Introitus
:
Mereka akan
tinggal tetap,sebab sekarang Ia menjadi besar sampai keujung bumi(Mikha 5 :
4b-5).
Ogen : Heber 1
: 1 -4(Tunggal); Khotbah : Mikha 5 : 1 – 4(Tunggal).
Tema : Dia Raja
Damai
Saudara saudara
yang dikasihi oleh Tuhan Yesus Kristus.
Pemimpin-pemimpin
bangsa Israel pada waktu itu tidak lagi menjalankan kepemimpinannya sesuai
dengan kehendak Tuhan,mereka tidak lagi menjalankan keadilan melainkan membenci
kebaikan dan mencintai kejahatan (band.Mikha 3 : 2-3). Pemimpin pwmimpin
membengkokkan yang lurus, para kepalanya memutuskan hukum karena suap, dan para
imamnya memberi pengajaran karena bayaran. Bangsa Israel tidak lagi merasakan
keadilan, mereka menderita oleh pemimpin pemimpin yang menyenangi kejahatan.
Ditengah tengah penderitaan mereka karena krisis kepemimpinan, mereka sangat
merindukan kepemimpinan yang baru, Raja yang baru yang sanggup memberi
kedamaian kepada bangsa Israel. Mereka sudah terlalu lama menderita karena
krisis kepemimpinan.
Mikha berani
mengkeritik pemimpin pemimpin yang tidak benar,dan mengatakan: Tetapi engkau
hai Betlehem Efrata,hai yang terkecil diantara kaum kaum Yehuda,dari padamu
akan bangkit bagiKu seorang yang akan memerintah Israel,yang permulaannya sudah
sejak purbakala sejak dahulu kala.Mikha bersaksi walaupun Betlehem kota yang
kecil tapi daripadanya akan lahir seorang Raja yaitu Raja yang adil dan
jujur,Dialah yang memberikan keselamatan dan damaisejahtera kepada bangsa
Israel. Nabi Mikha berani mengkritik pemimpin pemimpin/Raja raja yang lain yang
tidak lagi menjalankan kepemimpinannya dengan benar, dimana mereka mencari
kepentingan pribadi/kelompoknya masing masing,dan rakyat sudah tertindas, tidak
dipedulikan oleh pemimpin, disitulah nabi Mikha tegas mengatakan akan
kedatangan Raja Damai, Raja yang memimpin dengan penuh kasih, benar dan adil. Ibarat
kita di Indonesia yang merindukan pemimpin yang penuh kasih,benar dan
adil,karena jarang kita temukan pemimpin yang sedemikian rupa,jadi kitapun
sangat mengharapkan supaya pemimpin yang terpilih penuh perhatian, jujur dan
adil, supaya negara kita bebas dari korupsi, kolusi,dengan demikian rakyat bisa
merasakan damai sejahtera.
Didalam ayat
2-3 perikop kita ini adalah penantian bagi mereka sampai waktu perempuan yang
akan melahirkan, maksutnya yang dinantikan itu adalah Yesus sebagai Raja
penyelamat dunia (mat 2: 6-17). Dia akan bertidak dan menggembalakan mereka
dengan kekuatan Tuhan,dalam kemegahan nama Tuhan Allahnya,mereka akan tinggal
tetap sebab sekarang Ia besar sampai keujung bumi. Dan Dia membawa damai
sejahtera,apabila ada musuh musuh yang datang yang hendak menghancurkan, Dia
akan tampil sebagai pembela untuk melindunginya.
Saudara saudara
yang dikasihi oleh Tuhan,
Semua manusia
akan mengharapkan kedamaian didalam kehidupannya,manusia bersosialisasi,
manusia bekerja dengan sungguh sungguh,manusia beragama, salah satu tujuannya
supaya dia mendapatkan damai sejahtera. Tapi seringkali damai tidak ditemukan
karena ada keegoisan, mementingkan diri sendiri, menganggap diri lebih hebat
dari orang lain, lebih baik dari orang lain, tidak mau merendahkan hati
sehingga apa yang diharapkan damai sejahtera sering tidak ditemukan. Adanya
ketidakcocokan antara si A dan si B dan seterusnya, dan masing masing
mempertahankan pendapatnya bahwa dialah yang benar.
Ia Raja damai
yang membawa damai ketengah tengah manusia yang penuh dengan ketidak benaran,
keegoisan, pertentangan pertentangan, ketidak adilan,siapa yang datang
kepadaNya akan merasakan damai. Seringkali manusia mau damai tapi orang lain
yang datang minta maaf kepadanya. Kalau kita telah menerima Raja damai maka
kita menjadi juru damai ditengah tengah keluarga, gereja dan masyarakat. Kalau
kita menjadi pembawa damai yang paling utama, kita harus mau merendahkan hati
kita sebagaimana Tuhan Yesus merendahkan hatiNya untuk menyelamatkan manusia
(Filipi 2 :7-). Kita yang selalu lebih duluan datang untuk memaafkan orang lain
dan jangan di tunggu tunggu orang yang datang kepada kita untuk meminta maaf.
Natal membawa
damai kepada manusia,artinya melalui peristiwa natal kehendak Allah akan
diwujudkan ditengah tengah bumi ini.Allah telah datang melalui anakNya Yesus
Kristus kedunia ini untuk memimpin dengan benar, adil dan penuh kasih sayang.
Kepemimpinan Yesus menjadi teladan bagi pemimpin pemimpin kriten yang membawa
keadilan dan kebenaran,agar melalalui kepemimpinan kristen membawa damai bagi
orang lain. Dengan demikian orang kristen menjadi garam dan terang ditengah
tengah masyarakat dan damai itu dapat dirasakan oleh semua orang. Allah
menginginkan supaya damai ada dimana mana, karna melalui hidup damai kemuliaan
Allah nyata ditengah tengah dunia ini.
Natal membawa
damai ditengah tengah keluarga kita,dimana kita menjadi pembawa damai untuk
keluarga kita(anak beru, kalimbubu, senina), tidak ada lagi perkelahian
ditengah tengah keluarga terlebih keluarga kristen,karena Yesus telah datang
membawa damai kepada manusia. Walaupun ada perbedaan pendapat itu wajar saja
tapi dalam hal itu kita mau mengalah demi kemenangan kita. Kita sudah tahu
karena kasih Allah akan dunia ini maka Dia memberikan anakNya yang tunggal untuk
Juruselamat manusia dan sebagai jurudamai, yang mendamaikan Allah dan manusia.
