Wednesday 2 October 2019

Sejarah perkembangan pikiran dan praktek pendidikan agama Kristen dari Yohanes Amos sampai Perkembangan PAK di Indonesia / Robert R. Boehlke, Ph.D.

LANJUTAN 3: Sejarah perkembangan pikiran dan praktek pendidikan agama Kristen dari Yohanes Amos sampai Perkembangan PAK di Indonesia / Robert R. Boehlke, Ph.D.


Bab V:
ROBERT RAIKES DAN PERKEMBANGAN SEKOLAH MINGGU
Description: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/2/24/Robert_Raikes_the_Younger.jpg/220px-Robert_Raikes_the_Younger.jpg
Robert Raikes (1736–1811)
Robert Raikes (lahir 14 September 1736 – meninggal 5 April 1811 pada umur 74 tahun) adalah seorang dermawan Inggris yang dikenal sebagai bapak pendiri Sekolah minggu. Ia lahir di Gloucester pada 1736, anak sulung dari pasangan Mary Drew dan Robert Raikes seorang penerbit surat kabar di Inggris. Ia dibaptis pada tanggal 24 September 1736 di gereja St. Mary de Crypt di Gloucester.[1] Pada 23 Desember 1767, ia menikah dengan Anne Trigge, seorang wanita yang berasal dari keluarga terhormat, dan dikaruniai tiga anak laki-laki dan tujuh anak perempuan.

Pendidikan dan karier
Ia menyelesaikan pendidikan dasarnya di sekolah milik Gereja St. Mary de Crypt tempat ia dibaptiskan. Setelah lulus pendidikan dasar, pada usia empat belas tahun, ia melanjutkan studi di sekolah Katedral Gloucester. Suasana sekolah ini begitu ketat. Anak-anak dididik dengan kurikulum yang klasik. Pada pukul enam pagi, mereka mengawalinya dengan ibadah. Ibadah dimulai dengan pembacaan mazmurdoarenungan, dan nyanyian rohani. Di sekolah ini, para murid dituntut menguasai beberapa bahasa, antara lain bahasa YunaniLatin, dan Prancis.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Katedral Gloucester, Raikes tidak melanjutkan pendidikannya. Ia lebih tertarik pada pekerjaan yang digeluti ayahnya di bidang percetakan. Pada 1757, ia diwariskan perusahaan milik ayahnya yakni Gloucester Journal. Karena kemampuannya di bidang penerbitan dan percetakan, pada usia 21 tahun, ia telah mengambil alih seluruh urusan yang berkaitan dengan penerbitan Gloucester Journal.
Sekolah Minggu
Artikel utama: Sekolah Minggu
Description: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/a/ae/Patung_Robert_Raikes.jpg/220px-Patung_Robert_Raikes.jpg
Patung Robert Raikes di London, Inggris
Robert Raikes dikenal sebagai penggagas sekolah minggu. Pada abad 18, Inggris sedang dilanda krisis ekonomi yang sangat parah sebagai akibat Revolusi Industri. Robert Raikes melihat banyak anak-anak yang harus menjadi tenaga kerja di pabrik-pabrik sebagai buruh kasar dan bekerja enam hari dalam seminggu, yaitu pada hari senin hingga sabtu. Hari minggu mereka libur. Oleh karena itu, pada hari Minggu, mereka menjadi liar dikarenakan hanya pada hari inilah mereka bisa beriang gembira. Kebanyakan dari mereka menghabiskan uang penghasilan mereka dengan hal-hal yang tidak berguna seperti minum-minuman keras.
Melihat keadaan itu, Robert Raikes bertekad untuk mengubah keadaan. Ia kemudian memulai sekolah minggu ini di dapur Ny. Mederith di kota Scooty Alley pada Juli 1780. Di sana, selain mendapat makanan, anak-anak diajarkan sopan santun, membaca, dan menulis. Menurut Raikes, buku pelajaran yang terbaik yang bisa dipakai adalah Alkitab.
Dalam dua tahun, sekolah minggu dibuka di beberapa sekolah dan di sekitar Gloucester. Raikes kemudian mempublikasikan sekolah minggu melalui Gentleman's Magazine, dan juga Arminian Magazine pada 1784. Akhirnya atas bantuan John Wesley (pendiri Gereja Methodis), kehadiran sekolah minggu diterima juga oleh gereja, mula-mula oleh Gereja Methodis, akhirnya gereja-gereja Protestan lain. Pada tahun 1831, sekolah minggu di Inggris telah mengajar 1.250.000 anak, sekitar 25 persen dari populasi.
Robert Raikes dan Perkembangan Sekolah Minggunya
Revolusi Industri yang terjadi di Inggris abad 18 menjadi background dari munculnya Sekolah Minggu. Ada beberapa hal yang membuat revolusi ini terjadi. Pertama, kekayaan Inggris akan bahan mentah, baik di Inggris sendiri (wol, batubara, besi) maupun di daerah jajahannya. Kedua, luasnya daerah pemasaran sehingga mendorong produksi yang besar. Ketiga, kekuatan armada lautnya yang memungkinkan distribusi produksi. Keempat, pemerintahan yang stabil. Kelima, banyak penemuan yang dihasilkan penemu-penemu Inggris meringankan pekerjaan manusia atau menggantikan tenaga manusia dalam melakukan proses produksi. Terakhir, banyaknya permintaan pasar akan wol. Ini menimbulkan efek beruntun, pemilik industri butuh tanah lebih luas untuk domba. Ini membuat lahan pertanian berkurang sehingga petani bermigrasi ke kota menjadi buruh dengan upah rendah di pabrik tersebut.
Revolusi industri ini menimbulkan kapitalisme dan kemerosotan moral. Pemerasan tenaga manusia dengan upah kecil membuat anak dibawah umur ikut dipekerjakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Banyak pencurian, mabuk-nabukan dan keributan. Semua ini tidak lain adalah efek beruntun yang disebabkan oleh revolusi tersebut. Pemilik industri semakin kaya sedang buruh semakin melarat dan tidak terperhatikan.
Hal ini ditentang Adam Smith dalam karangannya “An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of  Nation”. Ia mengatakan produksi akan meningkat jika ada perhatian terhadap tenaga kerja, bukan hanya menuntutnya bekerja lebih keras tanpa memperhatikan kesehatan atau keadaannya. Namun hal ini tidak dihiraukan oleh pemerintah Inggris. Perubahan bentuk kehidupan sosial dari masyarakat pertanian menjadi perindustrian ini tidak diimbangi persiapan untuk menanggulangi masalah-masalah yang mungkin akan timbul. Masa inilah yang melatarbelakangi kehidupan Raikes dan pandangannya.
A.    Riwayat Hidup (1735-1811)
Ia lahir dari keluarga menengah di Gloucester, Inggris. Ayahnya merupakan penerbit Gloucester Journal. Lewat surat kabarnya ia menyampaikan pandangan-pandangannya. Robert Raikes adalah anak sulung dari istri ketiga. Ia lahir tanggal 14 September 1735. Ia mendapat pendidikan di sekolah milik jemaat dan meneruskan ke sekolah katedral Gloucester pada usia 14 tahun. Ia mengikuti jejak ayahnya menjadi penerbit pada usia 21 tahun. Pada 23 Desember 1767 ia menikah dengan Anne Trigge. Dari pernikahannya ini ia memperoleh 4 orang anak laki-laki dan 5 anak perempuan. Namun 2 anak laki-lakinya meninggal. Sebagai gantinya ia mendapat seorang bayi laki-laki.
Raikes meneruskan semangat ayahnya untuk memperhatikan nasib buruh pada masa itu dan narapidana. Ia mendorong penguasa untuk memperbaiki keadaan kaum miskin dengan  memberi bimbingan dan latihan. Raikes juga mengecam pengusaha yang mendapat keuntungan dari penderitaan buruh. Ia bahkan memprotes kebijakan negara yang melalaikan keadaan ini. Tanpa usaha memasyarakatkan narapidana negara melakukan kekerasan terhadap mereka. Sejak tahun 1768 ia menggambarkan keadaan penjara setempat.
B.     Berdirinya Sekolah Minggu
Beberapa orang berpendapat bahwa kunci kemakmuran suatu negara adalah banyak tenaga kerja miskin yang dituju. Adam Smith berpendapat lain, menurutnya negara akan makmur apabila tenaga kerjanya menerima upah yang lebih besar. Sebab hal tersebut dapat menjadi stimulasi agar orang yang bersangkutan menjadi lebih rajin bekerja.
Pendapat Adam Smith ini tidak dihiraukan oleh para pemimpin pemerintah. Industri dan Gereja Inggris akibatnya mereka semakin makmur dan kaum buruh semakin melarat. Hal inilah yang kemudian memicu Robert Raikes untuk mendirikan Sekolah Minggu dengan tujuan untuk menolong ratusan anak di Inggris yang menjadi korban peralihan sosial dari Revolusi Industri.
Robert Raikes adalah orang yang tergolong berada. Sebagai anak seorang pengusaha percetakan, ternyata iapun memiliki semangat yang sama dengan ayahnya. Ia seorang Inggris dari golongan kelas menengah yang memiliki kepedulian terhadap kaum miskin, khususnya korban Revolusi Industri. Banyak koran- koran hasil terbitannya yang mengangkat fakta- fakta yang nyata seputar kemiskinan dan menjadi srana untuk lebih memperdulikan orang- orang miskin.
Dalam perkembangannya, Robert Raikes tidak hanya memperhatikan kaum lemah yang dewasa saja, tetapi juga anak- anak. Ia sangat prihatin dan menyayangkan kondisi anak- anak yang kurang mendapatkan perhatian, khususnya dalam pendidikan moral dan spiritual. Hal ini di buktikan dengan banyaknya ank- anak yang menyia- nyiakan waktu di hari minggu, saat dimana mereka tidak bekerja. Ini pulalah yang kemudian memicu Robert Raikes untuk mendirikan Sekolah Minggu. Meskipun awalnya sulit, karena tidak mudah untuk mengubah kelakuan anak- anak yang sudah terbiasa liar tersebut, bahkan beberapa ibu- ibu pengajar mereka kewalahan. Namun, pada akhirnya usaha tersebut mulai menampakkan hasil dengan kerjasama anatara pendidik dan Robert sendiri serta orang tua anak- anak tersebut, ternyata lambat laun anak- anak tersebut mulai bisa untuk di didik dan diarahkan.
Dampaknya terlihat nyata, dimana ternyata kejahatan mulai berkurang. Tidak banyak lagi anak- anak yang berkumpul hanya untuk menyia- nyiakan waktu untuk hal- hal yang tidak bermanfaat. Hal tersebut mulai mengetuk Gereja (Pdt. Stock) untuk bekerjasama mendirikan Sekolah Minggu. Ternyata usaha perintisan Sekolah Minggu Robert Raikes tidak sia- sia.

