Friday 6 March 2020

Keluarga

KELUARGA

Alkitab berisikan banyak kisah tentang relasi-relasi dalam keluarga dan kekerabatan. Sejak awal, manusia sudah diciptakan dalam relasi pria-wanita untuk membentuk sebuah keluarga. Pembentukan umat pilihan Allah pun berawal dari panggilan Abraham dari tengah keluarganya. Kisah-kisah selanjutnya juga merupakan kisah-kisah keluarga (Abraham, Ishak, Yakub, Yusuf, dll). Ketika kemudian Israel menjadi bangsa/umat, tetap saja bahasa atau peristilahan dari dunia keluarga dan kekerabatan mendominasi. Relasi TUHAN dengan umat-Nya sering diungkapkan dalam simbol dan bahasa kekerabatan. Bahasa dari dunia keluarga dan kekerabatan ini tetap kuat dalam PB.
Berikut ini akan ditampilkan beberapa konsep dan istilah yang dipakai dalam PL menyangkut keluarga dan kekerabatan. Setidaknya ada dua alasan mengapa studi kata atau konsep seperti ini tidak boleh dimutlakkan. Pertama, PL adalah kumpulan kitab yang terbentuk dalam rentang sejarah yang amat panjang. Dalam kurun waktu yang sedemikian lama, setiap konsep pasti mengalami perkembangan, pergeseran bahkan perubahan makna. Kedua, PL memiliki sangat banyak kosa menyangkut keluarga dan kekerabatan, sehingga beberapa konsep berikut ini tidak dapat sepenuhnya ‘mewakili’ seluruh pemahaman PL tentang pokok ini.
KELUARGA – KAUM – SUKU
Dari sejumlah istilah dalam PL yang berkaitan dengan relasi kekerabatan, ada tiga kata yang terpenting, yaitu mishpahah, shebet/matteh dan beth ‘ab. Kata Ibrani mishpahah menunjuk pada relasi kekerabatan yang terdiri dari beberapa keluarga yang dipersatukan oleh nenek-moyang dan warisan yang sama. Mereka biasanya hidup berdekatan dalam satu kampung dan bekerja-sama mengolah tanah-tanah warisan sekitar kampung itu sebagai penjamin hidup mereka bersama. Jadi, para anggota dalam mispahah dipersatukan baik secara genealogis maupun secara geografis. Padanan untuk kata ini dalam Alkitab (TB) adalah kata “kaum”. Kelompok yang lebih besar dari mishpahah adalah shebet atau matteh, yang biasanya diterjemahkan dengan “suku”. Sedangkan kelompok yang lebih kecil dari mishpahah adalah beth ‘ab (harfiah:“rumah bapa”) yang biasanya diterjemahkan dengan “keluarga”. Inilah tiga unit organisasi sosial yang didasarkan pada kekerabatan dalam PL (bdk. Yos 7:14 dimana 3 unit ini muncul bersamaan).
Keluarga (beth ‘ab) adalah unit sosial yang paling kecil, tetapi juga paling penting. Dalam PL, keluarga selalu menunjuk pada “keluarga besar” bukan “keluarga inti” (dua generasi) seperti dalam masyarakat modern. Keluarga besar ini terdiri dari: bapa keluarga dan isterinya, semua anak yang belum bersuami, semua anak laki-laki beserta anak-isteri, semua cucu laki-laki beserta anak-isteri mereka. Termasuk dalam keluarga besar ini juga semua tempat tinggal, tanah, ternak dan para pekerja serta budak beserta keluarga mereka. Konon jumlah anggota keluarga seperti ini dapat mencapai 50 – 100 orang, yang tersebar dalam sejumlah rumah. Maka, dalam masyarakat Israel kuno, keluarga merupakan unit dasar bukan saja dalam struktur sosial tetapi juga dalam kehidupan ekonomi. Setiap keluarga mencukupi diri mereka sendiri secara ekonomis, dan semua anggota keluarga berperan untuk itu. Dalam keluarga ini pun dipelihara dan diwarisi khazanah iman, kenangan, hukum dan tradisi-tadisi bangsa. Oleh karena itu, keluarga juga memainkan peran amat dasariah bagi perkembangan dan pewarisan iman Israel.