Karena kita sudah diperdamaikan dengan Allah, Dia mau mengampuni segala dosa
dosa kita,dan mari kita semua menjadi pembawa damai dimana saja kita berada.
Amin.
Pdt. Ediwati Br
Ginting
Rg. Bogor
Ilustrasi:
Seorang pendeta dengan tukang pangkas. Ketika pendeta ini
sedang pangkas, ada orang bertengkar dan ternyata yang bertengkar adalah
anggota jemaat pendeta ini. Melihat itu, tukang pangkas menyindir: “pak pendeta
bukankah yang bertengkar itu anggota jemaat bapak, kok masih bertengkar ya,
bukankah ajaran agama saling mengasihi”?. Pendeta ini terdiam, ia belum
mendapat jawaban yang tepat. Kebetulan ada 2 orang pemuda yang berambut
gondrong lewat. Seketika pendeta ini mendapat hikmat untuk member penjelasan
kepada tukang pangkas. "Pak kok masih ada orang yang mempunyai rambut
gondong di desa ini ya? Berarti tukang pangkas kurang berfungsi". Langsung
tukang pangkas menjawab, itu karena mereka tidak mau datang ke tukang pangkas.
Coba meraka datang pasti tidak ada lagi yang berambut gondron. Dengan tersenyum
pendeta mengatakan: "demikian juga mengapa orang Kristen masih rebut,
bertengkar karena mereka juga belum menerima damai yang sesungguhnya dari
Yesus".
“UMAT ALLAH YANG ISTIMEWA
(MIKHA)”
Sabat Petang
PENDAHULUAN
Apa yang dituntut Allah. Mikha berasal dari Moresyet, sekitar 40
Km baratdaya Yerusalem, sebuah desa di perbatasan Yehuda dengan Filistin. Masa
pelayanannya diperkirakan mulai dari tahun 739 SM (awal pemerintahan raja Yotam
di Yehuda) hingga tahun 686 SM (akhir pemerintahan raja Hizkia), waktu yang
hampir bersamaan dengan masa pelayanan nabi Yesaya. Bahkan, kita menemukan satu
bagian tulisan dari kedua nabi tersebut yang identik (lihat Mi. 4:1-3 dan Yes.
2:2-4). Meskipun nabi Mikha bermukim di Yehuda dan utamanya bernubuat untuk
kerajaan di selatan itu–seperti juga nabi Yesaya–namun Tuhan menggunakan dia
pula untuk bernubuat terhadap kerajaan Israel di utara. Mikha memulai
pekabarannya dengan menyampaikan penglihatannya tentang apa yang bakal terjadi
pada ibukota dari dua kerajaan itu, Samaria dan Yerusalem (Mi. 1:1).
“Nabi Mikha melayani dalam salah satu masa paling kelam
dari sejarah Israel. Negeri itu sudah lama terpecah menjadi dua kerajaan.
Akhirnya, Asyur menamatkan kerajaan utara, dan Mikha dapat melihat kejahatan
serta kekejaman yang menjalar ke dalam kerajaan Yehuda di selatan. Dia
berkhotbah terhadap dosa-dosa yang fatal seperti ketidakjujuran, ketidakadilan,
penyuapan, dan hal-hal yang mencurigakan” [alinea pertama: empat kalimat
pertama].
Menurut catatan sejarah, pada tahun 734 SM kerajaan Asyur
telah menaklukkan Israel dan Yehuda lalu menjadikannya sebagai wilayah jajahan.
Tahun 722 SM raja Salmaneser dari Asyur kembali menginvasi Samaria lalu
memenjarakan raja Hosea dan penduduknya ditawan dalam pembuangan (2Raj. 17:3-6;
18:9-11). Delapan tahun kemudian Sanherib, raja Asyur yang lain, melakukan
pengepungan ketat terhadap kota Yerusalem, dan hanya atas pernyataan
kesanggupan raja Hizkia dari Yehuda untuk membayar upeti yang besar maka
pengepungan itu diperlonggar (2Raj. 18:13-14).
Pekabaran dari kitab Mikha dapat dibagi ke dalam tiga
bagian utama:
b. Alasan dari penghakiman tersebut (2:1-11)
c. Umat yang sisa yang dipulihkan (2:12-13).
2. Kepemimpinan baru atas Yerusalem/Yehuda (Mi.
3:1–5:14);
a. Tuhan akan menggusur pemimpin-pemimpin yang jahat
(3:1-12)
b. Pemimpin-pemimpin baru akan dipilih (4:1-5:15).
3. Seruan untuk datang kepada Tuhan (Mi. 6:1–7:20);
a. Datang dengan peribadatan yang benar (6:1-16)
Nama Mikha (Ibr.: מִיכָה, Miykah)
menyandang arti “siapakah seperti Allah” dan tulisan nabi ini berada dalam
urutan ke-6 dari 12 “nabi kecil” atau “nabi mini” yang menjadi jurukabar Allah
bagi umat-Nya, khususnya kaum Yehuda. Salah satu tema dari pekabaran sang nabi
ialah mengkhotbahkan hal-hal yang dituntut Allah dari umat-Nya. “Hai manusia,
telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN dari
padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati
di hadapan Allahmu?” (Mi. 6:8, ayat tema pelajaran pekan ini).
Minggu
BEBAN MENTAL HAMBA TUHAN (Hati Nabi yang Menderita)
Tekanan batin. Barangkali nabi Mikha tergolong seorang
yang sangat perasa dan benar-benar mencintai bangsanya. Itulah sebabnya,
mengetahui akan kedahsyatan hukuman Allah yang bakal menimpa negeri dan
bangsanya, hati sang nabi menjadi sangat sedih dan batinnya tertekan. Pekabaran
yang harus disampaikan kepada bangsanya itu telah menjadi beban pikiran bagi
sang nabi. “Karena inilah aku hendak berkeluh kesah dan meratap, hendak berjalan
dengan tidak berkasut dan telanjang, hendak melolong seperti serigala dan
meraung seperti burung unta: sebab lukanya tidak dapat sembuh, sudah menjalar
ke Yehuda, sudah sampai ke pintu gerbang bangsaku, ke Yerusalem!” (Mi. 1:8-9).
