang badannya tinggi kurus, ada pula bentuk badannya yang atletis. Ada pula yang mendapat gangguan fisik, seperti kurang jelas penglihatannya, berpenyakit asma, mudah pusing kepala, gangguan sakit gigi, gangguan cacat. Keadaan jasmani yang kurang baik  seperti itu akan membawa pengaruh kurang  efisien dan gairah belajar.  Guru harus peduli.

Berubah Tingkah Lakunya
Jika kita menyimak tingkah laku anak didik dari tingkat SD hingga Perguruan Tinggi ada banyak perubahan tingkah laku dalam diri mereka, baik yang positif maupun yang negatif. Factor lingkungan sekolah sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan perilaku anak sebagai berikut:

1.      Perilaku dan pribadi guru besar  pengaruhnya terhadap perkembangan perilaku anak didik. Guru yang berlaku negatif, seperti pemarah, mudah tersinggung,  kurang adil, kurang bertanggungjawab, sikap pasif dan tidak kreatif dapat mempengaruhi perilaku anak didik sehingga mereka cenderung beperilaku negatif juga.
2.      Perilaku teman sekolah juga turut mempengaruhi perkembangan perilaku anak karena mereka sering bergaul dan saling meniru satu dengan yang lainnya. Sifat perilaku teman ada  dua macam, ada yang baik dan ada yang nakal. Perilaku teman yang baik akan mempengaruhi tingkah laku yang baik untuk teman yang baik maupun yang kurang baik; ada juga teman yang baik mau dipengaruhi perilaku yang kurang baik dari anak yang nakal sehingga menjadi nakal. Ada yang berperilaku tidak baik setelah mendapat teman yang baik, ia berubah menjadi anak yang baik.
3.      Kondisi bangunan sekolah dan ruang kelas  yang tidak memenuhi syarat, juga bisa mengakibatkan tumbuhnya perilaku anak yang kurang harmonis satu sama lain dan anak malas ke sekolah.
4.      Kurikulum:
5.      Sistim intruksional yang terlalu berat dan kaku serta suasana yang otoriter memberikkan pengaruh destruktif tertentu terhadap perkembangan  perilaku anak.

Berubah Prinsipnya
Tidak semua anak memiliki prinsip yang kuat dan patut dipertahankan. Diantara mereka ada yang prinsipnya salah atau kurang sesuai dengan perkembangan usia dan tingkat pendidikan yang sedang berlangsung.  Alangkah baiknya jika para pendidik dapat mengetahui apa prinsip masing-masing anak didiknya di dalam keluarga, di sekolah, dalam belajar, dalam pergaulan. Sehingga jika kita temui bahwa prinsip mereka kurang tepat, tidak sesuai dengan hukum pendidikan, maka pendidik bisa mengarahkan, bahkan merubah total suatu prinsip yang dipandang perlu diluruskan  atau dipengaruhi, sehingga anak didik memiliki prinsip yang benar-benar tepat bagi dirinya menurut kalangan pendidik maupun orang tua mereka.
            Tentu tidak tepat jika anak didik prinsipnya di sekolah “ yang penting sekolah”. Mestinya prinsip yang tepat anak sekolah adalah “ saya harus pintar dan meraih juara atau ranking satu” di kelas saya; atau “saya harus menjadi juara umum”.  Contoh prinsip dalam belajar yang  tepat misalnya: “saya akan belajar bukan dari  guru saja”. Prinsip ini tentunya dapat disetujui baik oleh rata-rata pendidik maupun orang tua, karena belajar yang baik bukan hanya dari guru saja tetapi bisa dari teman, dari internet atau dari berbagai media baik cetak maupun elektronika. Contoh prinsip anak dalam keluarga yang tepat misalnya: “pertama-tama saya akan membahagiakan orang tua dan kedua saya bisa berguna bagi keluarga”. Jika ada peserta didik yang berprinsip dalam hal  pergaulan mengatakan :” saya bergaul dengan siapa saja-tidak pandang bulu”. Prinsip seperti tersebut tersirat ada sikap bergaul yang ngawur dan tidak selektif. Hal ini perlu diarahkan oleh  pendidik  atau  orang  tua  bahwa setiap  orang  harus  bergaul  dengan  orang  yang
memiliki kebiasaan baik, dengan kata lain “orang baik” sebab sebuah kitab suci menuturkan prinsip yang tepat dalam pergaulan berbunyi:”pergaulan yang buruk akan merusak kebiasaan yang baik”. Para pendidik yang mampu menempatkan prinsip yang tepat akan membawa perubahan prinsip  bagi banyak peserta didik yang berhati baik. Hal ini sesuai dengan pepatah jawa bahwa guru itu patut di gugu dan di tiru .
            Suatu prinsip ada gunanya. Dengan memiliki prinsip, seorang anak didik akan mempelajari sesuatu yang baru atau dapat menentukan tindakan-tindakan apa yang selanjutnya perlu dikerjakan atau dilakukannya. Dengan prinsip yang jelas memungkinkan anak didik belajar serius dan pengajaran bisa terlaksana dengan baik. Pengajaran yang lebih tinggi  dapat berlangsug secara efektif jika anak didik telah memiliki prinsip mengenai berbagai mata ajaran yang telah diberikan pada jenjang sekolah sebelumnya.   

Berubah Jati Dirinya
Jati diri seseorang bisa berubah. Hal ini tergantung bagaimana sesorang mampu tidaknya menemukan makna hidup yang sesungguhnya, mampu tidaknya mengenal diri sendiri.  Dalam rangka mencari jati diri dan makna hidup yang sesungguhnya, manusia harus bisa menjawab sebuah pertanyaan esensial yaitu siapa dirinya atau siapa saya. Pertanyaan seperti ini agak bersifat filosofis, tetapi amat penting untuk membangun karakter atau mengembangkan diri. Mengapa? Karena jika seseorang bisa mengenal dirinya sendiri, ia akan mampu menempatkan diri dalam setiapsituasi hidup. Banyak anak didik yang masih mencari jati diri  atau identitas diri dengan cara yang kurang tepat, misalnya:  ikut-ikutan, tidak punya pendirian, atau tidak berani mengambil keputusan.
            Setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan, kekuatan dan kelemahan. Dalam hal ini setiap orang dituntut untuk jujur mengakui keberadaannya, termasuk bisa menemukan kelemahan dan kekuatan diri atau potensi yang ada dalam dirinya. Dengan kata lain setiap orang harus bisa mengenal diri sendiri. Orang yang bisa mengenal diri sendiri itulah orang yang sesungguhnya memiliki jati diri. Bagaimana seseorang bisa mengenal diri sendiri? Jawabnya harus bisa menilai diri sendiri.  Dari sini dapat kita ketahui bahwa jati diri seseorang bisa berubah tergantung bagaimana dia mampu atau tidak  menilai dirinya sendiri. Jika dia mampu menilai dirinya, maka ia akan mampu menemukan jati dirinya. Tentu jika dia sadar menemukan dirinya banyak kekurangan atau kelemahan tidak akan diam membiarkan kelemahannya itu. Ia harus tekun mengusahakan perbaikan hingga menghasilkan perubahan yang benar-benar bisa menunjukkan jati diri apa adanya.
            Beberapa penyebab seorang anak bisa kehilangan jati diri atau jati dirinya berubah, antara adanya rasa malu akibat julukan negatif  pada dirinya dari orang lain. Ada kalanya anak sering mendapat julukan negatif dari keluarga, teman-teman atau guru. Misalnya, si garong, si badut, si kunyuk, si tukul, si betet, si cebol, si pesek, si kentung, si jabrik, si banci dsb. Terkadang si pemberi julukan atau label tidak sadar terhadap efek atau akibat serta pengaruh negatifnya terhadap perilaku yang dijuluki. Kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa julukan semacam itu meninggalkan kesan pada anak yang dijuluki bahwa ia akan menerima dirinya apa kata orang lain, tidak percaya diri, menyesali diri karena timbul sikap  membandingkan diri dengan orang lain kenapa saya tidak seperti dia, kenapa saya jelek seperti ini, kenapa saya dilahirkan menerima nasib tidak baik.
            Bila julukan-julukan tersebut diterima pada saat seseorang masih muda atau pada masa usia sekolah, hal semacam itu akan mempengaruhi pembentukan jati diri dan kepribadian. Usia anak-anak yang dirinya bebas dari julukan atau label negatif dari orang lain, mereka akan tumbuh kepribadian yang wajar dan percaya diri yang  kuat sehingga mudah dirinya untuk menyampaikan penilaian terhadap dirinya secara jujur. Dia akan merasa tidak keberatan jika hal-hal negatif atau kekurangan dan hal-hal positif atau kekuatannya diketahui oleh orang lain. Dengan demikian, maka setiap orang bisa membentuk jati diri yang benar tanpa goyah karena julukan dari orang lain asal dirinya bersedia dinasehati,  dikoresi orang lain dan berpikir positif untuk bisa menerima dirinya sebagaimana adanya. Oleh karena itu teman-teman, orang tua atau pendidik.  Jangan suka memberi julukan yang negatif kepada orang lain karena jika hal itu membawa perubahan negatif pada jati diri seseorang, sangat sulit memulihkan untuk tidak rendah diri, untuk memiliki rasa percaya diri,  untuk mudah  mengenal diri sendiri, mudah menerima saran dan  membuang rasa malu.
            Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa jati diri bisa berubah, tetapi  kita tidak harus sama dengan orang lain, atau menjadi seperti yang orang lain katakan terhadap diri kita. Bila perlu agar kita memilki jati diri yang kuat kita harus berani menyangkal apa kata orang lain, sekiranya tidak bersifat konstruktif. Sedangkan, bagi anak didik  yang kehilangan jati diri  gara-gara sedikit julukan membutuhkan kasih yang tulus dari orang lain. Jika ia bertemu dengan orang yang tulus, maka ia akan membuka diri dari luka masa lalunya, sehingga sedikit demi sedikit pribadinya akan berubah ke arah yang lebih baik.

Sifat Anak Didik yang Berbeda
            Sifat dasar anak didik adalah perbedaan dalam hal adalah: individu dan latar belakang keluarga. Uraian hal tersebut sebagai berikut:

Perbedaan  Individu
            Semua guru pasti tahu  bahwa dalam kegiatan belajar mengajar menemukan perbedaan individu maupun kelompok. Anak didik sebagai individu berbeda dalam banyak hal. Beberapa kriteria perbedaan yaitu:  yang menyangkut aspek usia dan perkembangan, seksualitas, temperamen, prestasi akademis, dan gaya belajar.

Perbedaan segi Usia dan Perkembangan
            Guru harus menyadari bahwa dalam setiap kelas bahkan setiap tingkatan kelas di sekolah ada perbedaan di antara anak didik dari  faktor usia dan perkembangan. Sehubugan dengan Usia dan perkembangan, setiap anak didik mengalami pertumbuhan dan perkembangan baik secara jasmani, mental, social, dan spiritual.
            Mengenai perbedaan faktor Usia dan Perkembangan dapat diuraikan  dari perbedaan usia pra sekolah (TK) sampai usia orang dewasa.

Anak Usia Pra Sekolah (4-5 tahun).
            Dalam keadaan normal anak usia ini menunjukkan pertumbuhan fisik yang cepat. Pada usia ini mereka sulit untuk diam. Mereka maunya bergerak terus, jalan dan bermain. Sebenarnya geraknya yang lincah itu merupakan sarana untuk mengembangkan kekuatan otot dan tulang. Melalui bermainnya  anak belajar mengenal lingkungannya, sesamanya dan melatih jiwanya siap menentukan pilihan yang terbaik baginya.   Karena  itu  dalam membina anak usia ini dibutuhkan adalah: ruang yang cukup besar,  waktu yang lebih banyak, dan  bimbingan terhadap sifat khasnya.
Mereka memiliki rasa ingin tahu yang cukup tinggi. Mereka sering mengajukan banyak pertanyaan kepada orang yang lebih dewasa, khususnya yang berkaitan dengan soal “apa” dan “mengapa” dari obyek atau peristiwa yang dilihatnya. Kesukaan bertanya itu penting baginya, karena secara tidak langsung mereka ingin menambah perbendaharaan pengetahuan, kata, dan menginterpreatasikan simbol-simbol yang ada dalam pikiranya sendiri ke dalam kata. Anak usia ini banyak bertanya dan berbicara merupakan upaya dirinya  secara tidak langsung ingin mendapat perhatian dan penerimaan dari orang-orang sekitarnya.
            Cara berpiikir anak usia ini sangat terbatas dan sempit. Ia belum mampu mengambil kesimpulan dengan tepat, apalagi yang cukup luas. Hal ini disebabkan oleh egosentrisnya yang kuat. Dalam hubungannya dengan rohani, tentang Tuhan khususnya, mereka bisa tahu dan menerima pendapat bahwa Tuhan itu pencipta langit dan bumi, maha kuasa, maha kasih, mengampuni dosa  dan  mempedulikan anak-anak.

Anak Usia Sekolah Dasar (6-12 tahun)
            Pada usia ini pada umumnya anak bersifat egois, cenderung agresif, keras, pendiam dan  teguh pada aturan. Di sisi lain mereka cenderung fleksibel, mudah bergaul, banyak bicara, intuitif dan imajinatif serta emosional. Di lain pihak mereka cenderung mempertahankan relasi, mudah bergaul (adaptif)  dan pengamat yang baik dari interaksi sekelilingnya. Dengan demikian, maka mereka tidak mudah mengambil keputusan untuk menjadi prinsip hidup yang kuat. Sifat yang lain, mereka cenderung menuntut perhatian, sangat bergantung kepada orang lain dan selalu mengasihani diri. Bagi anak tunggal banyak mengajukan tuntutan atau permohonan kepada orang tuanya. Tidak adanya kakak atau adik di rumah, membuatnya merasa “serba sendiri”. Karena itu konsep berbagi rasa terhadap sesama kurang atau sukar bertumbuh secara luwes.
            Cara berpikir anak usia ini terus berkembang dan bergerak dari cara kongkret ke cara abstrak. Ia mulai mempelajari segi-segi keteraturan, tata tertib,  otoritas dalam kelompok, dan penghargaan yang diterima dari orang lain, seperti:  sebutan “anak manis”, “anak baik” “anak rajin” atau  “anak pandai”. Anak usia ini ingin dibina dalam kerjasama yang produktif dan kontruktif.  Jika tidak pernah mendapat penghargaan, pujian dan dorongan dari orang-orang yang membinanya, maka dirinya akan cepat rendah diri dan kurang percaya diri.

Anak Usia SMP-SMA (13-17 tahun)
            Pada usia ini mereka pada umumnya menghadapi krisis identitas, kebingungan dalam memainkan peran-peran yang tepat atau sebagaimana adanya. Ada kegelisahan dalam diri mereka sebagai akibat dari pertumbuhan hormon atau zat-zat kimiawi tertentu dalam tubuh. Pada usia ini juga muncul konsep diri negatif atau positif yang mempengaruhi kemampuan dan minat belajar mereka,  kurang harmonisnya relasi dengan sesama, guru serta  orang tua. Mereka lebih condong menerima norma moral dari teman-teman maupun kelompok mereka dibandingkan saudara sendiri atau kakak  adik mereka. Meskipun demikian, penghargaan, pengertian dan penerimaan dari  pihak-pihak terdekat, kerabat atau keluarga, tetap saja sangat dibutuhkan mereka dalam menghadapi keadaan sulit dan tidak stabil yang mereka rasakan.

1.      Anak usia ini cukup kritis terhadap banyak hal, termasuk mengkritisi iman dan agamanya. Kebenaran iman yang pernah diterimanya pada masa taman kanak-kanak atau sekolah dasar mulai dipertanyakan.  Hal ini terjadi karena cara berpikirnya meningkat ke arah abstrak. Karena itu pula maka  anak usia ini senang beradu argumentasi, menunjukkan kreatifitas dan inajinasi, idealisme, cepat menghafalkan penilaian, dan menginginkan hal-hal yang humoris.
2.      Dalam pembicaraan tentang masalah-masalah rohani, anak usia ini membutuhkan pembahasan praktis dan bersifat pribadi. Karena agama dipandang sangan pribadi dan emosional, ada kalanya ia memiliki keraguan akan iman atau agamanya, namun sangat menyenangi situasi ibadah yang sesuai dengan situasi emosinya.
           
Berkaitan hal di atas maka  Jay Kesler mengatakan bahwa faktor penting dalam pembinaan anak usia ini adalah keterbukaan dalam komunikasi. Pembina harus bersedia mendengar keluhan dan pendapat remaja supaya mereka merasa diperlakukan  dan diterima sebagai “orang dewasa”. Problematik anak usia ini dirinya ingin dianggap sebagai pribadi-pribadi  mandiri. Mereka  perlu ditolong untuk merasakan dan mengalami hal itu. Peraturan-peraturan, tatatertib, dan disiplin yang akan diterapkan perlu didiskusikan terlebih dahulu agar dalam diri mereka timbul perasaan “memiliki peraturan itu”. Mereka tidak rela dipaksa, apalagi ditindas untuk melakukan hal-hal yang tidak disenanginnya.  Mereka ingin dilibatkan dalam pengambilan keputusan tentang hal-hal  yang kemudian munngkin akan mempengaruhi sikap dan tingkah lakunya. Di satu sisi mereka tidak mudah taat, tetapi di sisi lain mereka sangat takut terhadap hukuman atas suatu pelanggaran.[159]

Usia Pemuda dan Dewasa Muda (18-35 tahun)
            Pemuda dan orang dewasa muda umumnya telah mampu berpikir abstrak. Dalam hidupnya, secara umum mereka ingin mengembangkan norma moral Universal, yakni norma yang timbul dan bergerak dari keyakinan diri yang sejati (idealisme). Norma atau prinsip hidup demikian tidak semata-mata muncul sebagai akibat dari pengaruh hidup orang lain. Pada umumnya pada tahab selanjutnya  pemuda dan orang dewasa muda larut dan bergumul dengan masalah karier, panggilan hidup, teman hidup, keluarga (membina anak-anak)  dan relasi-relasi sosial (peranan yang cocok dalam sistim nilai budaya, adat dan tradisi). Dalam kaitan dengan kehidupan iman, kelompok usia ini ingin sekali melihat keterkaitan antara dirinya dengan situasi dan kehidupan sehari-hari.
            Orang-orang  yang telah memasuki usia dewasa dan keluarga (18-35 tahun), umumnya menghadapi:

1.      masalah keuangan dalam memenuhi tuntutan hidup sehari-hari
2.      masalah liku-liku atau persoalan dalam membina relasi dengan kerabat yang lebih luas, disamping berkeinginan kuat untuk mengelola rumah tangga dengan baik, khususnya dalam mendidik anak secara baik.
           
Ditinjau dari proses belajar, mereka dalam kategori memiliki: (1)  potensi yang cukup besar untuk belajar mereka sangat optimal. (2) mereka memiliki keinginan untuk lebih menyimak hubungan antara hal-hal yang dipelajari dengan kebutuhan dan pergumulan hidup yang dihadapi.  (3) Mereka  sudah dapat mengembangkan cara berpikir praktis dan realistis.  Oleh sebab itu jika mereka menjadi peserta didik harus sudah diberi kesempatan  mengembangkan bakat dan intelektualnya dengan mengerjakan tugas-tugas individu maupun kelompok  berupa karya tulis dan sebagainya.
            Semua individu berbeda. Karena semua individu berbeda, tidak dapat diharapkan bahwa dua orang tertentu akan bereaksi dengan cara yang sama terhadap rangsangan lingkungan  yang sama. Anak-anak penakut tidak sama reaksinya dengan anak-anak yang agresif. Mereka yang tenang dan santai tidak merasa terganggu dengan kesibukan orang lain di sekitarnya yang tergesa-gesa dan ingin cepat menyelesaikan tugasnya dibanding dengan anak yang peka dan pemalu.
            Karena tidak ada dua indiividu yang memiliki sifat-sifat bawaan dan pengalaman-pengalaman lingkungan yang sama , maka tidak pernah ada orang yang dapat meramalkan secara tepat bagaimana orang akan bereaksi terhadap situasi, sekalipun ada informasi  yang luas tentang kemampuan-kemampuan mereka yang diturunkan dan sekalipun diketahui bagaiman pada umumnya berperilaku   dalam situasi yang sama. Juga orang tidak bisa mengharapkan  hasil yang sama  dari orang dengan perkembangan usia  dan intelektual yang sama. Namun akhirnya, perbedaan individual justru berarti karena perbedaan ini diperlukan  bagi individualitas dalam pembentukan kepribadian. Individualitas bukan hanya membuat orang menyenangkan, tetapi juga memungkinkan kemajuan sosial.