Ada setidaknya 6 ciri utama keluarga dalam PL. Pertama, endogami artinya mengutamakan perkawinan antara anggota yang memiliki pertalian darah. Perkawinan dengan “orang luar” biasanya hanya dilakukan oleh para elit politik untuk meresmikan hubungan diplomatic (misalnya Salomo menikah dengan putrid Firaun). Kedua, patrilineal artinya keturunan dihitung mengikuti garis ayah, bukan ibu. Ketiga, patriarkhal artinya bapa-keluarga adalah sekaligus kepala-keluarga. Dialah ‘penguasa’ (Ibrani: Ba’al) yang memegang kekuasaan tertinggi dan pelindung keluarga tsbt. Keempat, patrilokal artinya pria membawa isterinya ke rumah keluarganya. Isteri harus mengikuti suaminya dan tinggal dengan keluarga-besar suaminya. Kelima, gabungan artinya sebuah keluarga selalu berarti “keluarga besar”, yang terdiri dari dua atau tiga generasi, bahkan lebih. Keenam, poligyni artinya seorang suami dapat mempunyai beberapa isteri. Meskipun ideal monogami ditekankan, namun polygini tetap dimungkinkan terutama di kalangan atas.
Masyarakat Israel kuno tidak mengenal identitas individual seperti yang begitu diagungkan pada zaman modern. Mereka tidak melihat diri mereka sebagai individu-individu yang otonom dan independen. Setiap orang adalah bagian erat dari satu keluarga. Jadi, keluarga adalah tempat setiap orang mendapat identitas dan keamanan, sekaligus tempat setiap orang memberikan tanggung-jawabnya. Tidak mengherankan bahwa sebagai sebuah bangsa, Israel sering disebut “keluarga Israel” atau juga “keluarga-Ku/TUHAN” (Bil 12:7Yer 12:7Hos 8:1). Sebutan ini memperlihatkan pemahaman diri mereka sebagai bangsa yang terlahir karena TUHAN telah memilih beberapa keluarga nenek-moyang mereka. Relasi mereka dengan TUHAN juga sering diungkapkan dengan pelbagai metafor dari dunia keluarga dan kekerabatan.
ANGGOTA KELUARGA
Karena identitas kolektif (keluarga) itu penting, maka identitas setiap orang diperlihatkan dari hubungannya dengan orang lain dalam keluarga: bapa dari seseorang, anak dari seseorang, saudara-saudari, dll. Kosa kata Ibrani yang berkaitan dengan anggota-anggota dalam satu keluarga sering memiliki makna simbolis. Kata ‘ab umumnya memang mengacu pada seorang bapak-keluarga yang merupakan kepala-keluarga tsbt. Karena itu, sebuah keluarga dalam bahasa Ibrani disebut bet ‘ab (rumah bapa). Akan tetapi, ‘ab juga dapat menunjuk pada makna-makna yang lebih luas, seperti “kakek” (1 Raj 15:15) dan nenek-moyang pada umumnya. Nenek-moyang bangsa Israel, seperti Abraham, Ishak dan Yakub sering disebut ‘aboth (Ul 4:37;10:15). Kita pun sering menyebut mereka sebagai “bapak-bapak bangsa Israel”.Bahkan segenap generasi bangsa Israel yang mengalami peristiwa Keluaran juga disebut ‘aboth (Im 26:45Yos 24:6;17).
Kata “bapa” juga memiliki arti metaforis. Seorang yang berwibawa atau pelindung biasanya juga disebut “bapa”. Misalnya, Yusuf disebut “bapa bagi Firaun” (Kej 45:8), Ayub menyebut dirinya sebagai “bapa bagi orang miskin” ([Ay 29:12-16]). Seorang nabi, imam atau raja sering juga disapa dengan “bapa” (2 Raj 6:21Hak 18:191 Sam 24:11). TUHAN, Allah Israel juga disebut “Bapa” (Ul 32:6Yer 31:9). Dia disebut “bapa” bagi raja keturunan Daud (2 Sam 7:14; [Mzr 89:26]). Dengan metafor “Bapa” untuk Allah ditampilkan pelbagai tugas atau sifat seorang bapa: melindungi, mencintai, mengasihani, mengajar, menertibkan dan menjaga Israel “anak”-Nya (bdk. Hos 11:1-11).