“Pemikiran tentang penghakiman yang menghancurkan itu
menghasilkan suatu tekanan yang sesungguhnya dalam kehidupan Mikha. Oleh karena
panggilan kenabiannya mengikat dirinya dengan maksud Allah, dia tidak mempunyai
pilihan kecuali mengumumkan apa yang akan terjadi dalam waktu dekat. Tetapi
sang nabi juga menyayangi bangsanya di mana dia ikut termasuk, maka gambaran
tentang penawanan mereka membawa dia kepada ratapan pribadi. Sering sekali
berita-berita buruk memberi pengaruh yang sangat meluluhkan pikiran dan tubuh
nabi itu” [alinea kedua].
Mikha adalah contoh dari seorang hamba Tuhan yang bekerja dengan roh dan kesungguhan hati. Nabi
ini tidak menempatkan dirinya berada di atas ataupun terpisah dari umat
terhadap siapa dia sedang menyampaikan pekabaran Allah, tetapi memposisikan
diri sebagai bagian dari sasaran pekabarannya sendiri. Mikha tidak berkhotbah
dengan pretensi seolah-olah khotbahnya adalah untuk jemaat saja sambil
mengistimewakan diri sendiri. Dia juga bukan tipe hamba Tuhan yang bekerja
dengan sikap acuh tak acuh dan tanpa perasaan, seolah robot yang tidak dapat
merasakan pergumulan hidup dan perjuangan iman seseorang. Pokoknya menegur dan
mencela kekurangan dan kelemahan orang lain, mau dengar atau tidak, mau selamat
atau tidak, terserah pribadi masing-masing. Mikha tidak seperti itu.
Pergumulan sebagai nabi. Banyak nabi-nabi PL maupun rasul-rasul PB yang juga
harus bergumul dengan diri mereka sendiri berhubung dengan kewajiban dan
tanggungjawab moral yang mereka pikul, khususnya dalam menghadapi
tantangan-tantangan dalam pekerjaan mereka. Musa mengeluh atas tuntutan
bangsa Israel yang menginginkan daging (Bil. 11:10-15); Elia mengeluh karena
perlawanan orang Israel terhadap teguran sehingga mereka membunuh nabi-nabi
(1Raj. 19:14); Yeremia menangisi kekerasan hati umat Israel sehingga ingin
meninggalkan mereka (Yer. 8:21-9:2); Yehezkiel harus mengalami kematian istri
tercinta tanpa boleh bersedih (Yeh. 24:15-18); dan Paulus mengutarakan berbagai
penderitaan fisik yang dialaminya sebagai risiko dari pekerjaan penginjilannya
(2Kor. 11:23-27).
“Nabi-nabi Allah sangat banyak terlibat dalam
pekabaran-pekabaran yang mereka kumandangkan. Mereka tidak menikmati berbicara
tentang hal-hal mengerikan yang akan terjadi. Sering mereka menggunakan ratapan
kesedihan untuk mengungkapkan reaksi mereka terhadap malapetaka-malapetaka yang
akan datang. Penderitaan mereka itu nyata. Bagi para pendengar mereka,
pekabaran itu berisi kata-kata nubuatan dan juga isyarat-isyarat tubuh yang
acapkali memperlihatkan suatu penderitaan mendalam yang muncul dari hati
sanubari” [alinea ketiga: lima kalimat pertama].
Untuk mengikut Tuhan memerlukan semacam kesiapan batin
dan keberanian untuk menderita yang digambarkan Yesus sebagai masuk melalui
“pintu dan jalan yang sempit” (Mat. 7:13-14); untuk menjadi hamba Tuhan atau
pelayan dalam pekerjaan Tuhan menuntut lebih dari itu, terkadang sampai
mengalami seperti Kristus sendiri yang “taat sampai mati” (Flp. 2:8). Tetapi
kata rasul Petrus, “Berbahagialah kamu, jika kamu dinista karena nama Kristus,
sebab Roh kemuliaan, yaitu Roh Allah ada padamu. Janganlah ada di antara kamu
yang harus menderita sebagai pembunuh atau pencuri atau penjahat, atau
pengacau. Tetapi, jika ia menderita sebagai orang Kristen, maka janganlah ia malu, melainkan
hendaklah ia memuliakan Allah dalam nama Kristus itu” (1Ptr. 4:14-16).
Apa yang kita pelajari tentang penderitaan batin nabi
Mikha?
1. Mikha bukan saja sekadar menyampaikan pekabaran Tuhan
kepada bangsa Israel lewat kata-kata, tapi juga dengan melibatkan perasaan.
Alasan utama dari keprihatinannya yang besar itu adalah karena dia mengasihi
bangsanya sendiri.
2. Para nabi dan rasul dalam Alkitab patut dijadikan
sebagai panutan oleh hamba-hamba Tuhan pada zaman akhir, yaitu dengan
menghidupkan nilai-nilai pekabaran Tuhan dalam kehidupan mereka sehari-hari.
3. Salah satu ciri dari pengabdian sejati dalam pekerjaan
Tuhan adalah dorongan hati yang kuat (passion), yaitu suatu perasaan yang ingin
menyerahkan diri secara keseluruhan demi suksesnya pekerjaan Tuhan. Seringkali
seorang pelayan Tuhan harus mengorbankan perasaan bahkan diri mereka.
Senin
PENINDASAN TERANG-TERANGAN (Mereka yang Merancang
Kelaliman)
Hukum rimba. Sebagaimana telah disinggung
sebelumnya, nabi Mikha hidup dalam zaman kegelapan bangsa Israel yang tidak
lagi mempedulikan nilai-nilai moral yang diajarkan agama. Hal itu tercermin
dalam amaran nabi itu: “Celakalah orang-orang yang merencanakan kejahatan
sementara berbaring di tempat tidur pada waktu malam, lalu melaksanakannya pada
waktu pagi karena mereka mempunyai kekuatan untuk melakukannya. Jika mereka
menginginkan sebuah ladang, mereka merampasnya. Jika mereka menginginkan sebuah
rumah, mereka menyerobotnya. Baik harta maupun keluarga, tidak ada yang aman”
(Mi. 2:1-2, BIMK).