Perbedaan  Segi Dorongan Seksualitas
            Masalah perbedaan dalam segi seksualitas perlu kita sadari secara seksama, khususnya yang berkaitan dengan  perbedaan sifat dan gaya hidup pria dan wanita. Sifat khas  ini cukup berpengaruh positif atau negatif dalam proses belajar, selain terhadap perkembangan spiritualitasnya sebagai berikut: (1) Kaum pria lebih dikenal agresif, rasional (logis), sistimatis. Mereka umumnya sangat visual dalam arti menerima informasi melalui bacaan dan penglihatan, serta berorientasi kepada apa yang di luar dirinya. (2) Kaum wanita umumnya lebih dikenal sensitive, emosional dan menekankan rasa harmonis serta berorientasi ke dalam dirinya. Mereka lebih banyak menimba informasi dari pendengarannya dan perasaannya atau sentuhan hati.
            Perbedaan kodrat ini ada kalanya membuat guru tersinggung dengan sikapnya yang kurang baik saat belajar di kelas, dikarenakan temperamennya yang berubah ubah, sikapnya yang sering melamun, mencari sensasi dan membuat kacau karena becanda dengan lawan jenis. Guru harus menyadari faktor penyebab perasaan itu. Guru kurang tepat apabila menuntut kesamaan prestasi dari kedua belah pihak peserta didik, karena pada dasarnya mereka sudah punya dasar yang berbeda atas dorongan seksualitasnya.

Perbedaan Segi Prestasi
            Perbedaan indiviidu  yang perlu disadari oleh guru adalah dalam segi prestasi. Setiap orang  pada umumnya secara individu maupun kelompok senantiasa berbeda dalam segi prestasi atau kemampuan akademis.  Ada banyak faktor yang menyebabkannya, antara lain:  cara belajarnya yang pernah ditempuhnya pada masa lalu. Ada juga faktor latar belakang ekonomi dan sosio-kultural, nilai  dan sikap hidup, minat serta pengenalan dan harga diri.  Pengenalan dan penerimaan diri yang masih negatif, biasanya sangat melemahkan minnat dan semangat belajar, keharmonisan dalam segi relasi dan kerjasama.

 Perbedaan Segi Temperamen
            Perbedaan individu atas dasar temperamen perlu dipahami dan diterima oleh guru dengan sebaik-baiknya. Artinya guru harus memandang keragaman teemperamen peserta didik sebagai kekayaan kepribadian  dalam hidup kebersamaan.  Berkaitan hal tersebut, maka Hallesby menuturkan bahwa temperamen sesorang berakar dalam jiwa dan roh, dan merasuk serta berpengaruh kuat pada tubuh jasmaninya. Karena itu temperamen menjadi karakteristik individu yang paling hakiki yang dibawanya sejak lahir. Temperamen terefleksi secara otomatis dalam perasaan, sikap dan tingkah laku individu. Tidak perlu diatur  oleh logika, intelek, dan kehendak. Seseorang memberi respons terhadap lingkungannya atas dasar temperamennya sendiri.[160]
            Ada empat jenis temperamen sebagai berikut: (1) Sanguin (Yun,:sanguis=darah), yakni temperamen yang aktif, ceria atau emosional, sensitive namun mudah berubah.  Dengan temperamen sanguine seseorang  mampu menyelami perasaan  dan pikiran orang lain. Ia halus dan simpatik, dan memiliki potensi unntuk hidup gembira senantiasa. Akan tetapi, dengan temperamen ini individu cenderung berpikir dangkal dan labil serta kurang setia dalam menghadapi kesukaran.  Sebab itu di dalam pergaulan orang sanguine sering dikenal sebagai pribadi yang “tak mudah dipercaya”. (2) Melankolik (Yun. melancholia = empedu hitam), yakni temperamen individu yang introvert (orientasi ke dalam diri), sangat tertutup, pemurung, merasa mudah tersinggung, merasa tertekan, sukar bergaul, pesimis  dan terkesan angkuh. Meskipun demikian individu dengan temperamen ini sensitive, selalu mendalam dan seksama (berpikir mendetail). Meskipun tak banyak mempunyai teman akrab, namun ia seorang kawan yang setia dan dapat diandalkan. (3) Kolerik (Yun. Chole = empedu kuning), yakni temperamen individu yang penuh semangat, berkehendak (memiliki prinsip) kuat, enerjik, memilki akal budi yang tajam dan praktis dalam tindakan, berani menghadapi resiko tinggi atas perbuatannya, dan keputusannya cenderung selalu tepat atau relevan. Akan tetapi, dengan temperamen ini, individu ini dikenal keras, tak mudah diubah,  cepat bertindak  dan pemarah, sangat percaya diri, dan karena itu terkenal sombong atau licik, tak begitu suka dengan kelembutan dan keindahan, cenderung membalas (tak ingin mempunyai saingan). (4) Plegmatik (Yun.  cairan tubuh yang lembab, lamban), yakni temperamen yang membuat individu lamban, seperti:  pemalas, oleh karena itu ia harus selalu dipaksa. Individu yang  plegmatis bersifat opportunis, seolah tak peduli  dengan orang lain dan lingkungannya, dan karena itu terkesan congkak. Meskipun demikian, dengan temperamen itu, individu dikenal baik hati, dan tidak mudah tersinggung, selalu tenang dalam situasi yang cukup mengkuatirkan sekalipun, percaya diri dan praktis.
            Kekuatan empat temperament anak didik  tersebut di atas perlu mendapat pembinaan dari guru. Dengan sadar guru harus cakap menghadapi  anak didik yang temperamennya berbeda-beda.  Segi-segi  negatif  temperamen  itu  akan  dapat  muncul  dalam interkasi belajar mengajar yang dipimpinnya. Menurut penulis, dalam pengalaman iman Kristen,  temperamen seseorang bisa diubah menjadi yang terbaik melalui kuasa dan kehadiran Roh Kudus dan Firman Tuhan. Jadi jika sesorang  bersedia memberikan dirinya dipenuhi Roh Kudus, maka temperamennya akan lebih menonjol yang positif darri pada yang negatif. Tugas guru mengajar.Namun juga harus terpanggil mendorong  anak didiknya agar mengalami perubahan temperamen.

 Perbedaan Segi Gaya Belajar
Setiap individu mempunyai gaya belajar yang berbeda. Menurut David Kolb (Styles of Learning Inventory, 1981) ada empat (4) jenis atau tipe gaya belajar sebagai berikut: (1) Tipe Converger – belajar melalui proses konseptualisasi abstrak (berpikir) dan eksperimentasi (berbuat). Artinya, dengan kecenderunngan ini gaya belajar anak didik lebih didominasi oleh intelek (pemikiran) dan perbuatan mencoba-coba (dengan pengalaman praktis). Dengan demikian anak didik  menghindari pengjaran yang semata-mata teoritis. Hal teoritis dan praktis harus berjalan seimbang. Gaya semacam ini umumnya mendominasi hidup teknokrat. (2)  Tipe Diverger -  belajar melalui pengalaman-pengalaman konkrit (perasaan) dan observasi reflektif (pengamatan). Dengan tipe ini peserta didik lebih didominasi  oleh intuisi, perasaan, dan sensitivitas. Ia mengamati contoh yang didemontrasikan oleh guru, dan menyimak hal-hal yang erat kaitannya  dengan emosi seperti keindahan gerak dan suasana. Banyak seniman memiliki kecenderungan belajar semacam ini. (3) Tipe Assimilator - belajar melalui konseptualisasi abstrak (kuat dalam berpikir) dengan observasi reflektif (pengamatan). Anak didik dengan gaya belajar ini cenderung bersifat teoritis, enggan berbuat. Ia berorientasi kepada buku-buku bacaan dan contoh-contoh. Dari situ ia membangun teori atau keyakinannya. Pada umumnya teorian dan para filsuf (pemikir) berkembang dengan tipe belajar demikian. (4) Tipe Accomodator -  belajar melalui pengalaman konkret  (perasaan) dan eksperimentasi aktif  (berbuat). Anak didik dengan kecenderungan belajar ini lebih didominasi oleh situasi dan hal-hal praktis. Intuisi dan tindakan praktis sangat diutamakan. Ia tidak merasakan perlunya teori-teori yang berorientasi kepada buku sumber saja. Baginya pengalaman dan perbuatan  aktif di lapangan adalah guru yang terbaik  Umumnya kalangan bisnis meminati gaya belajar ini.
Perbedaan gaya belajar individu juga dapat kita pahami dari segi  pengaruh konteks. Ada banyak orang yang sangat peka terhadap nilai dan suasana konteksnya. Anak didik dengan kepekaan demikian dikenal memiliki gaya belajar yang high context.  Sebaliknya ada pula orang yng kurang menguamakan keadaan di dalam konteksnya. Anak didik dengan kecenderungan  demikian dikenal memiliki gaya belajar yang low context.
Selanjutnya, dengan kecenderungan belajar high context individu atau kelompok sangat menekankan relasi antar pribadi, pengalaman dan pengamatan (contoh hidup). Anak didik begitu sensitive terhadap konteks belajar, seperti: keadaan ruang, obyek dan peristiwa di sekitarnya. Kemudian, dengan model belajar low  contect  individu menekankan  konsep, ide, teori atau prinsip, menghargai keteraturan, eksperimentasi dan menyenangiliterartur (bahan bacaan. Tak peduli apakah bahan yang dipelajari itu relevan dengan konteks hidupnya atau tidak. Juga tidak terlalu penting baginya pengaruh lingkungan belajar, terhadap pembentukan pemikiran atau pemahamannya.

 Perbedaan Latar Belakang Keluarga
            Bemacam-macam keadaan keluarga setiap anak didik. Ada yang keluarganya harmonis dan ada yang tidak harmonis. Ada yang bahagia dan yang tidak bahagia. Ada yang orang tuanya cerai dan yang tidak bercerai. Ada yang keluarganya kaya ada yang miskin. Ada yang menjadi pegawai negeri ada yang wira usaha dan karyawan pabrik.  Ada yang petani dan ada yang berjualan di pasar dan sebagainya. Semua perbedaan latar belakang keluarga tersebut dalam banyak hal berpengaruh pada perbedaan sikap dan tingkah laku, gaya hidup dan motivasi di sekolah. 
            Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang erat beragama dan menjadi anggota suatu lembaga keagamaan cenderung lebih tertarik pada agama dari pada anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang kurang peduli pada agama. Anak-anak yang tinggal di pedesaan dan dipinggir kota menunjukkan minat yang lebih besar pada agama daripada anak-anak yang tinggal di kota.

Sifat Anak Didik yang Murni
Tidak sedikit anak didik yang memiliki sifat murni (polos). Mereka mudah percaya, patuh (taat),  baik dan bijaksana, ingin bersahabat dan demokrasi,  tidak mudah lupa.
            Pada hakekatnya hati seorang anak didik pada usia tertentu sebelum mendapat pengaruh nakal dari temannya adalah murni, misalnya:  anak tidak  mau menyontek dari buku atau dari temannya, ia percaya diri mengandalkan kemampuannya sendiri dan menerima hasil ujiannya dengan ikhlas berapapun nialinya.
Mudah percaya. Pemikiran apapun yang diberikan orang tua, guru atau orang yang lebih dewasa dari mereka semua yang dianggap baik diterima begitu saja tanpa perdebatan. Apalagi jika mereka tahu bahwa yang menyampaikan itu orang yang sangat berpengaruh atau ia segani bahkan tokoh yang diidolakan. 
Patuh (taat). Setiap anak pada dasarnya memiliki sifat taat. Anak menjadi tidak taat atau  taat terus menerus tergantung pembinaannya atau pengaruh pergaulannya. Oleh karenanya supaya anak  mampu mempertahankan sifat patuh (taat) harus terus menerus mendapat kesempatan pendidikan yang baik dan pembinaan yang disertai nilai keteladanan perihal ketaatan dari pendidik, orang tua atau teman –teman dekatnya.
Baik dan Bijaksana.  Seorang yang bernama Alexander S. Neil mempunyai pandangan bahwa pada hakekatnya manusia itu “baik dan bijaksana”. Dari sifat ini sering kita dengar  ungkapan dari guru atau orang tua  yang mengatakan,”biarkan dia mengambil keputusan sendiri dan bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri”. Dengan demikian bisa saja kita memberi kesempatan kepada anak didik kita bebas menentukan sendiri apa yang harus dipelajari.
Karena sifatnya yang berkembang maka anak didik yang bersifat bai ini harus dibina dan dikendalikan secara tepat dan cermat supaya kebaikan yang dimilkinya tidak kebaikan semu atau  subyektif melainkan kebaikan yang obyektif.         
            Sifat kemurnian lain yang anak didik miliki adalah dorongan bersahabat dan demokrasi. Hal ini tebukti pada anak usia remaja. Bagi anak remaja memilih teman berawal dari adanya kegemaran dan kegiatan-kegiatan yang sama. Selanjutnya berkembang dalam memilih teman harus mereka yang mempunyai minat dan nilai-nilai yang sama, yang dapat mengerti  dan membuatnya merasa aman, dan yang kepadanya ia dapat mempercayakan  masalah-masalah dan membahas hal-hal yang tidak dapat dibicarakan dengan orang tua maupun guru. Teman atau  sahabat yang diinginkan mereka adalah seorang yang dapat dipercaya, yang dapat diajak bicara, seorang yang dapat diandalkan. Oleh karena adanya perubahan nilai.maka teman semasa kanak-kanak belum tentu menjadi teman dalam masa remaja. Namun sebaliknya ada yang menjalin persahabatan dari masa anak-anak sampai lanjut usia.
            Dorongan untuk bersahabatan secara murni juga tidak lagi hanya menaruh minat pada teman-teman sejenis. Untuk anak didik remaja, minat berteman dengan lawan jenis bertambah besar. Sehingga dalam suatu waktu para remaja lebih menyukai lawan jenis sebagai teman meskipun tetap masih melanjutkan persahabatan dengan beberapa teman sejenis.
            Demokrasi. Bagi anak didik yang berusia muda, popularitas berarti mempunyai teman banyak, dan dalam memilih teman tidak lagi bergantung campur tangan orang tua. Mereka sudah mulai mengembangkan cara-cara demokratis. Demokrasi berimplikasi adanya rasa saling menghormati, perencanaan yang kooperatif, tanggungjawab bersama. Banyak perilaku anak didik yang perlu dipahami dan dilayani  secara bijaksana oleh guru. Mereka memiliki dorongan yang kuat untuk membantu kelompoknya.
            Ingin bersahabat. Memperhatikan sifat ini, di sekolah, suara-suara anak didik  hendaknya  diperhitungkan dalam merumuskan tujuan-tujuan dan perencanaan-perencanaan kegiatan. Suara-suara mereka harus didengar  agar mereka merasa  cukup dihargai  dan diperhitungkan, bahkan mereka bisa merasa ikut bertanggung jawab apapun akibatnya.  Oleh sebab itu guru harus dapat mengenal baik karakteristik anak didik sehingga ia mengetahui apa yang dapat diharapkan  dari mereka. Selain itu guru juga harus dapat memperlihatkan sikap bersahabatnya dengan selalu bersikap ramah-tamah, menyediakan waktu untuk mendengarkan  pendapat saat berdiskusi maupun saat demo.  
            Tidak mudah:  lupa juga merupakan sifat kemurnian anak didik. Apa yang ditanamkan orang tua, guru, teman pada saat yang tepat diserap oleh mereka, maka apa bila mereka menangkapnya sangat sulit mereka melupakan kesan yang pernah mereka terima. Oleh sebab itu mulai mereka memasuki dunia pendidikan, siapapun yang berperan memberi masukan ilmu pengetahuan, pendapat  secara formil,  informal  dan non formal jangan asal-asal atau salah-salah, jangan yang bersifat destruktif tetapi yang sebenar-benarnya dan bersifat kontruktif. Dengan daya ingat yang  tahan lama ini maka perlu anak didik diberikan pengetahuan seobyektif mungkin baik fakta, istilah maupun prinsip-prinsip yang berguna bagi hidupnya pada masa kini maupun masa yang akan datang.


 Sifat-sifat Negatif Anak Didik
Tentang sifat dasar negatif anak didik adalah: pertama,  melawan (tidak disiplin, mudah terpengaruh, tidak cukup konsentrasi atau  kurang memperhatikan, pembohong atau kurang jujur). Kedua, Egois (suka menuntut, ingin diprioritaskan, menang sendiri atau tidak mau kalah).  Ketiga, berperilaku menyimpang (takut, kurang percaya diri, cemas, malas, keras hati dan cuek atau pasif).
            Masalah tidak disiplin merupakan sifat dasar negatif semua anak didik. Misalnya:  malas ke sekolah, datang selalu terlambat, mengganggu anak lain yang sedang belajar, membuat keributan, mencontek pada waktu ulangan, membolos atau pulang sebelum waktunya dan melakukan tindakan-tindakan agresif.  Berkaitan hal tersebut, maka  bahwa masalah perilaku tak disiplin ini disebabkan dua faktor,  yaitu:  faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah yang bersumber dari dalam diri anak sendiri, yang disebabkan oleh implikasi perkembangannya sendiri, misalkan:  kebutuhan tak terpuaskan, kurang cerdas, kurang kuat ingatannya, atau karena energi yang berlebihan. Faktor eksternal adalah yang bersumber pengaruh-pengaruh  dari luar, seperti:  pelajaran yang sulit dipahami, cara guru mengajar kurang efektif, kurang menarik minat, sikap guru yang menekan, sikap yang tidak adil, bahasa guru yang sulit dipahami atau ditangkap  dan alat belajar yang kurang lengkap.[161]  
            Mudah terpengaruhi sebagai sifat dasar negatif anak didik harus mendapat perhatian yang serius baik dari pihak sekolah maupun orang tua. Anak didik mudah terpengaruh pergaulan yang kurang baik. Terhadap sesuatu yang tidak baik tanpa belajar secara formal mereka langsung bisa terbawa arus. Namun dalam kontek anak didik, lingkungan sekolah sangat besar pengaruhnya terhadap perilaku anak didik. Yang dimaksud lingkungan sekolah adalah perilaku  dan pribadi guru, perilaku teman sekolah, kondisi bangunan sekolah, kurikulum  dan sistim intruksional yang diterapkan terhadap anak didik.
            Perilaku dan pribadi guru. Guru yangberlaku negatif  danberpribadi belum matang atau tidak terintegrasi akan mengakibatkan anak-anak akan melakukan hal yang sama, karena selama di sekolah, terjadi  transaksi yang terus menerus antara anak dan gurunya  dengan cara peniruan, identifikasi, dan penyesuaian. Gejala perilaku guru yang frustrasi, pemarah dan mudah tersinggung, suka mencontoh dan kurang percaya diri, kurang adil dan kurang bertanggung jawab, sikap pasif dan tidak kreatif dapat mempengaruhi perilaku anak didik sehingga mereka cenderung berperilaku yang sama.
            Perilaku teman sekolah juga turut mempengaruhi perkembangan perilaku anak karena mereka saling bergaul dan saling meniru satu sama lainnya. Kenakalan anak-anak, perilaku melanggar disiplin, sikapmementingkan kelompok dan mengganggu kelompok lainnya adalah beberapa contoh akibat pengaruh perilaku teman-temannya yang bersifat negatif serta cenderung merugikan orang lain. 
            Kondisi bangunan sekolah yang tidak  memenuhi syarat, misalnya:  keadaan
yang kotor, ventilasi yang kurang memadai, ruang yang gelap, peralatan yang serba tak terpelihara. Hal tersebut merupakan beberapa contoh yang umumnya mengakibatkan gangguan konsentrasi belajar dan pada gilirannya anak didik malas bersekolah, senang bermain di luar sekolah, dan mengabaikan pelajaran gurunya,   sehingga tumbuh berbagai bentuk perilaku  yang kurang harmonis.
            Kurikulun dan sistim intruksional yang terlalu berat dan kaku serta suasana yang otoriter memberikan pengaruh destruktif  tertentu terhadap perkembangan perilaku anak didik.