Kata “ibu” (Ibrani: ’em) muncul lebih sedikit. Empat kali (Kej 24:28Rut 1:8Kid 3:4;8:2), keluarga disebut sebagai beth ’em (“rumah ibu”). Dengan itu mau ditegaskan bahwa dalam setiap keluarga Israel kuno, ibu juga berperan penting. Harus ditegaskan juga bahwa sebutan bersama “bapa-ibu” muncul lebih dari 40 kali dalam PL. PL juga menegaskan bahwa keduanya harus sama-sama dihormati (Kel 20:12Ul 5:6) dan ditaati (Ams 1:8;19:26;Ams 20:20;23:22-25). Kata “ibu” juga dipakai secara metaforis. Debora dijuluki “ibu di Israel” (Hak 5:7) untuk mengacu pada perannya sebagai Hakim. Kota-kota sering disebut “ibu” (Yer 50:12) untuk mengacu pada peran mereka sebagai pelindung warganya. Kota Yerusalem sering diacu dengan ungkapan dan gambaran keibuan (Yes 49:18-21Yeh 16:20). Meskipun Allah tidak pernah disebut atau disapa sebagai “Ibu”, gambaran keibuan sering dipakai untuk Allah guna menekankan kuasa penciptaan-Nya, kasih, perhatian dan bela-rasa-Nya, juga untuk menekankan peran-Nya sebagai pelindung dan penjamin kehidupan (bdk. Ul 32:11;18-19Yes 46:3-4;49:15Kel 16:8; 15Bil 11:18Hos 11:3-4). Kata “belas-kasih” (Ibrani: rahamim) jelas amat keibuan (berkaitan dengan kata “rahim”). Kata ini jauh lebih banyak dipakai untuk Allah daripada untuk manusia dalam PL. Kata ini mau mengungkapkan kasih keibuan Allah kepada anak-Nya, Israel!
Kata “putera” (Ibrani: ben) juga dominan dalam kisah-kisah PL. Artinya yang pokok tentu saja: anak laki-laki dari seorang bapak atau ibu. Tetapi kata ini dapat juga berarti “cucu” (Kej 31:28;55), bahkan juga semua keturunan laki-laki dalam garis keturunan yang sama, seperti yang terdapat dalam silsilah-silsilah. Dalam kitab Amsal, sapaan “putera” tentu dapat keluar dari mulut seorang ayah terhadap anaknya, tetapi umumnya menjadi istilah tekhnis yang dipakai seorang guru kebijaksanaan terhadap muridnya. Frasa “putera dari…” sering dipakai sebagai ungkapan untuk menunjukkan sifat khas sesuatu atau seseorang, misalnya: “putera-putera penderitaan” (Ams 31:5), atau nasib seseorang “putera-putera kematian” (1 Sam 20:31), kualitas seseorang (Hak 18:2). Frasa ini juga sering dipakai untuk menunjuk pada kelompok profesional tertentu, misalnya: “putera-putera nabi” (kelompok nabi, 2 Raj 4:38), juga “putera-putera Harun” (kelompok imam, Im 3:2).
Kata “putera (putera) Allah” dan “putera manusia” amat penting secara teologis. Frasa “putera manusia” (ben/bene ’adam atau ben ’ish atau ben ’enosh) umumnya berarti “manusia” sebagai makhluk, baik dalam kodratnya sebagai makhluk yang berdosa (Kej 11:5) maupun yang ditebus dan dirahmati Allah ([Mzr 8:4;144:3]). Ungkapan “Putera Manusia” dalam Dan 7:13masih amat diperdebatkan, terutama karena kaitannya dengan pemakaian ungkapan itu dalam PB. Sebutan “putera (-putera) Allah” bisasanya ditujukan kepada tiga pihak: malekat/mahkluk ilahi (bdk. Kej 6:1-4), raja keturunan Daud (bdk. [Mzr 2:7]; 2 Sam 7:14) dan umat Israel (bdk. Hos 11:1-11Kel 4:22-23Ul 1:31Yer 31:9).
Kata “puteri” muncul lebih sedikit. Arti harfiahnya tentu: anak perempuan dari seorang ibu atau ayah. Sesekali kata ini dipakai untuk menunjuk pada kaum perempuan dari satu suku-bangsa atau kota (Yes 6:2 “puteri-puteri Moab”). Kata ini juga sering dikaitkan dengan nama kota atau negeri sebagai personifikasi kota/negeri tsbt atau penduduknya (Yer 46:11;19;24 “puteri Mesir”, juga semua sebutan “puteri Sion” dan “puteri Yerusalem”).