Keadaan “hukum rimba” seperti ini biasanya terjadi di
satu masyarakat dalam masa peralihan kekuasaan, dan biasanya menguntungkan
pihak-pihak tertentu yang memiliki kekuatan dan kesempatan. Secara nasional
kita pernah mengalami keadaan seperti ini sekitar tahun 1966 ketika oknum-oknum
tertentu yang memiliki kekuasaan dengan seenaknya saja menguasai aset-aset
orang lain. Tetapi penindasan serta perampasan hak dalam skala terbatas dan
dalam bentuk yang terselubung dapat terjadi kapan saja, apabila orang-orang
yang sedang memangku jabatan berusaha memaksakan kehendak sendiri kepada
orang-orang lain yang menjadi bawahannya. Adalah hal yang ironis sekali jika
pejabat-pejabat publik sekarang ini kian menjauhi tindakan semena-mena sejalan
dengan berkembangnya era reformasi, tetapi sebagian pemimpin di lingkungan
pekerjaan Tuhan justeru hendak memupuk perilaku seperti itu.
Merancang kelaliman “sementara berbaring di tempat tidur
pada waktu malam” menunjukkan bahwa perbuatan mereka itu adalah sebuah
kejahatan terencana. Allah membenci dosa, apalagi dosa yang direncanakan.
Menurut tudingan Mikha, kelompok orang-orang yang mempunyai kekuatan itu
merancang niat di atas pembaringan mereka lalu “melaksanakannya pada waktu
pagi” yang menggambarkan moral mereka itu sudah sangat bejat. Menurut Alkitab,
tradisi masyarakat zaman dulu biasanya menyelenggarakan pengadilan di pintu
gerbang kota yang diadakan pada pagi hari (Rut 3:13; 2Sam. 15:2). Jadi, bila
perbuatan penindasan itu dilakukan pada pagi hari, saat di mana keadilan
mestinya diteguhkan, maka perbuatan melawan hukum yang mereka lakukan “pada
waktu pagi” benar-benar menunjukkan sikap menantang rasa keadilan dan suatu
kepongahan luar biasa.
“Tokoh-tokoh pemimpin Israel sedang membuktikan
ketidaksetiaan terhadap keyakinan mereka; nabi-nabi palsu bermunculan dengan
pekabaran-pekabaran yang menyesatkan; bahkan sebagian imam-imam mengajar kalau
diberi upah. Namun para pemimpin dalam kemurtadan itu tetap memelihara
bentuk-bentuk peribadatan ilahi dan menyatakan termasuk di antara umat Allah”
[alinea pertama: dua kalimat terakhir].
Tertipu oleh status. Bangsa Israel purba tampaknya terlalu
yakin dengan “status istimewa” yang mereka sandang sebagai umat perjanjian
keturunan Abraham. Jadi, tatkala Mikha mengumumkan tentang bencana yang akan
menimpa Israel akibat dosa-dosa mereka, orang banyak itu melakukan interupsi.
“Janganlah ucapkan nubuat,” kata mereka itu, “orang tidak mengucapkan nubuat
seperti itu! Noda tidak akan menimpa kita” (Mi. 2:6). “Bukankah TUHAN ada di
tengah-tengah kita! Tidak akan datang malapetaka menimpa kita!” (Mi. 3:11).
Betul, tidak seharusnya malapetaka yang dinubuatkan itu menimpa Israel karena
kedudukan mereka yang berbeda dari bangsa-bangsa kafir. Tetapi, mengingat
status mereka yang istimewa itu, seharusnya pula mereka memelihara perilaku
yang sepatutnya. Kenyataannya tidak demikian, sehingga sang nabi berkata kepada
mereka: “Baiklah dengar, hai para kepala di Yakub, dan hai para pemimpin kaum
Israel! Bukankah selayaknya kamu mengetahui keadilan, hai kamu yang membenci
kebaikan dan yang mencintai kejahatan?” (Mi. 3:1-2).
“Salah satu persoalan yang bangsa Ibrani itu terus hadapi
adalah penipuan sehubungan dengan status mereka yang istimewa sebagai umat
Allah–yaitu pengetahuan mereka akan Allah yang benar, hal yang berlawanan
dengan kebodohan penyembahan berhala kekafiran (baca Mzm. 115:4-9)–sehingga
entah bagaimana membuat mereka itu kebal terhadap ganjaran ilahi. Namun
demikian, kebenaran yang dahsyat ialah bahwa memang benar karena mereka
memiliki status yang istimewa di hadapan Allah itulah maka mereka akan
dianggap jauh lebih bersalah karena dosa-dosa mereka” [alinea ketiga: dua
kalimat pertama].
Pena inspirasi menulis: “Alasan mengapa kita tidak
memiliki berkat Tuhan yang lebih banyak ialah karena orang-orang yang mengaku
umat Allah melayani Dia dengan hati yang terbagi, persis seperti yang dilakukan
Israel purba. Mereka mengaku sebagai penyembah-penyembah Allah, tetapi banyak
yang menyembah berhala-berhala seperti yang dilakukan orang Ibrani…Mereka yang
pura-pura melayani Tuhan namun mencintai diri sendiri, yang berusaha untuk melaksanakan
proyek-proyek ambisius, adalah orang-orang yang cinta akan kesenangan, orang-orang yang
cinta diri, dan jauh lebih berdosa ketimbang Israel purba karena terang yang
lebih besar yang menerangi jalan mereka.” (Ellen G. White, Review and
Herald, 21 Mei 1895).
Apa yang kita pelajari tentang orang-orang yang merancang
kelaliman?
1. “Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan yang mutlak
korupnya juga mutlak” demikian kata sejarahwan dan moralis John Edward Acton,
atau yang lebih dikenal sebagai Lord Acton (1834-1902). Ucapan ini menjadi
sangat terkenal karena menemukan pembenarannya dalam praktik-praktik di ruang
publik.
2. Korupsi (=tindakan penyelewengan) bisa terjadi karena
ada niat dan didukung oleh “kesempatan” (baca: kekuasaan/kewenangan). Pada
zaman nabi Mikha, fenomena yang terjadi di kalangan Israel purba ini telah
menimbulkan suasana “hukum rimba” (siapa kuat, dia menang).