C.    Prestasi Raikes
Praktek pendidikan perlu di dasarkan pada pandangan tertentu.entah pandangan itu bersifat teologis, filosofis atau “psikologis”. Teolog raksasa seperti Augustinus, Luther, dan Calvin lebih dahulu mengupas pikiran dasariah. Baru kemudian menganjurkan implikasinya bagi praktek pendidikan agama kristen. Pemikir lain seperti Cornenius, Pestalozzi dan Froebel adalah pendidik yang melihat pendidikan sebagai hak bagi semua anak dan kemudian berefleksi atas teologi mana yang selaras dengan pengalamannya sebagai pendidik dan sebaliknya bagaimana teologi itu menyoroti kebutuhan pendidikan.
Ketika kita berusaha menggolongkan tempat Raikes dalam sejarah. Kita harus mencari kategori yang sama sekali lain. Ia bukanlah seorang pemikir yang mampu. Raikes tidak ada pikiran yang menuntut opendidikan bagi anak miskin, karena mereka uga adalah orang yang diciptakansegambar dengan Allah.
Baginya kelas bawah tidak boleh mengancam hak istimewa yang dinikmati kaum atas. Memang, mutu kehidupan bagi keanggotaan kelas bawah perlu di perbaiki sehingga mereka memiliki sifat yang lebih manusiawi, tetapi Raikes hanya menganjurkan siasat untuk mengajar anak-anak membaca, karena dengan ketrampilan itu mereka dapat membaca Alkitab. Dengan demikian akhlak mereka akan lebih baik dan kelakuannya tidak akan mengancam hak kelas menengah dan kelas atas. Jadi, sekolah minggu mula-mula didirikan untuk menolong angkatan muda agar hidup lebih tenang dalam masyarakat industri yang sedang dibangun.
Akan tetapi, beberapa pengusaha Inggris sadar akan dampaknya. Anak yang mampu mebaca dan menulis tidak akan merasa puas lagi dengan keadaanya. Mereka akan mencari gaji yang besar daripada yang berlaku pada zaman itu. Dengan kemampuan membaca itu berarti pula bahwa para pemimpin tidak dapat lagi mengendalikan sumber keterangan yang tersedia bagi kaum pekerja. Mereka dapat membaca tentang revolusi di perancis. Demikianlah kita membaca pikiran dari salah seorang penentang sekolah minggu.
Selaras dengan keprihatinan itu, perdana mentri Ptt pernah mempersiapkan perundang-undangan yang melarang penyelenggaraan sekolah minggu beserta pendirian sekolah baru. Karena para pengusaha khawatir bahwa pendidikan akan mengancam stabilitas sumber perburuhan yang rela berkorban untuk gaji yang minim.
Kecaman tidak langsung terhadap sekolah minggu di alamatkan pada integritas Raikes sendiri. Dikatakan bahwa Raikes bukanlah seorang saleh, karena ia melanggar kesucian hari sabat. Setiap hari minggu ia berada di kantor untuk mempersiapkan berita yang akan di terbitkan hari senin.
Dalam kecaman pribadi itu tersirat juga pikiran bahwa mendidik anak-anak pada hari minggu pun berarti melanggar kesucian sabat. Tetapi, sebenarnya kecaman yang terakhir berakar dalam masalah kekuasaan gerejawi. Beberapa pendeta gereja negara khawatir bahwa kekuasaanya akan di rongrong kalau anak-anak menerima bimbingan yang tidak di awasi langsung oleh pendeta. Tentu, ada saja pendeta seperti pendeta stock yang tidak hanya menyambut sekolah minggu dengan baik, malahan turut mendirikannya.
Raikes sendiri pernah mempertahankan kesucian pelayanan mendidik anak-anak miskin itu pada hari sabat.
Disamping kecaman yang dilontarkan kepada Raikes karena sekolah minggu melanggar titah ke-4, ia juga mengalami ejekan pribadi.
Kembali lagi apda cara menggolongkan Raikes dalam sejarah pendidikan agama kristen. Ia pemilik perusahaan surat kabar yang dibiasakan untuk merumuskan masalah dan segera mencari sarana yang ampuh untuk mengatasinya. Banyak pendeta dan teolog profesional di inggris pada abad itu yang juga sadar akan keadaan buruk yang dialami oleh kaum bawah, tetapi semua pokok teologi yang baik itu tidak mendorong mereka untuk mencari siasat guna melayani anak-anak yang tidak di perhatikan oleh masyarakat.
Tetapi Raikes adalah sesama manusia narapidana dan anak-anak yang di tindas oleh apra pengusaha. Ia turun tangan; ia berbuat sesuatu demi pelayanan mereka, meskipun perbuatannya itu di dasarkan pada teolog, filsafat dan etika yang dapat saja dikecam.
Tinjauan itu tidak berarti bahwa dasar teologinya bersifat sambilan belaka, dan bahwa hanya gagasan praktis sajalah yang di perlukan, malahan tenaga yang berbakat tentu dapat saja mempengaruhi arah gerakan sejarah sesuai dengan kebutuhan zaman. Pada bagian akhir abad ke-18 keadaan di inggris menuntun pelayanan kreatif, yang rela memakai bakat untuk mempropagandakan gagasan yang diperlukan oleh kebutuhan masyarakat industri inggris. Kemuadian, gagasan baik itu tidak akan mendapat kemajuan kecuali para pemikir terlibat dalam perencanaan isi kurikulum dan sarana untuk melaksanakannya.
D.    Sekolah Minggu Pertama
Kita mulai dengan peranan Raikes sendiri. Ia menulis bahwa ia pernah mengajar bagaimana salah, satu kekuatan yang tidak kelihatan dapat menghasilkan dampak positif atas salah satu benda. Ia membuktikan dengan menggunakan sebatang magnet. Sebatang jarum di letakkan lantas ia menggerakkan jarum itu menggunakan magnet. Ia meletakkan jarum yang lain lagi, jarum yang kedua itu segera di tarik kerjarum pertama. Raikes mencatat ia memakai benda itu sebagai “teksnya”. Ia menyimpulkan bahwa sebagaimana magnet itu menarik sebatang jarum, begitu pulalah mereka dapat menarik anak-anak lain ke gereja. Anak-anak dari kelas itu, dengan daya penarik magnet mulai mempergiatkan anak-anak sebayanya untuk bertemu dengan bapak Raikes di Cathedral. Pada tahun 1784 ia mencetak peraturan-peraturan bagi sekolah minggu yang di susun oleh Pdt.W.Ellis, yang akan di pakai oleh sekolah minggu di Stroud peraturan-peraturannya sebagai berikut:
I.    Bapak atau Ibu guru diangkat oleh apra penyokong wajib mengajar di tempatnya setiap hari minggu dari pkul  08.00 sampai pukul 10.30 selama musim panas, dan sorehari pukul 17.00 sampai 20.00 (kecuali hari minggu yang kedua setiap bulan) ia akan mengajarkan vak membaca, katekismus, doa-doa pendek yang berasal dari Dr.Stonehouse. Di samping itu guru, adalaj seorang murid yang mampi, wajib membaca tiga atau empapt bab berturut-turut dari Alkitab agar anak didik mempunyai pengetahuan sistematis tentang sejarah dan untuk pemantapan isi alkitab.
II.   Pada umumya orang-orang yang diajar itu adalah anak yang lebih tua daripada anak yang lazim diterima di sekolah apda hari kerja biasa. Mereka ini terpaksa bekerja untuk memperoleh rezeki, dan karena itu ada peluang untuk menghadiri sekolah tersebut. Tetapi orang dewasa yang tuna aksara juga dipersilahkan datan sebagai pendengar, khususnya bagi mereka yang ingin mendengarkan firman Allah, mempelajari iman Kristen dan mengamalkannya, disamping katekismus gereja. Dengan mendengar pendidikan pengajaran yang berlangsung untuk kaum muda orang dewasa sendiri memperoleh manfaat.
III.  Di harapkan juga supaya para penyokong menghadiri sekolah ini untuk menjamin bahwa suatu tujuan sekolah terpenuhi. Mereka hendaknya memberikan hadiah sederhana kepda tiga anak yang mempunyai prestasi paling tinggi.
IV.  Para pengunjunng itu akan menuliskan laporan tntang nama orang tua atau orang dewasa lain yang walaupun berkehendak menyekolahkan anaknya., namun tidak melakukannya. Para pengunjung itu akan menuliskan nama orang tua yang menyekolahkan anak dan nama anak yang mengganggu mereka dalam pengalaman belajar. Anak nakal ini tidak akan menerima bantuan dari dermawan. Mereka yang tidak memperhatiakan jiwanya tidak berhak menerima bantuan bagi tubuhnya.
V.   Semua anak  yang menghadiri sekolah ini wajib beribadah pada kebaktaian pagi dan sore setiap hari minggu =. Pada setiap hari minggu kedua mereka wajib datang ke gereja paa pukul 18.00 untuk diuji dan untuk mendengar penjelasan katekismus yang dibawakan oleh pendeta.
Elis sendiri menambahkan catatan atas peraturan-peraturan itu
1.    Pembaharuan akhlak orang lebih berhasil kalau proses itu di mulai ketika para pelajar masih muda
2.    Kebaktian adalah bagian penting dari seluruh pengalaman belajar
3.    Hadiah berupa pakaian atau bahan bacaan seperti Alkitab, diberikan kepada anak yang rajin dan berhasil dalam studinya
4.    Pada waktu seorang anak didik menjawab sebuah petanyaan, maka anak-anak lain wajib mengikutinya dalam hati, agar perhatian semua anak terfokus pada masalah yang sama
5.    Dalam proses belajar ini, tugas hafalan adalah tugas belajar yang amat menonjol.
Tujuan sekolah minggu di umumkan di Boughton daerah Kent:
Untuk membuka peluang pendidikan bagi anak-anak yang berasal dari keluarga miskin di daerah ini, tanpa mengganggu pekerjaan mereka pada hari kerja biasa, dan untuk membiasakan anak-anak sejak usia muda untuk selalu beribadah setiapo hari minggu serta menghabiskan jam senggang pada hari minggu melalui kegiatan yang baik dan teratur. Anak itu akan di ajari membaca, mengenal tanggung jawab seorang kristen, khususnya untuk belajar rajin dan berkelakuan baik sesuai dengan keperluanya sebagai buruh dan poembantu di kemudian hari.
Pada tahun 1784 seluruh kota Leeds di bagi atas 7 bagian. Ada 26 sekolah dengan 200 pelajar yang diajar oleh 45 orang guru. Pelajarannya dimulai pukul 13.00. pada waktu ini anak-anak di ajari membaca, menulis dan agama. Pada pukul 15.00 mereka diantar ke jemaat untuk beribadah. Sesudah itu mereka kembali lagi ke masing-masing sekolah untuk mendengarkan cerita, menyanyikan mazmur dan berdoa. Ada kelas khusus untuk anak laki-laki dan yang lain untuk perempuan. Ada 4 orang yang diangkat secara khusus untuk mengunjungi setiap sekolah, untuk mengecek anak yang hadir dan absen. Anak itu akan dicari di rumah dan di jalan-jalan. Raikes mencatat  bahwa pada hari Natal 1785 ia terlinat dalam pesta makan bersama dengan sebanyak 350 orang anak. Para penyokong sekolah yang menanggung biayanya, termasuk peenyajian makanan. Raikes senang mengunjungi Sekolah Minggu untuk makan bersama dengan teman-temannya yang muda itu. Dengan adanya sekolah minggu anak-anak belajar membaca dan menulis. Tetapi barangkali hasil yang mencolok adalah hasil yang bersifat rohani, yakni ada perbaikan dalam hal swacitra ank-anak itu sendiri. Ia merasakan bahwa dirinya diperhatikan oleh guru dan penyokong sebagai seorang pribai yang berharga. Walaupun ia seorang yang miskin namun ia adalah seorang manusia yang dikasihi orang-orang tertentu.  Iapun mulai mengenali dirinya sebagai yang juga dikasihi oleh Tuhan.
Jauh sebelum ada gerakan oikumene, gagasan sekolah minggu cenderung mendorong kerjasama di antara pendeta dan kaum awam yang beribadah dalam sinode yang berbeda. Sumbangan yang diterima dari anak-anak di bagi-bagikan diantara jemaat-jemaat sinode yang berbeda. Tugasnya lebih penting ketimbang nama sinode masing-masing. Msksudnya mengenai berdepat tentang arti sakramen makna penahbisan pendeta dan pokok-pokok dogmatika tertentu. Penyelenggaraan seklah minggu terjadi karena orang-orang kristen tertentu, sering kali awam, lebih tertangkap terhadap gagasan mulia itu, yaitu mendidik anak miskin ketimbang menonjolkan hak-hak sempit gereja masing-masing.
Biaya pelaksanaan sekolah minggu ditutupi oleh sumbangan dari dermawan dan bukan dari kas negara ataupun kas gereja pusat. Diantara dermawan itu dapat disebutkan nama Raja George III dan Ratu Charlotte. Mereka mengharapkan agar setiap anak di Inggris mampu mebaca Alkitab. Proses menerima uang dan mengeluarkannya diperlancar dengan pendirian The Sunday School Society (Perhimpunan Sekolah Minggu) Pada tahun 1785.Selama sepuluh tahun pertama perhimpunan itu telah membagi-bagikan 91.915 buah buku untuk mengajarkan anak membaca, 24.232 buah Kitab perjanjian Lama atau Kitab Perjanjian Baru saja, dan 5.360 buah alkitab lengkap. Ssumbangan itu dipakai oleh 65.000 anak-anak yang belajar pada 1.012 Sekolah minggu.
Tatkala Robert Raikes meninggal perkembangan lebih lanjut dari “anak yang dikasihi itu” tidak terganggu, karena keterlibatan banyak orang di dalamnya. Tugu hidup inilah yang lebih menghormati Raikes dari pada tugu batu atau perunggu, meskipun tugu atau plaket itu memang didirikan atas namanya.
E.     Pertumbuhan Sekolah Minggu
Gagasan tentang Sekolah Minggu disambut baik oleh warga Injili dalam Gereja Inggris dan Gereja bukan gereja Negara.
1.    Sekolah Minggu di Amerika.
Pada tahun 1816, ibu Joanne Bethune dari kota New York mendirikan Perserikatan Wanita Bagi Kemajuan Sekolah Sabat di New York. Lewat badan ini ibu Bethune memberikan pengertian betapa pentingnya mengikuti Sekolah Minggu. Namun kegiatan atau gerakan ini ditentang oleh para pendeta dan kaum awam. Sekolah minggu di Amerika lebih baik dari pada di Inggris.
Di Amerika Sekolah Minggu mulai mengembangkan diri dengan penciptaan lagu-lagu pujian. Contoh-contoh lagu sekolah minggu saat itu adalah; “S’lamat di Tangan Yesus”, “Ya Tuhan tiap Jam”, “Kumemerlukan-Mu”, “ku berbahagia”, “Yesus Berpesan”. Pengalaman orang dalam perang mendorongnya untuk mengubah lagu-lagu tersebut menjadi lagu-lagu yang bersemangat, yang mendorong anak agar mereka punya hasrat untuk berbaris demi melaksanakan tugas mulia, misal “Maju Laskar Kristus”, “Hai bangkit Bagi Yesus”. Teologi gerakan Sekolah minggu saat itu tidak membedakan anak-anak dengan orang dewasa, mereka semua mempunyai dosa dan harus bertobat dari dosanya dan harus menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat, jadi pertobatan anak-anak lebih dipentingkan saat itu. Baru pada awal abad ke-20 lagu dan syair dari pujian untuk sekolah minggu mulai diubah dengan landasan pemikiran bahwa anak-anak bukan orang dewasa , mereka perlu hidup sebagai seorang anak-anak. Dan akhirnya para musisi menyusun syair yang menekankan bahwa Allah mengasihi anak, misal “Yesus, Kawan anak-anak”, “Yesus Mengasihiku”.
Kelemahan Sekolah minggu abad ke-19.
§         Moralitas pribadi lawan ketidakadilan sosial.
§         Nilai-nilai daerah pertanian lawan nilai-nilai daerah perkotaan.
§         Teologi perseorangan lawan teologi gereja.

2.    Sekolah Minggu di Eropa Barat.
a. Jerman.
Sekolah Minggu Jerman diprakarsai oleh Wilhelm Broeckelmann dari Bremen, Jerman dan Albert Woodruff, New York pada tahun 1860. Banyak orang keberatan dengan adanya sekolah minggu ini karena mereka beranggapan tidak cukup calon guru yang sudah diperlengkapi dengan pengetahuan dan ketrampilan mengajar, dan belum cukup guru yang sudah terlatih untuk mengajar. Sekolah minggu di Jerman mengembangkan diri menjadi kebaktian anak-anak (Kindergottesdienst) maka titik beratnya adalah kebangunan rohani pada diri anak-anak melalui kebaktian dan bimbingan Alkitab.
b. Belanda.
Berbeda dengan gagasan Sekolah Minggu di negara lain, di Belanda sekolah minggu diadakan karena atas dasar kebangunan rohani. Dan gagasan ini dibawa oleh Dr. Abraham Capadose pada bulan Oktober tahun 1836. Di kota ‘s Gravenhage ia muali mengajar dua tiga anak setelah ibadah. Tahun 1841 didirikan sekolah minggu dikota Amsterdam dan tahun 1847 dikota Rotterdam. Pertumbuhan yang luar biasa terjadi pada tahun 1857 karena pada saat itu pemerintah Belanda melarang penggunaan Alkitab pada sekolah-sekolah, sehingga para orang tua harus mengikut sertakan anak-anak mereka pada pendidikan Alkitab secara alternatif.





Bab VI:
HORACE BUSHNELL, PENGARANG CHRISTIAN NURTURE
Description: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/6/63/HoraceBushnellOld.jpg/220px-HoraceBushnellOld.jpg
Horace Bushnell adalah seorang teolog Amerika yang menyumbangkan pemikirannya bagi teori dan praktik pendidikan agama Kristen dan juga mengarang buku Christian Nurture.[1] Buku ini merupakan hasil refleksi Bushnell mengenai anugerah Allah yang dirasakan dalam setiap kehidupan keluarga Kristen.[1] Berdasarkan pengalamannya sebagai pendeta jemaat Kongregasional, Bushnell menyatakan bahwa teologi mengorbankan kemauan manusia demi penekanan atas kedaulatan Allah sehingga manusia sama sekali tidak berdaya untuk bertobat dan menerima Kristus sebagai juru selamat.[1]
Riwayat Hidup
Bushnell lahir pada tanggal 14 April 1802, sebagai anak sulung keluarga petani yang tinggal di dekat Desa Litchfield, Negara Bagian Connecticut.[2] Ketika usia Bushnell mencapai 20 tahun, ia pun melanjutkan pendidikannya ke Universitas Yale pada tahun 1823.[2] Di Universitas Yale Bushnell rajin menekuni studi, olahraga, dan musik.[2] Sesudah tamat dari Yale pada tahun 1827, Bushnell mulai melayani sebagai seorang guru, namun pelayanan tersebut tidak sesuai dengan minat Bushnell.[2] Akhirnya setelah lima tahun menjadi guru, Bushnell pun pindah ke kantor surat kabar New York Journal of Commerce.[2] Pada tanggal 22 mei 1833, ia ditahbiskan dan dilantik menjadi pendeta jemaat North Church di Kota Hartford, negara bagian Connecticut.[2] Lima bulan kemudian ia menikah dengan Mary Apthorp.[2]
Pemikiran
Teologi Bahasa Keagamaan
Bushnell menyatakan bahwa bahasa apa pun pasti dimulai dari dua orang yang sama-sama setuju dengan sebuah bunyi yang akan menunjuk pada benda yang ada di depannya.[3] Setelah cukup banyak orang yang menerima berbagai bunyi itu sebagai dasar komunikasi satu dan yang lain, maka kelompok manusia itu telah menyusun tata bahasanya.[3] Namun, orang-orang tersebut belum mampu mengucapkan gagasan yang tidak berkaitan langsung dengan benda yang kelihatan.[3] Untuk mengatasi hal ini, orang tersebut harus menggabungkan kata tertentu dengan kata lain agar dihasilkan gagasan tentang perasaan.[3] Bushnell mengatakan ada lima asas yang diperlukan untuk menyoroti penggunaan bahasa di kalangan Kristen.[4]
  • Pengalaman pribadi akan menentukan arti
  • Kenyataan rohani hanya akan dapat diungkapkan melalui kiasan
  • Peristilahan keagamaan bersifat paradoks
  • Peristilahan keagamaan menunjuk pada kebenaran
  • Bahasa keagamaan membangkitkan iman
Pendidikan Agama Kristen
Fokus utama Bushnell dalam pendidikan agama Kristen adalah anak-anak.[4] Namun, bagi Bushnell pendidikan agama Kristen yang paling dasar adalah ketika seseorang dibesarkan dalam keluarga yang mengamalkan iman Kristen.[4] Dengan demikian, pendidikan agama Kristen adalah pelayanan pedagogis dari pihak orang tua dan gereja yang secara khusus melibatkan kaum muda dengan cara yang wajar dalam pengalaman keluarga Kristen dan kehidupan jemaat.[4]
Tujuan Pendidikan Agama Kristen
Tujuan pendidikan agama Kristen bagi Bushnell terjadi dalam kehidupan dimulai dari usia anak-anak, dewasa, dan yang terakhir adalah warga jemaat.[4] Tujuan pendidikan agama Kristen bagi anak-anak agar anak tersebut dapat menerima kepercayaan dan nilai-nilai yang dianut oleh orangtuanya, misalnya belajar bertindak baik, bertumbuh secara wajar dalam iman Kristen.[4] Tujuan pendidikan agama Kristen bagi orang tua adalah untuk menyediakan pengalaman belajar yang menolong orang tua mempertimbangkan sejumlah cara untuk mengurus rumah tangga dan juga dampaknya bagi pertumbuhan anak.[4] Tujuan pendidikan agama Kristen untuk warga jemaat adalah untuk menyediakan pengalaman belajar secara teratur sepanjang umurnya melalui seluruh liturgi kebaktian, khususnya melalui khotbah dan pembacaan Alkitab.[4]
Karya Penting
Selain mengarang buku Christian Nurture, Horace Bushnell juga mengarang buku yang berisi khotbah-khotbahnya di gereja kongregasional.[5] Buku tersebut berjudul Sermons on Living Subjects.
PENDAHULUAN
Pendidikan Agama Kristen adalah pendidikan yang memiliki karakter dan nilai-nilai Kristiani yang didalamnya kiranya dapat membantu kita untuk menjawab tantangan zaman sesuai dengan konteksnya. Pendidikan Agama Kristen memiliki Teori-teori dalam pembelajarannya, akan tetapi pembahasan kali ini penulis akan menerapkan tentang pemikiran tokoh Horace Bushnell dan penerapannya dalam konteks masa kini.