Hasil Akhir
Evaluasi hasil akhir merupakan data keberhasilan atau kegagalan dalam proses filsafat pendidikan tersebut. Hasil akhir disebut berhasil bilsa hasil evaluasi menjawab tujuan pendidikan. 
Hasil belajar merupakan perubahan perilaku peserta didik yang diperoleh setelah mengikuti pembelajaran selama kurun waktu tertentu yang relatif menetap.  Lebih dalam, maka Hamalik (2002) mengatakan bahwa hasil belajar  tampak sebagai terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa, yang dapat diamati dan diukur dalam perubahan pengetahuan sikap dan keterampilan. Perubahan dapat diartikan terjadinya peningkatan dan pengembangan yang lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, sikap tidak sopan menjadi sopan dan sebagainya. Selanjutnya Dimyati (2002) mengatakan bahwa hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar diakhiri dengan proses evaluasi belajar.  Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan berakhirnya penggal dan puncak proses belajar. Salah satu upaya mengukur hasil belajar siswa dilihat dari hasil belajar siswa itu sendiri.  Bukti dari usaha yang dilakukan dalam kegiatan belajar dan proses belajar adalah hasil belajar yang biasa diukur melalui tes. 
Dari urian di atas, maka dapat dikatakan bahwa  Hasil belajar (achievement) itu sendiri dapat diartikan sebagai tingkat ke­berhasilan murid dalam mempelajari materi pelajaran di pondok pesantren atau sekolah, yang dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi pelajaran tertentu.

 



IV. Hubungan Filsafat Pendidikan

dengan Agama dan Sekuler

 

Agama dan sekuler merupakan nilai-nilai dari filsafat pendidikan. Kalau filsafat pendidikan diberi nilai-nilai agama, maka filsafat pendidikan akan berbasis agama sedangkan kalau filsafat pendidikan diberi muatan sekuler, maka filsafat pendidikan akan basis sekuler. Dengan demikian, maka apakah itu Agama? Agama ialah segala aktivitas hidup manusia dalam dengan suatu usahanya untuk mewujudkan rasa bakti dan mempersentasikan keterhubungan manusia kuasa yang diyakini bersifat supranatural dan mengatasi dirinya (transeden). Di sini bahwa agama sebagai aktivitas hidup manusia membutuhkan bentuk – bentuk konkret dalam sikap hidup dan tindakan. Jadi, beragama bukan sekedar meyakini sesuatu, tetapi bertindak sesuai dengan yang diyakininya. Bahkan beroleh agama seharusnya terwujud dalam totalitas kehidupan dan diamalkan dalam setiap tingkah laku, sehingga beragama tidak berarti bagi diri sendiri, melainkan juga bagi sesama dan lingkungan tempat seseorang berada.

 Aktivitas beragama  dilakukan dalam rangka usaha merealisasikan rasa bakti dan keterhubungan manusia dengan kuasa yang disembah. Sebagai yang demikian, maka agama memerlukan dan menggunakan cara – cara yang bersifat manusiawi. Dengan kata lain, ekspresi kehidupan beragama selalu bersifat antropomorfistik. Dalam hal ini perlu disadari pengaruh budaya setempat terhadap warna kehidupan agama. Jadi, sebagai ibadah (rasa bakti) kepada kuasa yang disembah, agama melibatkan seluruh segi kehidupan manusia yang disimbolisasikan dalam bentuk ritus – ritus, tata cara peribadahan dan pranata – pranata tertentu. Juga terwujud dalam sikap dan tindakan terhadap sesama manusia dan lingkungannya. Disinilah dapat dipahami bahwa ibadah yang benar harus mencakup tindakan – tindakan, baik yang bersifat supra social maupun social.

Salah satu unsur yang menjadi dasar bagi seluruh bangunan keagamaan adalah keyakinan. Dengan dasar tersebut hidup keagamaan akan mengandung subjektivitas. Keyakinan subjektif yang menjadi landasan kehidupan agama tidak menuntut pembuktian kebenarannya secara akali. Menurut Hans Kung, seorang teolog Katolik, agama merupakan sesuatu dalam diri manusia untuk dihayati, bukan sekedar konsep teknis yang abstrak, merupakan iman yang konkret, bukan sekadar lembaga. Agama selalu menyangkut basic trust seseorang akan hidup. Sadar atau tidak, secara eksistensial manusia membutuhkan komitmen dasar, komitmet pada makna, nilai dan norma. Agama memberikan makna yang komprehensif tentang hidup, menjadi jaminan bagi nilai – nilai tertinggi dan norma – norma yang bersifat tanpa syarat, memberikan komunitas dan rumah rohani.

            Keberadaanya melekat pada kemanusiaan manusia, bersifat konkret, berkaitan dengan keberadaan manusia, dan bertolak dari pandangannya tentang kuasa supranatural, dunia, manusia, dan keterhubungannya satu sama lain, serta diwujudnyatakan dalam kehidupan, peribadahan, sikap, perilaku, dan lain sebagainya. Dalam rasa keagamaan, manusia insaf akan adanya suatu kekuasaan yang melebihi segala – galanya dan sangat penting untuk keselamatannya. Dari segi lain, manusia-baik sebagai maupun kelompok – memiliki keunikan masing – masing. Kemanusiaanya tumbuh dan terbentuk oleh suatu lingkungan dan kondisi, lengkap dengan norma, tata nilai dan cara pemaknaan terhadap realitas yang dihadapinya. Oleh karena itu, sah dan wajar jika dalam berolah agama terjadi perbedaan.
            Dengan demikian bahwa keberagamaan tidak dapat dilepaskan dari keterhubungannya dengan spiritualitas. Terjadi kuasa transeden di mana penghayatan tersebut menumbuhkan relasi, mungkin personal, mungkin juga impersonal. Namun yang jelas, titik tolaknya adalah realiatas hidup yang dihadapi yang dialami serta gerak hati untuk memberikan tanggapan spiritual terhadap kuasa transeden itu. Pengungkapan spiritualitas dan kedalam sentuhannya tidak dapat dilepaskan dari jalinan budayawi seseorang secara kontekstual. Karena itu, pengembangan spiritualitas menggunakan wahana kebudayaan adalah wajar, bahkan harus.
            Dari konteks di atas, maka tidak dapat disangkal sekalipun spiritualitas terkait erat dengan penghayatan personal dan bersifat individual, maka implikasinya bersentuhan pula dengan komunitas sosial. Itulah yang menyebabkan dimungkinan terjadinya kelompok orang, yang secara bersama – sama terikat dalam kesamaan pengungkapan spiritulitas ke dalam wadah agamawi. Wadah itupun akan menemukan spesifikasinya lebih lanjut dalam jalinan kebudayaan yang melingkupinya. Dengan demikian, terjadinya bentuk – bentuk pengungkapan spiritualitas (sebagai inti kehidupan keagamaan) yang berbeda – beda merupakan hal yang wajar dan (semestinya) tidak perlu mengundang ketegangan.

Agama sebagai Suatu Simbol
            Simbol mempunyai makan yang lebih dalam dan lebih rumit daripada tanda. Dalam simbol objek, fakta atau peristiwa sebagai realitas lain, yang biasanya berada di luar jangkauan pengalaman indrawi manusia. Signifikansi simbol memuat berbagai pemahaman yang dalam, misterium dan mengatasi indrawi manusia yang terbatas. Sekalipun demikian, manusia selalu membutuhkan dan menggunakan simbol – simbol itu. Bahkan sebagai mahluk yang berakal budi, manusia dapat menciptakan simbol – simbol untuk mengaktualisasikan pikiran dan kehendaknya. Dengan pikirannya manusia menciptakan simbol – simbol tersebut merupakan penjelmaan dari kebebasan dan dinamika budi manusia.
1.      Supranatural
2.      Keyakinan: kepercayaan
3.      Budaya


Pendidikan Agama (di Indonesia)
Pendidikan Zaman Purba
            Kebudayaan penduduk asli pada zaman purba disebut kebudayaan Palaeolitis, artinya kebudayaan yang sudah tua (palaios = tua, lama), seperti yang kita jumpai pada orang orang Kubu, Wedda, dan Negrito. Sedangkan kebudayaan Indonesia asli pada kira – kira 1500 SM disebut kebudayaan Neolitis (Neo = baru), yang sisa-sisanya banyak kita jumpai di pedalaman Kalimantan dan Sulawesi. Adapun ciri-cirinya ialah bahwa kebudayaan maritim, artinya ada hubungan dengan laut.
            Kepercayaan: ada yang animism, artinya mempercayai adanya roh pada setiap benda, baik pada benda hidup maupun benda mati. Ada pula yang dinamisme, artinya mempercayai kekuatan gaib  pada setiap benda, baik pada benda hidup

Pendidikan Zaman Hindu - Budha
            Karena makin lancarnya perdagangan antara Negara–negara di dunia, maka di Indonesia terjadi diplomatik antara raja India dengan ketua-ketua adat.  Lama kelamaan ketua-ketua adat tersebut ingin menyamai raja India, maka akhirnya mereka ada yang dinobatkan menjadi raja.
            Seirama dengn struktur social di India, maka keadaan masyarakat Indonesia dibagi menjadi 2 bagian  adalah: Golongan kasta Brahmana dan Ksatria, yaitu para raja maupun pada benda mati. Masyarakat pada saat itu masih sangat bersifat gotong royong, akrab, statis.
            Mengenai tujuan pendidikan pada zaman itu ialah, anak – anak harus dipersiapkan agar mempunyai kecakapan istimewa dan kekuasaan istimewa pada masyarakat. Manusia yang dicita-citakan ialah; manusia yang bersemangat gotong royong, menghormati para Empu dan taat pada adat. Kepala adat dapat memegang peranan segala – galanya adalah (1) dengan pegawai – pegawainya. Golongan ini termasuk kasta yang dijamin oleh rakyat. (2) Golongan kasta Waisya dan Sudra, yaitu golongan rakyat biasa. Golongan ini termasuk golongan yang menjamin pada golongan pertama.

Zaman Hindu
1.      Agama Hindu atau agama Brahma dapat dikatakan politheisme, yaitu mempertuhankan kepada banyak dewa. Dewa-dewa itu antara lain; Surya (dewa matahari), Yama (dewa laut), Agni (dewa api), dst. Adapun dewa yang tertinggi ialah: Brahma ,Wisnu, Syiwa. Ketiganya disebut Trimurti.
2.      Menurut agama Hindu, setiap manusia hidup adalah selalu dalam keadaan samsara (sengsara), artinya selalu mengalami perpindahan jiwa yang tidak berkeputusan. Ia mengalami proses lahir kemudian mati, terus lahir lagi begitulah seterusnya. Dan akhirnya sampailah ia mencapai moksha (bersatu dengan dewa).
3.      Menurut faham Hindu, khususnya para pengikut dewa Syiwa, mengatakan bahwa hidup manusia mengalami proses bertingkat ,yaitu: debu – tanaman – hewan – sudra – waisya – ksatria – brahmana – moksha (bersatu dengan dewa)
4.      Mengenai hukum karma, agama Hindu beranggapan bahwa tiap – tiap kebaikan akan berakibat baik, dan sebaliknya tiap – tiap kejahatan akan berakibat pula kejahatan.

Zaman Budha
1.      Budha tidak menyetujui pembagian kasta sebagaimana dalam agama Hindu, dan pendirian bahwa semua orang itu sama tingkatannya.
2.      Ajaran  pokok dari agama Budha adalah: (a) Lahir,menjadi tua dan mati adalah menderita. (b) Apakah yang  menyebabkan menderita itu? Yaitu karena adanya keinginan-keinginan dan hawa nafsu. (c) Penderitaan akan lenyap, bila hawa nafsu tersebut dapat dihilangkan. (d) Adapun cara untuk melenyapkan penderitaan itu ialah harus menjalani 8 jalan kebenaran  yang diberikan oleh Budha,yakni: pandangan-niat-bicara-berbuat-berpenghidupan-berusaha-perhatian-memusatkan pikiran, semuanya harus baik dan benar.
3.      Tujuan hidup manusia ialah untuk mencapai keselamatan diri, yaitu lepas dari “samsara” (sengsara), lepas dari peredaran hidup mati, sehingga dapat mencapai nirwana.
4.      Pada awal tahun Masehi agama Budha pecah menjadi 2 aliran yaitu aliran Hinayana dan Mahayana. Di  Indonesia kebanyakan mengikuti aliran  Mahayana.
5.      Keadaan Pendidikannya: (a) Yang mula-mula menjadi guru ialah kaum  Brahmana. Kemudian lama-kelamaan para empu di Indonesia  menjadi guru sebagai pengganti kedudukan Brahmana. Pada saat itu terdapat 2 macam tingkatan guru,yaitu: guru kraton, di mana yang menjadi murid-muridnya ialah anak-anak raja dan bangsawan; dan guru pertapa yang lebih berjiwa kerakyatan. Cita-citanya ingin mengangkat derajat rakyat jelata. (b) Sistem pendidikannya adalah sistem guru kula, jadi disesuaikan dengan cara di India. Murid-murid tinggal serumah dengan guru. Guru dianggap sakti dan harus selalu dihormati. Penghasilan guru diperoleh dari pemberian sukarela dari orang tua murid-murid.
Zaman Sriwijaya
          Menurut sejarah,kurang lebih 500 tahun sebelum Masehi, pernah merantaulah suatu bangsa yang berasal dari India Belakang ke Kepulauan Nusantara. Setelah mengadakan hubungan dagang dan kebudayaan, maka abad 7-8 terbentuklah Negara-negara seperti: Sriwijaya, Tarumanegara, Mataram Lama, dan sebagainya yang pada hakikatnya terbentuk dari persatuan desa-desa yang telah ada pada beberapa daerah di kepulauan Nusantara itu.
          Tentang pendidikan-pendidikan pada saat itu dapat kita bicarakan sebagai berikut: (a) Dasar pendidikannya: agama Budha. (b) Tujuannya: Tiap-tiap orang yang beragama Budha supaya menjadi manusia yang sempurna dan dapat masuk nirwana. (c) Kurikulumnya: Bahan yang diajarkan adalah isi dari buku-buku Budha,yaitu Upanishad (sebagai buku suci), dan guru yang terkenal ialah: Darmapala. (d) Bentuk sistemnya: Para pelajar dan mahasiswa bersama-sama guru hidup dalam suatu tempat tertentu disebut asrama, yang merupakan tempat belajar dan mengajar. Hubungan guru dan murid adalah erat sekali, sehingga besar pengaruhnya dalam pendidikan. Irama-metodiknya cara mengajar, murid-murid menghafalkan dan diberi buku pelajaran untuk dihafalkan, sehingga dapat dikatakan benar-benar menguasai.
          Perlu diketahui bahwa bangsa yang pindah ke Indonesia dari India Belakang itu telah mempunyai nilai kebudayaan yang tinggi yaitu: (a) Mereka telah mengenal cara bercocok tanam. (b) Mereka telah pandai mendirikan rumah. (c) Mereka telah mengenal ilmu perbintangan dan sebagainya.


Pendidikan Zaman Permulaan Agama Islam
          Dengan terbukanya perdagangan internasional, maka datanglah agama Islam ke Indonesia oleh para pedagang. Agama tersebut kemudian berkembang melalui guru-guru pertapa yang telah di Islamkan oleh para wali. Di daerah pedalaman kebudayaan Islam tersebut kemudian bercampur dengan kebudayaan Hindu-Budha, akibatnya: (a) Pemujaan terhadap raja tetap bergelora. (b) Bentuk masyarakat tetap feodal. (c) Adanya 2 golongan dalam masyarakat (yang dijamin), meskipun agama Islam sudah berasas demokratis.

Agama Islam
          Islam berasal dari kata bahasa Arab  “salima” yang berarti sejahtera, tidak bercela.  Atau dari kata aslama yang berarti menyerah, artinya patuh menerima/menganut agama Islam. Orang yang melakukan aslama disebut muslim,yang berarti patuh karena Allah. Pada kepatuhannya itu akan bergantung keselamatan dan kebahagiaanya.

Langgar
Langgar adalah merupkan pengajaran permulaan.  Mula-mula diberikan pelajaran huruf Arab, dan kemudian dengan mengaji ayat-ayat Al-Qur’an. Sistem pengajarannya : per kepala, yaitu murid menirukan contoh guru. Tujuan pengajaran ialah agar murid-murid dapat membaca Al-Qur’an sampai tamat.
          Lama belajar tidak terbatas, tergantung dari kemauan murid.  Biasanya lamanya 1 tahun, bahkan kadang-kadang kurang.  Waktu belajar : pagi hari dan malam hari.
          Gurunya : seseorang yang berpengetahuan agama yang betul-betul mendalam, sekurang-kurangnya agak mendalam. Murid tidak boleh mengecam guru, sebab mengecam guru adalah berdosa.
          Uang sekolah tidak dipungut sama sekali. Apabila sudah menamatkan membaca AL-Qur’an, maka kemudian diadakan shadaqah khataman.

Pesantren
          Tempat ini memberikan pengajaran lebih lanjut dan mendalam. Murid-muridnya disebut santri, dan biasanya telah memiliki pengetahuan dasar yang mereka peroleh di langgar.
Tempat tinggal mereka dalam suatu pondok (semacam asrama,di dekatnya terdapat mesjid dan rumah guru. Guru hidup bersama-sama muridnya. Guru mendapat sebutan kyai atau ajengan. Lama belajar tidak ditentukan, ada yang 1 tahun, 2 tahun, dan ada pula yang sampai 10 tahun.
               Kegiatan Harian Pesantren sebagai berikut: (a)Sesudah shalat shubuh, diberi pelajaran. (b) Kemudian bekerja membersihkan halaman, berkebun, bekerja di sawah dan lain-lain. (c) Sesudah makan siang, istirahat pelajaran dan menghafal. (d) Sesudah shalat maghrib dan isya’ diberi pelajaran lagi.
               Bagi yang dipandang tinggi tingkatannya, diberi pelajaran dengan system klasikal. Mata pelajaran yang diberikan ialah: (a) Ilmu Tauhid, yaitu pokok-pokok ajaran Islam. (b) Usul Fiqih, yaitu alat untuk menggali hukum-hukum Islam. (c) Ilmu Arabiyah, yaitu ilmu untuk mendalami bahasa Arab.
               Di Sumatera Barat tidak ada perbedaan antara langgar dan pesantren , kesemuannya disebut surau. Sedang pusat pendidikan Islam pada umumnya ialah masjid, yang kemudian timbul madrasah-madrasah. Mulai abad ke-11 di madrasah-madrasah tersebut mulai diberikan pelajaran pengetahuan umum.
               Metodiknya: Cara yang biasa dipakai oleh guru ialah cara member pelajaran secara menghafal, misalnya menghafal Al-Qur’an. Mula-mula santri-santri itu menirukan berkali-kali dari Kyai, sehingga hafal.  Demikian pula cara memberi pelajaran masih individual yaitu satu per-satu.  Keistimewaannnya para santri ialah, bahwa mereka tidak ingin menjadi pegawai, melainkan ingin hidup bebas, beramal dan hakikatnya para santri dan Kyai mengadakan hubungn erat.

Pendidikan Muhamadiyah
          Persyarikatan Muhamadiyah adalah gerakan Islam yang didirikan pada tanggal 18 November 1912 di Yogyakarta oleh KH. Ahmad Dahlan . Asas persyarikatan tersebut ialah: (a) Asas gerak amalnya: Islam. (b) Asas tujuannya : mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. (c) Asas perjuangannya: Dakwah Islamiyah, amar ma’ruf nahi mungkar (memerintah kebajikan dan mencegah kejahatan) dalam bidang kemasyarakatan. (d) Asas usahanya: mencakup semua bidang kegiatan dan kehidupan masyarakat.

Prinsip Kehidupan Muhamadiyah
Pendidikan Muhamadiyah berasakan Islam,  berpedoman Qur’an dan Hadits. Tujuannya: membentuk manusian muslim berakhlak mulia, cakap, percaya pada diri sendiri dan berguna bagi masyarakat. Sebagai orang muslim harus mempunyai ciri-ciri  sebagai berikut: (a) Berjiwa tauhid yang murni. (b) Beribadah kepada Allah. (c) Berbakti kepada orang tua dan baik kepada kerabatnya. (d) Memiliki akhlak yang mulia dan halus perasaannya. (e) Berilmu pengetahuan dan mempunyai kecakapan. (f) Cakap memimpin keluarga dan masyarakat.
Dasar-dasar Pendidikan Muhamadiyah
1.      Kemasyarakatan: Artinya memikirkan aspek masyarakat di samping aspek individu. Maksudnya agar anak-anak kelak tidak menjadi orang yang setengah-setengah/ canggung dalam masyarakat. Untuk ini maka harus dididik supaya dapat berdiri sendiri (selfstanding) dan tidak menjadi parasit.
2.      Tajdid (progressivitas) = pembaruan. Artinya kita usahakan nilai-nilai dan cara-cara baru, agar perguruan itu tetap up to date.
3.      Aktivitas  Anak-anak dididik menjadi orang yang aktif dengan latihan-latihan kerja, juga dalam kerja kelompok dan sebagainya. Kita ubah sistem guru sentries menjadi paedocentris (berpusat pada anak-anak).
4.      Kreativitas: Yaitu menimbulkan daya cipta dengan memberikan beberapa mata pelajaran, misalnya teknologi.
5.      Optimisme: Artinya bila syarat-syarat tersebut sudah terpenuhi, kita bersangka baik terhadap hasil pendidikan kita.

