Mengajari Remaja Pacaran
Suatu kali, Josephus yang waktu itu di kelas 3
SMP bergurau dengan teman-temannya soal pacaran. Tiba-tiba saya merasa
tua ketika menyadari anak saya sudah remaja dan mulai membicarakan lawan
jenis dengan teman-temannya. Saya rasa, sudah saatnya saya membicarakan
ini dengan dia. Untungnya, saya menemukan satu novel yang saya rasa
baik untuk kami diskusikan.
Novel (*17) tersebut menceriterakan seorang
remaja 17 tahun bernama Landon. Dia pemuda populer di sekolah, seorang
ketua murid, ayahnya anggota senat Amerika. Landon punya peer group yang
juga punya status sosial sama, Mereka sering pesta, clubbing, dan
mabuk-mabukan. Pemuda ini berasal dari keluarga disfungsi, karena
ayahnya punya wanita lain. Dia meninggalkan Landon dan ibunya di sebuah
kota kecil, kemudian hidup bersama wanita itu di Washington, DC.
Di kelasnya ada siswa perempuan, anak pendeta di desa
tersebut yang hampir selalu menjadi olok-olok murid lain. Jaimie selalu
membawa Alkitab di tangannya yang dibacanya pada setiap waktu kosong.
Penampilannya old fashioned, dengan rambut panjang dikepang, mantel
rajut, dan gaun semata kaki. Tapi Jaimie nampaknya tidak terganggu
dengan olok-olok maupun penampilannya. Dia sekolah dan berprestasi
dengan baik. Dua kali seminggu dia membantu mengurus perpustakaan desa
dan secara teratur dia mengunjungi panti asuhan.
Suatu kali Landon "terperangkap" harus mengikuti
kelas drama dan diwajibkan guru menemani Jaimie latihan dua kali
seminggu. Karena latihan sampai malam, Landon harus juga mengantarkan
Jaimie pulang. Seolah-olah itu belum cukup, Landon kena detensi karena
ketahuan mengemudi sambil mabuk. Dia diharuskan melakukan bakti sosial
di panti asuhan selama 100 jam.
Pertemuan yang cukup sering antara Landon dan Jaimie
menumbuhkan kekaguman dalam hati Landon terhadap temannya. Ternyata
Jaimie teman bergaul yang menyenangkan. Dia juga rendah hati dan suka
menolong.
Ceritanya bisa ditebak. Landon dan Jaimie
meningkatkan hubungan mereka menjadi lebih pribadi. Landon makin jarang
menemui peer group-nya. Itu membuat perpecahan di dalam kelompok ini.
Selain itu, Landon pun mulai mengikuti "gaya hidup" Jaimie. Dia suka
membaca Alkitab, ke gereja, dan meneruskan bakti sosialnya di panti
asuhan setelah hukuman 100 jamnya selesai.
Karena pengaruh Landon cukup besar di antara
teman-temannya, kehadiran Jaimie akhirnya diterima dengan baik. Walaupun
tidak semua setuju, peer group Landon menemukan arah baru yang baik.
Mereka membuat kelompok belajar dan mengubah perilaku buruk selama ini.
Saya meminta Josephus membaca novel tersebut,
kemudian mencari waktu untuk membicarakan isinya. Kami mengambil waktu
ngobrol sambil makan di mal.
"Apa yang kamu pelajari?" tanya saya.
"Ceritanya sederhana, Ma. Ending-nya gampang ditebak,
jawabnya. "Betul. Itu soal alur cerita. Sekarang mengenai isi. Apa
pendapatmu soal pergaulan Landon dan Jaimie?"
"Bagus. Mereka pacaran."
"Kalau dibandingkan dengan kegiatan berpacaran remaja
sekarang, atau yang kamu dengar dari teman-temanmu, apa yang beda dari
hubungan Landon dan Jaimie?"
"Mmm... kayaknya sih mereka mengisi waktu dengan main
drama, ke panti asuhan, gereja, membaca Alkitab bersama, jalan-jalan,
makan di restoran. Hehehe... aneh juga ya. Pacaran kok seperti itu.