B.     PEMBAHASAN
1.    Pengertian Pendidikan
Pendidikan berasal dari kata dasar didik, yang berarti mengajar, membimbing, atau menuntun. Istilah dasar pendidikan dalam bahasa Latin yaitu Educar yang artinya menggali keluar. Dalam bahasa Yunani pedagogi yang artinya membimbing, menentukan dan membawah anak didik ke arah yang lebih baik.[1]

2.    Pengertian Pendidikan Agama Kristen
G. Homrighausen dan I.H. Enklaar dalam buku mereka mengemukakan arti PAK adalah Menerima pendidikan, segala pelajar, muda dan tua, memasuki persekutuan yang hidup dengan Tuhan sendiri, oleh dan dalam Dia mereka terhisab pula pada persekutuan jemaat-Nya yang mengakui dan mempermuliakan nama-Nya di segala waktu dan tempat.[2]

3.    Pengertian Teori
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) diberikan pengertian teori adalah: Pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai peristiwa atau kejadian, Azas dan hukum umum yang menjadi dasar suatu kesenian atau ilmu pengetahuan, dan merupakan pendapat, cara, dan aturan untuk melakukan sesuatu.[3] Secara etimologi kata teori berasal dari bahasa Yunani yaitu Theoreion yang berarti melihat, mengamati, dan memandang.

4.    Teori PAK menurut Horace Bushnell
a.       Riwayat Hidup
Horace Bushnell adalah seorang teolog yang membawa pengaruh signifikan bagi Pendidikan Kristiani. Ia  lahir pada tanggal 14 April 1802, sebagai anak sulung keluarga petani. Ketika usia Bushnell mencapai 20 tahun, ia pun melanjutkan pendidikannya ke Universitas Yale pada tahun 1823. Di Universitas Yale Bushnell rajin menekuni studi, olahraga, dan musik. Sesudah tamat dari Yale pada tahun 1827, Bushnell mulai melayani sebagai seorang guru, namun pelayanan tersebut tidak sesuai dengan minat Bushnell. Akhirnya setelah lima tahun menjadi guru, Bushnell pun pindah ke kantor surat kabar New York Journal of Commerce. Pada tanggal 22 mei 1833, ia ditahbiskan dan dilantik menjadi pendeta jemaat North Church di Kota Hartford, negara bagian Connecticut
Kebangunan rohani yang melanda Yale University pada saat itu turut mempengaruhi pengalaman iman Bushnell. Pada masa munculnya kebangunan rohani tersebut, Bushnell memutuskan untuk beralih dari bidang hukum ke dalam jabatan pendeta. Ketika sudah menjadi pendeta Bushnell mengkritik cara berkhotbah para pendeta pada masa kebangunan rohani. Menurut Bushnell cara berkhotbah yang banyak dipertunjukkan pada masa itu. Bushnell melihat adanya siasat untuk membuat jemaat memenuhi maksud dari penginjil. Pertentangan tersebut didasari oleh pemahaman Bushnell bahwa iman akan bertumbuh secara alamiah di dalam kehidupan, termasuk di dalam rumah tangga [4]

b.      Pendidikan Agama Kristen menurut Bushnell
Pemikiran bushnell dalam teori pendidikan kristen nampak ketika Amerika dalam masa dilanda arus revivalisme (kebangungan rohani). Pada saat itu gereja dan orang tua cenderung mengabaikan pengajaran dan pertumbuhan dalam Iman Kristen. Padahal tuntunan dalam pertumbuhan anak mampu membuat anak mengenal berbagai hal di dunia. Pemahaman yang berkembang pada saat itu justru menekankan mengenai kuasa Roh yang mengubahkan pemahaman iman orang-orang, termasuk anak-anak secara radikal. Bushnell berpendapat bahwa, daripada menunggu sampai orang bertobat pada usia dewasa, ada baiknya seorang anak diasuh secara kristen sedini mungkin![5]
Bushnell melihat keluarga sebagai suatu kesatuan organic. seperti batang pohon mengalirkan makanan ke dahan-dahan dan daun-daun, demikian juga iman Kristen yang dipercayai dan diamalkan orangtua Kristen mengalir ke dalam hidup anak-anak. Hal ini berarti menonjolkan tanggung jawab orangtua sebagai orang-orang yang seharusnya hidup sesuai dengan iman Kristen. Di dalam keluargalah anak menerima PAK pertama kali, sehingga selanjutnya ia bertumbuh melalui proses induksi alamiah dalam iman Kristen,[6] dan karena iman mereka dipercepat dan ditumbuhkan dalam suasana Roh Allah sendiri, yang selalu memenuhi keluarga. Asuhan Kristen harus mulai sedini mungkin dan harus menjadi fondasi bagi seluruh usaha pendidikan yang berikutnya.[7]
Pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Pertumbuhan anak ditentukan juga oleh didikan di sekitarnya. Orang tua menjadi pendidik terdekat bagi anak. Akan tetapi orang tua juga bisa membawa pengaruh kurang baik dalam pertumbuhan anak. Bushell dalam teorinya membahas mengenai peran orang tua dalam pertumbuhan anak. Menurut Bushnell orang tua jangan memaksakan harapan pada anak dalam masa pertumbuhan. Anak bertindak sesuai dengan perasaan yang dialami saat itu juga. Hal tersebut akan menjadi masalah, karena pada masa anak-anak manusia dapat ditanamkan berbagai nilai-nilai, termasuk nilai kekristenan yang dipaksakan.
            Harapan dan ajaran mengenai berbagai nilai hanya diberikan dari satu sudut pandang. Pertumbuhan di dalam iman Kristen jangan dipandang hanya dalam satu sisi. Sebagai pendidik, manusia tidak dapat memusatkan pemahaman nilai hanya kepada dirinya saja. Gereja atau orang-orang yang memiliki kuasa atas pendampingan dalam pertumbuhan harus mampu mewujudnyatakan nilai-nilai Kristiani. Masa anak-anak diharapkan menjadi masa manusia melihat bentuk kebaikan, tidak hanya definisi kebaikan.
Penekanan mengenai kemerdekaan anak jangan sampai disalahartikan oleh orang tua. Pasalnya orang tua tetap harus menciptakan kondisi yang baik untuk pertumbuhan anak. Orang tua di dalam proses pendidikan anak harus menunjukkan nilai-nilai kasih di tengah keluarga. Perbuatan baik yang dilakukan oleh anak tidak hanya berasal dari keputusan pribadi yang diambil oleh anak. Pengalaman yang baik mengenai hidup dalam kasih dan dalam nilai-nilai Kristiani yang membuat anak memahami pengalaman imannya.[8]
            Nilai-nilai Kristiani yang harus ditanamkan menurut Bushnell harus dimulai sejak usia dini. Manusia sejak usia dini harus ditanamkan mengenai cara hidup di dalam iman Kristiani. Penanaman nilai-nilai Kristiani sejak dini dapat dimulai dari kedua orang tuanya. Jika hal tersebut sudah terpenuhi, maka manusia tidak memerlukan perubahan iman yang radikal. Iman anak akan bertumbuh secara bertahap melalui pengalaman hidup mereka sehari-hari. Hal tersebut juga dapat didukung dengan kebebasan anak dalam melewati dan menentukan pilihannya dalam perjalanan iman mereka.
Bushnell juga menekankan mengenai pengajaran akan perbuatan yang baik dan benar. Ketika membicarakan mengenai perbuatan yang baik dan benar, orang tua atau pendidik perlu membedakan antara perenungan mengenai apa itu yang baik dan ketaatan yang dapat diperlihatkan atau dipraktikkan dalam nilai-nilai kebaikan. Anak-anak jangan hanya diberi penekanan emosional mengenai hal yang baik dan benar. Akan tetapi anak harus memahami dan mencintai perbuatan baik melalui hal-hal yang konkret. Ketika hal tersebut tercapai maka nilai-nilai kebaikan akan menjadi nilai yang vital dalam kehidupan anak-anak, sebagai bagian dari perjalanan iman anak-anak.
            Teologi Bushnell mengenai pengalaman pribadi turut menentukan pemahaman Bushnell mengenai Pendidikan Kristiani. Menurut Bushnell proses pertumbuhan dan pemahaman iman seseorang ditentukan oleh pengalaman pribadi. Pemahaman khas akan sesuatu di dalam kehidupan sangat tergantung dari pengalaman seseorang. Boehlke memberi ilustrasi seperti dua orang yang mencoba membandingkan rasa manis sebuah duku, satu menganggap rasanya manis akan tetapi yang lain tidak. Seperti itulah kira-kira bagaimana pengalaman pribadi menentukan pemahaman akan nilai kebaikan dan iman.[9]
            Bushnell yang menekankan pada Pendidikan Kristiani yang fokus pada anak menjabarkan bahwa anak-anak adalah bagian dari organisme dalam keluarga. Boehlke menjelaskan bahwa Pendidikan Kristiani di dalam keluarga adalah bagian dari organisme yang belajar bersama. Belajar bersama akan membuat setiap bagian dari keluarga, termasuk anak akan lebih dekat dengan prakarsa Allah. Mereka akan memperkuat fondasi kehidupan yang saling melengkapi satu sama lain, bukan saling mendominasi dan mengupayakan hidup yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi.[10]
         
C.     ANALISIS/KESIMPULAN
1.      Kelebihan
Bushnell sangat peduli dengan masalah-masalah sosial, ia tidak hanya memikirkan jemaatnya sebagai warga gereja, tetapi juga sebagai warga masyarakat. Selain Horace Bushnell merupakan tokoh sosialisasi model, ia pun merupakan pionir teori PAK modern dan pembela ide sosialisasi PAK.[11] Dapat dikatakan teori Bushnell adalah pengembangan diri. Harapan yang hendak dicapai melalui pendekatan ini adalah iman akan bertumbuh menjadi iman yang tidak statis. Pola asuhan yang hendak diterapkan oleh Bushnell bukan hanya sekedar penambahan pengetahuan. Akan tetapi yang hendak ditekankan oleh Bushnell adalah teori dan praktik dalam nilai Kekristenan. Karyanya dalam buku Christian Nurture sangat menekankan peran keluarga dalam pendidikan Kristen. Ia menekankan peran aktif keluarga untuk mendidik anak secara Kristen. Sehingga proses pendidikan yang terjadi tidaklah instan, seperti ketika terjadi “pertobatan” rohani melalui pengalaman yang hebat dalam Kebaktian Kebangunan Rohani. Oleh sebab itu, pendidikan Kristen dalam keluarga merupakan penekanan utama dalam pemikiran Horace Bushnell yang dituangkan dalam Christian Nurture.
             Jika kita melihat penjabaran dari Bushnell, maka terlihat bahwa anak-anak dalam perkembangan imannya harus tetap dalam pendampingan lingkungan sekitarnya. Orang tua yang menjadi pendamping paling dekat bagi anak dalam petualangan imannya. Orang tua harus mampu menyediakan ruang bagi anak untuk pertumbuhan iman mereka. Kesadaran akan pentingnya pertumbuhan iman harus disadari betul oleh orang tua. Karena iman anak tidak akan tumbuh dengan sendirinya.

2.      Kekurangan
Penulis setuju dengan pandangan Groome bahwa kita tidak dapat menyangkal kepentingan sosialisasi Kristen dalam membentuk identitas manusia Kristen. Hanya melalui identitas Kristen itulah iman Kristen dimungkinkan tumbuh. Dengan ini Groome mengakui kepentingan sumbangan Bushnell. Akan tetapi ia menaruh keberatan, karena Bushnell menempatkan edukasi hanya sebagai salah satu aspek dari sosialisasi semata-mata. Padahal menurut Groome, hubungan dialektis persekutuan Kristen dengan konteks sosial, dan hubungan dialektis persekutuan dengan anggota-anggotanya harus diberi perhatian utama. Justru dalam teori-teori tadi, hal itu kurang mendapat perhatian baik secara kualitas maupun kuantitas. Tanpa hubungan dialektis itu tidak ada pendorong ke arah kedewasaan iman yang mampu memberi jawaban dalam tugas panggilan Kerajaan Allah. Groome hendak mengatakan bahwa hubungan dialektis itu harus secara sengaja diusahakan dan tidak boleh dibiarkan berlangsung sendiri. Di sini berarti dituntut kesadaran dan kegiatan kritis dari persekutuan.[12] Jadi yang penting di sini bukan meningkatkan efektivitas sosialisasi, tetapi justru edukasi yang harus diberi tempat utama, karena edukasi berperan sebagai koreksi, kritik terhadap proses sosialisasi yang tidak dikehendaki. [13] Dengan kata lain kita harus merespon terhadap pengaruh-pengaruh sosialisasi yang tidak diinginkan.
Dapat disimpulkan pandangan Groome bahwa proses edukasi yang kritis dialektis harus merupakan usaha sengaja dan terencana, dan bagi PAK bukanlah masalah memilih antara sosialisasi atau edukasi, akan tetapi PAK pada dasarnya memerlukan kedua-duanya.

3.      Relevansi pada masa kini
Sumbangsih bushnell yang menekankan peran keluarga dalam pendidikan Kristen sangat berguna dalam konteks masa kini, dimana keterlibatan peran aktif keluarga untuk mendidik anak secara Kristen sangat penting dalam pembentukan iman anak. Selain Gereja dan Sekolah, ruang lain yang digunakan sebagai proses pendidikan Kristen juga terletak pada lingkungan keluarga dimana berperan penting dalam keluarga ialah orangtua Untuk itu, yang menjadi pelaksana pendidikan agama kristen dalam keluarga ialah orangtua yang berperan sebagai guru dan penginjil yang terus mengarahkan, membimbing, dan mendorong anak untuk hidup dalam Allah (Ul.6:6-7).
Orangtua menjadi akar sekaligus saklar, karena merekalah yang pertama kali memperkenalkan dan menyaring pendidikan pada anaknya. Mendidik bagaimana cara berbicara, cara berjalan dan cara bersikap, yang pada akhirnya berujung pada bicara baik dan pantas, berjalan lurus dan bersikap yang baik. Tidak ada satu orangtua pun yang menginginkan anaknya menjadi orang tidak baik. Pendidikan anak berawal dari keluarga. Ini menjadi poin penting supaya masing-masing pihak, baik guru maupun orangtua mengerti betul fungsi dan perannya dalam proses pendidikan anak. Jadi, karakter seorang anak berangkat dari pendidikan di rumah. Bagaimana orangtua mengajar dan mendidik anak akan tercermin di kemudian hari saat anak keluarga rumah dan bersosialisasi di rumah keduanya, sekolah.[14] Karena orangtua mengenal anak-anaknya dengan baik, maka orangtua tahu apa yang menjadi kebutuhan mereka. Banyak diantaranya tidak akan pernah mereka peroleh di sekolah. Itulah sebabnya orangtua harus menyadari bahwa merekalah yang menjadi guru utama anak-anak.