Kata Ibrani untuk “anak-anak” adalah yeled (feminin: yalda) atau na’ar. Dua kata ini dipakai untuk menunjuk pada anak-anak, sejak ia dalam kandungan sampai menikah (selain Rut 1:5). Kata ini dipakai juga dalam artian pelayan atau petugas, baik dalam konteks sipil maupun militer. Karena itu, dalam terjemahan indonesia (LAI), kata ini juga diterjemahkan secara bervariasi sesuai konteksnya, seperti: “pelayan” atau “bujang” (bdk. Kej 18:7), “mata-mata” (Yos 6:23), “budak-budak” (Yes 37:6).
Kata “saudara” (’ah) atau “saudari” (’ahoth) dapat menunjuk pada saudara/i kandung maupun artian yang lebih luas, seperti anggota keluarga-besar ataupun dari suku yang sama. Teks-teks hukum dalam kitab Ulangan memperlihatkan bahwa kata “saudara” praktis berarti sesama orang Israel. Kata “saudari” dalam Kidung Agung secara khusus dipakai sebagai sapaan mesra seorang pemuda terhadap kekasihnya (Bdk. Kid 4:9-12Kid 5:1-2Kid 8:8). Akan tetapi, di tempat lain, kata “saudari” sering dipakai juga untuk mengacu pada kerajaan/umat atau kota yang tidak beriman/tidak setia (bdk. Yer 3:7-10 TB; Yeh 16:46-61, Ibrani: “saudarimu yg lebih tua…saudarimu yg lebih muda”).
Dalam terjemahan Indonesia, kata “putera” umumnya diterjemahkan dengan “anak” dalam kasus-kasus dimana memang kata itu bermakna inklusif. Dalam beberapa kasus, terjemahan bahasa Indonesia juga tidak membuat perbedaan antara “saudara” dan “saudari”, untuk menghindari bias gender (pria) yang amat kuat dalam teks Alkitab. Dalam teks [Yer 16:46-61] di atas, misalnya, terjemahan Indonesia (TB dan BIMK) hanya memakai “kakak” dan “adik”.
KELUARGA & INJIL
Dalam PB kata “keluarga” merupakan terjemahan dari dua kata Yunani patria dan oikos. Kata patria (3 kali dalam PB, Luk 2:4Kis 3:25Ef 3:14) umumnya lebih berarti “keturunan” atau “garis keluarga”. Kata oikos lebih banyak dipakai dalam PB. Kata ini (yang secara harfiah berarti “rumah”) berarti “keluarga” dalam artian “keluarga besar” seperti dalam PL. Di dalamnya ada anggota yang terikat karena perkawinan dan pertalian darah, sekaligus orang lain yang terikat karena tugas dan tanggung-jawab, seperti: budak, pelayan, pekerja dan klien (orang ‘bebas’ yang loyal terhadap kepala-keluarga/patron yg memberinya perlindungan dan pelbagai jaminan). Seperti dalam PL, “keluarga” juga mencakup semua milik dan harta-benda. Jadi, sebagaimana dalam masyarakat Israel kuno (PL), dalam masyarakat romawi-yunani zaman PB pun “keluarga” merupakan unit sosio-ekonomis yang paling dasariah, tempat setiap anggotanya mendapat identitas dan memberikan tanggung-jawab dan loyalitas.
Agak berbeda dengan budaya zamannya, PB justru mengutamakan loyalitas terhadap Injil (bdk. Mrk 3:31-35 par) di atas keluarga. Tentu saja Yesus menekankan hormat terhadap orang-tua (Mat 19:16-22Luk 18:18-20). Akan tetapi, para murid-Nya yang pertama harus meninggalkan rumah dan keluarga mereka untuk mengikuti-Nya (Mrk 1:14-20Luk 18:28-30). Yesus sendiri bahkan menegaskan bahwa relasi dengan-Nya dapat membawa konflik dengan keluarga seseorang. Dia juga merelatifkan loyalitas terhadap keluarga bila itu bertentangan dengan loyalitas terhadap Injil (bk. Luk 12:51-53Luk 14:25-33Mrk 13:12). Terhadap jemaatnya yang hidup serumah dengan anggota keluarga yang tidak seiman, Paulus menegaskan bahwa mereka tidak boleh mengorbankan iman hanya demi loyalitas dengan kepala keluarga tsbt (bdk. [1 Pet 3:1]; 1 Kor 7:12-16). Jemaat Kristen itulah yang sekarang menjadi “keluarga baru” bagi para anggotanya. Jemaat itulah yang sekarang memberikan identitas kepada dan mendapatkan loyalitas dari para anggotanya (bdk. Mrk 3:35Gal 6:10Ef 2:19Ibr 3:2-61 Tim 3:15; [1 Pet 4:17]).