Nggak heran, teman-teman Landon memusuhi mereka'
"Itu kan di awal. Belakangan ada perubahan sikap dari
teman-teman Landon. Malah Jaimie dan Landon membuat teman-teman mereka
tidak lagi suka dugem atau mabuk dan ngebut-ngebutan."
Jo diam sejenak. Dia meneruskan makan. Tidak lama
kemudian dia bilang, "Iya, tapi mana ada model pacaran seperti itu di
dunia nyata?"
Gantian, saya yang terkejut. Apa memang demikian?
Apakah anak saya bisa beda dari yang lain?
"Mama rasa bisa diciptakan, Jo. Paling tidak, menurut
mama, pacaran yang benar itu punya pengaruh yang membangun pada kedua
belah pihak, arahnya lebih baiklah. Juga energi positif tersebut menular
pada orang lain. Memang tidak mudah. Tapi ya harus diupayakan."
"Nggak tahu deh, Ma. Aku harap sih, aku hanya sekali
saja pacaran, terus menikah. Kalau bisa, aku nggak mau pacaran sekarang.
Aku mau sekolah dan kerja dulu baru mikirin cewek."
Wow! Kalau Josephus tetap berpegang pada prinsip ini,
sayalah ibu paling berbahagia di dunia. Kami akan terus mendukung dia
untuk mampu bertahan pada tekad yang baik ini. Dare to be different!
Tujuan Pacaran
Salah satu hal yang harus dimengerti remaja adalah
tujuan mereka menjalin hubungan dengan lawan jenis. Berdasarkan inilah
remaja akan mendefinisikan dan mengisi aktifitas mereka dalam masa
berpacaran. Siapkan waktu Anda untuk bicara dengan remaja Anda soal ini.
Mungkin diperlukan banyak kesempatan untuk menjelaskan maksud Anda.
Masa pacaran diperlukan sebagai sarana saling
mengenal sebelum remaja tersebut masuk dalam rumah nikah. Seperti
tujuannya, ada cukup banyak hal yang harus dipelajari oleh pasangan
tersebut selama masa ini. Tanyakan kepada remaja Anda, pria atau wanita
seperti apa yang dia rasa menarik perhatiannya? Adakah itu di antara
teman-temannya sekarang? Apa yang dia rasa paling penting dalam diri
seorang yang nanti bakal menjadi suami atau istrinya?
Dalam mendiskusikan hal ini Anda bisa menyinggung
soal iman, karakter, gaya hidup yang diharapkan ada dalam diri calon
pacarnya. Ini adalah hal mendasar yang sebaiknya ditetapkan oleh remaja
sebelum dia mulai berpacaran. Tolong anak untuk mengerti bahwa kalau dia
menikah, itu berarti dia akan membangun masa depan keturunannya.
Percakapan ini mungkin terasa prematur, mengingat anak kita masih di
usia remaja awal atau tengah, tetapi perlu terus diulangi. Kita
bermaksud memasukkan nilai-nilai yang benar mengenai pernikahan ke dalam
benak anak-anak kita. Itu lebih sulit dilakukan kalau anak sudah mulai
jatuh cinta atau dia sudah mengadopsi informasi yang salah mengenai
pacaran.
Pada kesempatan lain Anda dapat meneruskan percakapan
ke hal yang lebih umum. Misalnya ajari anak untuk mengerti pentingnya
memperhatikan pohon keluarga teman-temannya. Termasuk cara temannya
berkomunikasi dengan papa-mamanya dan saudara serumah. Apakah mereka
berbicara dengan lemah lembut atau kasar?
Saya pernah mendiskusikan dengan Josephus (15 tahun)
mengenai keluarga seorang temannya bernama Y. Orang tua temannya tidak
bercerai, tetapi berpisah. Ibunya tinggal di benua lain dan hanya
bertemu sesekali. Jo mengatakan bahwa ayah Y akan menikah lagi dan itu
membuat hati Y sangat terluka. Saya cukup mengenal remaja ini karena
anak saya bersahabat dengan dia dan saya bisa membayangkan percakapan
mereka.