DAFTAR PUSTAKA


Boehlke, Robert.,  Sejarah Perkembangan pikiran dan praktek pendidikan agama kristen Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007

Firdaus Ahmad Zuhdi., Guru Idola Panduan Bagi Guru, Yogyakarta: Gen-K Publisher, 2010

Groome, Thomas., Chistian Religious Education Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015

Hadinoto N.K. Atmadja., Dialog dan Edukasi Keluarga Kristen dalam Masyarakat Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012
Homrighausen , E.G. Enklaar , I.H, Pendidikan Agama Kristen, Jakarta: Gunung Mulia, 2008.
Nainggolan, M., Guru Agama Kristen sebagai pangilan dan profesi Bandung: BMI

KBBI, 1989 Penerbit Balai Pustaka Jakarta h.932





[1] M. Nainggolan, Guru Agama Kristen sebagai pangilan dan profesi (Bandung: BMI) h. 79
[2] E.G. Homrighausen dan I.H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen (Jakarta: Gunung Mulia, 2008) h. 26
[3] KBBI, 1989 Penerbit Balai Pustaka Jakarta h.932
[4] Boehlke, Sejarah Perkembangan pikiran dan praktek pendidikan agama kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007) hh. 439-433
[5] Hadinoto, Dialog dan Edukasi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012) h. 186
[6] Ibid
[7] Groome, Chistian Religious Education (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015) h. 172
[8] Boehlke., h. 467
[9] Ibid., 453
[10] Ibid., h. 485
[11] Hadinoto., h. 186
[12] Groome., h. 183
[13] Ibid., h. 187
[14] Ahmad Zuhdi Firdaus, Guru Idola Panduan Bagi Guru, (Yogyakarta: Gen-K Publisher, 2010), h. 12


Bab VII:
MENUJU KEMATANGAN PAK ( I )
MENUJU KEMATANGAN  PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN
A,Pendahuluan
1.      . Lingkungan Pikiran dan Pelayanan Pendidikan Agama Kristen
Abad Kedua dari pendirian Sekolah Minggu disifatkan oleh Perkembangan ,Penemuan,Gerakan dan Peristiwa yang menghasilkan perubahan-perubahan yang Berdampak dalam dan luas dalam segala unsur  kehidupan manusia,termasuk agama,khususnya dikalangan-kalangan gereja ,sedikit banyak dilaksanakan sebagai tanggapan terhadap  perubahan perubahan hebat yang berlangsung ,umpamanya di bidang politik ,ekonomi,komunikasi,pengangkutan,kedokteran, pola kependudukan ,sandang-pangan,ekologi dan teologi ,semua itu merupakan kondisi bagi perkembangan pendidikan agama kristen sebagai ilmu teologi dan pelayanan gereja.
2.      .Pola Pendidikan Agama Kristen yang Diprakarsai Orang Kristen secara Pribadi
v  Kebanyakan Langkah pertama di bidang pelayanan agama Kristen dalam jemaat dimulai dengan pendirian sekolah minggu  yang diprakarsai oleh warga Kristen secara pribadi dan bukan wakil gereja tertentu.
v  Salah satu prestasi gemilang yang dipelopri oleh para pemimpin  sekolah minggu ialah perkembangan sekolah minggu yang bercorak tiga yakni  kurikulum yang seragam ,kurikulum yang group-gradep dan kurikulum closely-gradep Yang dikembangkan sesuai dengan  penggolongan murid disekolah biasa Kurikulum yang  group-gradep ini dipakai ,misalnya dipakai misalnya bagi golongan anak kecil ataupun aak tanggung,sedangkan kurikulum yang group-gradep itu dipakai khusus untuk anak yang duduk dalam kelas satu,dua,tiga dan seterusnya.
3.      .Pendiri Dewan Sekolah Minggu Internasional bagi Pendidikan Agama Kristen pada Tahun 1922
§  Di bawah pendidik seperti Pestalozzi,Froebel,Herbart,John Dewey, dan teolog  seperti Horace Bushnell,Dewan itu mengutamakan  kebutuhan dan minat “Orang yang terus bertumbuh”ketimbang bahan yang diajarkan  kepadanya. Dewwan itu merumuskan arti Pendidikan Agama Kristen,menyusun tujuan,menetukan ruangl lingkup  Kurikulum,menerbitkan majalah khusus  bagi guru-guru dan pengelola-pengelola  Sekolah Minggu serta menyelenggarakan sekolah Laboratorium  bagi bakal guru.
§  Mulai pada dasawarsa emapatpuluhan Perumusan Pendidikan agama Kristen ,Tujuan dan Ruang Lingkup semakin berimbang antara teologi gereja dan ilmu pendidikan,dalam arti pengaruh ilmu pendidikan tidak mendominasi  pemikiran sebagaimana dulu
§   
4.      Pola Pendidikan Agama Kristen yang Diprakarsai Sinode Tertentu
a)      Kurikulum Yang Memelopori,yakni Seri Christian Faith and Life dai Gereja Presbiter
§  .Gereja Bertanggung jawab untuk mendidik anggotanya ,entah yang mudah ataupun yang dewasa.
§  Tujuannya ialah memperlengkapi mereka menjadi murid-murid Yesus Kristus.
§  Ruang Lingkupnya, Yakni Yesus Kristus ,Alkitab,Gereja.
§  Asas-asas Belajar Mengajar memupuk daya kreativitas dan pemikiran pelajar sesuai dengan asas pedagogis yang paling baik,disamping itu,pengalaman belajar senantiasa dibangun atas pengalaman  sebelumnya,dalam arti isinya diperkaya tanpa mengubah intinya kelak.
§  Rumah tangga dianggap sekutu penuh dalam pelaksanaan  pendidkan Agama Kristen,untuk kurikulum ini gereja  menerbitkan majalah triwulan khusus bagi keluarga.

b)     Kurikulum United Church
v  Asas Penuntun : Perkembangan Hubungan-hubungan yang lebih utuh dengan Allah,sesama pelajar dan warga lain serta dengan dirinya sendiri.
v  Tujuan : Menarik orang-orang kedalam kenyataan persekutuan Kristen  serta mengasuh  mereka dalam iman dan Panggilan Kristen.
v  .Ruang lingkup mencerminkan isi asas penuntun dan mengutamakan pelbagai hubungan , umpamanya dengan gereja .orang lain dan dunia alam, tetapi dalam terang warisan Kristen.
c)      Seabury Series,Kurikulum dari Gereja Episkopal
a, Asas Penuntun Isu-isu keagamaan ,Yakni keadaan yang timbul  tatkala Allah bertindak dan orang-orang menjawab  atau gagal menjawab .
b..Ruang lingkupnya berporos pada “isu-isu keagamaan”itu yakni yang timbul dalam pengalaman jemaat tertentu,pelajar tertentu. Bahkan peristiwa  yang terjadi di luar kelas. Oleh karena  itu,gereja menerbitkan  buku-buku dan bahan tercetak lain yang dipakai guru setiap kelas dalam menyusun pengalaman belajar khusus bagi kelas itu.
c.Teori belajar  yang mendasari metodologi belajar.
§  Pengalaman sebagai Perjumpaan pribadi
§  Mengindentifikasi arti perjumpaan itu
§  Melambangkan pengalaman baru
§  Menghubungkan pengalaman belajar dengan pengalaman belajar sebelumnya.
d.Kebaktian keluarga pada hari minggu sebagai bagian integral dari keseluruhannya
e..Latihan Warga Jemaat
§  Latihan keterlibatan bagi asuhan
§  Latihan keterlibatan bagi pelayanan
REPORT THIS AD

d)     Kurikulum Gereja Lutheran ,Khususnya  Seri Rejoice
v  Tujuannya ini mencakup ,Pengalaman belajar tentang Allah  sebagai Pencipta,Pemelihara,penebus dan penyuci ,Mengaku isi Alkitab sebagai  bagian  dari kegiatan Allah
v  Ruanglingkupnya Penciptaan ,Penebusan,Penyucian dan menjadi murid Yesus Kristus untuk setiap tema itu,tekanannya bukanlah hanya isi saja,melainkan respons terhadapnya yg hendak memumpuk  keinginan untuk  bergembira dari  pihak guru dan pelajar  secara bersama-sama
v  Mengkomunikasikan tempat mencolok yang dipenuhi oleh pelayanan pendidikan agama Kristen  dalam kehidupan jemaat dapat dipertinggi  melalui upacara tahunan pada kebaktian pagi yg menghormati guru-guru sekaligus pula melibatkan warga yang beribadah itu dalam pelayanan  itu.
e)      Kurikulum Gereja Methodist
§  Asas Penuntun :usaha Memperoleh makna dari pokok yang di pelajari serta mengalaminya secara pribadi.
§  Ruanglingkupnya:kehidupan dan lingkungannya, Kenyataan Allah ,kehidupan  baru dalam Kristus  Panggilan hidup gereja.
§  Tujuannya memperlengkapi murid dengan pengalaman yang  menolong mereka hidup sebagai murid Yesus Kristus.

f)       Kurikulum Gereja katolik Roma Di Amerika
Gereja katolik Roma di Amerika lebih mengutamakan penggunaan istilah “Katekese”ketimbang pendidikan agama Kristen sebagai kata yang menunjuk pada jenis pengalaman belajar-mengajar  yang hendak terjadi dikalangan sekolah katolik  dam kursus bagi anak yang tidak bersekolah disekolah yang diselenggarakan paroki.Ruang Lingkup dari salah satu kurikulum ini ,masing-masing tema ini mengutamakan  pelayanan khusus demi orang dan bukan isu-isu dogmatis tentang poko ajaran Trinitas itu sendiri seperti Sakramen-sakramen ,gereja,kesusilaan,keadilan dan perdamaian ,Alkitab,hari raya gereja/pahlawan iman, doa dan tindakan liturgis serta serta daftar istilah,bagi golongan umur yang lain  penekanan temanya hampir sama kecuali pendekatan mengajarnya dibangun atas prakarsa,daya pikir yang terbuka dan kreativitas pelajar sendiri.


Bab VIII:
MENUJU KEMATANGAN PAK ( II )
Biografi John Dewey
John Dewey

Description: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/7/7a/Timbre_USA_John_Dewey_oblW_21101968.jpg/200px-Timbre_USA_John_Dewey_oblW_21101968.jpg
Wajah John Dewey dalam prangko
John Dewey adalah seorang filsuf dari Amerika Serikat, yang termasuk Mazhab Pragmatisme.[1][2] Selain sebagai filsuf, Dewey juga dikenal sebagai kritikus sosial dan pemikir dalam bidang pendidikan.[2]
Dewey dilahirkan di Burlington pada tahun 1859.[1] Setelah menyelesaikan studinya di Baltimore, ia menjadi guru besar dalam bidang filsafat dan kemudian dalam bidang pendidikan pada beberapa universitas.[1] Sepanjang kariernya, Dewey menghasilkan 40 buku dan lebih dari 700-an artikel.[2] Dewey meninggal dunia pada tahun 1952.[2]
Menurut Dewey, tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata dalam kehidupan.[1] Oleh karena itu, filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran-pemikiran metafisik belaka.[1] Filsafat harus berpijak pada pengalaman, dan menyelidiki serta mengolah pengalaman tersebut secara kritis.[1] Dengan demikian, filsafat dapat menyusun suatu sistem nilai atau norma.[1] Dewey juga dianggap oleh aliran fungsionalisme sebagai seorang pemikir bergaya praktis dan pragmatis, sehingga, di dalam ilmu pendidikan ia menganjurkan teori dan metode learning by doing.[3]
Mengenai Learning by Doing[sunting | sunting sumber]
Di dalam bidang pendidikan, ia menganjurkan teori dan metode learning by doing (belajar sambil melakukan).[3] Dalam teori dan metodenya ini, ia berpendapat bahwa untuk mempelajari sesuatu, tidak perlu orang terlalu banyak mempelajari itu.[3] Dalam melakukan apa yang hendak dipelajari itu, dengan sendirinya ia akan menguasai gerakan-gerakan atau perbuatan-perbuatan yang tepat, sehingga ia bisa menguasai hal yang dipelajari itu dengan sempurna.[3] Ia mengambil contoh tentang seorang yang akan belajar berenang.[3] Menurutnya, seorang itu tidak perlu diajari macam-macam teori tetapi cukup ia langsung disuruh masuk kolam renang dan mulai berenang, dengan cepat seorang itu akan menguasai kemampuan berenang.[3]
Referensi[sunting | sunting sumber]
1.      ^ a b c d e f g Harun Hadiwijono. 1983. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 133-135.
2.      ^ a b c d (Inggris)C.F. Delaney. 1999. "Dewey, John". In The Cambridge Dictionary of Philosophy. Robert Audi, ed. 229-231. London: Cambridge University Press.
3.      ^ a b c d e f (Indonesia)Sarlito Sarwono. 2002. Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi. Jakarta: Bulan Bintang. Hal. 87-90.

Di dalam bidang pendidikan,  kita pernah mendengar sebuah teori, atau sebut saja sebuah metode  'belajar sambil melakukan'- learning by doing .
Teori dan metode tetsebut pertama kali dikenalkan oleh seorang filosof asal Amerika yang lahir pada 20 October 1859 di Burlington, Vermont Amerika Serikat, yaitu John Dewey.
John Dewey lulus dengan gelar sarjana dari University of Vermont pada tahun 1879. Setelah menerima gelar doktor dalam bidang filsafat dari Universitas Johns Hopkins pada tahun 1884, ia mulai mengajar filsafat dan psikologi di University of Michigan. Di sana minatnya secara bertahap bergeser dari filosofi Georg Wilhelm Friedrich Hegel ke psikologi eksperimental baru yang dikembangkan di Amerika Serikat oleh G. Stanley Hall dan filsuf dan psikolog pragmatis William James. 
Kemudian studi lebih lanjut tentang psikologi anak mendorong Dewey untuk mengembangkan filosofi pendidikan yang akan memenuhi kebutuhan masyarakat demokratis yang berubah.
Pada tahun 1894 ia bergabung dengan fakultas filsafat di University of Chicago, tempat ia mengembangkan pedagogi progresifnya lebih lanjut di Sekolah Laboratorium universitas. Pada tahun 1904 Dewey meninggalkan Chicago ke Universitas Columbia di New York City, di mana ia menghabiskan sebagian besar karirnya dan menulis karya filosofisnya yang paling terkenal, Experience and Nature (1925). Tulisannya berikutnya, yang termasuk artikel dalam majalah populer, membahas topik dalam estetika, politik, dan agama.
Dalam teori dan metodenya ini,  ia berpendapat bahwa untuk mempelajari sesuatu, tidak perlu orang terlalu banyak mempelajari itu.  Dalam melakukan apa yang hendak dipelajari itu, dengan sendirinya ia akan menguasai gerakan-gerakan atau perbuatan-perbuatan yang tepat, sehingga ia bisa menguasai hal yang dipelajari itu dengan sempurna.
 Ia mengambil contoh tentang seorang yang akan belajar berenang. Menurutnya, seorang itu tidak perlu diajari macam-macam teori tetapi cukup ia langsung disuruh masuk kolam renang dan mulai berenang, dengan cepat seorang itu akan menguasai kemampuan berenang.
Teori Pengetahuan
Fokus sentral dari minat filosofis Dewey sepanjang kariernya adalah apa yang secara tradisional disebut "epistemologi," atau "teori pengetahuan". Akan tetapi, ini menunjukkan sikap kritis Dewey terhadap upaya masa lalu di bidang ini bahwa ia secara tegas menolak istilah "epistemologi," lebih memilih "teori penyelidikan" atau "logika eksperimental" sebagai mewakili pendekatannya sendiri.