3. Bangsa Israel purba berani berbuat kejahatan ini
karena dininabobokan oleh “status istimewa” yang disandang mereka, seolah-olah
Tuhan tidak akan menghukum umat kesayangan-Nya. Tetapi kenyataan berbicara
lain, umat Tuhan justeru lebih dulu dihukum karena mereka lebih tahu apa yang
baik dan benar.
Selasa
RAJA SEGALA RAJA (Penguasa Baru Dari Betlehem)
Kegagalan para pemimpin. Bukan secara tiba-tiba nabi Mikha
beralih kepada nubuatan tentang Seorang pemimpin yang akan muncul dari
Betlehem. Pengalihan fokus pekabaran ini mungkin sebagai pertanda kekecewaan
Allah terhadap para pemimpin di Yehuda dan Israel yang muncul silih-berganti.
Sedikit sekali dari para pemimpin umat Tuhan itu yang sungguh-sungguh adalah
pemimpin yang mumpuni (Jw.=cakap melaksanakan tugas) dan
secara moral adalah pemimpin yang layak dalam pemandangan Tuhan.
Mari kita buat rekapitulasi. Sejak era pemerintahan
monarki berlaku di Israel, 3 orang raja telah berkuasa pada waktu kerajaan itu
masih bersatu. Saul, raja pertama (1050-1010 SM), hanya permulaannya saja baik
tetapi pada akhirnya berlaku jahat di mata Tuhan. Hanya Daud, raja kedua
(1010-970 SM), meski sempat tersandung “kasus Batsyeba” tapi secara umum adalah
seorang raja yang paling taat dan paling berkenan dalam pemandangan Tuhan.
Salomo, raja ketiga (970-930 SM), pada awalnya sangat baik namun tergelincir di
akhir masa kekuasaannya, beruntung dia sempat bertobat. Setelah kerajaan Israel
pecah, dari 19 raja-raja yang pernah memerintah kerajaan Israel di utara yang
memisahkan diri itu, mulai dari Yerobeam I selaku raja pertama (931-910 SM)
hingga Hosea sebagai raja terakhir (910-909 SM), tidak satupun yang baik alias
semuanya jahat terhadap Tuhan. Dari 20 raja-raja yang pernah memerintah Yehuda
di selatan, mulai dari Rehobeam (931-913 SM) sampai Zedekia (597-586 SM), cuma
8 orang yang baik (40%) sedangkan kebanyakannya berlaku jahat di hadapan Tuhan.
Akhirnya, memang hanya Yesus Kristus yang layak disebut
Pemimpin umat Allah sejati, tidak saja bagi bangsa Israel melainkan untuk
seluruh bangsa di dunia. Sebagai Pemimpin yang ideal, “Ia mengajar kita tentang
jalan-jalan-Nya dan supaya kita berjalan menempuhnya; sebab dari Sion akan
keluar pengajaran, dan firman TUHAN dari Yerusalem. Ia akan menjadi hakim
antara banyak bangsa, dan akan menjadi wasit bagi suku-suku bangsa yang besar
sampai ke tempat yang jauh” (Mi. 4:2-3).
Mesias dinubuatkan. Lalu sang nabi bernubuat, “Tetapi
engkau, hai Betlehem Efrata, hai yang terkecil di antara kaum-kaum Yehuda, dari
padamu akan bangkit bagi-Ku seorang yang akan memerintah Israel, yang
permulaannya sudah sejak purbakala, sejak dahulu kala…Maka ia akan bertindak
dan akan menggembalakan mereka dalam kekuatan TUHAN, dalam kemegahan nama TUHAN
Allahnya; mereka akan tinggal tetap, sebab sekarang ia menjadi besar sampai ke
ujung bumi, dan dia menjadi damai sejahtera” (Mi. 5:1, 3-4).
“Dari sebuah kota kecil di Yudea akan datang Seorang dari
kekekalan untuk menjadi penguasa Israel. Mikha 5:2 adalah salah satu dari
ayat-ayat Alkitab paling berharga yang ditulis demi untuk memperkuat
pengharapan umat manusia yang dengan tidak sabar menantikan Pemimpin ideal yang
dijanjikan oleh para nabi. Pemerintahan-Nya akan mengantarkan suatu masa
kekuatan, keadilan, dan kedamaian (Mi. 5:4-6)” [alinea pertama].
Betlehem (Ibrani: בֵּית לֶחֶם, Beyth
Lechem, secara harfiah berarti “Rumah Roti”), atau nama lainnya adalah
Efrata (Ibrani: אֶפְרָת, ‘Ephraath, artinya
“keberhasilan” atau “berkelimpahan”), memang hanyalah sebuah kota kecil yang
kedudukannya tidak berarti apa-apa di seluruh tanah Israel. Sampai sekarang pun
kota kecil di sebelah selatan Yerusalem itu, yang secara geo-politik termasuk
wilayah Palestina (pernah direbut Israel pada Perang Enam Hari tahun 1967, tapi
kemudian dikembalikan kepada otoritas Palestina berdasarkan Perjanjian Tepi
Barat dan Jalur Gaza tahun 1995) menurut sensus terakhir hanya berpenduduk
sekitar 25.000 jiwa. Tetapi Allah telah memilih kota kelahiran raja Daud itu
untuk menjadi tempat lahirnya Yesus Kristus, Mesias dan Raja segala raja, yang
menjelma sebagai manusia untuk missi yang jauh lebih besar dan lebih penting
daripada sekadar menjadi raja Israel.
Tidak seperti raja-raja Israel maupun Yehuda yang harus
dengan segala perjuangan untuk mempertahankan kekuasaannya, Yesus Kristus
sebagai Raja segala raja yang dinubuatkan itu akan berkuasa selama-lamanya.
“TUHAN akan menjadi raja atas mereka di gunung Sion, dari sekarang sampai
selama-lamanya” (Mi. 4:7). Wilayah kekuasaan-Nya juga bukan sebatas dua kerajaan
bangsa Ibrani itu, “sebab sekarang ia menjadi besar sampai ke ujung bumi” (Mi.
5:3).