Jemaat-jemaat Kristen perdana adalah “jemaat-jemaat rumah”. Mereka berkumpul dan beribadat di rumah-rumah para anggota jemaat (sebelum abad ke 3M tidak ada tanah dan bangunan khusus milik jemaat!). Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa konsep dan metaphor dari dunia keluarga banyak dipakai dalam teologi, eklesiologi dan etika Kristen perdana.
ANGGOTA KELUARGA
Sebagaimana dalam PL, kosa-kata menyangkut anggota keluarga dalam PB juga dapat dipakai secara metaforis dan simbolis. Kata “bapa” (Yunani: pater), selain berarti bapa-keluarga atau nenek-moyang, juga secara metaforis berarti “bapa rohani”, misalnya Paulus (bdk. 1 Kor 4:15; [Flm 10:1-]), Abraham ([Rom 4:11-12]; Gal 3:7). Dalam PB, “bapa” paling banyak dipakai secara metaforis untuk Allah. Dengan memakai kata “bapa” untuk Allah, PB tidak terutama mau menegaskan ‘jender’ Allah sebagai pria, tetapi menegaskan relasi-Nya yang khusus dan intim (bagaikan antara ayah dan anaknya) dengan manusia melalui Yesus Kristus. Bahasa ‘kebapaan’ dipakai untuk menegaskan ciri kedekatan, keakraban, kekeluargaan dalam relasi kasih Allah dan manusia. Bahasa ini sudah mulai dipakai dalam PL, tetapi jauh lebih dominan dalam PB.
Tradisi Kristen perdana menyebut Allah sebagai “bapa” mungkin sekali berakar dalam praktek Yesus sendiri. PB memberi kesaksian bahwa Yesus sendiri menyebut Allah sebagai “bapa”-Nya (bdk. Mrk 14:36; bdk. [Rom 8:15]; Gal 4:6) dan meminta para murid-Nya untuk menyapa Allah sebagai “Bapa kami” (Mat 6:9). Data pemakaian kosa-kata “bapa” dalam injil-injil, jelas sekali mengalami perkembangan (paling tinggi dalam injil Yohanes!). Surat-surat Paulus juga menampilkan Allah sebagai “bapa” bagi kaum beriman, bagi segenap ciptaan dan terutama bagi Yesus Kristus. Dengan menyebut “bapa” bagi Allah, ditekankan bahwa Dia adalah sumber terdalam bagi hidup rohani dan jasmani manusia. Dia memberikan cinta dan pengampunan (Mat 6:12;15; [Luk 15]); Dia memperhatikan kesejahteraan orang beriman (Rom *;28; Mat 6:8;26;32Luk 11:11-13) dan pertumbuhan rohani mereka dalam rahmat dan kesucian (1 Tes 2:12;4:7;9Ef 5:1).
Kata “putera” (Yunani: huios) selain berarti harfiah (misalnya: Mat 21:28Luk 15:31), juga sering diakai secara metaforis untuk menunjuk pada pelbagai relasi, keanggotaan atau kelompok (Mat 8:21 “putera-putera Kerajaan”; Luk 16:8 “putera-putera terang”; Kis 23:6 “putera kaum Farisi”). Paulus memakai kata secara khusus memakai kata ini untuk menyapa mereka yang seiman Kristen dengannya. Dengan sapaan itu digarisbawahi kedekatan dan keintiman relasi mererka karena iman akan Kristus (bdk. 1 Kor 4:14;17; [Fil 2:22]; [Flm 10:1-]).