Tujuan Muhamadiyah
Memperluas dan mempertinggi pendidikan agama Islam modern, serta  memperteguh keyakinan tentang agama Islam, sehingga terwujudlah masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Usaha-usahanya:
1.      Mendirikan sekolah-sekolah yang tersebar di seluruh Indonesia, di bawah pimpinan bagian pengajaran. Sekolah-sekolah tersebut di samping memberikan pelajaran agama Islam, juga pelajaran-pelajaran sebagaimana di sekolah-sekolah umum/negeri.
2.      Memperluas pengajian-pengajian, di bawah pimpinan bagian tabligh, menyebarkan bacaan-bacaan agama, mendirikan masjid, madrasah, pesantren dan sebagainya.
3.      Mendirikan rumah-rumah yatim piatu, rumah sakit dan poliklinik-poliklinik untuk memelihara kesehatan rakyat, di bawah asuhan PKU (Pertolongan Kesehatan Umum.)
4.      Selain tersebut di atas ada pula bagian-bagian lain seperti bagian wanitanya yang dinamakan Aisyiyah, bagian pemudanya yang dinamakan Pemuda Muhamadiyah. Semboyan Muhamadiyah: Sedikit bicara, banyak bekerja.  Berlomba-lombalah dalam kebaikan.

Penyelenggaraan Sekolah-sekolah Muhamadiyah
1.      Pada zaman Belanda sudah mempunyai  bagian, misalnya sekolah Bustanul Atfal (TK), sekolah kelas II, HIS, Mulo, Kweekschool dan AMS.
2.      Sekolah-sekolah agama misalnya : Ibtidaiyah (SD), Tsanawijah (SLTP), Muallimin/Mu’allimat (SPG) dan sebagainya.
3.      Pada zaman Jepang sekolah-sekolahnya berjalan terus tetapi terjadi kegoncangan-kegoncangan di sana-sini.
4.      Pada zaman Kemerdekaan lebih berkembang lagi, sehingga mempunyai bagian-bagian sebagai berikut: Madrasah, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Diniyah, Mu’allimin/ Mu’allima, TK, SD, SMEP, SMEA. SMA, SMOA, SKKP, SKKA, IKIP, dan masih ada lagi. Dan sampai sekarang sudah banyak Perguruan Tinggi dalam bentuk Universitas.
5.      Tidak sedikit jumlah sekolah-sekolah Muhamadiyah yang mendapat subsidi dari pemerintah,dan juga mendapat bantuan/sumbangan.

    Seiring dengan perkembangan Islam, maka pendidikan agama Islam begitu berkembang secara pesat.  Sekarang ini banyak kita temui sekolah-sekolah Islam yang maju dan bermuru tinggi seperti sekolah Al-hazar, Muhamadiah dan Pesantren-pesantren modern.


Pendidikan Agama dalam Alkitab
Perjanjian Lama
          Nenek moyang kaum Israel, Abraham, Ishak, dan Yakub menjadi guru bagi seluruh keluarganya. Sebagai bapak-bapak dari bangsanya, mereka bukan saja menjadi imam yang merupakan pengantara antara Tuhan dengan umat-Nya, tetapi juga menjadi guru yang mengajarkan tentang perbuatan-perbuatan Tuhan yang mulia itu dengan segala janji Tuhan yang membawa berkat kepada Israel turun-menurun. Tuhan telah memilih dan memanggil Abraham dari jauh untuk melayani kehendak-Nya yang agung,  guna keselamatan seluruh umat manusia. Bimbingan dan maksud Tuhan itu perlu dijelaskan kepada segala anak-cucunya.
Dalam Mazmur 78: 3-7 sekurang-kurangnya lima angkatan yang berkenaan dengan pembinaan rohani.
“Yang kami dengar dan yang kami ketahui, dan yang diceritakan kepada kami oleh nenek moyang kami, kami tidak hendak sembunyikan kepada anak-anak mereka, tetapi kami akan ceritakan kepada angkatan kemudian . . . supaya dikenal angkatan kemudian, supaya anak-anak, yang akan lahir kelak, bangun dan menceritakannya kepada anak-anak mereka, supaya mereka menaruh kepercayaan kepada Allah dan tidak melupakan perbuatan-perbuatan Allah, tetapi memegang perintah-perintahNya.”
Dari lima generasi yang dijelaskan dalam ayat ini adalah nenek moyang (Ay. 3,), Anak-anak mereka (ay. 4), Angkatan Kemudian (Ay. 4), Anak-anak yang akan lahir kelak (Ay. 6), Anak-anak mereka (Ay. 6b). Pendidikan Iman harus dipelihara dari generasi ke generasi berikutnya. Pembinaan rohani harus berlangsung secara kontinyu dari angkatan demi angkatan untuk memelihara kelestarian umat Allah sesuai dengan pola Alkitab.
            Ishak meneruskan pengajaran yang penting itu dan kemudian anaknya Yakub pula menanamkan segala perkara ini ke dalam batin anak-anaknkya. Yusuf menyimpan pelajaran-pelajaran itu di dalam hatinya kemana saja ia pergi, biar dalam pengasingan sekalipun, sehingga pengetahuan akan janji-janji Tuhan itu tetap terpelihara oleh bangsa Israel.
            Tuhan telah memasuki hidup mereka, karena Tuhan ingin memakai bangsa itu sebagai alat-Nya. Atas perintah Tuhanlah keinsafan itu dipupuk dan diperdalam, dengan jalan pengajaran kepada kepada tiap-tiap angkatan muda.
            Nabi Musa dipilih pula oleh Tuhan untuk membebaskan umat-Nya dari penindasan. Musalah yang diangkat menjadi panglima dan pemimpinnya, tetapi juga menjadi guru dan pemberi hokum-hukum bagi mereka. Justru fungsi terakhir itu yang merupakan tugasnya yang paling penting, mengingat pertumbuhan suku-suku Israel pada zaman itu menjadi satu bangsa yang utuh dan istimewa sifatnya. Musa mendidik mereka di padang belantara dan mengatur pendidikan itu dengan jitu dan tepat, agar pengajaran agama, yang memberi dasar seluruh kehidupan umat Tuhan itu, akan dilanjutkan pula oleh pengganti-penggantinya kemudian.\
            Demikianlah kita dapat meninjau masa demi masa, sambil menunjukkan segala perhatian kita kepada segala aspek pendidikan agama di antara bangsa      Israel tatkala sudah mendiami Tanah perjanjian itu. Dapatlah kita menunjuk kepada zaman Para Hakim, dimana muncul seorang pemimpin dan juga guru yang besar, ialah Samuel, dan kepada tokoh-tokoh para nabi, baik yang bekerja di masa raja-raja pertama, maupun yang tampil ke muka dengan khotbahnya yang berapi-api itu sewaktu raja-raja berikutnya. Tentu saja mereka sekalian mengajarkan Firman Tuhan dengan rajin dan setia supaya umat Israel kembali kepada sumber keselamatannya.
            Selain dari mereka itu, jangan hendaknya kita lupa akan pendidikan yang diselenggarakan oleh imam-imam dalam Bait Suci. Merekalah yang menerangkan dan memeliharakan undang-undang mengenai kebaktian. Mereka juga yang mengajarkan hukum-hukum tentang kebersihan dan kesehatan, makanan pantangan dan perhubungan kelamin, dan banyak hukum lagi, yang harus diketahui dan dituruti oleh umat suci itu.
            Tiap-tiap keturunan orang Israel menyampaikan pula segala pengajaran dan peraturan itu kepada keturunan yang berikut.Proses ini terus berlangsung terus beratus-ratus tahun lamanya. Kita heran membaca dalam Perjanjian Lama betapa banyak hal yang beraneka ragam selalu diajarkan kepada angkatan muda dari kaum Israel itu. Ada hukum-hukum mengenai pembangunan rumah-rumah dan mengenai sistem pengadilan; ada yang mengenai pakaian dan riba, perkawinan dan perceraian nikah, pertanian dan perternakan, dan sebagainya. Tegasnya, rencana pelajaran oaring-orang Israel itu sangat luas dan teratur baik.
            Di Israel segala sesuatu harus saling membantu dan bekerja sama untuk mendidik anak-anak dan orang dewasa agar menjadi anggota-anggota persekutuan agama itu, yang insaf akan panggilannya dan dengan segenap hatinya ingin mengabdi kepada Tuhan dalam segala gerak-gerik di hidup mereka. Untuk itu juga dipergunakan masa-masa raya yang memperingatkan kaum Israel akan peristiwa-peristiwa yang besar  yang dialami nenek moyang mereka zaman dulu, misalnya perayaan Paskah. Berhubungan dengan hari-hari raya itu, bapa-bapa meneceritakan kepada anak-anaknya tentang segala pimpinan dan berkat Tuhan pada masa lampau, supaya menjadi pelajaran dan penghiburan bagi mereka sekalian pada masa kini.
            Seluruh pendidikan Israel bersifat agama,  tak ada sebagian juga pun dari segala lapangan hidup manusia yang tidak dipengaruhi dan dikuasai agama.  Pendidikan itu mulai dalam masing-masing rumah tangga dan diteruskan dalam kebaktian–kebaktian umum dan di dalam pengajaran tentang  taurat Tuhan. Tuhan Allah sendirilah yang merupakan pusat dan tujuan segala pendidikan masyarakat bangsa Israel, maka sudah tentu segala hal-ihwal masyarakat umum pula dipelajari dan diatur dalam terang penyataan Tuhan.
            Bahkan nama-nama tempat di daerah Palestina itu pun sering mengajarkan orang Israel tentang pentingnya agama. Kita teringat umpamanya akan arti gunung-gunung Ebal dan Gerizim. Setelah masuk ke tanah Kanaan, maka atas perintah Tuhan  dari puncak gunung Ebal itu dibacakan kutuk-kutuk bagi segala orang yang tidak taat kepada pimpinan Tuhan dan Taurat-Nya yang suci itu, dari atas gunung Gerizim diserukan berkat-berkat yang dijanjikan kepada sekalian rakyat yang mau mengabdi kepada Tuhan. Dengan demikian setiap kali orang-orang Israel kemudian melalui lembah anatar dua gunung itu mereka diingatkan akan keharusan bagi manusia untuk memilih anatra melawan atau menuruti Tuhan, menolak atau mengaku kuasa Tuhan atas hidup kita. Lembah itu seakan-akan menjadi “Lembah Keputusan”, yang memaksa manusia untuk menentukan apakah ia mau hidup di bawah berkat atau kutuk Tuhan (bnd. Ul. 11: 29; 27:1-26. Yos. 8: 30-35).
            Selama masa pembuangannya ke Babel, kaum Yahudi itu makin lama makin sadar lagi akan amanat dan panggilannya. Para katib mereka banyak mencurahkan perhatian kepada kitab-kitab suci bangsanya. Dibangunlah rumah-rumah sembahyang dan sekolah-sekolah agama, tempat diajarkannya kepada jemaat Yahudi itu segala tradisi agama yang telah diserahkan nenek moyangnya berabad-abad lamanya. Dan sekembalinya kaum Yahudi itu ke tanah airnya, maka pembacaan taurat mulai memegang peranan yang sangat penting di pusat banyak sarjana  Yahudi yang menyelidiki dan menafsirkan kitab-kitab suci dengan teliti. Sekolah-sekolah dan mazhab-mazhab rabbi yang masyhur itu mulai muncul, berkembang dan berkuasa. 
Keyakinan teologis yang menjadi dasar pendidikan Yahudi adalah  ajaran tentang manusia. Secara singkat, menurut Perjanjian Lama, manusia diciptakan menurut gambar Allah untuk memelihara lingkungan hidup, menurut peerintah Penciptanya dan hidup dengan setia sebagai anggota umat terpilih/kawan sekerja perjanjian. Pada pokoknya semua panggilan tersebut bergantung pada sifat manusia. Manusia adalah makhluk khusus yang mampu dan wajib mengambil keputusan pada setiap saat dari hidupnya. Dia terpanggil untuk membedakan antara nilai-nilai yang muncul dalam kebudayaan dan berporos kepada kehendak Tuhan. Apabila ia mengacaukan keduanya, dalam arti tidak melihat nilai ketegangan antara nilai kebudayaan dan maksud Tuhan, maka keadaannya mirip yang dikatakan Nabi Yeremia atas nama Tuhan : Israel telah “. . . . meningggalkan Aku, sumber air yang hidup, untuk menggali kolam bagi mereeka sendiri, yakni kolam yang bocor, yang tidak dapat menahan air” (Yer. 2: 13b).  
Tujuan umum pendidikan agama Yahudi yang berlaku bagi paguyuban Yahudi sebelum musibah Pembuangan ke Babel ialah Melibatkan angkatan muda dan dewasa dalam sejumlah penglaman belajar yang menolong mereka mengingat perbuatan-perbuatan ajaib yang dilaksanakan Allah pada masa lampau, serta membimbing mereka mengharapkan terjadinya perbuatan sama dengan penyataan di tengah-tengah kehidupan mereka guna memenuhi syarat-syarat perjanjian, baik berkaitan dengan kebaktian keluarga dan seluruh persekutuan maupun yang mencakup perilaku yang sesuai dengan Kehendak Tuhan, sebagaimana ia diejawantahkan dalam urusan soaial dan pemeliharaan ciptaan yang dinamakan baik oleh Tuhan.
            Sebenarnya, pada zaman Tuhan Yesus pengajaran agama kaum Yahudi sudah sangat berkurang mutu rohaninya. Penyelidikan dan pengajaran tentang taurat telah bersifat formal dan kaku. Huruf hokum-hukum itu terlampau diutamakan. Pengajaran agama mulai menitikberatkan derajat tinggi kaum Yahudi secara bangsa dan jenis manusia. Jiwa taurat telah menang atas sifat rohani dari agama Israel semula. Katib-katib bersifat congkak. Tetapi kendatipun demikian, pendidikan agama kaum Yahudi itu tetap merupakan dasar dan latar belakang bagi pendidikan agama Kristen di kemudian hari. Dengan itu kita tiba pada masa Perjanjian Baru.

Perjanjian Baru
Demikian pula halnya dengan Perjanjian Baru. Segala kitabnya ditulis dengan tujuan tertentu, ialah untuk mengajar umat Kristen tentang pernyataan Allah dalam Yesus Kristus dan pengaruhnya bagi umat manusia. Kitab-kitab Injil hendak memelihara tradisi lisan mengenai pekerjaan dan pemberitaan Tuhan Yesus, agar rohani jemaat Kristen dibangunkan, imannnya diperkokoh dan pengetahuannya akan Juruselamat itu diperdalam. Dan surat-surat Rasul Paulus misalnya, semuanya menyinggung pelbagai masalah yang perlu diterangkan kepada jemaat. Dengan tiada lelah Paulus senantiasa berdaya-upaya untuk mendidik jemaat Kristen dalam segala soal iman dan kesusilaan Kristen , dan kita bersyukur kepada Tuhan bahwa surat-suratnya, yang penuh dengan pengajaran dan nasihat tidak ternilai harganya, semuanya diserahkan kepada kita. Marilah sekarang kita menyelidiki dengan lebih saksama lagi tentang kedudukan dan fungsi pendidikan agama itu di dalam Alkitab sebagai berikut:

Yesus
Apabila kita hendak menyelidiki soal pendidikan agama dalam hubungan Perjanjian Baru, tentu saja pertama – tama dan khususnya kita harus mengarahkan pandangan kita kepada Tuhan Yesus sendiri. Disamping jabatan-Nya sebagai Penebus dan Pembebas, Tuhan Yesus juga menjadi Guru Yang Agung. Keahlian-Nya sebagai seorang guru umumnya diperhatikan dan dipuji oleh rakyat Yahudi; mereka dengan sendirinya menyebut Dia “Rabbi”. Ini tentu suatu gelar kehormatan, yang menyatakan betapa ia sangat disegani dan dikagumi oleh orang sebangsa-Nya selaku seorang pengajar yang mahir dalam segala soal ilmu ketuhanan. Sebab Ia mengajar mereka “sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli – ahli Taurat yang biasa mengajar mereka” (Mat. 7:29).
            Tuhan Yesus mengajar di mana saja: di atas bukit, dari dalam perahu, disisi orang sakit, ditepi sumur, di rumah yang sederhana, dan dirumah orang kaya, di depan pembesar-pembesar agama dan pemerintah, bahkan di kayu palang salib sekalipun. Tuhan Yesus tidak memerlukan sekolah atau gedung yang tertentu. Tiap – tiap keadaan dan pertemuan dipergunakan-Nya untuk memberitakan Firman Allah.
            Tuhan Yesus dalam pengajaran-Nya tidak terikat pula pada waktu tertentu. Siang – malam, pada setiap saat Ia bersedia menerangkan Jalan Keselamatan dan Kerajaan Sorga yang telah dating itu kepada siapa saja yang ingin belajar kepada-Nya.
            Yang menjadi tujuan pengajaran Tuhan Yesus itu bukanlah untuk membahas pelbagai pokok agama dan susila secara ilmiah atau secara teori saja, melainkan untuk melayani tiap-tiap manusia yang datang kepada-Nya. Setiap orang itu dikenal-Nya, dan dipahami-Nya masalah-masalah yang dipergumulkan orang itu.
            Cara mengajar-Nya sangat istimewa pula. Biasanya Tuhan Yesus tidak membentangkan sesuatu ajaran dengan menyuruh orang mempercayai itu, tetapi Ia menolong mereka berpikir sendiri dan menarik kesimpulan-Nya sendiri dari apa yang telah dijelaskan-Nya pada mereka. Tak selalu Ia mencapai hasil-Nya, karena sering pendengar – pendengarNya mengeraskan hatinya, tetapi tentu Ia senantiasa menyatakan Diri sebagai guru yang tak ada taranya karena Ia sendiri adalah Kebenaran.
            Banyak metode yang dipakai-Nya, dan segala metode itu masih penting dan perlu dipelajari oleh segala guru agama masa kini. Adakalanya Tuhan Yesus bercerita. Sering Ia memakai perumpamaan-perumpamaan. Acap pula Ia mengemukakan pertanyaan-pertanyaan, yang kemudian menjadi bahan pengajaran-Nya. Kadang – kadang suatu percakapan kita berkembang menjadi suatu pengajaran yang indah. Tetapi bukan saja dengan perkataan-Nya Tuhan Yesus mengajar. Juga dengan jalan memperlihatkan apa yang dimaksudkan-Nya seperti tatkala Ia memeluk anak-anak dan memberkati mereka, itu menjadi teguran pada murid-murid-Nya, atau ketika ia membasuh kaki mereka untuk mengajar mereka supaya rendah hati.
            Bahkan seluruh kehidupan Tuhan Yesus sendiri merupakan pengajaran sampai saat yang terakhir, karena justru dalam sengsara dan kematian-Nya Ia menyungguhkan segala pengajaran-Nya dengan pengorbanan Diri-Nya sendiri.