“Betapapun luar biasanya gagasan tersebut, itu adalah
salah satu kebenaran paling mendasar dalam Kekristenan: Allah Pencipta
mengenakan kemanusiaan pada Diri-Nya dan di dalam kemanusiaan itu menawarkan
Diri-Nya sebagai suatu kurban bagi dosa-dosa kita. Kalau anda mengambil waktu
untuk merenungkan apa yang hal ini ajarkan kepada kita perihal nilai hidup kita
dan apa artinya diri kita bagi Allah sebagai pribadi-pribadi, anda bisa
memperoleh sebuah pengalaman yang mengubah kehidupan” [alinea terakhir: kalimat
ketiga dan keempat].
Apa yang kita pelajari tentang Penguasa baru yang akan
muncul dari Betlehem?
1. Kegagalan demi kegagalan para pemimpin Israel
sepanjang sejarah bangsa itu sebagai umat pilihan telah mengecewakan hati
Tuhan. Tanpa pemimpin yang benar dalam pemandangan Tuhan tidak mungkin satu
umat dapat melaksanakan rencana-rencana Tuhan dengan benar.
2. Dalam kitab nabi Mikha–bersama dengan kitab nabi
Yesaya (baca Yesaya 53)–kedatangan Mesias dinubuatkan secara khusus, sekalipun
tidak secara eksplisit menyebutkan nama itu. Pekabaran tentang Mesias
(Ibr.: מָשִׁיחַ,
mashiyach) yaitu “seorang yang diurapi” (baca Dan.
9:25-26), sejatinya adalah berita kelepasan.
3. Mesias, yang kita kenal dalam sosok Yesus Kristus,
adalah Raja segala raja yang telah ditentukan sejak awal untuk berkuasa di
seluruh alam semesta (baca Mat. 28:18), yang telah turun dari surga menjelma
sebagai manusia melalui kaum Yehuda (Rm. 9:5).
Rabu
TUNTUTAN ALLAH DARI UMATNYA (Apakah yang Baik)
Tuduhan Allah. Mikha pasal 6 dibuka dengan suasana
semacam “gelar perkara” antara Allah dengan Israel. “Dengarlah apa yang
dituduhkan Tuhan kepada Israel,” kata sang nabi (Mi. 6:1, BIMK). Lalu, sebagai
jurubicara Allah, Mikha melancarkan tudingan berikut kepada bangsa itu: “Hai
umat-Ku, apa yang telah Kuperbuat terhadap kamu? Dalam hal apakah Aku
menyusahkan kamu? Jawablah Aku!” (ay. 3, BIMK). Selanjutnya nabi itu mengungkit
kembali apa yang Tuhan telah lakukan bagi mereka, mulai dari membebaskan nenek
moyang mereka dari tanah perhambaan Mesir sampai mengantarkan mereka masuk ke
tanah perjanjian Kanaan dengan mengalahkan musuh-musuh yang hendak menghalangi
mereka. Sesudah itu diungkapkanlah berbagai tindak kejahatan yang mereka
lakukan terhadap sesama mereka yang lemah, yaitu kekerasan fisik dan penindasan
yang didorong oleh keserakahan akan kekayaan.
“Dalam menanggapinya, orang yang masuk ke kaabah untuk
beribadah bertanya apa yang dia bisa lakukan untuk menyenangkan Allah. Apakah
yang merupakan persembahan yang berterima: anak lembu berumur setahun, sejumlah
besar domba jantan, minyak yang berlimpah, atau bahkan anak sulung dari orang
yang beribadah? Dari daftar persembahan yang dicatat dalam ayat ini terdapat
suatu peningkatan bertahap yang stabil menyangkut ukuran dan nilainya” [alinea
pertama: tiga kalimat terakhir].
Inilah cara berpikir yang lazim di kalangan orang-orang
yang menempatkan uang di atas segalanya. Karena mereka sendiri serakah dan mata duitan lalu mengira orang lain pun
dapat ditenangkan atau dikuasai dengan uang, dan bahwa setiap persoalan dapat
dibereskan dengan uang atau barang berharga. Orang-orang seperti ini sudah
terbiasa dengan praktik suap-menyuap, dan menyangka bahwa siapa saja bisa
ditaklukkan dengan sogokan. Mentalitas seperti ini juga dimiliki oleh para
pemuka Israel, dan celakanya mereka ini beranggapan bahwa Tuhan pun bisa
disogok dengan pemberian dan persembahan. Bukankah di antara umat Tuhan dewasa
ini ada juga yang berpikiran seperti itu, yang berharap bahwa dengan
menyumbangkan sejumlah uang bagi pekerjaan Tuhan maka mereka bisa menyenangkan
hati Tuhan?
Penurutan lebih baik daripada persembahan. Kepada mereka ini nabi Mikha berkata:
“Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang
dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan
hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?” (Mi. 6:8; huruf miring
ditambahkan). Hal yang sama pun telah ditekankan oleh Yesus ketika berbicara
kepada ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, kelompok yang disebut-Nya
sebagai “orang-orang munafik” karena rajin memberi persembahan tetapi
“mengabaikan keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan” (Mat. 23:23).
“Jawaban Mikha bukanlah sebuah wahyu baru yang menandakan
suatu perubahan dalam tuntutan-tuntutan Allah. Pengorbanan dan pelayanan
keimamatan bukanlah perhatian pertama Allah. Keinginan Allah yang terutama
adalah mempunyai satu umat yang berlaku adil terhadap sesama mereka, dengan
ketaatan dan kasih yang konsisten kepada Tuhan.
Persembahan paling berlimpah yang manusia dapat berikan kepada Allah ialah
penurutan” [alinea kedua: empat kalimat terakhir].
Tidak lama setelah Saul diurapi sebagai raja, Tuhan
melalui nabi Samuel menyuruh dia memerangi orang Amalek sebagai pembalasan atas
perbuatan mereka yang dulu menghalang-halangi orang Israel ketika hendak
memasuki Kanaan. Raja Saul paham betul tujuan dari missi tersebut. Itulah
sebabnya dia menyuruh orang-orang Keni yang tinggal di antara orang Amalek
untuk menyingkir, supaya orang-orang ini yang telah bersikap baik kepada bangsa
Israel dulu bisa selamat. Sebab perintah Allah jelas dan tegas: Tumpas habis
seluruh bangsa Amalek, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak, bahkan semua
ternak mereka, tanpa belas kasihan! Tapi apa yang terjadi? Selain
membiarkan hidup Agag, raja orang Amalek, Saul juga membawa pulang ribuan hewan
ternak yang tambun dan berharga dengan alasan untuk dijadikan persembahan
kurban kepada Tuhan. Terhadap alasan raja Saul itu, nabi Samuel mengucapkan
satu kebenaran hakiki yang juga patut disadari oleh semua umat Tuhan sepanjang
zaman: “Taat kepada Tuhan lebih baik daripada mempersembahkan kurban. Patuh
lebih baik daripada lemak domba” (1Sam. 15:22, BIMK).