Melalui cerita Jo mengenai temannya, saya mengajak
dia memikirkan beberapa keluarga temannya yang lain. "Aku nggak pernah
melihat papanya si X," kata Jo, "mungkin mamanya single parent atau
papanya pulang sesekali saja." Kemudian kami mengamati perilaku dan
kegiatan sehari-hari si X sebagai anak yang dibesarkan tanpa kehadiran
figur ayah. Kadang-kadang saya mengizinkan Jo main ke rumah X (biasanya
bersama Y juga). Umumnya mereka main game PS atau game online di warnet
dekat rumah X. Sekembalinya dari rumah teman, saya berusaha memberi
waktu untuk membicarakan soal keluarga dengan Jo.
Nilai-nilai pernikahan, pentingnya keluarga dan
hubungan-hubungan di dalamnya tidak akan dipelajari anak kita dari
sekolah. Ini adalah penanaman nilai yang hanya bisa dilakukan secara
sadar oleh orang tua. Saya berharap, Jo terlatih dan mampu melakukan hal
yang sama jika dia kelak menemukan seorang gadis yang menarik hatinya.
Mengingat demikian pentingnya masa pacaran dalam
periode kehidupan manusia, perlu kita diskusikan dengan remaja, di usia
berapakah sebaiknya pacaran dimulai. Kemudian, apa yang dapat dilakukan
jika ada pria sebaya menyatakan cinta pada remaja putri kita atau remaja
laki- laki kita mengatakan tertarik pada teman perempuannya. Ajak
remaja kita memikirkan arti perkataan itu.
Kadang-kadang remaja kita ingin bereksplorasi, "Aku
pingin pacaran sungguhan seperti teman-temanku yang lain. Aku tertarik
sama di A. Dia cantik, baik, perhatian, suka bawain makanan..."
Apa boleh buat! Sebagai orang tua ada baiknya jika
kita menyatakan isi hati kita. Misalnya, "Menurut pandangan papa dan
mama, rasanya terlalu cepat kamu memutuskan untuk 'nembak cewek'
sekarang ini. Tetapi kami bisa mengerti. Cobalah renungkan kembali
percakapan kita sebelum ini. Apa tujuanmu pacaran, bagaimana kamu
mengisi waktu dengan pacarmu, dan batasan yang wajar untuk masa pacaran
ini. Jangan segan diskusi dengan papa dan mama jika kalian membutuhkan
bimbingan."
Walaupun sebagai orang tua nampaknya kita memberi
"lampu hijau" kepada remaja, kegiatan positif yang selama ini dijalankan
sebagai keluarga sebaiknya tetap berlangsung. Misalnya remaja kita
tetap mengikuti family altar, acara keluarga yang sudah direncanakan,
atau ngobrol pribadi dengan remaja kita. Sebagai pemegang otoritas
tetaplah orang tua memberikan batasan jam malam, uang saku, prestasi dan
tugas sekolah.
Pada waktu-waktu tertentu ajaklah remaja Anda
mengevaluasi masa pacarannya. Berikan ide kepadanya untuk menilai apakah
pacarnya termasuk teman yang semacam jangkar, pelampung, atau jerat.
Nilai- nilai positif apa yang didapatnya pada periode ini, serta
bagaimana remaja Anda dan pacarnya membangun komitmen mereka menuju
pernikahan kelak.
(*17): Stark, Nicholas. A Time to Remember (Gramedia, 2002).
Diambil dari:
Judul artikel | : | Mengajari Remaja Pacaran |
Judul buku | : | 9 Masalah Utama Remaja |
Penulis | : | Roeswitha Ndraha & Julianto Simanjuntak |
Penerbit | : | Yayasan Peduli Konseling Indonesia |
Halaman | : | 112--120 |
No comments:
Post a Comment