Dalam pandangan Dewey, epistemologi tradisional, apakah rasionalis atau empiris, telah menarik perbedaan yang mencolok antara pemikiran, domain pengetahuan, dan dunia fakta yang konon disebut pemikiran: pikiran diyakini ada terpisah dari dunia, secara epistemis sebagai objek kesadaran langsung, ontologis sebagai aspek unik dari diri. Komitmen rasionalisme modern, yang berasal dari Descartes, ke doktrin ide bawaan, ide-ide yang terbentuk sejak lahir dalam hakikat pikiran itu sendiri, telah mempengaruhi dikotomi ini; tetapi kaum empiris modern, dimulai dengan Locke, telah melakukan hal yang sama persis dengan komitmen mereka terhadap metodologi introspektif dan teori ide-ide representasional.
Pandangan yang dihasilkan membuat misteri dari relevansi pemikiran dengan dunia: jika pemikiran merupakan domain yang berdiri terpisah dari dunia, bagaimana bisa keakuratannya sebagai sebuah bagian dari perhitungan dunia menjadi ada ? Bagi Dewey, sebuah model baru, yang menolak anggapan tradisional, menginginkan, sebuah model yang berusaha ia kembangkan dan sempurnakan selama bertahun-tahun dalam penulisan dan refleksi.
Menurut pragmatisme Dewey, atau yang disebutnya "instrumentalisme," adalah pandangan bahwa pengetahuan dihasilkan dari ketajaman korelasi antara peristiwa, atau proses perubahan. Penyelidikan membutuhkan partisipasi aktif dalam proses-proses tersebut: penyelidik memperkenalkan variasi spesifik di dalamnya untuk menentukan perbedaan apa yang terjadi dalam proses terkait dan mengukur bagaimana suatu peristiwa tertentu berubah dalam kaitannya dengan variasi dalam peristiwa terkait. Sebagai contoh, penyelidikan eksperimental dapat berupaya untuk mengetahui bagaimana keganasan dalam suatu organisme manusia berubah dalam kaitannya dengan variasi dalam bentuk-bentuk perlakuan tertentu, atau bagaimana siswa menjadi pembelajar yang lebih baik ketika terpapar metode pengajaran tertentu.
Pragmatisme juga merupakan respons terhadap apa yang oleh para filsuf disebut teori kebenaran dan makna: gagasan bahwa dalam belajar kita adalah reseptor pasif dari rangsang sensorik. Pragmatisme, sebaliknya, menegaskan bahwa individu itu terutama aktif dalam pembangunan dunianya, dan bahwa makna yang kita peroleh dalam hidup kita adalah hasil dari hubungan yang kompleks antara ide yang diterima dan pengalaman sekarang.
Dalam teori instrumentalisme, pikiran-pikiran berfungsi dalam penemuan-penemuan yang berdasarkan pengalaman yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan. Menurut dewey, kita hidup dalam dunia yang belum selesai penciptaannya. Sikap Dewey dapat dipahami dengan sebaik-baiknya dengan meneliti tiga aspek dari yang kita namakan instrumentalisme. Pertama, kata temporalisme yang berarti ada gerak dan kemajuan nyata dalam waktu. Kedua, kata futurisme, mendorong kita untuk melihat hari esok dan tidak pada hari kemarin. Ketiga, milionarisme, berarti bahwa dunia dapat dibuat lebih baik dengan tenaga kita. Pandangan ini juga dianut oleh William James.
Konsep Pendidikan John Dewey
Konsep pendidikan Dewey memberi prioritas pada kegiatan yang bermakna dalam pembelajaran dan partisipasi dalam demokrasi kelas. Tidak seperti model pengajaran sebelumnya, yang mengandalkan otoriterianisme dan hafalan, pendidikan progresif menegaskan bahwa siswa harus diinvestasikan dalam apa yang mereka pelajari. Dewey berpendapat bahwa kurikulum harus relevan dengan kehidupan siswa. Dia melihat belajar dengan melakukan dan mengembangkan keterampilan hidup praktis sebagai hal penting untuk pendidikan anak-anak. Beberapa kritikus berasumsi bahwa, di bawah sistem Dewey, siswa akan gagal memperoleh keterampilan dan pengetahuan akademik dasar. Yang lain percaya bahwa tata ruang kelas dan otoritas guru akan hilang.

Bagi Dewey, keharusan etis sentral dalam pendidikan adalah demokrasi. Setiap sekolah, seperti yang ditulisnya di The School and Society, harus menjadi "kehidupan komunitas embrio, aktif dengan jenis pekerjaan yang mencerminkan kehidupan masyarakat yang lebih luas dan meresap ke seluruh dengan semangat seni, sejarah dan sains. Ketika sekolah memperkenalkan dan melatih setiap anak masyarakat untuk menjadi anggota dalam komunitas kecil seperti itu, menjenuhkannya dengan semangat pelayanan, dan memberinya instrumen pengarahan diri sendiri yang efektif, kita akan memiliki jaminan terdalam dan terbaik dari masyarakat yang lebih besar yang layak, menyenangkan dan harmonis. "
Dalam bukunya Democracy and Education (1916), Dewey menawarkan suatu konsep pendidikan yang adaptif dan progresif bagi perkembangan masa depan.
"Dewey elaborated upon his theory that school reflect the community and be patterned after it so that when children graduate from school they will be properly adjusted to asumse their place in society."
Kutipan di atas dapat dipahami secara bebas bahwa pendidikan harus mampu membekali anak didik sesuai sengan kebutuhan yang ada pada lingkunga sosialnya. Sehingga, apabila anak didik tersebut telah lulus dari lembaga sekolah, ia bisa beradaptasi dengan masyarakatnya.
Untuk merealisasikan konsep tersebut, Dewey menawarkan dua metode pendekatan dalam pengajaran. Pertama, problem solving method. Dengan metode ini anak dihadapkan pada berbagai situasi dan masalah-masalah yang menantang, dan anak didik diberi kebebasan sepenuhnya untuk memecahkan masalah-masalah tersebut sesuai dengan perkembangan kemampuannya. Dalam proses belajar mengajar model ini guru bukannya satu-satunya sumber, bahkan kedudukan seorang guru hanya membantu siswa dalam memecahkan kesulitan yang dihadapinya. Dengan metode semacam ini, dengan sendirinya pola lama yang hanya mengandalkan guru sebagai satu-satunya pusat informasi (metode pedagogy) diambil alih kedudukannya oleh metode andragogy yang lebih menghargai perbedaan individu anak didik.
Kedua, Learning by doing. Konsep ini diperlukan untuk menjembatani kesenjangan antara dunia pendidikan dengan kebutuhan dalam masyarakat. Supaya anak didik bisa eksis dalam masyarakat bila telah menyelesaikan pendidikannya, maka mereka dibekali keterampilan-keterampilan praktis sesuai dengan kebutuhan masyarakat sosialnya.
Teori Konstruktivisme
Beberapa kalangan menyebutkan bahwa pendiri teori konstruktivisme adalah Jean Piaget. Namun John Dewey sering dikutip sebagai pendiri filosofis dari pendekatan teori konstruktivisme ini. Bruner dan Piaget dianggap sebagai ahli teori utama di antara konstruktivis kognitif, sementara Vygotsky adalah ahli teori utama di antara konstruktivis sosial.
Dalam konstruktivisme John Dewey menolak anggapan bahwa sekolah harus fokus pada pengulangan, hafalan yang menghafal & mengusulkan metode "hidup terarah" - siswa akan terlibat dalam lokakarya praktis di dunia nyata di mana mereka akan menunjukkan pengetahuan mereka melalui kreativitas dan kolaborasi. Siswa harus diberi kesempatan untuk berpikir dari diri mereka sendiri dan mengartikulasikan pemikiran mereka.
Dewey menyerukan agar pendidikan didasarkan pada pengalaman nyata. Dia menulis, "Jika Anda ragu tentang bagaimana pembelajaran terjadi, terlibatlah dalam penyelidikan berkelanjutan: belajar, merenungkan, mempertimbangkan kemungkinan alternatif dan sampai pada keyakinan Anda yang didasarkan pada bukti."
John Dewey mengemukakan bahwa belajar tergantung pada pengalaman dan minat siswa sendiri dan topik dalam kurikulum seharusnya saling terintegrasi bukan terpisah atau tidak mempunyai kaitan satu sama lain. Sugihartono dkk, 2007 dalam (Just Weare Noegayya 2012). Apabila belajar siswa tergantung pada pengalaman
dan minat siswa maka suasana belajar siswa akan menjadi lebih menyenangkan dan hal ini akan mendorong siswa untuk berfikir proaktifdan mampu mencari pemecahan masalah, di samping itu kurikulum yang diajarkan harus saling terintegrasi agar pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan memiliki hasil maksimal
Menurut John Dewey, pendidikan adalah rekonstruksi atau reorganisasi pengalaman yang menambah makna pengalaman, dan yang menambah kemampuan untuk mengarahkan pengalaman selanjutnya. Seperti telah diuraikan di muka bahwa dalam teori konstruktivisme disebutkan bahwa permasalahan muncul dibangun dari rekonstruksi yang dilakukan oleh siswa sendiri, hal ini dapat dikatakan bahwa dalam pendidikan ada keterkaitan antara siswa dengan permasalahan yang dihadapi dan siswa tersebut yang merekonstruksi lewat pengetahuan yang dimiliki.
Dapat disimpulkan, bahwa pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:
1. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.
2. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya mampu membina pengetahuan mereka secara mandiri.
3. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling memengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.
4. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.
5. Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
6. Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik minat pelajar.
Sumber tulisan :


John Dewey lahir di Burlington, Vermont tanggal 20 Oktober 1859. Dewey adalah Bapak Pendidikan Amerika (Yusufhadi, 2005),karirnya di bidang filosofi dimulai setelah lulus tahun 1879. Tahun 1884 Dewey mendapat gelar doctor dari John Hopkins University dengan disertasi tentang filsafat Kant. Sebagian besar kehidupannya duhabiskan dalam dunia pendidikan dan diterima mengajar di University of Michigan(1884-1894).
Tahun 1899, Dewey menulis buku tentang berjudul The School and Sociaty, yang memformulasikan metode dan kurikulum sekolah yang membahas tentang pertumbuhan anak dan membantu mendirikan sekolah baru bagi Social Research di New York.
Tahun 1894 Dewey berpindah tugas ke University of Chicago dan menjadi kepala jurusan filsafat, psikologi dan pendidikan. Di sini, Dewey mengembangkan aliran Pragmatisme bersama dengan Charles Sanders Peirce dan William James, di universitas ini pulalah Dewey memperoleh gelar Profesor of Philosophy pada tahun yang sama.
Tahun 1904 Dewey berpindah ke Columbia University diDepartment of Philosophy hingga purna tugas. Gagasan filosofis Dewey yang terutama adalah problem pendidikan yang kongkrit, baik yang bersifat teori maupun praktek. Reputasinya terletak pada sumbangan pemikirannya dalam filsafat pendidikan progresif di Amerika.
Dewey akhirnya meninggal dunia tanggal 1 Juni 1952. Sepanjang hidup dan karirnya, Dewey telah banyak menulis buku maupun artikel mengenai teori pengetahuan dan metafisika, serta pendidikan. Buku yang paling penting adalah How We Think (1910) dan Democracy and Education(1916) merupakan karya yang fenomenal, Freedom and Cultural, art and Eksperience, The Quest of Certainty Human Nature and Conduct (1922),Experience and Nature (1925) 
Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh teori evolusi dari Charles Darwin. Yang mengajarkan bahwa hidup adalah suatu proses, dimulai dari tingkatan yang terendah berkembang, maju dan meningkat. Hidup tidak statis melainkan dinamis. Menurutnya dunia ini penciptaannya belum selesai, segala sesuatunya akan mengalami perubahan, tumbuh dan berkembang tiada batas dan tidak ada finalnya.
John Dewey adalah salah satu pendiri aliran pragmatisme yang menganggap kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif. Aliranpragmatisme disebut juga instrumentalisme atau eksperimentalisme untuk membedakan dengan tokoh penganut aliran yang sama.
Instrumentalisme karena menganggap bahwa dalam hidup ini tidak dikenal tujuan akhir, melainkan hanya tujuan antara dan sementara yang merupakan alat untuk mencapai tujuan berikutnya daneksperimentalisme karena menggunakan metode eksperimen dan berdasarkan atas pengalaman dalam menentukan kebenarannya. Pengalaman adalah salah satu kunci filsafat instrumentalism. Pengalaman merupakan keseluruhan aktivitas manusia yang mencakup segala proses yang saling mempengruhi antara organisme hidup dalam lingkungan fisik dan sosial.
Filsafat instrumentalisme Dewey dibangun berdasarkan asumsi bahwa pengetahuan berpangkal dari pengalaman-pengalaman yang bergerak dan bergerak kembali menuju pengalaman, untuk menyusun kembali pengalaman-pengalaman tersebut diperlukan pendidikan yang merupakan transformasi yang terawasi pengdari keadaan yang tidak menentu kearah keadaan tertentu .
Aliran Pragmatisme Dewey yakin bahwa akal manusia aktifselalu ingin meneliti, tidak pasif dan tidak begitu saja menerima pandangan tertentu sebelum dibuktikan kebenarannya secara empiris. Pikirin tidak bertentangan dan tidak terpisah dari dunia, melainkan merupakan bagian dari dunia. Pengetahuan sebagai transaksi antara manusia dan lingkungannya dan kebenaran merupakan bagian dari pengetahuan.
Manusia dalam kehidupannya memerlukan alat untuk memecahkan masalah-masalah tersebut yang selalu akan muncul karena pengalaman pada dasaranya selalu berubah. Uyoh (2007) mengatakan bahwa alat untuk memecahkan masalah tersebut adalah pengetahuan-pengetahuan tentatif atau hipotesis.
Dalam dunia pendidikan utamanya pendidikan yang berlangsung disekolah, Dewey berpendapat bahwa sekolah tidak perlu ditempuh dalam waktu yang lama dan ketat. Idenya siswa datang ke sekolah untuk melakukan kegiatan, untuk mendapatkan sesuatu yang berguna bagi hidup di masyarakat. Apa yang diberikan di sekolah haruslah sesuatu yang nyata yang nantinya dapat dipraktekkan dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai contohnya, pelajaran matematika dapat disampaikan dengan cara yang menyenangkan seperti dilakukan dengan memasak atau berbelanja di pasar atau toko (http://wilderdom.com).
Penyampaian materi dengan praktek langsung di sekolah menurut Dewey akan lebih mudah dipahami oleh pebelajar. Hal ini sejalan dengan yang dikatakannya yaitu “Education is life itself”.
Pendapat Dewey juga bahwa pendidikan merupakan proses sosial dimana anggota masyarakat yang belum matang (terutama anak-anak) diajak ikut berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan pendidikan adalah memberikan kontribusi dalam perkembangan pribadi dan sosial seseorang melalui pengalaman dan pemecahan masalah yang berlangsung secara reflektif (Reflective Thinking).
Dewey dan Peirce memiliki pemikiran bahwa suatu ide itu benar apabila berakibat memberi kepuasan jika diuji secara objektif dan ilmiah. Untuk memecahkan masalah-masalah sosial dan perorangan yang paling penting, diharapkan menerapkan logika sains pada pengalaman yang problematis.
John Dewey dalam menerapkan konsep pragmatisme secara eksperimental dalam memecahkan masalah dengan 5 langkah utama yaitu:
1. Adanya suatu kesulitan yang dirasakan.
Kesulitan mungkin dirasakan dengan adanya kepastian yang memadai, sehingga hal ini menyebabkan akal budi memikirkan pemecahannya yang mungkin atau menimbulkan kegelisahan atau kejutan yang tidak jelas sehingga baru kemudian mencetuskan upaya yang pasti untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Pada langkah ini pebelajar mempunyai pengalaman langsung dari keterlibatannya artinya dalam tahap ini, pebelajar merasakan adanya permasalahan setelah mengalami langsung situasi belajar.
2. Menentukan letak dan batas kesulitan
Langkah ini menuntun pebelajar untuk berfikir kritis yang terkendali dan pemikiran yang tidak terkendali. Berdasarkan pengalaman pada langkah pertama tersebut pebelajar mempunyai masalah khusus yang merangsang pikirannya, dalam langkah ini pebelajar mencermati permasalahan dan timbul upaya mempertajam masalah sampai pada menentukan faktor-faktor yang diduga menyebabkan timbulnya masalah.
3. Saran pemecahan yang mungkin
Pebelajar mempunyai atau mencari informasi yang diperlukan untuk memecahkan masalah tersebut, dalam langkah ini pebelajar memikirkan dan merumuskan penyelesaian masalah dengan mengumpulkan data-data pendukung.
4. Pengembangan melalui penalaran dari langkah ketiga
Pada langkah ini pebelajar mengembangkan berbagai kemungkinan dan solusi tentatif untuk memecahkan masalah, pebelajar berusaha untuk mengadakan penyelesaian masalah dengan memunculkan hipotesis penyelesaian masalah
5. Melakukan pengamatan dan percobaan lebih lanjut
Pada langkah kelima mengarahkan pada penerimaan atau penolakan kesimpulan mengenai keyakinan atau kesangsian. Artinya pebelajar menguji kemungkinan dengan jalan menerapkannya untuk memecahkan masalah sehingga pebelajar menemukan sendiri keabsahan temuannya, pebelajar mencoba menyelesaikan permasalahan dengan menguji hipotesis yang sudah disusunnya dan kemudian menarik kesimpulan. Menguji hipotesis dilakukan dengan eksperimen, pengujian dan perekaman data di lapangan. Data-data dihubungkan satu dengan yang lain agar nantinya ditemukan keterkaitan antar data tersebut dengan melakukan analisis.Berdasarkan analisis data tersebut kemudian ditarik kesimpulan yang mendukung atau menolak hipotesis (Yusufhadi, 2005 :129).