Pena inspirasi menulis: “Pemberian-pemberian yang mahal
dan kemiripan kesucian tidak dapat memenangkan kemurahan hati Allah. Untuk
belas kasihan-Nya, Dia menuntut suatu roh penyesalan, sebuah hati yang terbuka
terhadap terang kebenaran, kasih dan belas kasihan bagi sesama kita
manusia dan roh yang menolak untuk disuap melalui ketamakan atau cinta diri.
Imam-imam dan penguasa-penguasa miskin akan hal-hal yang esensial demi
kemurahan hati Allah ini, dan pemberian-pemberian mereka yang paling berharga
serta upacara-upacara yang indah-indah itu menjadi suatu kebencian di mata-Nya”
(Ellen G. White, Signs of the Times, 21 Maret 1878).
Apa yang kita pelajari tentang tuntutan Allah dari
umat-Nya?
1. Sebenarnya Tuhan tidak suka membangkit-bangkit apa
yang pernah diberikan dan dilakukan-Nya kepada manusia, baik itu berkat-berkat
yang kita nikmati dalam kehidupan kita maupun hidup itu sendiri. Tetapi Tuhan,
dengan cara-Nya sendiri, bisa dan berhak untuk membuat kita sadar.
2. Tuhan menuntut setiap umat-Nya agar menaati
perintah-Nya dan menuruti firman-Nya. Peribadatan sejati adalah mengamalkan
satu kehidupan yang “mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi”
serta “mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri” (Mat. 22:37, 39).
3. Persembahan dengan rela hati maupun pemberian yang
ikhlas dibutuhkan untuk kemajuan pekerjaan Tuhan, tetapi itu tidak akan
membebaskan kita dari hukuman atas dosa dan kejahatan kita. Hanya penyesalan
dan pertobatan sejati yang membuat segala dosa kita diampuni.
Kamis
AKHIRNYA DATANGLAH KESELAMATAN (Ke Dasar Laut)
Hanya kebusukan yang tersisa. Moralitas bangsa Israel purba yang
bejat terlukis dalam pasal terakhir dari kitab Mikha. Waktu itu sangat sulit
menemukan orang yang baik di Israel, sehingga nabi itu mengibaratkan dirinya
seperti “orang kelaparan yang pergi memetik buah setelah lewat musimnya” ketika
buah anggur dan buah ara yang baik-baik “semuanya sudah habis dipetik” (Mi.
7:1, BIMK). Kalau pun masih ada yang tersisa itu adalah buah-buah yang busuk
dan jelek. Sebuah gambaran yang sangat tepat perihal kondisi moral manusia yang
sudah sangat merosot.
Nabi itu mengeluh, “Orang jujur sudah lenyap dari negeri,
orang yang setia kepada Allah tidak ditemukan lagi. Setiap orang menunggu
kesempatan untuk membunuh. Masing-masing memasang perangkap terhadap sesamanya.
Semuanya mahir dalam berbuat jahat. Pejabat dan hakim minta uang suap, dan
pemuka masyarakat memaksakan kemauannya, begitulah mereka bersekongkol
bersama-sama. Yang paling baik dan paling jujur dari mereka pun seperti semak
berduri yang tidak berguna” (ay. 2-4, BIMK). Begitu bobroknya akhlak mereka
pada masa itu sehingga nyaris tidak ada orang yang bisa dipercaya, baik itu
teman, tetangga, bahkan istri sendiri, dan anggota-anggota keluarga yang
tinggal serumah pun saling bermusuhan (ay. 5-6).
Pemulihan sesudah penghakiman. Dalam keadaan yang kacau seperti itulah
nabi Mikha menyampaikan sebuah kabar baik, yaitu janji Tuhan yang akan
memulihkan keadaan mereka. Keyakinan sang nabi akan janji itu diutarakannya
dalam kata-kata berikut: “Tetapi aku ini akan menunggu-nunggu TUHAN, akan
mengharapkan Allah yang menyelamatkan aku; Allahku akan mendengarkan aku!” (ay.
7). Dalam kegirangannya, nabi itu pun berseru: “Gembalakanlah umat-Mu dengan
tongkat-Mu, kambing domba milik-Mu sendiri, yang terpencil mendiami rimba di
tengah-tengah kebun buah-buahan. Biarlah mereka makan rumput di Basan dan di
Gilead seperti pada zaman dahulu kala. Seperti pada waktu Engkau keluar dari
Mesir, perlihatkanlah kepada kami keajaiban-keajaiban!” (ay. 14-15).
“Keadilan Allah adalah sisi lain dari kasih dan kepedulian-Nya. Kabar baik yang
disampaikan oleh Mikha ialah bahwa pehukuman tidak pernah menjadi kata-kata
terakhir Allah. Tindakan Allah dan Kitabsuci secara tetap bergerak dari
penghakiman kepada pengampunan, dari hukuman kepada kasih karunia, dan dari penderitaan kepada
pengharapan” [alinea kedua].
Mikha mengakhiri pekabarannya dengan sebuah pernyataan
yang lebih bersifat kesaksian tentang Allah yang maha pengasih dan pengampun
itu. Seseorang harus mengalami atau menyaksikan sendiri jahatnya dosa baru
dapat mengagumi dan menghargai besarnya arti sebuah pengampunan. Nabi Mikha
sudah mengalami dan menyaksikan sendiri betapa jahatnya perbuatan orang Israel
purba pada zamannya, seperti yang diutarakannya pada awal pasal 7 yang
terpampang di atas, maka ketika Allah hendak mengampuni umat-Nya yang jahat itu
dia pun jadi terkagum-kagum. “Siapakah Allah seperti Engkau yang mengampuni
dosa, dan yang memaafkan pelanggaran dari sisa-sisa milik-Nya sendiri; yang
tidak bertahan dalam murka-Nya untuk seterusnya, melainkan berkenan kepada
kasih setia?” (ay. 18). Bahkan, segala dosa dan kesalahan mereka itu Tuhan akan
lemparkan “ke dasar laut” (ay. 19, BIMK).