 Paulus
Rasul Paulus juga seorang guru yang ulung. Ia merupakan tokoh penting di lapangan pendidikan agama. Paulus sendiri dididik untuk menjadi seorang rabbi bagi bangsanya. Ia mahir dalam pengetahuan akan Taurat dan Ia dilatih untuk mengajar orang lain tentang agama kaum Yahudi.
            Setelah Tuhan Yesus memasuki hidupnya, Paulus menjadi seorang hamba Tuhan yang terdorong oleh hasrat yang berapi – api untuk memansyurkan nama Tuhan Yesus itu. Kemanapun  Paulus pergi, segala kesempatannya digunakan untuk mengajar orang Yahudi dan kaum kafir tentang kehidupan bahagia yang terdapat dalam Injil Yesus Kristus. Paulus berkhotbah di hadapan imam-imam dan rabbi-rabbi Yahudi di hadapan rakyat jelata di segala kota dan desa-desa yang dikunjunginya. Ia mengajar raja-raja dan wali-wali negri, orang cendikiawan dan kaum budak, orang laki-laki, kaum wanita, orang Asia,orang Yunani, orang Romawi, pendek kata segala golongan manusia yang ditemuinya pada perjalanan-perjalanannya yang banyak dan panjang itu.
            Paulus berkeyakinan kuat dan beriman teguh. Selalu ia siap sedia untuk bertukar pikiran, mengajar menegur dan mengajak. Pasti ia orang yang ahli pidato dan besar bakatnya. Meskipun tidak tampan raut muka dan tokoh badannya, tetapi khotbahnya penuh semangat dan terang isinya, sehingga mengagumkan para pendengar. Dan banyak orang merasa sangat tersinggung, tetapibanyak pula yang segera ditawan oleh kuasa bahasanya.
            Paulus mengajar di rumah-rumah tempat ia menumpang, di gedung-gedung yang disewanya, di lorong-lorong kota atau di padang-padang, di atas kapal, dan dalam bengkelnya, di pasar  dan dalam kumpulan kaum filsuf. Tak ada tempat yang dianggapnya kurang layak untuk menyampaikan beritanyatentang Juruselamat dunia.
            Rasul Paulus juga banyak mengajar melalui surat-surat. Segala soal dan kesulitan yang muncul dalam jemaat-jemaat yang didirikan itu, ataupun yang timbul di  antara kaum Kristen yang belum dikunjunginya, semua itu dipakainya untuk menguraikan pokok-pokok kepercayaan atau kesusilaan Kristen yang bersangkutan dengan hal-hal itu. Kebiasaannya itu sungguh menguntungkan seluruh umat Kristen di kemudian hari. Bukankah surat-surat Paulus itu sampai sekarang merupakan pengajaran yang tak ternilai harganya bagi sekalian orang Kristen di segala tempat?

Jemaat yang Mula-mula
Sejak mulai berdirinya maka jemaat Kristen menjunjung pengajaran agama. Seperti diketahui, orang-orang Kristen muda itu mula-mula masih berpaut kepada adat agama Yahudi, tetapi lambat laun mereka mengembangkan perkumpulan-perkumpulannya sendiri. Di dalam perkumpulan itu mereka berdoa, berbicara tentang pengajaran dan perbuatan-perbuatan Tuhan Yesus Kristus, makan sehidangan dan merayakan Perjamuan Suci. Mereka yakin sejak turunnya Roh Kudus jemaat mereka merupakan Israel baru. Yesus Kristus telah menciptakan Israel baru itu dengan Roh-Nya sendiri. Sekarang mereka berdiri dalam dunia ini dengan keadaan baru dan dengan tugas yang baru pula.
Akibatnya ialah mereka mulai berkhotbah dan mengajar, supaya banyak orang lain pula akan percaya pada Yesus sebagai Penebus dan Tuhan. Setiap orang yang mau bertobat danmau bergabung dengan jemaat Kristen itu,dididik dengan saksama. Di dalam dan di luar kebaktian,  mereka belajar tentang Diri Kristen di dalam dunia ini. Jemaat-jemaat muda itu mempelajari nubuat-nubuat para nabi dulu kala mengenai Yesus Kristus dan pemimpin gereja . Mereka menganggap dirinya suatu persekutuan suci,seperti Israel dulu,tetapi dengan mengaku Yesus Kristus selaku Raja, Nabi, dan Imamnya yang satu-satunya.
Kerajinan dan kesetiaan Israel dalam menjalankan pendidikan agama dituruti pula, hanya perbedaannya ialah sekarang bukan lagi Taurat yang menjadi dasar dan pusat pendidikan itu, melainkan Yesus Kristus. Dengan demikian, jemaat purba itu mengajarkan agama Kristen di dalam rumah-rumahnya kepada tetangganya, di dalam kebaktian dan kumpulannya, bahkan kepada siapa saja yang suka mendengarkan berita kesukaan yang mereka siarkan.
Dari uraian pendek ini kita dapat segera menarik kesimpulan bahwa agama Kristen itu merupakan suatu agama yang sangat mementingkan pendidikan Agama. Agama kita yakin bahwa sekalian penganutnya sekali-kali tak boleh melupakan perbuatan-perbuatan yang mahabesar, yang telah dilakukan Tuhan Allah bagi mereka di dalam Yesus Kristus. Anggota-anggota gereja, baik orang dewasa maupun anak-anak kecil, semuanya wajib mempelajari perkerjaan Tuhan yang telah mendatangkan keselamatan itu. Peristiwa-peristiwa yang agung itu harus diajarkan, diterangkan dan dipercaya, sehingga segala orang yang mengaku Yesus Kristus kehilangan tabiatnya yang lama dan  menjadi ciptaan baru dalam Dia. Jikalau demikian, Gereja Kristen di dunia ini menjadi suatu terang yang dapat menujuk jalan keselamatan banyak orang lain pula.
Sedari zaman Perjanjiab Baru jemaat Kristen sangat mementingkan pendidikan agama. Tugas mengajar itu  tentu diserahkan khususnya kepada kaum guru yang telah mempunyai karunia dan latihan istimewa untuk pekerjaan yang mulia itu,  tetapi seluruh jemaat tetap mendukung dan mendoakan mereka itu. Mulai dari abad pertama tarikh Masehi, Pendidikan agama Kristen menyiapkan orang untuk masuk ke dalam persekutuan jemaat Kristus, dan setelah disambut dalam jemaat itu mereka dididik terus supaya semakin lama semakin berakar dalam pengetahuan dan pengenalan yang mendalam tentang Yesus Kristus, Kepala Gereja itu.
             
Koherensi Agama dengan Pendidikan
Bilamanakah mulainya pendidikan agama itu?  Mungkin ada yang menyangka bahwa pendidikan agama itu baru mulai diselenggarakan pada masa modern, pendapat itu ternyata salah. Pendidikan agama mulai ketika agama sendiri mulai muncul dalam hidup manusia. Tiap-tiap agama di dunia ini memiliki system pendidikannya sendiri – sendiri. Entah bagaimana pun isi, cara dan bentuknya pendidikan itu, namun pasti ada. Setiap agama merasa perlu mengajar anak-anak muda tentang kepercayaan, adat istiadat, dan kebaktian agama itu. Sebelum mereka dapat ditahbiskan menjadi anggota penuh dari persekutuan agama itu, wajiblah mereka diajar dan dilatih dalam segala teori dan praktik agamanya itu.Demikian pula tuntutan agama terhadap orang-orang yang hendak masuk dari luar. Siapa yang ingin memeluk agama baru, tentu saja diwajibkan mempelajari pokok-pokok kepercayaan dan adat kebiasaan dalam agama itu lebih dulu.
Berkenaan dengan itu tiap-tiap agama mempunyai guru-guru dan lembaga-lembaganya    yang ditugaskan menjalankan pendidikan agama itu. Tegasnya, selama ada agama, ada pula pendidikan agama. Setiap pendiri agama seperti Konfusius, Sidharta Gautama, Muhammad sekaligus juga menjadi pendidik pada umat yang mengikutinya, bahkan tokoh-tokoh genersi kedua dan ketiga dan seterusnya selalu menampilkan sosok Pendidik bagi umat. Begitu muncul agama disana pulalah pendidikan agama dimulai. Karena Agama pasti menyentuh semua sendi-sendi kepribadian manusia. Pendidkan mengatur dan mengarahkan tingkah laku manusia.
Demikian pula dalam agama Kristen, kapan pendidikan agama Kristen mulai? Pendidikan agama Kristen berpangkal kepada persekutuan umat Tuhan di dalam Perjanjian Lama. Jadi pada hakikatnya dasar-dasarnya sudah terdapat dalam Sejarah Suci purbakala. PAK itu mulai dengan terpanggilnya Abraham menjadi nenek-moyang umat pilihan Tuhan, bahkan PAK berpokok kepada Allah sendiri, karena Allah yang menjadi Pendidik Agung bagi umat-Nya.
Pendidikan agama Kristen khususnya sejak awalnya sama dengan pikiran dan praktiknya selama masa Abad Pertengahan berakar baik dalam kebudayaan-Yunani-Romawi maupun Yahudi. Dari yang pertama itu, yaitu melalui pendekatan Socrates, misalnya, para pendidik Kristen belajar bagaimana menjernihkan pemikiran melalui seri pertanyaan yang semakin mendalam. Kemudian, pikiran salah satu muridnya yang bernama Plato dimanfaatkan para pemimpin Kristen untuk menyoroti inti sari pendidikan sebagai proses mengantar orang untuk meninggalkan perasaan aman mereka yang berporos dunia bayang-bayang agar bertindak sesuai dengan dunia yang nyata. Jadi sebagian pendidikan berarti memeriksa kembali pandangan yang lazimnya diterima dan menolaknya kalau memang data baru itu menuntut berbuat demikian.  Oleh sebab itu, untuk menemukan akar-akar dari Pendidikan Agama Kristen, haruslah kita menggali dalam Alkitab, tempat Tuhan menyatakan rahasia keselamatan-Nya kepada bangsa Israel. Alkitab itu merupakan satu-satunya sumber pengetahuan itu mengenai rancangan keselamatan itu,dan Alkitablah yang melukiskan dengan terang bagaimanakah wujud dan maksud pendidikan agama itu. Banyak sekali keterangannya yang menarik hati mengenai isi dan cara melaksanakan pendidikan agama itu. Pada hakikatnya kebanyakan kitab-kitab yang termuat dalam Kitab Suci itu, dikarang dengan maksud untuk mengajar dan mendidik para pembaca yang beriman itu.
Di dalam Kitab-Kitab Perjanjian Lama tersimpanlah kesaksian mengenai perkara-perkara yang Maha Agung, yang telah dialami umat Tuhan di bawah pimpinan-Nya sepanjang sejarah.
Murid Plato paling termasyur yang bernama Aristoteles mengajar Gereja bagaimana menggolongkan pengetahuan yang ditemukan agar lebih gampang memperolehnya kembali bilamana diperlukan lagi. Ia pun menunjukkan mengajarkan akal manusia untuk mempertimbangkan bobot sejumlah tujuan usaha insane termasuk pendidikannya dengan salah satu akibatnya yang dianggap paling kuat. Demikian pula “jalan kebenaran yang dikemukakannya sebagai asa pokok, hendaknya dipakai untuk mengambil keputusan etis. Semua macam pendidikan tersebut diarahkan kepada perkembangan seorang pribadi yang mampu melihat hubungan-hububan sejati serta bertindak sesuai dengan pengetahuan tersebut.
Pikiran Quintilianes, seorang warga kebudayaan yang menjunjung tinggi kemampuan bertindak semaksimal mungkin, menjadi sumber yang dimanfaatkan untuk menyoroti cara mendidik secara praktis dan manusiawi.
Selama abad – abad permulaan abad bangsa Israel sampai pembuangannya  ke Babel dapat dicatat empat pokok pendidikan utama  adalah: (1) Dasar teologi pendidikan agama Yahudi yang mencakup tiga ajaran yaitu, bangsa yang terpilih, pernyataan dan ajaran tentang manusia. (2) Dari ketiga dasar tersebut ditarik isi tujuan pendidikan agama Yahudi. (3) Pengajar–pengajar. Pada dasarnya, Allah diterima sebagai pengajar utama yang mempercayakan pelayanan mengajar pada empat golongan pemimpin pada umumnya dan kepada kedua orang tua khususnya. Keempat golongan mencakup jabatan berikut: imam, nabi, penyair, dan orang bijak. Tugasnya sebagai pengajar umum masih diteruskan pada zaman pembuangan ke Babel dan kembalinya ke Palestina. Keprihatinan khas mereka masing – masing cenderung menghasilkan pendekatan mendidik yang berimbangan kepada tiap-tiap keturunan yang baru, dan sebab itu hikayatnya dipaparkan dalam Kitab pula Perjanjian Lama. (4) Kurikulumnya. Dalam ruang lingkup terdapat tema berikut: “pemilihan Abraham dengan keturunannya, penciptaan langit dan bumi, perlepasan dari perbudakan di Mesir, pemberian perjanjian/hukum Taurat, pendudukan tanah yang dijanjikan, permulaan kerajaan dan kesaksian kaum nabi tentang kecenderungan umat Israel yang menyeleweng dari persyaratan yang termuat dalam perjanjian”.
Dalam pokok tersebut tersirat pula bimbingan menuju perilaku yang sesuai dengan panggilan umat Israel. Mulai dengan dampaknya yang hebat atas diri kaum Israel sebagai akibat pembuangannya ke Babel sampai permulaan zaman Masehi, pendidikan agama Yahudi berkaitan secara khusus dengan empat pokok adalah: (1) Dasar teologi  yang mencakup peninjauan ulang statusnya sebagai bangsa yang terpilih dan pernyataan.  (2) Karena mereka jauh dari Bait Allah yang ada di Yerusalem, yaitu pusat kebaktiannya, dan arena ketidak mampuan orangtua memenuhi mandatNya untuk mengajar, umat Allah di Babel mengembangkan rumah ibadah dan sekolah. Yang pertama merupakan prakarsa yang sama sekali baru dalam sejarah agama, dalam arti pada pertama kalinya pendidikan berkaitan dengan ritus ibadah. Tentang sekolah tersebut terdapat dua taraf pokok, yaitu sekolah dasar (Beth - Hasepher) dan sekolah menengah pertama (Beth Talmud). Di dalamnya nampaklah penghargaan yang sungguh – sungguh terdapat kesepakatan belajar dan rasa hormat terhadap jabatan seeorang guru.  (3) Pendekatan mendidik yang manusiawi dan yang bersandar banyak pada metode menghafal. (4) Para pelajar. Yang dididik di sekolah ialah anak laki – laki saja, tetapi barangkali di sana – sini anak permpuan dididik tentang keterampilan dan isi yang serupa dengan kesempatan yang disediakan bagi anak laki – laki.
Dalam bangsa Yahudi begitu melekatnya pendidikan karena dalam penyampaian pesan-pesan Allah tidak mudah dilakukan banga Israel, mereka melanggar ketetapan Tuhan sehingga Allah melakukan hukuman bagi mereka dan konsekwensi itu suatu bentuk pendidikan.





V.Teori Kebenaran:
Korespondensi, Koherensi  (KOnsisten) dan Pragmatis

Ada beberapa teori yang dapat dijadikan acuan untuk menentukan apakah pengetahuan itu benar atau salah, yaitu: teori korespondenasi, teori koherensi, dan teori pragmatisme.

Teori  Korespondensi (Correspondence Theory)
Kebenaran merupakan  persesuaian antara fakta dan situasi nyata. Kebenaran merupakan pesesuaian antara pernyataan dalam pikiran dengan situasi lingkungannya. Sesuatu dikatakan benar jika sesuatu yang seseorang ketahui itu setia terhadap  realitas obyektif, tidak bertentangan, dan tidak bertolak belakang. Contoh: kalau Alkitab memberi pengertian bahwa manusia berada dalam dilema, dan bahwa upah dosa adalah maut, hal itu dapat dilihat sesuai dengan pengalaman hidupnya. Manusia mengalami konflik dalam dirinya, yakni perjuangan antara ingin berbuat baik dengan bertindak sebaliknya. Seseorang  dapat melihat bahwa upah dosa dan perbuatan dosa senantiasa membawa kerugian bagi kehidupan manusia.

Teori Koherensi (Coherence Theory)
Kebenaran bukan persesuaian antara pikiran dengan kenyataan, melainkan kesesuaian secara harmonis antara pendapat atau pikiran seseorang  dengan pengetahuannya yang telah dimiliki. Pengertian persesuaian dalam teori ini berarti terdapat konsistensi (teori ini disebut juga teori “konsistensi”) yang merupakan ciri logis hubungan antara pikiran-pikiran (ide-ide) yang telah seseorang miliki satu dengan yang lain. Kalau seseorang menerima pengetahuan baru, karena pengetahuan tersebut sesuai dengan pengetahuan yang ia miliki, atau apabila seseorang melepaskan pendapat lama, karena pendapat baru tersebut lebih bertautan secara harmonis, karena pendapat baru tersebut lebih bertautan secara harmonis dengan keseluruhan pengalaman dan pengetahuannya.[162]

Teori Pragmatisme (Pragmatism Theory)
Kebenaran tidak bisa bersesuaian dengan kenyataan, sebab seseorang hanya bisa mengetahui dari pengalamannya saja. Pragmatisme berpendirian bahwa mereka tidak mengetahui apapun (agnostik) tentang wujud, esensi, intelektualitas, dan rasionalitas. Oleh karena itu, pragmatisme menentang otoritarianisme, intelektualisme, dan rasionalisme. Penganut pragmatisme merupakan penganut empirisme yang fanatik untuk memberikan interpretasi terhadap pengalaman. Menurut pragmatisme, tidak ada kebenaran yang mutlak dan abadi. Kerbenaran ini dibuat dalam proses penyesuaian manusia.[163]  Schiller, pengikut pragmatisme di Inggris, mengemukakan bahwa kebenaran merupakan suatu bentuk nilai, artinya apabila seseorang menyatakan benar terhadap sesuatu, berarti ia memberikan penilaian terhadapnya. Istilah benar adalah suatu pernyataan yang berguna, sedangkan istilah salah merupakan pernyataan yang tidak berguna.[164]
Teori Pragmatis tentang kebenaran mengatakan bahwa sesuatu itu dianggap benar jika berdasarkan nilai manfaat dari pengetahuan atau kebenaran itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Contoh: orang perlu percaya kepada Yesus karena ada dampak dalam kehidupan. Yesus membuat mampu orang yang percaya menghadapi masalah secara berkemenangan.



VI. Konflik antara Etika dan Estetika

Percakapan tentang etika dan astetika menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari dunia pendidikan, khususnya Pendidikan Agama Kristen. Pentingnya percakapan ini disebabkan karena persoalan “etika” dan “estetika” menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari warga pembelajar, baik bagi pendidikan (guru dan dosen)  maupun peserta didik. Di sini bahwa  Etika dan Estetika (Astetika) yang dipercakapkan  menjadi bagian dari pokok permasalahan yang dikaji dalam  Filsafat.[165] Artinya pokok persoalan yang dikaji filsafat mencakup tiga segi, yakni: logika, etika dan estetika.
Filsafat etika membahas tentang apa yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk. Sedangkan Filsafat estetika membicarakan apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek.[166] Dengan kata lain etika diartikan “studi tentang prinsip-prinsip dan konsep-konsep yang mendasari penilaian terhadap perilaku manusia”.[167] Sedangkan estetika adalah “studi tentang prinsip-prinsip yang mendasari penilaian kita atas berbagai bentuk seni. Apakah tujuan seni? Apa peranan rasa dalam pertimbangan estetis? Bagaimana kita mengenali sebuah karya besar seni?”[168] 

Kegunaan Etika dan Estetika
Apa kegunaan pengetahuan tentang etika bagi seorang guru? Apakah pengetahuan tentang etika dapat membantu guru memecahkan banyak dilemma yang muncul di kelas? Seringkali, para guru harus mengambil tindakan dalam situasi-situasi di mana mereka tidak mampu mengumpulkan semua fakta relevan dan dimana tidak ada arah tindakan yang tunggal yang secara total benar atau salah.[169]  Kegunaan  etika dan estetika sebagai berikut:

1.      Sejauh mana etika dapat menyumbangkan kepada guru cara-cara berpikir mengenai permasalahan-permasalahan yang sulit untuk menentukan arah tindakan yang benar. Cabang dari filsafat ini juga membantu guru memahami bahwa pemikiran etis dan pembuatan keputusan bukanlah semata-mata mengikuti aturan-aturan.[170]
2.      Estetika itu berhubungan dengan dengan nilai-nilai yang berkaitan dengan keindahan dan seni. Estetika membantu guru meningkatkan keefektifannya pengajaran, karena dapat dipandang sebagai suatu bentuk ekspresi artistic, dapat dinilai menurut standar-standar artistic dari keindahan dan kualitas. Dalam konteks ini guru adalah seorang seniman dan secara terus menerus berusaha meningkatkan kualitas kerjanya.[171]

Bila kajian etika menyangkut baik dan buruk serta estetika menyangkut indah dan jelek maka pada sisi apa kedua bidang ilmu ini dapat hidup berdampingan secara rukun, dan pada konteks apa kedua bidang ini menyebabkan terjadinya konflik. Dalam bagian terakhir inilah pembahasan ini dilakukan. Dengan kata lain tugas yang diberi kepada saya adalah membahas “konflik antara etika dan estetika”.