Bab IX:
MENUJU KEMATANGAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN (III)
Yang Berorientasi Pada Teologi Gereja, 1940-1970

I. Pendahuluan
            Sejumlah pemikir dalam bidang pendidikan agama ingin mengakhiri peran dominan yang dimainkan oleh Dewey, Coe, dan Elliot dalam pendidikan agama. Mereka tidak bermaksud menolak pengertian penting yang dihasilakan ilmuan di bidang-bidang ilmu pendidikan, ilmu jiwa, ilmu masyarakat dan antropologi, namun mereka tidak rela bersandar secara tidak kritis pada kesimpulan yang diambil dari ilmu-ilmu tersebut, karena mereka yakin bahwa pengertian teologis perlu memainkan peran utama dalam teori dan praktek pendidikan yang berelangsung dalam jemaat.
            Untuk itu, marilah kita bahas sumbangan yang dibuat oleh H. Shelton Smith, Randolph Crump Miller, Lewis J. Sherrill dan D. Campbell Wyckoff.

II. Pembahasan
H. Shelton Smith
Agen Perubahan
           
            Smith Pernah melayani sebagai dosen di fakultas Teologi, Universitas Duke yang terletak dikota Chapel Hill, negara bagian North Carolina di bagian tenggara Amerika Serikat. Sumbangan utama Smith terhadap bidang ilmu pendidikan agama Kristen baru berporos pada satu karya, yaitu Faith and Nurture. Setelah Faith and Nurture itu diterbitkan , rupanya sudah ada pendidikan gerejawi lain yang tidak puas lagi dengan pendekatan dominan dalam gerakan pendidikan agama. Mereka ingin melihat sumbangan Smith dan siap menerima undangannya untuk membangun ulang bidang itu berdasarkan teologi gereja.
            Dunia keserjanaan pendidikan agama dikejutkan  oleh nada kecaman terhadap dugaan dasariah yang sudah lama menjadi darah daging para kerja daalam gerakan tersebut. Smith berkeberatan khususnya terhadap pembahasan tentang empat pokok ajaran teologi yang dibuat oleh para pendidik gerakan pendidikan agama, yakni kerajaan Allah, Manusia, Yesus Kristus dan Gereja.

1. Kerajaan Allah
            Dalam tangan pendidik pendidikan agama, kerajaan Allah itu menjadi antroposentris (manusia-sentris) dan tidak teosentris (Allah-sentris) lagi, dengan dampak yang luar biasa buruk terhadap teori dan praktek pendidikan agama. Menurut mereka, Allah tidak lagi berdaulat lagi atas seluruh unsur jagat raya termasuk manusia, karena gagasan itu sudah usang dalam lingkungan demokrasi, di mana kekuatan dasariah berada ditangan  rakyat dan bukan pemerintah. Alhasil, kepentingan manusia dinaikkan, sedangkan kekuatan segala kekuasaan lain termasuk kekuasaan Allah perlu dikurangi.  Manusialah yang bertanggung jawab atas urusnnya.

2. Manusia
            Smith melihat tiga cara pemahaman Kristen tentang manusia yang bertentangan dengan teori sekulernya. Petama, pemikiran seperti Dewey berdalil bahwa percaya kepada Allah berarti merendahkan martabat manusia dan kalau kita mau mempetinggi martabatnya, maka kita perlu membebaskan manusia dari belenggu ilahi. Menjawab dalil itu Smith mengakui bahwa memang terdapat pandangan terhadap Allah yang menista martabat manusia, tetapi kesaksian, khususnya dari para nabi Israel kuno pada abad ke-8 dan Yesus sendiri, memperkaya nilai-nilai secara pribadi. Lebih lanjut, tidak ada data empiris yang membuktikan kebenaran dalil bahwa martabat manusia dipertinggi kalau Allah diusir dari kesadaran nalar manusia. Justru sebaliknya yang benar. Masyarakat yang menolak Allah merendahkan martabat manusia. Kedua, teologi liberal yang berlaku dalam gerakan pendidikan agama memutlakkan pentingnya nalar manusia. Tetapi, kalau manusia tidak mengabdikan  diri kepada Allah sebagai nilai mutlak yang diperlukan dimuliakan, maka ia senantiasa digoda untuk memutlakkan semua nilai yang sebenarnya nisbi sifatnya. Ketiga, pentingnya manusia bergantung pada penilaian Allah saja dan tidak pada penilaian orang-orang yang hidup dalam kebudayaan tertentu pada titik waktu sejarah tertentu, karena segala macam penilaian insiani dicap dengan kefanaanya pula.
            Smith menghargai tekanan pada jati diri manusia sebagai makhluk sosial yang dibuat oleh para pemikir dalam gerakan pendidikan agama dan pentingnya memperbaiki mutu segala struktur masyarakat. Tetapi bersandar pada keinginan dan kemampuan orang-orang untuk membangun masyarakat adil dan makmur tidak sama kuatnya dengan dorongan yang berasal dari kasih Allah terhadap manusia.



3. Yesus Kristus, Penyataan Allah
            Sepanjang abad, iman gereja hidup berdasarkan keyakinan bahwa dalam Yesus dari desa Nazaret provinsi Galilea Allah telah menyatakan kehendak dan kebenaran-Nya yang mutlak tentang arti kehidupan manusia. Sebutan itu tidak searti dengan menyatakan bahwa terdapat penjelasan tertentu tentang Yesus yang mencakup seluruh makna-Nya. Namun, perbedaan penjelasan tersebut tidak meniadakan dalil iman bahwa bagi pemahaman Kristen, Yesus sendiri adalah satu-satunya jalan, kebenaran dan hidup, ketimbang menerima-Nya sebagai salah satu jalan, kebenaran dan hidup yang ada di antara sekian banyak yang berlaku. Tetapi teologi liberal dan pendidik agama seperti Coe dan Elliot tidak hanya menyangkal kemutlakan penyataan itu, mereka bahkan menyangkal perlunya orang bertobat dan diselamatkan dalam Yesus Kristus.
            Penolakan penyataan mutlak dalam Yesus Kristus berarti bahwa para pendidik agama menisbikan pentingnya nilai-nilai historis termasuk yang terdapat dalam Alkitab. Bagi mereka, tugas guru bukanlah mengajarkan isi kesaksian yang disamapaikan oleh orang percaya yang hidup pada masa lampau, melainkan untuk memperlihatkan bagaimana orang-orang itu bergumul dengan masalah-masalah tertentu dalam terang iman. Menurut Smith, asuhan Kristen yang bermakna harus berakar dalam iman yang teguh, yang menolak sifat sementara dan proses mendidik yang tampak dalam teori dan praktek pendidikan Dewey. Di balik asuhan Kristen terdapat iman yang lebih mendalam daripada kepercayaan pada nilai-nilai yang senatiasa dalam proses bertumbuh. Memeng, pendidik Kristen akan menerima setiap fakta ilmiah yang betul-betul benar, padahal ia tidak rela menduga secara membabi-buta bahwa tidak ada yang baru dalam usaha insani untuk mencari kebenaran. Oleh karena itu, hendaklah guru Kristen membagikan iamn kepada anak dengan keyakinan bahwa dalam Kristus Allah telah menyampaikan firman yang berlaku secara abadi kepada umat manusia, daripada memberikan kesan bahwa dasar iman Kristen hanya berlaku sebentar saja. Suatu gereja Kristen yang dinamis tidak kunjung memberitakan dan mendidik menurut pendekatan yang betul-betul objektif secara ilmiah.
4. Gereja
            Sesudah Smith memeriksa karya tulis para pendidik agama, ia menarik kesimpulan bahwa rupanya mereka kurang peduli terhadap intisari gereja ketimbang kelompok profesional apa pun di bidang agama. Kesimpulan yang mengherankan itu berhubiungan dengan lima faktor, diantaranya:
a.       Sejak semula Sekolah Minggu hidup sedikit- banyak terpisah dari gereja sebagai lembaga. Oleh karena itu, para pendidik setempat cenderung menganggap diri terlibat dalam urusan pendidikan umum dan bukan yang gerejawi.
b.      Teori pendidikan agama yang dikembangkan pada awal abad ke-20 di Amerika Serikat berakar dalam pikiran pedagogis yang cenderung mengenali gereja sebagai persekutuan khas ilahi.
c.       Teologi liberal yang bekaitan dengan “ gerakan Injil sosial” mementingkan Kerajaan Allah, sementara itu meremehkan pentingnya gereja.
d.      Para pendidik agama terlampau sibuk dengan “agama” atau “pengalaman agamawi” ketimbang menghiraukan gereja, bahkan mereka khawatir bahwa lembaga gereja berdampak negatif terhadap perkembangan agama yang hidup.
e.       Pendidikan agama berkembang dalam tanah persekutuan injil yang mengidentifikasi gereja sebagai jenis pagayuban yang orang masuki dengan sengaja, yakni karena sudah mengalami agama secara hangat dan bukan suatu persekutuanyang dijadikan oleh prakarsa Allah dalam Yesus Kristus.

Randolph Crump Miller (1910- )
PAK yang Teologis-Sentris

1. Riwayat Hidup
            Miller lahir pada 1 oktober 1910, anak seorang pendeta gereja inggris. Ayahnya berasal dari keluarga petani dan ibunya adalah putri pemilik tambang batu bara. Setelah tamat dari Pomona Colloge di negara bagian Califronia pada tahun 1931, ia memulai studi lanjutan di Universitas Yale dan meraih gelar Ph.D. pada tahun 1936. Disertasinya membahas pikiran Henry Nelson Wieman dan pikiran filsafat proses sebagaimana dikembangkan oleh “mazhab chicago”. Disamping itu, selama tahun akademis 1935-36, ia mengikuti kuliah teologi pula pada Sekolah Tinggi Teologi Gereja Inggris di Cambridge, negara bagian Massachusetts dan ditahbiskan sebagai seorang pendeta pada tanggal 6 januari 1937.
            Tatkala ia masih di Cambridge, ia menerima undangan dari Sekolah Tinggi Teologi Inggris di Berkeley, negara bagian California, untuk menjadi seorang dosen. Gajinya cukup hanya untuk ongkos penginapan dan makan saja ! Namun dia masih mensyukuri kesempatan bekerja dan gaji yang begitu rendah itu, karena perekonomian amerika masa itu sedang mengalami yang hebat. Bidang yang digelutinya adalah etika Kristen dan filsafat agama kristen, padahal ia sendiri tidak pernah mengikuti kuliah PAK sebelumnya! Ia selalu mengatakan bahwa untuk memenuhi tugas itu ia harus meminjam catatan kuliah tunangannya, Muriel (mereka menikah tanggal 9 Juni 1938) yang ia susun ketika mengikuti kuliah di Sekolah Tinggi Teologi Baptis! Benar tidaknya ucapan jenaka itu, undangan membawakan kuliah tersebut menjadi titik balik dalam kariernya. Setelah itu, namanya termasyhur karena sumbangannya dibidang yang dipilih secara “kebetulan saja ! Disamping membawakan kuliah PAK ia dipilih sebagai Ketua Departemen Pendidikan Agama Kristen Keuskupan California. Pada tahun 1940 pula ia diangkat sebagai pendeta jemaat kecil yang tidak mempunyai gedung gereja sendiri. Sebelum meletakkan jabatan pendeta sebelas tahun kemudian, jumlah anggotanya terus bertambah sampai menjadi lebih dari dua ratus lima puluh warga. Lalu ia pindah dari California untuk menerima undangan menjadi odsen dibidang pendidikan agama di Sekolah Tinggi Teologi Universitas Yale.
            Pada tahun 1958 tugasnya rangkap dua, tatkala dipilih menjadi redaktor majalah Religious Education yang sudah disebutkan dalam bab VIII. Pada tahun sabat pertama di Yale (1959-60), ia dan istri belajar di Institut Oikumenis di Bossey, Swiss, dan mengunjungi beberapa tempat di Eropa untuk tukar-menukar pikiran dengan para pemimpin gerejawi. Tatkala di Eropa ia mengarang buku pedoman berdasarkan Christian Nurture and the Church bagi Institut Pendidikan Agama Kristen yang diselenggarakan pada tahun 1961 di Belfast, Irlandia Utara, oleh Dewan Pendidikan Agama Kristen se-Dunia dan Asosiasi Sekolah Minggu ( WCCESA). Pada tahun sabat kedua (tahun 1966-67) ia mengajar di  Libanon dan India serta ambil bagian dalam Institut Pendidikan Agama Kristen  di Nairobi, Kenya,yang juga diselenggarakan oleh WCCESA. Selama di Libanon itu, ia mengarang buku  yang berjudul The Language Gap dan God untuk tahun sabat ketiga(1970), ia dan istri pergi ke Selandia Baru, Australia, Indonesia, Asia Tenggara dan khususnya di Singapura sebagai penceremah utama pada Institut Teologi yang diselenggarakan oleh Asosiasi Sekolah Teologi di Asia Tenggara.
            Menjelang bagian akhir dari kariernya ia kembali lagi kebidang teologi proses, “kekasihnya yang semula”, dengan jalan mengarang The American Spirit in Theology yang membahas pikiran dari beberapa filsuf dan teolog yang berporos pada aliran empiris, pragmatis dan proses. Teologi proses dan dampaknya atas pendidikan agama Kristen dibahas secara khusus dalam buku berjudul, The Theory of Christian Education Practice sepintas lalu “teologi proses” itu dirumuskan oleh miller dengan kata-kata berikut:
Ia (teologi proses) mencerminkan banyak pengertian dari Alkitab, tetapi ia bertanya lagi tentang tambahan yang termasuk dalam teologi klasik seperti ajaran predestinasi, kemahakuasaan dan keabadian (immutability) teologi proses memandang Allah sebagai kekasih yang menderita yang berusaha menyakinkan orang, ketimbang memandang-Nya dibawah kiasan diktator yang sedemikian rupa terpisah dari keadaan insani. Mustahil Dia mengalami perubahan dan penderitaan. Didalamnya terisrat perlunya meninjau ulang pikiran kristologis. Disamping itu, ajaran Roh Kudus akan diperkaya.