Sebutan dan peran “anak” untuk Yesus amat ditekankan dalam PB. Dengan itu, PB mau menegaskan keunikan relasi-Nya dengan Allah. Allah dan Anak dipersatukan dalam relasi kasih, pengetahuan dan ketaatan. Sebagai Anak, Yesus memperkenalkan Allah bagi manusia (Yoh 10:15). Manusia yang menerima Yesus akan mengambil-bagian dalam hubungan keputraan-Nya dengan Allah, sehingga mereka juga disebut ‘putera-putera Allah’ (Gal 3:26; [Rom 8:14-29;9:4]; Yoh 1:121 Yoh 3:1-2). Warga jemaat diangkat/diadopsi oleh Allah sebagai “putera-puteri’-Nya (Yunani: huiothesia). Dengan itu Paulus mau menegaskan bahwa status tersebut bukan diperoleh secara alamiah-kodratiah, tetapi semata-mata berkat rahmat Allah. Yohanes memakai kata “putera” (huios) hanya untuk Yesus, sedangkan untuk orang beriman dipakai kata tekna “anak-anak Allah”. Yohanes juga tidak memakai konsep “anak-angkat”, tetapi konsep “dilahirkan kembali/dari atas” atau “diperanakkan” (Yoh 1:13;3:3;7). Dalam artian metaforis seperti ini, kata “putera” umum diterjemahkan dengan “anak” dalam bahasa Indonesia.
Dalam PB, kata “anak-anak” (Yunani: pais atau tekna) lebih banyak dipakai dalam artian simbolis atau metaforis untuk menunjuk pada para murid atau orang beriman. Pejabat jemaat sering menyapa warga jemaat dengan “anak-anak” (Gal 4:92 Tim 1:2). Yesus sendiri menyapa para murid-Nya dengan “anak-anak” (Mat 9:2Mrk 2:5;10:24). Jemaat Yohanes kiranya juga sering disebut “anak-anak Allah” (Yoh 1:121 Yoh 3:1;2;10;5:2).
Kata “saudara” (Yunani: adelphos) lebih banyak dipakai dalam arti harfiah dalam injil-injil, tetapi dalam tulisan PB yang lain justru artian metaforis-simbolis yang dominan. Paulus yang paling banyak memakai istilah “saudara-saudara” untuk menyapa sesama orang Kristen. Oleh karena itu, terjemahan inklusif “saudara-saudari” sebaiknya digunakan. Dengan sebutan itu, ditekankan kesamaan status warga jemaat, karena sama-sama sudah diangkat oleh Allah untuk menjadi anak-anak-Nya atau karena sama-sama sudah dilahirkan kembali (bdk. [Rom 8:14-17]). Dengan itu ditekankan juga bahwa “kasih” menjadi pengikat antar mereka maupun dengan Allah ([Yoh 14:34-35]; 1 Yoh 1:9-11; [1 Pet 1:22-23]).
Kata “saudari” (Yunani: adelphe) hanya muncul 26 kali di seluruh PB. Selain artian harfiah, kata ini sering menjadi metaphor untuk relasi-persaudaraan dalam jemaat ([Rom 16:1]; Mrk 3:35; [Flm 2:1-]). Dalam [2 Yohanes 13], jemaat disebut sebagai “saudari yang terpilih”. Kata “puteri” (Yunani: thugater) muncul 28 kali, selain artian harfiah, juga sering dipakai untuk menunjuk pada sesama warga Kristen dalam sebuah jemaat atau penduduk/penghuni tempat tertentu (bdk. Mrk 5:34Luk 13:16Mat 21:5). Kata “ibu” (Yunani: meter) dipakai 83 kali, dalam injil-injil umumnya dipakai untuk Maria, ibu Yesus. Hubungan dalam jemaat Kristen juga sering diungkapkan dengan kata ini (bdk. [Rom 16:13]; [1Tim 5:2]). Kata “ibu” juga sering dipakai sebagai metaphor untuk kota (misalnya: Yerusalem – Gal 4:26).

Kepustakaan
1. F.T. Gench., “Family” dalam: The Westminster Theological Wordbook of the Bible (D.E.Gowan, ed.,), 123-131.
2. P.J.King & L.E.Stager, Life in Biblical Israel. Westmisnter John Knox Press: Louisville-London (2001), 36-42.
3. C.J.H. Wright., “Family” dalam: ABD, vol.2, 761-769.

No comments:

Post a Comment

Misi Kristus Sedunia

PELAJARAN SEKOLAH MINGGU

  TANGGAL   PELAJARAN SEKOLAH MINGGU KATEGORI Babak pertama        ...