Konflik antara Etika dan Estetika

Pokok Percakapan Etika dalam Pendidikan
Secara umum diakui bahwa pendidikan secara luas dihormati sebagai “pembentukan moral”. Para guru yang baik selalu menarik perhatian dalam:  apa yang  dikatakan atau diajarkan? Apa yang dilaksanakan dan bagaimana para siswa hendaknya bertindak?  Mereka mempunyai kaitan dengan memberikan atau menyampaikan nilai-nilai moral dan meningkatkan induvidual dan perilaku sosial. Dengan demikian, maka siapapun yang menjadi guru yang mengambil lapangan kerjanya  dengan serius harus mencari untuk menjawab menata nilai-nilai moralnya . Di sini studi etika akan menolong seorang guru dalam melaksanakan tugas mengajar yang menuntut keputusan-keputusan etis.
Mengamati apa yang dikatakan di atas maka pergumulan guru tentang etika sebenarnya merupakan sebuah studi berharga baginya dalam kerjanya di dunia ini. Dalam konteks ini seorang guru berhadapan dengan pertanyaan seperti : Bagaimana  hidup dalam berprilaku yang baik untuk semua orang? Bagaimana seharusnya atau sebaiknya manusia atau warga pembelajar untuk bertindak? Hal ini mempunyai kaitan dengan " hak atau  kebenaran" serta nilai-nilai sebagai basis untuk tindakan benar. Pada suatu waktu sistem etis telah dihubungkan ke agama. Hari ini, bagaimanapun, sistem yang etis Dunia Barat, walaupun sebagian besar memperoleh dari pengajaran religius, pada umumnya dibenarkan pada lain-lain alasan.

Intuitionism dan Naturalism
Dua jenis teori etis yang penting  adalah: teori Intuitionism dan teori naturalism. Intutionism menyatakan nilai-nilai moral itu ditawan oleh individu yang secara langsung. Kita menyerap kesalahan atau kebenaran itu sesuatu  yang terjadi  dan dirasakan. Nilai-Nilai Moral yang menawan dengan cara ini benar di (dalam) diri mereka Kebenaran mereka tidak bisa dibuktikan secara logika atau menguji dengan pengalaman itu hanya dapat dimengerti secara intuisi (perasaan atau pengalaman). Sedangkan naturalism menekan pada proses yanga alamiah.
Contohnya:  jika seseorang percaya bahwa hubungan seksual sebelum nikah secara moral salah, tidak perlu melakukannya oleh karena pertimbangan etis telah dibuat atas pokok ini, tetapi akan diteliti maka studi seperti itu harus melihat konsekwensi dari pengamatan pribadi atau efek studi ilmiah terhadap hubungan seperti itu. Seseorang  yang menerima penafsiran etika naturalistic memilih atau membenarkan nilai-nilai moral menurut penyelidikan ilmiah terhadap apa yang  diungkapkan disekitar kebenaran dan bersalah kepada perilaku dan apa pengalaman hidup yang diuji adalah jalan atau cara yang terbaik untuk manusia yang melakukan sesuatu untuk dirinya. Dengan kata lain,  penyelidik alam memelihara nilai-nilai moral yang ditemukan pada suatu pengujian yang obyektif sebagai konsekwensi praktis tentang  tindakan manusia.
Apakah nilai-nilai moral yang diajar sama dengan atau berdasarkan fakta pengetahuan yang diajarkan?  Socrates menjawab: kebaikan moral  tersembunyi pada setiap individu. Guru bisa membawa nilai-nilai moral itu ke dalam kesadaran siswa yang diajarnya. Kebaikan, si siswa boleh dikatakan, dapat diajar, jika dengan pengajaran kebaikan dari guru. Ini berarti guru membantu para siswa menjadi sadar akan kebenaran atau nilai-nilai moral. Siswa akan bertindak sesuai dengan apa yang telah dipelajarinya.  Kita semua mengenali bahwa seorang siswa yang dengan susah mempelajari apa yang dikatakan kepadanya sudah benar-benar mempelajari sesuatu kecuali jika ia bisa mematuhi itu. Di sini kemudian terjadi konflik:  jika dengan pengajaran dan pelajaran guru yang gampang berarti memberikan atau menyampaikan dan memperoleh pengetahuan dari tentang perbuatan baik atau akhlak, kemudian nilai adalah sesuatu yang dapat diajarkan.
Selanjutnya, bahwa para guru dapat juga menguji para siswa untuk menemukan berapa banyak mereka memahami tentang nilai-nilai moral dan dapat membantu mereka didalam memilih antara bermacam tindakan alternatif. Tetapi tidak ada guru dapat menjamin, bahkan setelah melakukan atau menyelenggarakan tugasnya secara tekun dan melakukan semuanya itu, maka hasilnya:  siswa mempunyai moral yang tinggi. Apa yang dilakukan guru, paling tidak hasilnya bahwa siswa:  (a) mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, (b) mengetahui kenapa maka, dan (c) mempunyai beberapa gagasan untuk apa yang ia hendaknya lakukan sekitar apa yang ia ketahui. Jika, sebagai tambahan, siswa yang benar-benar terlibat dalam hak atau  kebenaran melakukan, guru akan telah (menjadi) lebih dari yang dihadiahi untuk usahanya.[172]
            Itu sedikitnya mungkin untuk pertimbangkan  nilai-nilai etis sebagai  menjadi dua macam, terakhir dan segera. Yang Barang-Barang Moral yang aku mencari yang yang terakhir dan segera ku. Yang Barang-Barang Moral yang aku mencari yang pengalaman yang segera ku adalah nampaknya akan ditentukan oleh yang baik akhirnya dan yang terakhir yang aku mengerti sebagai akhir dan gol ke tempat  yang mana  semua hidup ku berada atau tinggal. Jika aku memberi alasan bahwa pemimpin yang baik dalam hidup adalah kesenangan, kemudian di saat ini melakukan dari tiap hari yang aku akan memilih yang aktivitas itu memberi kesenangan terbesar dan merasakan bahwa diri ditetapkan dalam  tujuan lebih tinggi dengan mengidentifikasi diri di depan umum dengan masyarakat yang beragama. Persahabatan, merasa inspirasi dan daya apung/ kegembiraan mendapat dari komuni kelompok yang religius, jaminan, hukuman yang di belakang dunia yang luar biasa adalah suatu Tuhan penuh kasih yang genap berpesan kejatuhan burung pipit, berharap merasa optimisme dalam kehendak yang baik menaklukkan kejahatan, bahwa yang percaya boleh masuk setelah hidup ini.[173]

Pokok Percakapan Estetika dalam Pendidikan
Estetika adalah studi  berharga di  dunia kecantikan. Nilai-Nilai estetika pada umumnya sukar untuk menilai sebab bersifat penilaian pribadi atau lebih tepat subyektifitas individu yang menilai itu.  Seni karya yang baik tertentu  menimbulkan bermacam-macam tanggapan dalam arti penilaian yang berbeda dari setiap orang pun berbeda. Tidak gustibus bukan disputandum est. Siapakah yang tanggapannya semakin sesuai semakin sesuai?
Seseorang dapat menilai atau menghakimi kecantikan dengan penggunaan ukuran-ukuran berwibawa, dan boleh mengakui bahwa semua seni karya yang baik yang mencetak (prestasi) rendah atas ukuran-ukuran ini akan mempunyai suatu waktu sulit menemukan tempatnya di dalam sejarah. Ukuran-ukuran Objektive  adalah berguna bagi orang baru, dan mereka bertindak sebagai standard kritik kronis. Buku teks di dalam literatur, seni, dan musik bersandar pada yang baku ini ketika memberi tahu para siswa pada atas berbagai hal yang menyertakan penilaian dan penghargaan. Fakta, bagaimanapun, kritikus yang berwenang atau berwibawa itu boleh berbeda secara luas ketika menafsir suatu seni karya yang baik membawa kita kembali ke pertanyaan sebelumnya: Siapakah yang menyatakan tanggapan yang sungguh-sungguh sesuai?
Berabad-abad suatu pertanyaan penting membahas estetika seperti ini: Perlukah seni jadilah wakil, atau haruskah produk imajinasi pencipta?

1.      Seni perlu dengan setia refflect hidup dan pengalaman manusia. Kita dengan jelas mengenali peristiwa; pemandangan tentang musim gugur atau memudarnya matahari terbenam melukiskan suatu pemandangan yang mengecat. Kita harus digembirakan oleh suatu lukisan dari benda mati suatu mangkuk atau pasu berbunga, masing-masing bunga mengetsa sangat baik, daun bunga nya yang sangat seperti kehidupan, bahwa kita merasakan terdorong untuk menggapai ke luar dan menyentuh rekanya!
2.      Seniman menyatakan dirinya spontancously sekitar manapun aspek atau pengarah hidup yang minat dia. " Suatu gambaran," yang dikatakan tegas, " harus tidak pernah jadilah suatu copy... Angkasa kita melihat lukisan kaum tua tidak pernah angkasa kita bernafas/meniup." Seniman sendiri. Ia menciptakan ke luar dari pengarah yang pribadi nya dan pengalaman. Ia menyatakan perasaan nya tentang kecantikan atau kejelekan dunia dan, barangkali, menunjukkan apa yang ia berpikir dunia itu seharusnya. Di dalam memandang ini, pencipta menikmati kebebasan tak habis-habis untuk menggunakan medium nya dengan cara yang memenuhi himbauan yang kreatif di dalam dia.

Di dalam keduanya memandang, pertanyaan yang muncul menyangkut lingkup dan pokok seni yang sesuai. Sebagian orang memelihara bahwa jika seni adalah suatu ungkapan hidup, berhadapan dengan semua dari yang hidup: yang buruk, yang menyimpang dari kebiasaan, yang fantastis, dan yang unik. Orang lain percaya bahwa seni  melaksanakan suatu fungsi sosial. Seniman perlu berbicara kepada semua orang-orang waktu nya,  bukan suatu persekongkolan kecil sekarang atau alam selanjutnya. Meski demikian yang lain skeptis terhadap yang disebut tanggung jawab sosial seniman itu. Masyarakat berubah. Suatu seniman lahir satu generasi mungkin (adalah) menciptakan untuk yang berikutnya. Akan ia disalahkan untuk tidak berhasil untuk menyenangkan yang zaman ini? Seniman yang mana atau siapa seniman  yang telah senang kritikus nya mungkin pada ujung kuasa-kuasa berdayacipta nya, untuk atau karena kritiknya tertuju untuk menilai atau menghakimi seturut standard berlaku. Tentu saja, seniman yang ditolak oleh kritikus boleh sungguh pembaharu benar.
Di sini bahwa nilai Esthetic adalah sedikit lebih keras untuk membedakan atau melihat. Siapakah Orang-Orang yang menikmatinya tidak melakukan suatu pekerjaan yang baik menceritakan sisa apa yang  mereka adalah; dan mereka yang siapa yang tidak lihat  dengan sepenuhnya pada bagian luar dari rombongan yang secara diam-diam menikmatinya. Tetapi barangkali mengapa kita  sedang menikmati perkiraan kecantikan tanpa pengetahuan. Jadi ethichs (teori moral baik) adalah salah satu dari bidang yang paling tua di dalam filosofi. Dan estetika yang dipahami sebagai teori kecantikan, mempunyai merindukan bertaut perhatian ahli filsafat yang serius. Tetapi di akhir-akhir ini banyak orang sudah menyimpulkan bahwa ada landasan umum yang bersama oleh bidang ini seperti halnya oleh semua lain tahap dari yang hidup kita adalah councerned dengan yang berharga.
Ada, tentu saja, teori berbeda berharga; dan di sana adalah jenis  nilai yang berbeda  juga. Sebagian dari teori yang berbeda berharga akan jadi diuji dalam buku ini di dalam tempat sesuai mereka, ketika masing-masing bagian-bagian dari systematik studi dari tiap yang empat filosofi. Secara alami, macam yang berbeda berharga adalah banyak. Mereka yang menerima lebih mengarahkan perhatian sejauh ini dari ahli filsafat adalah yang etis, aesthetic, religius, dan nilai sosial. Beberapa lain  adalah yang ekonomi, politis, bidang pendidikan, bermanfaat, recretional, dan nilai-nilai kesehatan.[174]
           
Konflik antara Etika dan Estetika dalam Pandangan Umum

Berdasarkan apa yang dikemukan di atas, konflik antara etika dan estetika tidak berada pada etika dan estetika itu sendiri tetapi pada manusia yang melakukan penilaian atas apa yang baik dan buruk (etika) dan atas apa yang indah dan apa yang jelek. Setiap manusia mempunyai standar yang berbeda dalam menilai dua bidang filsafat ini. Di sini  bahwa ada “penilaian yang berhubungan dengan agama”. Artinya penilaian tentang baik buruknya prilaku seseorang dinilai berdasarkan standar ajaran agama. Demikian pula bidang estetika, penilaian tentang indah dan jelek juga dihubungkan dengan agama. Keindahan dan kejelekan atas suatu objek pengamatan seni juga dipengaruhi oleh ajaran agama yang dianutnya. Misalnya kasus pornografi di Indonesia dinilai secara beragam oleh berbagai agama yang ada di Indonesia. Pada akhirnya ada yang menyatakan tidak boleh tetapi ada juga yang menyatakan boleh karena dilihat dari sisi estetika. Dalam kasus lain: wanita yang berpakaian menutup seluruh tubuhnya sehingga keindahan wajah dan rambut tidak dapat disaksikan atau dilihat orang lain. Dan seterusnya.
Sering juga konflik antara etika dan estetika disebabkan oleh sudut pandang disiplin ilmu pengetahuan yang dipakai untuk menilainya. Misalnya bagaimana ilmu social menilai etika dan estetika, dan disiplin ilmu lainnya juga dapat dipakai untuk menilai etika dan estetika.
           
Konflik antara Etika dan Estetika dalam Pandangan Iman Kristen

            Teori Marthen menyatakan: “… Orang – orang Kristen hidup secara serempak di dalam dua kerajaan, yaitu kerajaan Allah dan kerajaan dunia ini. Karena mereka bertentangan dan  arena orang-orang Kristen memiliki tanggungjawab di dalam keduanya, tidak terelakkan bahwa akan terjadi konflik-konflik”.[175] Di sini konflik termasuk konflik antara etika dan estetika disebabkan karena manusia yang menilai baik dan buruk (etika), indah dan jelek (estetika)  adalah manusia yang telah jatuh dalam dosa sehingga selalu ia terlibat dalam konflik-konflik penilaian terhadap sesuatu karena manusia tidak sempurna lagi. Ketika manusia berdosa dipulihkan Tuhan masih juga terbuka peluang-peluang konflik karena manusia sedang berada dalam dua kerajaan seperti yang dimaksud Marthin Luther.
            Dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan Agama Kristen bahwa seorang guru pendidikan Kristen akan terlibat dalam sebagai berikut:
1.      pergumulan etika (penilaian baik dan buruk) terhadap seluruh siswa atas prilakunya dalam pembelajaran di sekolah maupun di luar sekolah.
2.      guru PAK juga terlibat dalam penilaian terhadap indah dan jelek dalam proses pembelajaran yang dilakukannya.
            Jadi seorang guru PAK adalah seorang etikus dan estetis dalam menjalankan tugas pembelajaran di sekolah. Dalam prilaku-prilaku akademis seorang guru harus mengedepankan etika tetapi serempak dengan itu ia terlibat dalam estetika sehingga pergumulan ini kadang membuat konflik antara etika dan estetika dalam diri guru PAK.
Hubungan Konsep Axiologi, Etika dan Estetika
dalam Kaitannya dengan Filsafat Pendidikan

Aksiologi sebagai cabang filsafat dapat dibedakan menjadi dua: etika dan estetika. Istilah etika berasal dari kata “ethos” (Yunani), yang berarti “adat kebiasaan” (moral). Dagobert Runes mengatakan: “ethics is that study or discipline which concerns itself with judgments of approval or disapproval, judgments as to rightness or wrongness, goodness or badness, veitue or vice, desirability or wisdom of action, ends or objects, or state of affairs.”[176]  Sedangkan “estetika” merupakan nilai-nilai yang berkaitan dengan kreasi seni dengan pengalaman-pengalaman seseorang yang berhubungan dengan seni. Kadang-kadang estetika diartikan sebagai filsafat seni, tetapi kadang-kadang pula prinsip-prinsip yang berhubungan dengan estetika dinyatakan sebagai hakikat keindahan. Namun, sesungguhnya konsep keindahan hanya salah satu dari sejumlah konsep-kosnep dalam filsafat seni.[177]




VII. Aliran-aliran Filsafat yang
MempengAruhi Pendidikan

Aliran-aliran Filsafat yang  Mempengaruhi Pendidikan yang dibahas bagian ini sebagai berikut: Aliran-aliran Filsafat yang  Mempengaruhi Pendidikan: (1) Traditional Philosophies of Education:  Idealism, Realism, Materialisme,  Tradisionalis (Neo-Thomism); (2) Modern Philosophies of Education:  Pragmatism (Experimentalism), Eksistensialisme; (3) Contemporary Theories of Education: Progresivisme, Perenialisme,  Esensialisme  dan Rekonstruksionisme.[178]


Filsafat Pendidikan Idealism

Idealisme telah menunjukkan minat yang besar terhadap pendidikan dan telah memutuskan untuk mempengaruhi pemikiran dan praktek pendidikan.  William T. Harris, salah satu tokoh yang paling berpengaruh dalam bidang pendidikan di Amerika, adalah seorang idealis. Dan dalam satu atau dua generasi setelah dia telah ada banyak para idealis yang menggunakan pendidikan sebagai ladang praktek mereka dimana mereka dapat menerapkan ide-ide mereka dengan hasil yang sangat besar.[179]
            Barangkali tidak ada seorang pun dalam pendidikan Amerika sekarang ini yang telah menonjolkan tradisi filsafat idealis seperti: Herman Harrell Horne (1874-1946) [180] yang telah menulis tentang idealisme dengan efek yang nyata; Rupert C. Lodge (1888-1961), profesor logika dan sejarah filsafat di University of Manitoba yang juga adalah murid dari Plato yang setia, telah menulis buku yang sangat baik, yaitu Philosophy of Education dan satu lagi adalah sebuah studi tentang teori pendidikan Plato. Di luar Amerika ada Giovanni Gentile, yang mengerjakan reformasi pendidikannya di Italia tentang prinsip-prinsip idealisme, sebagai oposisi dari filsafat positivisme dan naturalisme.