2. Dasar Teologi
            Ia melihat bahwa teologi gereja tidak memainkan peranan yang mencolok di dalam teori mereka. Oleh karena itu, Miller berusaha menemukan kunci(clue) yang menyoroti hubungan erat antara ilmu teologi dengan pengalaman pribadi, antara isi Pendidikan Agama Kristen dengan metodologi dan antara kebenaran dengan kehidupan. Sesudah mempertimbangkan kekuatan dan kelemahannya dari pelbagai kemungkinan, ia yakin bahwa justru teologi yang relevanlah kunci  yang perlu oleh para pemikir dan pekerja di bidang Pendidikan Agama Kristen. Bagi Miller istilah teologi sendiri dirumuskan sebagai kebenaran-tentang-Allah-dalam-hubungan-dengan-manusia.
            Kunci bagi Pendidikan Agama Kristen adalah penemuan suatu teologi yang relevan yang akan menjembatani jurang pemisah antara isi dan metode. Teologi itu akan menjadi latar blakang dan titik tolak untuk memahami kebenaran Kristen. Dengan itu metode-metode terbaik dan isi kurikulum akan dipakai sebagai sarana untuk mengantar para pelajar ke dalam hubungan yang benar dengan Allah yang hidup, yang menyatakan diri kepada kita dalam Yesus Kristus, bimbingan orangtua dan persekutuan kehidupan jemaat akan dimanfaatkan sebagai konteks bagi pelaksanaan asuhan Kristen.
            Lebih lanjut, teologi itulah yang ditentukan pandangan kita atas lingkungan dimana iman cenderung berakar dan bertumbuh, yakni rumah tangga dan jemaat, persekutuan orang yang percaya kepada Kristus. Singkatnya, kita bertumbuh lebih banyak dalam iman Kristen melalui mutu hubungan kita ketimbang melalui gagasan agamawi tertentu yang mungkin kita anut terpisah dari pengalaman hidup.

3.Rumusan Pendidikan Agama Kristen
            Miller mencari rumusan yang mengutamakan pendidikan agama Kristen sebagai pelayanan yang berdiri dalam tradisi Kristen. Ia harus bertanggungjawab dari sisi teologi yang pada pokoknya bertitik-tolak dari keyakinan bahwa gereja berasal dari Injil Yesus Kristus.Pendidikan agama Kristen dimulai tatkala kita diperhadapkan dengan Injil itu. Pengalaman itu disifatkan oleh beberapa ciri khas.
            Pendidikan tersebut terjadi dalam lingkungan sosial. Pada suatu pihak lingkungan tempat pengalaman sosial itu berlangsung adalah rumah tangga Kristen dan pada pihak lain adalah gereja sebagai persekutuan yang menebus (redemptive fellowship). Pendidikan Agama Kristen mencakup kegiatan perorangan sebagaimana orang itu sedang mengambil keputusan pribadi, tetapi pendidikan itu berdampak terhadap masyarakat pula tatkala orang yang sama itu memenuhi tanggung jawabnya dalam kehidupan dan pekerjaan. Pendidikan agama Kristen mencakup historis. Jadi, pengetahuan tentang masa lampau adalah mutlak penting untuk memahami baik masa kini maupun harapan akan masa depan. Pedidikan yang asasi yang tidak hanya mendasari watak Kristen, yang menentukan ciri khas dalam masyarakat yang berdampak pada kesetiaaan pribadi bahkan yang kadang kadang merusaknya juga. Hubungan-hubungan pribadi ini di alami dalam kehidupan antara orang-orang, dan pihak lain antara orang-orang dan Allah terhadap saudara-saudara yang dilihat. Pendidikan agama Kristen terlibat pula tatkala orang-orang memutuskan hubungan-hubungan tersebut dan tatkala anugerah allah yang menyembuhkan memperbaharui hubungan-hubungan tersebut.

4.Tujuan Pendidikan Agama Kristen.
            Dalam tulisannya, Miller mengingatkan para pembaca bahwa pusat pendidikan agama Kristen bukanlah sejumlah pengetahuan dan bukanlah sejumlah pengetahuan dan bukanlah keprihatinan manusia, melainkan Allah. Kalau begitu, tugas pendidik ialah mengantar pelajar sedemikian rupa, sehingga ia mengalami pengalaman-pengalaman agama kristen mesti ada pelbagai perjumpaan yang memerlukkan keputusan pribadi dari pihak pelajar agar ia semakin hidup sesuai dengan kepercayaan akan Ketuhanan Yesus. Sebagai hasil dari mengalami Allah sebagai poros kehidupan dan melibatkan diri dalam proses mengambil keputusan pribadi secara kontiniu, mempelajari itu sedang bertumbuh menuju kematangan dalam iman Kristen.
            Apa itu kematangan? Miller mendaftarkan serangkaian sifat seorang warga Kristen yang semakin matang dalam imannya  yang sekaligus berfungsi sebagai tujuan umum bagi Pendidikan Agama Kristen: Segala tenaga, dana dan sarana yang dihabiskan jemaat demi rencana pengalaman belajar-mengajar dikalangnya hendaknya ditujukan pada usaha menolong setiap orang mengenal dirinya sebagai anak Allah.

5.Lingkungan
            Bagi Miller,lingkungan pendidikan agama Kristen berporos pada hubungan-hubungan yang berlaku di tempat pelajar belajar dan bertumbuh. Walaupun dalam prosesnya penggunaan kata memainkan peranan bermakna, namun makna kata tersebut bergantung pada mutu hubungan antara orang yang terlibat dalam lingkungan luas tertentu.
            Demikianlah rumah tangga Kristen merupakan lingkungan pertama bagi pelaksanaan pendidikan agama Kristen. Sekarang kita tiba pada lingkungan kedua, yakni gejera yang disifatkan oleh enam fungsi. Pertama,gereja adalah yang beribadah dan orang yang belajar beribadah dengan mengambil bagian dalam kebaktian. Kedua, gereja adalah persekutuan yang menebus, dalam arti kebutuhan dasariah dari anggotanya terpenuhi dan hubungan yang terputus dapat di sembuhkan kembali. Walaupun jemaat adalah persekutuan orang berdosa, namun ia juga melaksanakan pelayanan pendamaian. Ketiga, menyediakan kesempatan belajar bagi orang dari segala golongan umur. Keempat, gereja adalah persekutuan yang prihatin akan kebutuhan orang yang kesepian, sakit, miskin, lemah, lanjut usianya; ia merasa diri hidup dibawah perintah Tuhan untuk berusaha melayani siapapun,khususnya “yang paling hina”. Kelima, gereja adalah persekutuan yang ingin membagikan iman.Keenam, gereja adalah persekutuan yang bekerja sama dengan warga kelompok Kristen lain.
            Pada tahap tertentu, terdapat lingkungan lain yang penting walaupun bersifat sekunder, yakni sekolah umum dimana PAK agama adalah salah satu mata pelajaran kurikuler. Menurut Miller, sekolah itu dapat mengajarkan data tertentu tentang iman, umpamanya isi Alkitab, tetapi ia tidak mampu menyediakan pengalaman belajar paling mendalam karena sekolah sewajarnya bukanlah persekutuan yang beribadah. Terdapat lingkungan lain lagi,yakni “dunia”. Sebenarnya “dunia” melambangkan sebagai gelanggang tempat orang bermain,bermalas-malas pada waktu senggang, bekerja, melayani, memenuhi sejumlah tanggung jawab sebagai anggota masyarakat dan negara. Dari “dunia” timbullah pertanyaan nyata, tantangan nyata, dilema nyata dan seterusnya, yang perlu disoroti atau diajawab oleh pengertian yang dihasilkan dari teologi dan pengalaman orang beriman yang menyebut Yesus Kristus Tuhannya.

6. Pelajar
            Oleh karena pengalaman yang bertumbuh disepanjang hidupnya itu di anggap sebagai peluang yang Allah karuniakan kepada semua orang, maka sewajarnyalah orang-orang dari segala golongan umur sebagai subyek yang termasuk dalam pelayanan pendidikan agama Kristen. Pelaksanannya dapat dilancarkan bila ia diperhatikan dari keempat sisi kebutuhan dasariah yang sadar atau tidak setiap orang berusaha untuk memenuhinya. 1)Setiap orang memerlukan kasih dan perasaan bahwa ia diterima oleh pihak lain sebagai seorang yang berharga. 2) Setiap orang memerlukan struktur hukum dan ketertiban. 3) Setiap orang memerlukan kemerdekaan untuk bertumbuh. 4) Setiap orang memerlukan pemupukan dan pembinaan perasaan terhadap misteri kehidupan.

7.Pengajar
            Secara praktis ada tiga pengajar utama,yakni lingkungan rumah tangga jemaat dan korps guru. Mengingat bahwa kedua yang pertama itu telah dibahas dibawah tema “lingkungan” diatas, maka titik berat kita di sini adalah guru yang mengajar berdasarkan rencana tertentu. Pada awal pembicaraan tentang jati diri seorang guru, Miller membedakan antara dua pengalaman, yakni mengajar dan beriman, kemudian ia menyesuaikan kedua-duanya satu sama lain.
Mengajar berarti menyampaikan perasaan, pengertian, sikap, kenyataan dan arti, padahal beriman itu berarti mempercayai, mengabdikan diri, mengambil keputusan, mempunyai dasar bagi segala sesuatu yang kita harapkan dan berkeyakinan tentang segala sesuatu yang kita tidak lihat. Mengajar agar menghasilkan iman berarti mengambil bagian dalam persekutuan dimana anggotanya mampu saling percaya satu sama lain dan untuk bersama-sama percaya kepada Allah.
            Ciri-ciri khas apakah yang diharapkan tampak dalam diri seorang guru? Pertama, guru dikalangan jemaat hendaknya mempunyai pengetahuan dan pengertian dasariah tentang Alkitab, sejarah gereja dan pokok-pokok ajaran teologi yang relevan bagi kehidupan sehari-hari. Kedua, isi pokok ajaran teologi yang ia anut perlu menghormati diri-sebagai seorang. Kristen yang mampu berpikir secara cerdas. Ketiga, ia memiliki keinginan untuk memperbaiki keterampilan mengajar, yang mencakup teknik-teknik mengajar.Keempat,guru harus mengabdikan diri kepada Allah dari Yesus Kristus. Sementara mengakui bahwa ia tidak layak menerima panggilan mengajar yang begitu mulia, namun ia harus siap menyerahkan bakat dan kemampuannya kepada Tuhan.

8.Ruang Lingkup kurikulum.
            Sebenarnya, pokok-pokok yang tercakup dalam ruang lingkup kurikulum yang dipikirkan oleh Miller telah tersirat dalam kebanyakan tulisan Miller, tetapi pokok-pokok itu tampak jelas dan lengkap dalam buku berjudul, Biblical Theology and Christian Education. Didalam buku tersebut, miller menggambarkan arti amanat Alkitab sebagai drama keselamatan yang terdiri atas lima babak utama yakni: Penciptaan, Perjanjian, Penebus, Persekutuan dan Penggenapan. Kelima babak itu ditambah oleh satu tema lagi, yakni Pengabdian yang hendaknya terjadi secara wajar sebagai tanggapan terhadap setiap babak tersebut.
a.Bahan-sentris, yakini bahan yang Alkitab-sentris,gereja-sentris ataupun pokok teologi-sentris.
            Pendekatan Alkitab-sentris mengutamakan pengetahuan Alkitab. Ayat-ayat dan perikop tertentu dihafalkan. Hasil pendekatan ini adalah setiap pelajar mengetahui isi dari banyak fakta-fakta, kutipan, cerita dan sejarah. Pendekatan mengajar yang gereja-sentris memperlihatkan jenis kekuatan dan kelemahan yang serupa dengan pendekatan yang Alkitab-sentris. Dengan mempelajari sejarah gereja, ciri-ciri khas dari sinode dan kesetiaan pada seluruh umat Allah, maka para pelajar diantar mengambil bagian secara bertanggung jawab dalam salah satu jemaat, yakni dalam kebaktian, rencana pendidikan agama Kristen, pelayanan sosial, penginjilan dari pertolongan kepada gereja diluar jemaat setempat.
            Seyogianya pendekatan yang teologi-sentris itu mengutamakan ajaran teologi tertentu. Pokok-pokok teologi yang ingin kita sampaikan adalah yang memberi petunjuk kepada pelajar supaya bertindak sebagai seorang Kristen. ”Oleh karena itu, amat penting usaha mencari pokok ajaran teologi yang benar, nilai-nilai yang benar dan Allah yang benar.
b.Kehidupan/Pengalaman-sentris.
            Kurikulum yang kehidupan atau pengalaman-sentris itu lebih mengutamakan perkembangan pelajar sebagai seorang yang utuh ketimbang menyampaikan sejumlah keterangan kepada murid seperti pendekatan yang bahan-sentris. Pada umumnya terdapat tiga macam masalah yang perlu dipecahkan oleh setiap orang:  1)kebutuhan untuk bertindak 2)kebutuhan untuk mengetahui; dan 3) kebutuhan untuk mempercayai.

9. Metodologi
            Pada dasarnya metode tertentu dapat digolongkan dibawah empat jenis kegiatan utama, yakni:
a. Memberitahukan
            Metode ini digolongkan dalam rumpun metode yang tertua. Tatkala nenek moyang kita, termasuk nenek moyang dalam iman, ingin mengajar, mereka bercerita. Kebanyakan cerita Perjanjian Lama, khususnya yang termuat dalam kitab kejadian, Keluaran,Yosua, Hakim-hakim, 1 & 2 Raja-raja, Rut dan Ester berkali-kali diceritakan ulang sebelum dituliskan pada bahan tulis seperti kulit binatang. Lagi pula, bercerita itu menjadi sarana penting untuk mengajarkan pengalaman bangsa Israel dengan Tuhan.Demikianlah bunyi Mazmur 78:
            Pasanglah telinga untuk pengajaranku, hai bangsaku, sendengkanlah telingamu kepada ucapan mulutku. Aku mau membuka mulut mengatakan amsal, aku mau mengucapkan tekai-teki dari zaman purbakala. Yang telah kami dengar dan kami ketahui, dan yang diceritakan kepada kami oleh nenek moyang kami, tetapi kami akan ceritakan kepada angkatan yang kemudian puji-pujian kepada Tuhan dan kekuatan-Nya dan perbuatan-perbuatan ajaib yang telah dilakukan-Nya (Mzm. 78:1-4).
            Metode memberitahukan lain yang mempunyai sejarah mulai ialah berceramah. Tetapi metode ini harus disesuaikan dengan minat dan kemampuan kelompok pendengar. Metode panel diskusi, dialog antara dua pemimpin, laporan tentang wawancara dan mendengar kaset audio sebagai sumber memperoleh keterangan dalah contoh lain tentang metode “memberitahukan” itu.
b. Memperlihatkan
            Rumpun metode ini punya sejarah yang mulia pula. Masyarakat purba penghuni gua memperlihatkan kepada kita bagaimana mereka mengungkapkan gagasan tentang binatang yang dipelihara atau yang akan diburu kepada kelompoknya melalui gambar-gambar.

c. Tukar Pikiran
            Sering kali diskusi kelompok dipakai untuk tukar menukar pikiran, tetapi bila hal itu betul terjadi, diskusi itu harus dipersiapkan lebih dulu oleh kedua belah pihak, guru dan murid. Penggunaan metode tanya-jawab adalah cara yang baik untuk tukar menukar pikiran.

d.Perencanaan dan Kegiatan Kelompok
            Metode ini membuka kesempatan bagi peseta untuk bertindak sesuai dengan maksud yang mereka tentukan dibawah bimbingan guru. Namun agar pendekatan ini berhasil dengan baik, guru perlu menahan diri. Perannya ialah menjadi sumber yang menolong dan bukan tokoh berkuasa yang mendominasi.