Membandingkan keadaan sekarang. Terkadang, bilamana membaca kejahatan
dan dosa Israel purba yang begitu dahsyat, kita menjadi terheran-heran dan tak
habis berpikir bahwa satu bangsa yang diberikan kesempatan istimewa sehingga
dapat berkomunikasi langsung dengan Tuhan tetapi begitu jahatnya. Koq bisa
ya, umat pilihan Tuhan yang telah diberkati dengan kemakmuran dan ketenteraman
dan ketenaran tetapi mendurhaka terhadap Allah? Dengan pikiran seperti itu,
marilah kita tengok keadaan umat pilihan Tuhan zaman akhir ini. Apakah anda
pikir ciri-ciri pendurhakaan dan kejahatan seperti itu juga ditemukan di antara
umat-Nya sekarang ini? Seandainya nabi Mikha bangkit dari kubur saat ini,
apakah dia pun akan menemukan dosa-dosa Israel badani pada zamannya dilakukan
juga oleh Israel rohani sekarang ini?
“Adalah mungkin bahwa kita sekarang ini dikelilingi oleh
keadaan-keadaan yang sulit dan pengalaman-pengalaman menyakitkan sehingga kita
bertanya-tanya mengapa Allah membiarkan semua ini terjadi. Terkadang begitu
sukar untuk menerima keadaan demikian. Pada waktu seperti ini, pengharapan kita
hanyalah kepada Tuhan yang berjanji untuk melemparkan dosa-dosa kita ke dasar
laut. Ada pengharapan di masa depan mengingat apa yang Allah telah lakukan di
masa lampau” [alinea terakhir].
Apa yang kita pelajari tentang janji Tuhan untuk
penghapusan dosa?
1. Kejahatan dan kebejatan moral ternyata bukan sesuatu
yang baru dalam sejarah peradaban manusia. Itu sudah terjadi sejak dahulu kala,
bahkan dilakukan oleh umat Allah sendiri yang pertama kali menerima Hukum Moral
dan norma-norma kemanusiaan lainnya langsung dari tangan Tuhan.
2. Meskipun demikian, selalu ada harapan akan pemulihan
dan perbaikan keadaan. Tetapi pemulihan baru bisa terjadi sesudah berlangsung
penghakiman. Allah tidak hanya mengampuni dosa, tetapi Dia juga menyelesaikan
masalah dosa.
3. Posisi sebagai “umat pilihan Tuhan” bahkan “umat yang
sisa” adalah sebuah privilese (kesempatan istimewa), namun status itu tidak
serta-merta membuat kita kebal dosa dan kebal hukuman. Seperti yang kita
pelajari, keistimewaan status selalu disertai tanggungjawab moral yang lebih
besar.
Jumat
PENUTUP
Kesempatan yang terlewat. Kalau kita harus menyimpulkan tentang
pengalaman Israel purba, berdasarkan apa yang kita bahas dari pelajaran ini,
barangkali kesimpulan itu akan seperti ini: Umat pilihan itu telah
menyia-nyiakan kesempatan istimewa yang mereka peroleh dari Tuhan untuk menjadi
bangsa yang besar dan terkemuka di dunia, sesuai dengan janji Allah kepada
Abraham, akibat pendurhakaan mereka yang sangat tidak masuk akal. Hebatnya
lagi, kesempatan untuk memperbaiki diri itu bukan hanya datang satu kali tetapi
berkali-kali dan berulang-ulang, tetapi berkali-kali dan berulang-ulang juga
mereka telah mengabaikannya.
“Kalau saja Yerusalem telah menyadari apa yang harus
diketahuinya tentang kesempatan istimewa yang dimilikinya, dan sudah
mengindahkan terang Surga yang dikirimkan kepadanya, maka ia sebenarnya bisa
tampil dalam kemakmuran yang membanggakan, ratu dari semua kerajaan, merdeka
dalam kekuatan dari kuasa yang telah dikaruniakan Allah kepadanya. Tidak perlu
ada prajurit-prajurit bersenjata menjaga pintu gerbangnya” [dua kalimat
pertama].
Yerusalem adalah ibukota Israel purba semasih bersatu
(juga dikenal dengan nama “kota Sion” dan sebagai ibukota kerajaan Yehuda
setelah perpecahan), dan dalam Alkitab nama Yerusalem sering digunakan sebagai
sebutan pengganti bagi Israel sebagai satu bangsa. Kata-kata dari tulisan Roh
Nubuat di atas menyingkapkan kebodohan bangsa Israel yang tidak menghargai
kesempatan istimewa yang Tuhan berikan kepada mereka sebagai umat pilihan
berdasarkan perjanjian-Nya dengan bapa leluhur mereka yang pertama. Sekarang
ini, sekalipun masih tetap berdiri sebagai Yerusalem moderen, kota ini jauh
dari kondisi sebagai satu kota dunia yang membanggakan. Bahkan, kota tua paling
bersejarah dalam peradaban manusia ini telah lama tercabik-cabik akibat
pertikaian di kawasan itu, dan Israel sebagai sebuah negara moderen yang
berdaulat pun tidak memiliki kekuasaan–de facto ataupun de jure–secara
mutlak atas seluruh kota mereka tersebut. Tragis.
Kita mempelajari pengalaman Israel purba, baik
keberhasilan maupun kegagalan mereka, bukan seperti mempelajari sejarah untuk
sebatas mengetahui fakta dan peristiwa masa lampau mereka. Kita membahas
pengalaman umat Tuhan itu untuk menjadi sebuah pelajaran bagi kita sebagai umat
Tuhan zaman akhir agar kita berhati-hati dalam sepak terjang kita, baik sebagai
satu kelompok maupun sebagai pribadi, demi untuk menghindari kegagalan serupa
dan supaya rencana Allah terlaksana melalui kehidupan kita.
“Sebab segala sesuatu yang ditulis dahulu, telah ditulis
untuk menjadi pelajaran bagi kita…” (Rm. 15:4).
No comments:
Post a Comment