Tokoh Penggagas
Idealisme adalah filosofi yang sangat tua yang sampai bisa ditelusuri ke pemikiran Yunani kuno dan beberapa kebudayaan Timur. Karena merupakan salah satu filsafat tertua, sketsa mengenai perkembangannya harus dimulai dari jaman dulu kala. Di dunia Barat, di mana sejarah idealisme ini akan dibatasi, Socrates dan Plato yang pertama kali menggagas konsep penting dalam filsafat idealis ini.
Plato (427? – 347 SM) menjadi murid Socrates di usia 20 tahun. Dia seorang yang luar biasa berbakat sehingga bisa menuai manfaat penuh dari pengajaran Socrates. Ia berasal dari keluarga bangsawan kaya, tampan, bertubuh bagus, cerdas, dan memiliki kecintaan yang kuat pada kebijaksanaan. Mengawali pencarian kebenaran di bawah bimbingan Socrates, ia melanjutkannya sepanjang 80 tahun usianya. Setelah kematian Socrates, Plato mula-mula merantau, dan kemudian menetapkan karirnya dalam filsafat yang menjadikannya guru besar sebagaimana kemudian ia dikenal sepanjang masa. Ia membuka Academia di Athena, dan di sana mengembangkan dan mengajarkan doktrinnya. Ia menyusun banyak dialognya, yang mengandung banyak kebijaksanaan filsafat untuk digali oleh semua pemikir, bahkan pemikir masa kini.
Tulisan-tulisannya merupakan produk dari periode di mana pikiran manusia semakin menyadari dirinya dan hubungannya dengan alam semesta. Dialog adalah diskusi-diskusi filsafat yang dibingkai dalam drama. Di dalamnya, gaya naratifnya berkembang saat Socrates, biasanya dalam peran sebagai interogator utama, bertanya jawab dengan Parmenides, Protagoras, atau siapa saja yang berdiskusi dengannya. Tokoh-tokoh dalam dialognya menggambarkan manusia sebagai pemikir, yang menyelidiki sebanyak mungkin pemikiran yang bisa ia dapatkan mengenai dunia, dirinya sendiri, dan kehidupan secara umum.
Salah satu topik utama Plato adalah doktrinnya yang terkenal mengenai ide. Ini adalah konsep mengenai “bentuk” (forms) atau universal-universal yang secara metafisik mendahului sekaligus merupakan idea bagi hal-hal tertentu yang terjadi dalam dunia manusia. Kami harus buru-buru melakukan tindakan pencegahan agar tidak melakukan penyederhanaan berlebihan yang tidak bisa terelakkan dalam pernyataan singkat seperti ini. Dialog Plato sangat beragam dan luas sampai kita harus benar-benar menahan diri untuk tidak menggolongkan “bapa” filsafat Barat ini dengan memberinya label. Apalagi, usaha untuk menjadikan doktrin idenya sebagai sebuah langkah dalam pembentukan idealisme diperumit oleh banyaknya sumber yang bisa ditemukan dalam Dialog, selain oleh tahapan-tahaman berbeda dalam  pemikiran Plato yang terwakili di sana.
Menurut Plato, ada ide-ide yang nyata dan abadi sampai obyek-obyek indrawi sangat mudah berlalu jika dibandingkan. Bahkan, benda-benda fisik hanyalah perwujudan tidak sempurna dari ide-ide, artinya dari ide-ide yang berhubungan yang diwakilinya. Ada ide universal “tempat tidur,” di mana semua tempat tidur yang ada adalah ekspresi yang tidak sempurna. Juga ada ide-ide yang tidak diwakili dalam bentuk fisik termasuk kecantikan, kebaikan, dan esensi mutlak. Ini adalah realitas agung. Sedikitnya dapat dipahami,  kalau pemuliaan ide-ide seperti itu dapat disebut “isme,” maka “idealisme” menjadi nama yang logis. Jika nama “idealisme” berasal dari “ideaisme  huruf l itu tidak meragukan lagi ditambahkan untuk euphony, untuk memberi nama yang lebih enak didengar dan lebih mudah disebutkan.
Namun sebenarnya ada akar lain untuk filsafat Plato yang mungkin lebih signifikan lagi. Setidaknya itu bebas dari ambiguitas doktrin ide yang menjadikannya bisa digunakan oleh beberapa realis selain bagi kalangan idealis. Konsep lain Plato adalah kebaikan sejati (the good), yang paling sering dilambangkan dalam alegori goa. Kebaikan yang satu ini bukan hanya kebaikan “ideal” yang harus dikejar setiap orang, namun juga merupakan sejenis cahaya yang memungkinkan pikiran manusia memikirkan apa pun yang dipikirkannya. Secara simbolis, bagi pikiran manusia itu sama seperti matahari bagi penglihatan fisik manusia; segala sesuatu yang dilihat manusia dengan matanya bukan dilihatnya dengan kekuatan penglihatannya sendiri, melainkan oleh cahaya yang menjadikan penglihatan mungkin. Bagi manusia, “kebaikan sejati” ini bisa dikatakan hal yang paling utama.

Tokoh-tokoh Idealism:[181]
William T. Harris
Rene Descartes (1596-1650).
Baruch Spinoza (1632 -1677)
Leibniz (1646-1716)
George Berkeley (1685-1753)
Immanuel Kant (1724-1804)
Hegel (1770-1831)
Herman Harrell Horne (1874-1946)
Rupert C. Lodge (1888-1961)

Sintesis
Jika sintesis dibatasi pada kepercayaan yang lebih sentral yang biasanya diulang-ulang sepanjang perkembangan idealisme yang dapat ditarik untuk membantu menunjukkan posisi idealisme secara ringkas, maka hal yang harus berhubungan dengan tiga subyek utama: Tuhan, diri, dan pengetahuan, sebagai berikut:

Tentang Tuhan
1.      Realitas tertinggi memiliki substansi yang sama dengan ide-ide. – Plato dan Hegel.
2.      Di balik dunia fenomenal terdapat Roh tak terbatas yang merupakan substruktur sekaligus pencipta kosmos – Leibniz dan Berkeley.
3.      Salah satu dari dua atribut Tuhan adalah pemikiran (thought) – Spinoza.
4.      Eksistensi Tuhan menjadi keharusan karena faktor-faktor tertentu dalam kualitas-kualitas yang membentuk individualitas seseorang (selfhood) adalah: (a) Fakta bahwa saya memiliki ide mengenai entitas (being) sempurna mengharuskan entitas sempurna itu ada. –Descartes. (b) Fakta bahwa saya dapat mengindera kualitas-kualitas dalam dunia obyektif mengharuskan adanya Tuhan untuk menciptakan kualitas-kualitas ini. – Berkeley. (c) Fakta bahwa adanya kategori imperatif dalam diri mengharuskan adanya Tuhan sebagai penjamin komitmen sebagai penyerta ketaatan moral. – Kant

Mengenai Diri (Self)
1.         Diri adalah realitas utama dalam pengalaman seseorang. – Descartes
2.        Diri manusia memiliki kemiripan dengan Tuhan dalam artian bahwa itu  adalah roh, namun tidak seperti Tuhan, manusia terbatas. – Leibniz
3.        Manusia adalah sosok berpikir selain bagian dari Tuhan. – Spinoza
4.        Diri manusia memiliki kebebasan kehendak. – Leibniz dan Kant.

Mengenai Pengetahuan
1.            Dengan menelaah ide-idenya sendiri dan menguji konsistensinya, manusia dapat mencapai kebenaran. – Plato, Leibniz, dan Hegel.
2.            Diri membaca arti dan kesatuan dalam dunia obyektif. – Berkeley dan Kant.
3.            Nilai dan makna diperoleh dengan menghubungkan bagian-bagian dengan keseluruhan-keseluruhan. – Hegel

Pendidikan sebagai Sebuah Institusi Sosial

Pendidikan adalah sebuah institusi yang dibentuk berdasarkan kebutuhan manusia akan budaya. Karena manusia hanya dapat menjadi manusia melalui sebuah kelahiran budaya. Seperti pendapat Comenius sebagai seorang realist  mengatakan bahwa apabila seorang manusia ingin menjadi manusia, pendidikan harus berasal dari manusia. Salah satu alasan pentingnya sekolah dalam makna yang lebih luas adalah untuk memberikan kelahiran budaya dalam kehidupan kontemporer manusia serta sejarahnya.
            Hal yang sama antara idealisme dan realisme adalah tentang dasar pemikiran sekolah, yaitu bagaimana sekolah membentuk seorang anak untuk memiliki kekayaan makna yang implisit dan menjadi seorang manusia, serta memberikan dasar-dasar bagi dia tentang natur dari Tuhan yang Utama dan Ilahi. Dasar lain bagi pentingnya keberadaan institusi pendidikan adalah natur sosial manusia. Tema ini ditekankan oleh kaum pragmatisme dalam seting metafisika bahwa pendidikan adalah sebuah proses sosial dan sama sekali bukan individualistik.
Apabila makna dari menjadi seorang manusia, adalah berada dalam natur yang sosial, maka seorang manusia harus memiliki setting sosial supaya dia menjadi manusia seutuhnya. Inilah sebabnya mengapa pendidikan harus diformalkan menjadi sebuah institusi. Intinya adalah kaum idealis menekankan dimensi sosial dari seorang individu yang membuat sebuah pendidikan harus bersifat sosial.
Beberapa kaum idealis menekankan bahwa sekolah adalah sebuah agen kemasyarakatan. Akan tetapi apabila itu artinya, maka sekolah berada di bawah kendali masyarakat dan diharapkan menghasilkan individu-individu yang seragam terhadap budaya. Ada kalanya peran intelektual dari sekolah dimainkan oleh seorang idealis sebagai dasar dari keberadaan dengan cara memberikan sekolah hak prerogatif yang tidak dimiliki oleh institusi lainnya. Sehingga sekolah seharusnya secara unik merupakan sebuah institusi pemikiran karena memberikan kepemimpinan dan bimbingan pemikiran. Sekolah akan mendorong pemikiran dan “fungsi pemikiran” bagi institusi lainnya dan bukan sebaliknya.
Hal ini membawa kita kepada karakteristik ketiga dari peran sekolah, yaitu sekolah secara unik adalah institusi yang merealisasikan makna. Tentu saja setiap institusi yang memiliki alasan untuk menjadi sebuah institusi memiliki koneksi dengan sebuah transisi atau transfer nilai. Namun hanya sekolah sajalah yang mampu berdiri seimbang antara masa lalu dan masa kini.

Murid

Sekarang kita harus mendefinisikan murid sebagaimana dia terlihat apabila idealisme dijadikan sebagai filsafat penuntun pendidikan. Bagi para penganut idealisme, pendekatan kepada murid adalah sangat penting. Sehingga Giovanni Gentile mengatakan:

Guru tidak boleh berhenti pada tingkat klasifikasi murid atau observasi eksternal dari wajah atau perilakunya. Guru harus masuk ke dalam pikiran seorang murid dimana kehidupannya berpusat dan berada. ... (Dia) tidak boleh membaca seorang anak secara spontan dan berdasarkan pemahamannya sendiri.[182]

Murid  sebagai Seorang Pribadi

Sistem idealis berasal dari kepercayaan yang berpusat pada keyakinan bahwa inti utama pengalaman individual adalah seorang pribadi yang spiritual. Hal ini pasti memberikan pengaruh secara langsung kepada cara berpikir di dalam kelas. Sehingga guru yang idealis, percaya kepada keberadaan diri murid sebagai realita spiritual, yang tidak bisa melihat murid hanya sebagai tubuh tanpa roh. Melainkan  guru akan melihat lebih jauh ke dalam individu murid yang sesungguhnya yaitu roh.
Selanjutnya Horne menulis (1904) dalam bukunya Filsafat Pendidikan yang lebih lengkap tentang natur seorang murid sebagai “kesatuan organik” demikian”: “Kesadaran, seperti yang kita tahu, memanifestasikan keberadaan diri hanya sebagai hal yang berhubungan dengan sebuah sistem syaraf... Tubuh adalah rumah dari pikiran, yang dalam Perjanjian Baru disebut dengan “Bait Roh Kudus.”
Murid sebagai seorang individu keseluruhan dan dia juga bagian dari keseluruhan yang lebih besar. Ini merupakan natur dari seorang individu yang pribadi dan sosial. Individualitas bukanlah gambaran yang sempit, tetapi sebuah lingkaran besar yang inklusif dari sesamanya. Seorang individu akan menemukan kesatuannya di dalam pelayanan kepada orang lain.
Dalam kontek di atas, maka Horne menyimpulkan pendapatnya tentang murid bahwa seorang murid adalah seorang pribadi yang terbatas, yang bertumbuh, yang apabila dididik dengan benar akan menjadi seorang individu yang tidak terbatas; karena itulah asal mula keberadaannya yang ilahi  itu adalah inti dari kemerdekaan dan nasibnya yang immortal.[183]

Murid ada dalam Proses Menjadi Seseorang

Seorang guru idealis  tidak akan melepaskan pengajarannya dari situasi moral dunia. Dia tidak akan berusaha menyembunyikan kejahatan moral yang terjadi untuk melindungi muridnya sehingga membuat kelas menjadi tempat yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan dunia. Guru menyadari bahwa seorang murid berada dalam proses perkembangan untuk menjadi seseorang, maka menganalisa natur murid yang berhadapan dengan masalah immoralitas dunia adalah sangat penting.
Horne mengatakan bahwa baik murid maupun proses pendidikan adalah dapat dimengerti hanya ketika dilihat sebagai sesuatu yang berdasar kepada Pikiran yang Kekal yaitu Allah sendiri. Dan inilah yang disebut proses menjadi sebuah pribadi atau keberadaan. Konkritnya para idealis mengatakan bahwa pada saat kelahirannya seorang murid tidak bisa dikatakan baik atau buruk. Itu tergantung kepada lingkungannya yaitu pendidikan, dan tentu saja juga tidak mengabaikan kehendaknya sendiri.
            Pemahaman kaum idealis tentang seorang murid tidak meminimalkan kenyataan bahwa para murid sama seperti kita seringkali tidak peduli, dipengaruhi dan dikendalikan oleh perilaku buruk. Namun, hal semacam itu justru memberikan penekanan akan pentingnya pendidikan. Itu bukan berarti bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak terdidik. Mereka sebenarnya adalah orang-orang yang belum terdidik, dan tidak akan pernah selesai dalam pendidikannya.

Tujuan Pendidikan
Pada dasarnya idealisme telah menerapkan kepentingan pendidikan sebagai tonggak yang menopang tanggung jawab sosial. Tujuan pendidikan idealisme memiliki kerangka baik secara individu maupun sosial.

 

 Tujuan bagi Individua

Gentile, seorang idealis dari Italia berbicara tentang realisasi diri sebagai tujuan utama dari pendidikan, yang artinya sebuah proses keberadaan yang spiritual. Proses perkembangan ini merupakan sebuah ritme yang mengalir di dalam pengalaman seseorang antara dirinya sebagai subyek yang aktif pada saat ini dan fase masa lalunya yang belum dewasa. Di dalam proses ini dirinya yang sekarang ini secara aktif menemukan pengetahuan baru, mengasimilasikan segala sesuatu yang berkaitan dengan dirinya menjadi satu kesatuan yang utuh, sehingga pada akhirnya dia dapat memahami dirinya sendiri dengan sepenuhnya.
            Bogoslovsky menjelaskan tujuan pendidikan bagi seorang individu

“adalah menolong para murid untuk memiliki kehidupan yang kaya dan bermakna, untuk membangun kepribadian yang harmonis dan berwarna, untuk menikmati kemuliaan yang utama dan menjadi bahagia, untuk menghadapi penderitaan dengan harga diri dan keberanian, dan akhirnya untuk menolong orang lain agar memiliki kehidupan yang superior.[184]

            Horne mengatakan bahwa kebenaran, keindahan, dan kebaikan adalah idealisme spiritual bagi manusia, oleh sebab itu tujuan pendidikan adalah menyeimbangkan seorang anak kepada “realita yang penting ini sehingga sejarah manusia dapat digenapi.” Di dalam pernyataan terakhirnya Horne menambahkan,

“Namun yang tertinggi dari semuanya adalah ibadah yang membawa manusia kepada kesadaran akan Allah yang menciptakan alam semesta. Sehingga ibadah harus menjadi karakter dari setiap individu dan keadilan di masyarakat yang membawa kehendak manusia kepada kebenaran yang kekal. Baru kemudian memampukan mandiri secara ekonomi, yang juga berkaitan dengan karakter personal dan keadilan sosial, yang juga membawa manusia kepada keharmonisan dengan alam semesta yang kreatif... Idealisme percaya seorang individu yang terintegrasi di dalam sebuah masyarakat yang terintegrasi akan bertumbuh di dalam alam semesta yang terintegrasi.[185]

Tujuan bagi Masyarakat
            Salah satu masalah utama dalam menformulasikan tujuan sosial pendidikan di dalam alam yang demokratis adalah kaitan antara pendidikan dan perbedaan kelas dalam masyarakat. Horne setuju bahwa tingkatan pekerjaan dan budaya adalah penting. Tetapi dia mengatakan bahwa keduanya sama sekali tidak identik. Bogoslovsky berpikir bahwa membedakan tingkatan bukan merupakan solusi tetapi akan memberikan “kesempatan yang sesuai dengan kemampuan masing-masing orang untuk dapat menggunakannya.”
Horne lebih lanjut mengatakan bahwa pembedaan tingkatan dilakukan untuk meningkatkan efisiensi sosial. Menurut dia “demokrasi adalah kesatuan spiritual dalam keragaman sosial.” Bogoslovsky menambahkan, “persaudaraan merupakan jiwa dan inti dari demokrasi yang sesungguhnya”.  Oleh sebab itu tujuan sosial pendidikan, setidaknya dalam sebuah demokrasi adalah: “Di dalam semangat persaudaraan dan pendekatan terhadap sesama, tidak mengklaim haknya sendiri atau mendeklarasikan status sosial mereka, melainkan sebagai seorang pribadi kepada pribadi lainnya dalam pengertian bersama dan kasih”.[186]

 

 Sintesis

Menurut Horne dalam bukunya The Psychological Principles of Education, pendidikan ideal harus mencakup semua sejarah ideal yang beragam, termasuk setiap bagian sebagai bagian dari keseluruhan, dimana kebenaran dapat ditemukan. Bagi seorang individu, pendidikan harus mencakup “budaya, pengetahuan, dan perkembangan.”[187] Dengan tujuan yang didedikasikan kepada masyarakat, “ia harus menghasilkan efisiensi, karakter dan kependudukan.”
            Definisi Horne tentang pendidikan menjadi sangat terkenal dan merupakan dasar untuk menentukan tujuan pendidikan bagi kaum idealis yaitu, “Pendidikan adalah proses kekal dari penyesuaian superior dari mental dan fisik yang dikembangkan, bebas, sadar, manusia menjadi seperti Allah, yang dimanifestasikan dalam intelektual, emosi dan lingkungan manusia yang mendukung”.[188] Inti dari definisi tersebut berkaitan erat dengan tujuan utama pendidikan, yaitu: Pendidikan merupakan proses kekal dari penyesuaian superior dari sebuah kebebasan dan kesadaran manusia akan Tuhan.

Proses Pendidikan

Salah satu karakteristik umum dari pendidikan idealis adalah berpusatkan kepada idealisme. Sepenuhnya berpusat kepada anak, subyek yang diajarkan, dan bukan sosial kemasyarakatan. Selanjutnya untuk mengerti filsafat idealisme tentang pendidikan kita perlu mengingat bahwa eksponen dari filsafat ini adalah semata-mata sebuah metafisika idealis dan selanjutnya adalah tentang perhatian moral dan sosial serta yang menjadi perhatian utama adalah Roh, yaitu Roh yang adalah kebenaran.
Pribadi seorang anak di dalam kelas pada dasarnya jauh dari kebenaran Tuhan di dalam pencapaian moral mereka; dan oleh karena itu masyarakat tidak dapat menjadi Kota Allah. Sehingga pendidikan harus membawa anak-anak kepada Tuhan dan bukan kepada masyarakat yang selalu tidak pasti dan berubah. Mereka berpusat kepada idealisme karena itu semua yang lain sifatnya adalah sementara.[189]
            Untuk membahas lebih lanjut tentang pendidikan yang berpusatkan kepada yang ideal, kita perlu mendiskusikan beberapa faktor yang mempengaruhi pendidikan antara lain: pertama guru karena perannya yang sangat penting, lalu imitasi dan ketertarikan serta usaha dan disiplin, selanjutnya aktivitas pribadi murid yang merupakan hati dari pendidikan. Penggunaan material juga akan didiskusikan termasuk metode pengajaran.

 Guru
Menurut idealisme fungsi guru sebagai berikut:[190]
  1. Guru merupakan personifikasi dari realita murid. Bagi mereka yang belum dewasa, guru adalah semesta yang dijadikannya personal.
  2. Seorang guru harus mengenal murid-muridnya.
  3. Seorang guru haruslah seorang ahli secara teknis dalam mengajar.
  4. Guru harus mampu membangkitkan rasa hormat para murid melalui kebaikan yang ada di dalam dirinya.
  5. Seorang guru harus menjadi teman pribadi dari para murid.
  6. Seorang guru harus mampu membangkitkan minat murid untuk belajar.
  7. Guru harus menguasai seni kehidupan. Seseorang yang memiliki seni kehidupan dapat membawa para murid dalam sebuah proses spiritual dengan kreativitas yang dia miliki.
  8. Seorang guru harus bekerjasama dengan Tuhan untuk menyempurnakan para murid.
  9. Seorang guru harus mempu mengkomunikasikan materi yang dia ajarkan.
  10. Seorang guru haruslah seorang yang mengapresiasi materi yang dia ajarkan.
  11. Seorang guru yang benar-benar mengajar selalu belajar pada saat yang sama ketika dia mengajar.
  12. Seorang guru adalah seorang rasul sebuah perkembangan. Mengajar merupakan pekerjaan penting untuk menolong orang lain atau generasi baru secara spiritual yang terkait dengan tujuan kemana realisasi dari sejarah bergerak.
  13. Seorang guru harus menjadi pembuat demokrasi. Apabila dia menangkap semangat pengajaran yang murni, kelasnya akan mempraktekkan demokrasi dan muridnya juga akan mendapatkan pengalaman demokrasi di dalam kelas sehingga mereka akan dapat memberikan pengaruh demokrasi di kelompok lainnya.
  14. Karaktersisasi final dari seorang guru yang ideal adalah dia harus selalu mengeliminasikan dirinya sendiri. Guru yang baik harus secara sensitif membangun para murid tanpa meninggikan dirinya sendiri dan membantu para murid untuk bertumbuh menjadi diri mereka apa adanya sehingga mereka dapat mencapai kehidupan yang lebih tinggi.

