Thursday 9 November 2017

Keluarga yang Berhasil dan di Berkati Tuhan

Keluarga yang Berhasil (Mazmur 128:1-6)
Setiap keluarga mendambakan hidupnya sehat dan berhasil. Berhasil menyangkut arti “Harmonis” yang identik dengan bahagia, rukun, damai, sejahtera, sukacita, dan sehat. Pertengkaran, perselisihan bisa terjadi oleh karena manusia tidak memiliki keharmonisan di dalam hidupnya. Pada umumnya mereka mementingkan diri sendiri, mempertahankan harga diri, dan mau menang sendiri. Keluarga yang berhasil berakibatkan kerukunan, kedamaian, kesejahteraan dan sukacita, mau saling memahami, mau menerima apa adanya, dan selalu ada ucapan syukur.

Keharmonisan keluarga tidak bisa ditukar atau dibayar dengan materi atau uang, namun harus dibangun melalui ‘kemauan yang tulus’ dengan ‘membayar harga’ sebuah ‘kebenaran’. Banyak orang mengalami keberhasilan di dalam pekerjaan, keuangan-materi, karir-jabatan, dan lainnya, namun mereka tidak mendapat keberhasilan dan keharmonisan di dalam keluarganya. Bagaimana kita bisa membangun keberhasilan di dalam sebuah keluarga dan berkat tercurah atas rumah tangganya?
(ayat 1-2) Prinsip dasarnya adalah takut akan Tuhan, yang akan membuahkan kebahagiaan. Suami sebagai kepala keluarga, sebagai imam, pengambil keputusan, dan pengayom; sedang seorang isteri berfungsi sebagai penolong, pendidik, pengasuh keluarga (Amsal 31:10-31). Takut akan Tuhan juga berbicara tentang ‘skala prioritas’ yang benar di mana suami, isteri, dan anak-anaknya harus melakukan tugas dan fungsinya masing-masing dengan benar. Skala prioritas dan fungsi tersebut tidak boleh ditukar-balikkan (ayat 4). Suami mengasihi istrinya dan istri tunduk (tidak mendominasi) kepada suaminya.
Faktor keberhasilan dan berkat atas rumah tangga:
I. Saling “Memahami”.
Takut akan Tuhan adalah permulaan “hikmat” (Amsal 9:10). Hikmat, adalah kemampuan untuk membedakan dan memisahkan setiap perkara dengan suatu keputusan yang tepat. Timbulnya pengertian dan ‘pemahaman’ diperlukan pengetahuan dan pengalaman melalui proses yang panjang.
– Memahami, untuk melakukan prioritas hidupnya dengan benar. Skala Prioritas Hidup, yaitu Tuhan sebagai yang utama, selanjutnya keluarga, pekerjaan, pelayanan, dan yang terakhir adalah diri sendiri (tidak boleh ditukar-balikkan). Bisa membagi waktunya dengan benar dengan adanya keseimbangan/”harmonisasi” di dalam hidupnya di mana ada waktu untuk bekerja, beristirahat, berolahraga, beribadah, melakukan refreshing, dan lain sebagainya.
– Memahami, bahwa hidup manusia tidak sempurna adanya. Untuk itu kita siap menerima kekurangan satu sama lainnya, tidak membanding-bandingkan, mau menerima perbedaan dan kekurangan apa adanya. Suami-isteri, orang tua-anak, mertua-menantu pasti memiliki kekurangan, kelemahan, keterbatasan, bahkan kesalahan dan kegagalan. Namun pasti ada kelebihannya juga. Manusia ‘cenderung’ melihat kekurangannya daripada kelebihannya. Tuhan mau menerima kita apa adanya walau kita masih berdosa.
– Memahami, bahwa di dalam keluarga pasti mengalami ‘konflik’ (terjadi akibat perbedaan pendapat/perspektif/pola pikir), namun bagaimana tanggapan kita? Apakah positif atau negatif? Hal tersebut wajar terjadi oleh karena manusia diciptakan ‘unik’ satu sama lainnya dan bukan seperti sebuah ‘robot’ yang sudah terprogram dengan pasti. Jangan selalu mencari kesalahan atau saling menyalahkan, namun saling mengalah dan selalu menanggapinya dengan pikiran positif agar tercipta pertumbuhan yang indah dan membangun hubungan yang sehat sampai akhir (tidak berhenti atau putus di tengah jalan).
– Memahami, untuk menciptakan komunikasi ‘dua arah’ yang baik. Jangan suka mendominasi dan mau menang sendiri di dalam berkomunikasi. Berkomunikasilah dengan kata-kata yang membangun dan membawa damai (Matius 5:9). Hindari menggunakan kata-kata yang kasar, menyudutkan, atau melecehkan sehingga dapat menimbulkan sakit hati. Jadilah ‘pendengar’ yang baik, di mana ada saat berbicara dan ada pula saat untuk banyak mendengar. Hargai lawan bicara kita (Yakobus 1:19).
II. Tidak Mementingkan Diri Sendiri/”Egois”
Manusia adalah ‘makhluk sosial’, artinya mutlak membutuhkan orang lain untuk saling bekerja sama; saling mengisi, saling melengkapi, saling menasihati, saling memberkati (1Korintus 12:20-26), dan tidak mau menang sendiri. Oleh karena itu diperlukan banyak introspeksi, evaluasi, dan koreksi diri. Contoh sederhana adalah hubungan komunikasi antara seorang pemimpin dengan orang-orang yang dipimpin; komunikasi seorang majikan dengan pembantunya karena sebenarnya mereka saling membutuhkan satu sama lainnya. Ingat! Di mata Tuhan semua manusia adalah sama dan untuk kepentingan bersama.
(ayat 5-6) Bangun pemahaman yang benar dan serahkan seluruh kehidupan ini di tangan kasih Tuhan supaya tercipta kerukunan, kedamaian, kesejahteraan, sukacita, dan kebahagiaan Yerusalem/keluarga kita yang sehat sampai keturunan kita untuk selama-lamanya. Keluarga kita boleh menjadi berkat bagi keluarga-keluarga lainnya. Tuhan Yesus memberkati.

No comments:

Post a Comment

Misi Kristus Sedunia

PELAJARAN SEKOLAH MINGGU

  TANGGAL   PELAJARAN SEKOLAH MINGGU KATEGORI Babak pertama        ...