 Imitasi

            Idealisme mengatakan kebiasaan umum yang sama muncul karena orang-orang yang lebih muda terbiasa untuk meniru orang-orang yang lebih tua dan melalui proses pendewasaan, kadangkala mereka mencapai level lebih tinggi dari pada orang yang mereka tiru. Karena imitasi adalah natural, maka mereka percaya bahwa para pendidik bagaimana pun juga dipaksa untuk menghadapi hal ini; dan karena hal itu dipastikan akan menghasilkan hasil yang diharapkan, maka strategi terbaik adalah menerapkannya di sekolah maupun di tempat kerja.
            Hocking berpendapat bahwa meniru adalah bagian dari proses masyarakat untuk membawa sebuah kehendak baru kepada keberadaan individual. Sedangkan salah satu manfaat dari imitasi adalah untuk menetapkan satu model bagi para murid untuk mendapatkan kesempurnaan dan memimpin mereka ke dalam pola yang harus diikuti. Demiashkevitch berpendapat "keoriginalitasan didapatkan setelah studi yang mendalam serta mengimitasi guru dalam hal tertentu—sampai dia melampaui gurunya.”[191] Namun demikian, sikap umum dalam filsafat pendidikan idealisme adalah bahwa pemakaian yang paling efektif dari imitasi adalah fokus kepada kepribadian yang besar.
Karena menjadi seorang pribadi yang sempurna lebih penting daripada melakukan pekerjaan dengan sempurna, maka seorang anak sebaiknya berada dekat dengan seseorang yang dapat memberikan inspirasi yang baik. Bogoslovsky mengatakan bahwa kita harus memanfaatkan “harta karun yang telah ditinggalkan oleh orang-orang genius dan artis yang telah menciptakan hidup yang indah...” [192] Lebih lanjut ia mengatakan bahwa karena manusia secara alami lebih condong kepada kehancuran atau hal-hal yang buruk daripada yang baik, maka sekolah harus memberikan kepada para murid pengalaman yang bermakna.
Hocking memberitahu kita bahwa anak-anak akan cepat mengadopsi kepercayaan orang yang “tampak bahagia, dan bukan yang lainnya.” Horne melihat bahwa moral dan agama terlibat dalam imitasi proses. Oleh sebab itu wajib bagi setiap guru untuk berusaha menjadi model yang baik bagi para murid. Hambatan di sekolah karena sulitnya pengajaran agama secara terbuka bisa diatasi melalui kepribadian seroang guru yang baik dan layak diimitasi oleh para murid.

Minat Usaha dan Disiplin
            Sudah dapat dipastikan bahwa minat, usaha dan disiplin merupakan faktor yang tidak dapat dilepaskan dari pendidikan. Apabila seorang guru yang terlalu condong kepada minat biasanya dia diberi label sebagai guru yang “lemah”, dan apabila dia terlalu condong kepada usaha dan disiplin dia diberi label sebagai guru yang “keras”. Oleh sebab itu pemakaian ketiga hal ini dalam pendidikan perlu mendapat perhatian khusus.
            Untuk lebih jelas kita akan melihat definisi dari ketiga hal ini. Minat adalah sebuah ketertarikan total dari seorang murid terhadap suatu pekerjaan tertentu yang dia lakukan dengan usaha dan tanpa dorongan yang keras dari gurunya. Usaha kerja keras yang dilakukan dengan sadar dan sukarela dari seorang murid yang membuat dia melakukan sebuah pekerjaan tertentu. Disiplin tindakan ekstra dari seorang guru untuk membawa muridnya berhasil menyelesaikan tugas yang harus mereka kerjakan.
Menurut Horne ada dua jenis minat: yang dekat dan yang jauh. Minat yang dekat inilah yang menghasilkan aktivitas spontan dan membawa kepada usaha yang sukarela. Minta yang jauh, sangat terkait dengan kepuasaan saat ini, yang juga menghasilkan usaha yang sukarela. Karena hidup membutuhkan baik minat yang jauh dan yang dekat, pendidikan harus menuntut kedua hal itu dalam diri murid.
 Berdasarkan pemaparan tersebut dapat dikatakan bahwa minat menghasilkan usaha, dan aktivitas yang menarik dilakukan karena minat cukup menimbulkan usaha untuk membawa seseorang mampu menyelesaikan tugas. Namun perlu ditekankan bahwa usaha bukan pengganti minat, usaha adalah kemauan untuk melakukan tugas ketika orang lain tidak mau melakukannya.
            Gentile menganggap disiplin sebagai bagian yang intim dari kepribadian dan aktivitas yang membimbing dari seorang guru. Sudah pasti bahwa di dalam pengajaran yang murni ada disiplin, dan guru itu sendiri adalah bagian yang penting dari disiplin. Akan tetapi disiplin sendiri apabila tidak dikaitkan dengan pengajaran akan menjadi sia-sia. Untuk menjadi orang yang disiplin ada sebuah proses panjang yang menyakitkan. “Otoritas yang dimulai dari eksternal, dan dikerjakan melalui pembentukan kebiasaan serta pengendalian diri, akan menjadi internal.”[193]

Aktivitas Diri

Dimanakah pendidikan yang sejati terjadi? Kapan seorang murid benar-benar mempelajari sesuatu, mendapatkan pengetahuan baru, atau mengambil langkah yang aktual untuk mendapatkan pertumbuhan ke arah kedewasaan? dimanakah dari seluruh proses tersebut perubahan terjadi? Para idealis mengatakan bahwa itu semua terjadi di dalam diri para murid. Murid adalah seorang pribadi yang sangat mudah diarahkan melalui adanya minat. Mereka adalah jiwa yang mampu untuk mengambil inisiatif murni, dan respon-respon mereka merupakan pergumulan dari inisiatif tersebut yang bertumbuh mekar.
            Horne mengatakan, “proses pendidikan tidak memiliki banyak stimulus untuk membentuk seorang individu... semua pengalaman pendidikan adalah personal di dalam karakter. Pribadi itulah yang memiliki pengalaman.”[194] Karena itu, pertumbuhan hanya bisa diperoleh melalui aktifitas diri. Hanya melalui proses inilah mental seorang murid dapat dikembangkan. Dan ini berarti bimbingan terhadap diri sendiri.
            Aktivitas diri akan membawa kepada perkembangan pribadi, menurut kaum idealis aktivitas diri bukanlah sebuah proses yang abstrak yang memiliki sedikit hubungan dengan faktor temporal. Untuk mengembangkan kepribadian sudah pasti memerlukan pendidikan fisik. Akan tetapi tentu saja perkembangan tubuh terbatas kepada mengembangkan dan memperkuat apa yang telah diberikan pada saat kita dilahirkan. Pendidikan tidak dapat menambah syaraf-syaraf otak, tetapi dapat mengembangkan kapasitas potensial yang telah dimiliki oleh setiap individu.[195]
Demiashkevitch mengatakan penting bagi setiap guru untuk menyadari bahwa ada banyak anak-anak yang “tidak menyukai pekerjaan manusia dan yang berharap menemukan aktivitas untuk mendapatkan ekspresi dari apa yang disebut dengan pekerjaan mental murni.” Bogoslovsky memberikan sebuah contoh yang baik tentang hal ini. Dia merasa bahwa apresiasi terhadap seni, sekalipun tampak pasif, merupakan sebuah tindakan yang aktif seperti penciptaan karya seni.[196]
            Inilah yang merupakan inti dari pendidikan idealis, dan tentu saja kehendak bebas tidak dapat dipisahkan dari karakter pendidikan. Horne percaya bahwa kehendak bebas adalah salah satu hal yang utama dalam karakter yang baik. Demiashkevitch mengatakan “kehendak secara aktif mempromosikan kebaikan dan melawan kejahatan, dan melakukan hal ini secara konstan itulah yang seharusnya.”[197] Membuat penjelasan yang lebih spesifik tentang kebebasan, Horne mengatakan bahwa kebebasan bukanlah “melakukan segala sesuatu di segala waktu” tetapi “sesuatu pada saat tertentu.”[198]
            Hocking membedakan antara kehendak dan kehendak bebas, dengan mengatakan bahwa kehendak harus dikembangkan di dalam diri seseorang sebelum dia dapat memiliki kehendak bebas. Seorang anak tidak tahu apa yang dia inginkan. Tugas pertama dari pendidikan adalah untuk membawa kehendaknya kepada suatu eksistansi. Makna keseluruhan dari pendidikan adalah dibungkus dalam proses membangkitkan kehendak.
            Ketika seorang anak mencapai kedewasaan, pertumbuhan ini mengambil bentuk yang mendesak, yaitu kesiapan untuk mengambil tanggung jawab. Dua ekspresi umum dari tanggung jawab ini adalah membangun filsafat diri dan keinginan untuk menemukan jalannya di dunia. Hocking mengintepretasikan filsafat diri masa muda sebagai orang yang “menghargai kehidupan yang untuk pertama kalinya bisa dikendalikan sendiri; dia menemukan dirinya secara moral sendiri; dia tidak dapat lagi melihat segala sesuatu berdasarkan kacamata orang lain.” Untuk tanggung jawab Hocking menekankan bahwa satu-satunya lingkungan yang tepat untuk “kesiapan mengambil tanggung jawab” adalah tanggung jawab actual yang tercipta. Berikan kepada mereka pekerjaan yang nyata, dan biarkan mereka mengalami tanggung jawab. “Seorang anak yang menjadi dewasa tanpa mengetahui perasaan tentang resiko melakukan sebuah pekerjaan satu hari dengan upah satu hari tidak hanya akan menjadi seseorang yang dangkal tetapi juga tidak akan memiliki prestasi yang baik di sekolah.”[199]

Kurikulum

            Menurut Horne, cara untuk mendapatkan fondasi yang kuat dalam  pengembangan kurikulum adalah dengan memaparkan secara jelas “karakter ideal manusia dan karakteristik dari masyarakat yang ideal.”[200] Kemudian memilih pengalaman, aktivitas, situasi hidup dan pelajaran yang sesuai dengan standar tersebut sehingga dapat memberikan kontribusi terbaik mencapai hasil yang ideal. Secara lebih spesifik, setiap kurikulum yang baik harus melibatkan ruang kelas yang mencakup tiga aspek yaitu intelektual, emosi dan kehendak. Untuk itu Horne mengatakan, “harus ada beberapa ilmu science, seni dan minat”  dalam setiap program studi murid.
            Dengan demikian kurikulum tidak dapat dibatasi hanya dengan intruksi-instruksi belaka tetapi juga harus mencakup “pekerjaan, produksi, prestasi, latihan dan aktivitas. Buku-buku yang dibaca oleh murid tidak akan dengan sendirinya memberikan realita yang obyektif. Mereka adalah bejana tanah liat yang mana harta karun natural dan kemanusiaan disimpan.”[201] Sudah pasti ada banyak materi yang perlu dipelajari namun perlu diingat bahwa semua materi tersebut hanya digunakan sebagai alat untuk mendapatkan akhir yang besar dari kehidupan yang lengkap melalui pemahaman akan kehidupan. Informasi akan menjadi pengetahuan, buku-buku akan menjadi alat, dan ide-ide yang besar akan menjadi ideal.
            Bogoslovsky mengajukan empat area studi general[202] di dalam kurikulum yang dia bentuk untuk sekolah ideal-nya sebagai berikut: (a) Divisi alam semesta, yang merupakan departemen science dimana para murid akan belajar “kekuatan alam, asal usul dari system solar, perkembangan kehidupan dan semua latar belakang dari kehidupan manusia.”  (b) Divisi peradapan, yang menawarkan studi secara mendalam tentang ilmu social. Dia mengatakan “melalui peradaban kita akan memahami semua aktivitas, prestasi dan institusi kemanusiaan yang mengendalikan lingkungan kita untuk memberikan makna hidup, keamanan, dan kenyamanan—semua yang kita perlukan untuk membuang bahaya, rasa takut dan kesendirian. Makanan, pakaian, perumahan, teknologi, komunikasi dan pemerintahan akan dipelajari dalam divisi ini.”  (c) Divisi kebudayaan, “filsafat, seni, literature, agama, intepretasi dan evaluasi terhadap lingkungan”  (d) Divisi kepribadian, yang menawarkan studi tentang “factor-faktor fisik, psikologi, emosi dan intektual yang semuanya itu membentuk manusia menjadi…orang yang memiliki tipe kepribadian yang berbeda dan… menjadi seorang individu yang paling menarik yang pernah diciptakan oleh seni.”
            Keempat divisi tersebut diikat bersama melalui sesi pengembangan kepribadian yang merupakan “kesimpulan final, koordinasi atau integrasi dari semua yang telah dilakukan dalam divisi tersebut diatas untuk menolong murid secara sistematis dan tekun, untuk menjadi seorang pribadi yang lebih baik lagi.”
            Demiashkevitch juga mengatakan bahwa sekolah menengah umum harus dapat memperkaya dan menstimulasi kultur pendidikan secara umum. Untuk mewujudkan itu semua, dia menentukan tiga tujuan[203]  yang harus dipenuhi yaitu:  (a) Murid harus memiliki informasi umum yang cukup untuk mengetahui bagaimana dan kapan dia harus mencari informasi yang dapat diandalkan untuk menyelesaikan masalah yang akan dia hadapi. (b) Dia harus memiliki “pengetahuan yang cukup akan kebenaran, moral, social, serta ilmu science yang mendasar, dan ketidaktahuan akan semua itu bisa membahayakan dirinya dan orang lain.” (c) Pemikiran para murid harus dipenuhi dengan “standar pemikiran yang baik dan sehat serta akurat” serta “kebiasaan untuk berpikir keras dan akurat.”
            Demiashkevitch mengakui bahwa pengalaman langsung akan lebih berkesan daripada pengalaman yang diperoleh secara tidak langsung dan disimpan dalam memori kita. Isi dari pengalaman itulah yang penting, dan pengetahuan serta informasi yang banyak akan bermanfaat bagi masa depan. Beralih kepada aspek social dari masalah pengalaman langsung dan tidak langsung bahwa bentuk demokrasi pemerintahan sebagian besar berdasarkan kepada pengalaman tidak langsung, karena orang yang mengambil suara harus dibimbing oleh “pengalaman orang lain yang direkam”.[204]

 Metode

            Aspek final dari pendidikan idealis adalah metode mengajar. Pertama-tama, para idealis selalu menekankan bahwa mereka adalah pencipta dan penentu dari pendidikan mereka. Secara umum dapat kita katakan bahwa kaum idealis lebih memilih dialek informal di dalam kelas daripada para murid dikonfrontasi dengan arahan-arahan spesifik yang telah ditetapkan bagi mereka. Idealis lebih memilih setidaknya ada pemikiran alternatif kalau tidak tindakan alternatif. Para murid diharapkan untuk dapat dikonfrontasi dengan keputusan dan pilihan yang dapat mengembangkan pemikirannya sebagai berikut:

1.      Pertanyaan dan diskusi merupakan metode utama bagi para idealis. Karena dengan demikian para guru dapat menciptakan situasi dialektikal yang dapat memampukan para murid mengemukakan pendapatnya yang dilatarbelakangi oleh berbagai macam keunikan individu mereka. “Keberhasilan di dalam kelas tidak hanya menuntut adalanya pemimpin yang baik, tetapi pengalaman, studi, observasi serta pengetahuan akan mereka yang mengambil bagian.”
2.      Pengajaran merupakan metode yang juga akan digunakan oleh para idealis. Presentasi yang baik dari seorang guru adalah yang dipresentasikan untuk memberikan nasehat dan bimbingan. Hal yang harus dihindari adalah pengajaran yang memaksakan kehendak dan ide guru kepada murid sehingga tidak ada ruang untuk tanya jawab, respon ataupun penilaian.
3.      Metode yang ketiga adalah proyek, dimana para murid diberikan tugas untuk dapat mereka selesaikan. Sekalipun para idealis percaya bahwa tidak semua pendidikan adalah tentang melakukan sesuatu, namun mereka tetap mengakui bahwa proyek merupakan bagian yang penting dalam proses pendidikan. Dalam hal ini Horne mengatakan bahwa menurut pendapatnya sekitar 50 persen orang setuju dengan apa yang disebut sebagai praktek yang progresif dari pendidikan.



Filsafat Pendidikan Realism

            Realisme adalah salah satu mazhab dari filsafat pendidikan. Realisme adalah filsafat yang bermula sebagai reaksi yang berlawanan dengan pandangan filsafat idealisme. Realisme, dipelopori oleh Aristoteles (384-322 B.C.), seorang murid Plato. Mereka adalah tokoh-tokoh penting pada Filsafat Barat. Di satu sisi, Aristoteles sangat dipengaruhi oleh Plato, gurunya, tetapi di sisi lain pemikirannya menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan dengan idealisme Plato. ”Bertentangan dengan Plato, Aristoteles berpendapat bahwa dunia yang sesungguhnya adalah dunia real, yaitu dunia konkret, yang bermacam-macam, bersifat relatif, dan berubah-ubah. Dunia ide adalah dunia abstrak yang bersifat semu dan terlepas dari pengalaman. Itulah sebabnya mengapa pandangan Aristoteles dikenal sebagai paham realisme”.[205]
Aristoteles berpegang bahwa komponen dasar dari setiap obyek adalah form dan matter. Form dapat dikatakan memiliki kesamaan dengan konsep Plato tentang Ide.  Menurut Aristoteles, form tidak dapat nyata tanpa matter, tetapi tidak mungkin ada matter tanpa form. Aristoteles tidak merendahkan pentingnya form atau ide, tetapi perbedaan radikal yang menyebabkan ia berbeda dengan gurunya adalah datang karena kepercayaan bahwa pemahaman yang lebih baik atas ide universal dapat dicapai melalui studi atas matter.
            Fokus Aristoteles pada kemungkinan terbentuknya konsep universal tentang ide melalui studi matter (material), membawa dia menjadi orang yang meletakkan dasar susunan pada ilmu fisika modern, kehidupan, dan ilmu-ilmu sosial. Aristoteles adalah seorang organisator dan katagorisator yang ternama. Ia seorang ilmuwan yang berbagai bidang seperti: fisika, botani, biologi, sosiologi, psikologi, logika, dan berbagai aspek filsafat formal. Dapat dikatakan Aristoteles telah membangun ilmu pengetahuan modern.[206]
            Dasar bagi realisme adalah keyakinan pada realitas dari matter (benda). Alam semesta, dalam pandangan ini, bukanlah sebuah ilusi, tetapi sesuatu yang nyata dan berada secara konkret.[207] Dengan demikian semua matter, seperti:  pohon, gunung, kota, dan benda-benda lainnya bukanlah suatu ide belaka dalam pikiran peneliti. Mereka nyata dalam keberadaannya sendiri, terlepas dari pikiran atau pengetahuan manusia.
            Dasar keyakinan realisme pada dunia benda ini sangat mempengaruhi pendirian mereka tentang realitas, pengetahuan, dan nilai yang keberadaannya tidak tergantung pada pikiran manusia. Dengan demikian semakin jelas bahwa realisme menolak pandangan kaum idealis yang menyatakan bahwa dunia ide-lah yang sesungguhnya nyata.[208]
Dasar pemikiran kaum Realist adalah bahwa obyek dari indra kita nyata dan tidak bergantung dari pemikiran atau pengetahuan kita. Realisme berpendapat bahwa hakikat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia rohani. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subyek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak, dan di pihak lainnya adalah adanya realita di luar manusia, yang dapat dijadikan sebagai obyek pengetahuan manusia.  Perbedaan mendasar antara realisme dengan idealisme dapat diilustrasikan dengan contoh pohon di sebuah padang di suatu pulau. Menurut kaum realist bahwa pohon itu nyata hanya jika dapat dipikirkan (termasuk pemikikiran tentang keberadaan yang transenden) atau jikalau terdapat pengetahuan tentang itu. Kaum realist, di pihak lain berpegang bahwa pohon itu nyata tidak bergantung pada pikiran atau pengetahuan manusia.

Tokoh-tokoh Realisme:[209]
Aristotelian Realism: Aristotle (384-322 BC)
Religious Realism: Thomas Aquinas (1225-1274)
Development of Modern Realism: Francis Bacon (1561-1626), John Locke (1632-1704)
Contemporary Realism: Alfred North Whitehead (1861-1947), Bertrand Russell (1872-1970)


No comments:

Post a Comment

Misi Kristus Sedunia

PELAJARAN SEKOLAH MINGGU

  TANGGAL   PELAJARAN SEKOLAH MINGGU KATEGORI Babak pertama        ...