10.Belajar beribadah
            Miller mengutamakan pentingnya belajar beribadah dengan kata-kata berikut: Gereja adalah persekutuan  yang beribadah.



11.Pengelolaan Pendidikan Agama Kristen
            Dibalik segala pengorganisasian dan pegelolaan yang berkaitan dengan pendidikan agama Kristen ada empat asumsi: 1)Gereja wajib menghasilkan suasana yang idadalamnya kesejahteraan perorangan dan persekutan dalam terang Injil dijunjung tinggi; 2)Dalam rangka memenuhi kebutuhan orang-orang dan kelompok-kelompok,segala unsur kehidupan jemaat bermakna secara pedagogis; 3)Pengorganisasian dan pengolaan adalah bagian mutlak dari kurikulum Penddikan Agama Kristen; dan  4)Pengorganisasian dan pengelolaan jangan dianggap sebagai tujuan yang terpisah dari unsur-unsur lain dalam pelayanan jemaat.

C.L.J. Sherrill (1892-1957)
PAK yang Teologis/Psikologis-sentris

1.Riwayat Hidupnya
Sherill lahir di kota kecil Haskell, negara bagian Texaas Utara. Sebagai seorang pemuda, ia melayani negaranya pada Perang Dunia I dalam angkatan darat. Ia tamat dari Kolese Austin di Texas, negara bagian Kentucky. Studi lanjutnya dimulai di Universitas Northwestern di kota Evanston, negara bagian illinions, tetapi kemudian ia pindah ke Universitas Yale dan meraih gelar Ph.D dari universitas itu. Sesudah tamat dari Sekolah Tinggi Teologi Louisville, ia melayani jemaat First Presbyterian Church, di Covington, negara bagian Tennessee. Pada tahun 1924 alma maternya di Louisville mengangkatnya dosen dibidang pendidikan agama. Lima tahun kemudian ia dipilih oleh pengurus untuk enjadi dekan sekolahnya. Pada tahun 1950 ia pindah ke  Sekolah Tinggi Union di kota New York sebagai dosen, dibidang Pendidikan Agama Kristen dan tetap tinggal disana sampai ia wafat pada tahun 1957.

2.Keyakinan Teologis
            Ada tiga keyakinan teologis utama yang menyoroti pandangan sherill, yakni pokok ajaran tentang penyataan, manusia dan persekutuan Kristen (koinonia)
a.pernyataan sebagai pengalaman dinamis dengan tuhan.
b.Pokok teologis dasariah kedua dalam pikiran Sherrill ialah ajaran tentang manusia.
c.Pengertian teologis ketiga yang amat dasariah dalam pandangan Sherill ialah persekutuan Kristen.


3.Keyakinan psikologis
            Sherrill lebih memusatkan perhatian pada kecemasan normal, tanpa mengabaikan dimensi neurotis. Kecemasan itu adalah tanggapan terhadap ancaman nyata yang gagal manusia indetifisi secara teliti. Sebagai manusia modren, ia cemas karena keamanannya terancam oleh banyak hal dan ia tidak mengetahui dasar kecemasannya. Sebagai contoh tentang kecemasan normal, Sherill sendiri tertarik pada gambaran Tillich tentang kecemasan eksistensial yang mencakup tiga sifat. Pertama, adanya kecemasan terhadap kematian. Kedua, manusia cemas karena banyak usahanya tidak bermakna dan ia merasa bahwa segala tenaga yang dihabiskan untuk itu sia-sia saja hasilnya. Ketiga, ia cemas karena merasa bersalah dan selayaknya dihukum, tetapi ia tidak tahu bagaimana melepaskan diri dari perasaan tersebut.

4. Rumusan PAK
            Sherill membedakan pendidikan umum dan pendidikan agama Kristen yakni: Perbedaan pertama itu mencakup tolok ukur masing-masing. Pendidikan umum yang dibayar oleh kas negara harus sesuai dengan asas-asas yang ditentukan oleh negara. Pendidikan agama Kristen ditentukan oleh lembaga gereja, tetapi disamping itu sama seperti gereja itu sendiri, pendidikan umum itu perlu dipertimbangkan dari pihak penyataan, sehingga senantiasa dikoreksi oleh tolak ukur yang transenden.
            Kedua, Allah diakui sebagai Peserta aktif dalam proses pendidikan agama Kristen.Walaupun proses belajar-mengajar dikalangan gereja adalah serupa dengan yang berlaku di sekolah negara,namun dalam pendidikan agama Kristen kita percaya bahwa Allah menyatakan diri melalui proses belajar mengajar dan mempergunakan pelbagai interaksi antara orang orang secara kreatif dan bersifat menyelamatkan. Ketiga, persekutuan Kristen menaklukkan diri pada kedaulatan yang lebih berkuasa ketimbang segala kedaulatan lainnya.
            Sesudah memaparkan perbedaan dan persamaan antara pendidikan umum,dan pendidikan agama Kristen, Sherill merumuskan  pendidikan agama Kristen dengan kata kata berikut : Pendidikan agama Kristen adalah upaya yang diprakasai pada lazimnya oleh para anggota persekutuan Kristen yang berlangsung dalam diri orang orang dalam hubungannya dengan Allah, gereja, orang lain,dunia alam dan dengan dirinya sendiri.

5. Tujuan
            Tujuan pendidikan agama Kristen menurut Sherill untuk memperkenalkan para pelajar dikalangan persekutuan Kristen warisannya, khususkan para pelajar di kalangan persekutuan Kristen dengan warisannya. Khususnya Alkitab, agar dengannya mereka dipersiapkan menjumpai Allah dan menjawab kepada-Nya, mempelancar komunikasi pada tahap yang mendalam antar-orang tentang keprihatinan-prihatinan insani dan mempertajam kemampuannya menerima fakta bahwa merkea di cengkeram oleh kekuatan dan kasih Allah yang memperbaiki, menebus dan menciptakannya kembali.

6. Lingkungan
            Ada satu lingkungan luas utama bagi kelangusngan pendidikan agama Kristen, yakni persekutuan Kristen entah wadahnya keluarga Kristen atau jemaat. Oleh karena itu, segala sesuatu yang sudah ditulis tentang gereja sebagai koinonia berlaku pula disini.

7. Pengajar
            Sesuai dengan tekanan Sherrill atas pernyataan, Allah dianggap sebagai pengajar utama, karena Dialah yang memprakarsai hubungan dengan manusia. Disamping itu, jemaat sebagai koinonia memainkan peranan yang begitu besar dalam pelayanan pendidikan agama Kristen. Pengajar ketiga adalah guru yang wajib menyelenggarakan pengalaman belajar demi pelaksanaan komunikasi yang paling mendalam.

8.Pelajar
            Jati diri dari pokok ini sudah tersirat dalam pembahasan diatas, yakni seluruh jemaat adalah pelajar, karena integritas setiap orang selalu ‘terancam oleh tantangan yang nampak didalamnya secara pribadi dan dalam masyarakat. Dengan kata lain, anak-anak dari segala golongan umur, remaja, pemuda dan orang dewasa dianggap sebagai subyek dari pelayanan pendidikan agama Kristen.


9.Asas penuntun
            Sumbangan paling orisinal dari Sherrill atas apa yang lazim disebut asas menuntun tercakup dalam penggunaan korelasi antara jalan buntu atau masalah kritis (predicament)dan tema alkitabiah. Predikamen itu menunjukkan pelbagai keprihatinan insani yang cenderung mengganggu ketenteraman setiap orang sepanjang abad. Dasarnya terletak pada kecemasan yang dialami orang,karena pada akhirnya segala bentuk keamanan kelak terancam. Karena itu, ia  tidak melihat jalan keluar. Tema-temalah yang dianggap sebagai jawaban alkitabiah terhadap predikamen tersebut. Menurut Sherrill, ada delapan tema am,yakni penciptaan, kedaulatan, panggilan hidup, penghakiman, penebuasan, penciptaan ulang, pemeliharaan dan kehidupan beriman.

10.Kurikulum
            Pada dasarnya, kurikulum hendaknya dibangun berdasarkan korelasi antara kedelapan tema alkitabah tersebut dengan delapan predikamen. Masing-masing tema merupakan wahana yang dimanfaatkan Allah untuk menyatakan diri.

11.Metodologi
            Sherrill menganjurkan tujuh asas metodologi yang hendaknya diperhatikan setiap guru sebelum ia memilih metode tertentu, Yaitu :
a.Asas Komunikasi Bukan Lisan(non-verbal)
            Sejak lahirnya orang,komunikasi bukan lisan paling menonjol. Bila mengingat bahwa hakikat dari amanat Alkitab ialah kasih dan selanjutnya kasih itu dikomunikasikan melalui bentuk bukan lisan, maka komunikasi bukan lisan tersebut perlu merajai segala macam pengalaman mengajar di kalangan jemaat.
b.Asas Keikutsertaan
            Sesuai dengan asas ini, pengajar perlu memilih metode yang menolong pelajar berdiri bersama dengan tokoh-tokoh alkitabiah yang disebutkan dalam perikop yang sedan dipelajari, yakni pelajar ditolong melihat apa yang dilihat orang-orang dalam Alkitab, mendengar apa yang mereka dengar dan merasa apa yang mereka rasakan.
c. Asas penyamaan diri(indentification)
            Ketika para pelajar menyamakan diri dengan tokoh-tokoh alkitabiah, mereka tidak dipandang lagi sebagai benda asing,malahan sebagai cerminan dari pengalaman dan pergumulan mereka sendiri.
d.Asas Persepsi
            Asas ini berarti bahwa pengajar menolong pelajar ”melihat” peristiwa atau tokoh alkitabiah dalam terang yang baru.
e.Asas Komunikasi Simbolis
            Asas ini penting sebagaimana tampak dalam gaya berkomunikasi dalam Alkitab. Ternyata bahasa simbolis adalah bahasa ibu bagi siapa saja yang ingin mempeljari dan menangkap sumber-sumber tertulis dari iman Kristen.
f.Asas Perasaan Mendua
            Disini Sherrill ingin mengakui bahwa dalam ziarah beriman mesti ada tempat bagi perasaan mendua ini, yakni mesti ada tempat bagi perasaan dan sekaligus pula bagi keragu-raguan seperti yang tampak dalam ungkapan Rasul Tomas, “Aku tidak akan percaya”  (Yoh. 20:25c) dan pengakuan Petrus, “Engkau adalah Mesias” (Mat. 16:16b)
g.Asas Makna yang terpenting (ultimacy)
            Sherrill mengakui kesulitan menyampaikan maksudnya, Tetapi dengan asas ini Sherrill menunjukkan pentingnya komunikasi dua arah sebagai akhir dan bukanlah sebagai sarana untuk mencapai tujuang nyag lebih luhur lagi.





D.D Campbell Wyckoff
Pembangun Struktur Teori PAK

1.Riwayat Hidup

            Walaupun sejak tahun 1957 kehidupan penulis diperkaya oleh hubungan yang baik dengan Prof. Dr. Wyckoff,namun penulis tidak pernah mendegnar atau membaca tahun kelahirannya! Tetapi berdasarkan interprestasi hidup yang Wyckoff sendiri susun,rupanya beliau lahir sekitar tahun 1918 di kota New York, tempat beliau di besarkan. Ayah seorang pengacara, sedangkan ibunya melayani sebagai seorang guru. Pada masa SMP Wyckoff menghadiri konperensi remaja yang berlangsung pada musim panas. Tatkala tiba waktunya untuk memasuki perguruan tinggi, ia tidak mencari tempat yang jauh dari keluarga; ia tetap tinggal di New York dan masuk Universitas Columbia,dalam bagian New College-nya, suatu pendekatan yang menyatupadukan pengalaman belajar di ruang kuliah dan dalam masyarakat, entah masyarakat perkotaan, daerah pertanian, ataupun di Eropa. Kedua peluang belajar trakhir ini adalah pengalaman wajib.Tetapi,pengalaman di Eropa itu mustahil terjadi, karena ancaman perang disana. Oleh karena bepergian ke Eropa tertutup baginya, maka ia memperluas pengalaman dengan menghadiri kegiatan-kegiatan kampus kepunyaan New College yang letaknya di daerah pertanian dinegara bagian North Callifornia,daerah tenggara Amerika. Para mahasiswa yang kebanyakan berasal dari kota New York ditugaskan belajar bagaimana orang memenuhi kebutuhannya dalam keadaan sedehana.
            Kembali ke New York, ada perubahan dalam hal pengelolaan perguruan tinggi yang tidak sesuai lagi dengan keyakinan Wyckoff. Alhasil ia pindah ke Universitas New York,  yang terletak diarah selatan pulau Manhattan. Dari sana ia menerima gelar sarjana, magister dan Ph.D. Disana jugalah ia memulai kariernya sebagai dosen dibidang pendidikan agama. Pada masa libur Wyckoff bekerja dalam sebuah SMA kristen, kepunyaan Badan Misi Nasional dari Gereja Presbyterian(Presbyerian Board of National Missions). Sekolah itu terletak di desa Alpine,negara bagian Tennessee. Disana Wyckoff mengajarkan pengetahuan Alkitab, musik dan sejarah modren. Disamping mengajar di SMA itu, ia terlibat dalam Sekolah Minggu,Sekolah Alkitab pada Masa libur dan pembinaan warga jemaat.
            Pada musim gugur tahun 1947 ia diangkat menjadi dosen pendidikan agama di Universitas New York. Dia pindah ke Sekolah Tinggi Teologi Princeton pada tahun 1954 dan tetap mengajar disana sampai pensiun pada tahun 1983. Pada tahun 1961 bidang Pendidikan Agama Kristen diperkaya lagi dengan penerbitan Theory and Design of Christian Education Curriculum.

2.Dasar Pembangunan Teori Pendidikan Agama Kristen
a. Kebudayaan
            Teori kebudayaan yang Wyckoff sokong dirumuskan dengan empat kalimat singkat, yakni: Perkembangan kebudayaan mencakup cara masyarakat memperoleh keuntungan dalam kehidupannya. Didalamnya terwujud pula cara masyarakat memahami gaya hidupnya. Itu merupakan cara masyarakat  menentukan tatanan hidup bersama. Akhirnya, kebudayaan terdiri atas nilai-nilai yang diterima masyarakat dan saran yang dipakainya untuk mengejawantahkan nilai-nilai tersebut. Singkatnya, kebudayaan mencakup adat-istiadat, cerita-cerita yang dituturkan turun-menurun, kebaktian dan pokok ajaran agamawi.

b.Pendidikan,Pengemban Kebudayaan
            Pendidikan agama mencakup cara yang dikembangkan masyarakat untuk memperkenalkan setiap angkatan baru pada nilai-nilai khusus yang memberi arti dasariah pada kebuadayaan. Lagipula, pendidikan agama itu adalah cara yang dimanfaatkan masyarakat untuk membawa  setiap angkatan baru pada hubungan langsung dan dinamis dengan kekuatan yang mengendalikan kehidupannya. Dengannya setiap angakta nbaru itu dibimbing untuk bertumbuh dalam mutu keikutsertaan dalam praktek-praktek ibadah yang dimanfaatkan masyarakat untuk mengukuhkan hubungannya dengan kekuatan yang paling tinggi(the ultimate). Akhirnya, pendidikan agama menolong angkatan baru untuk semakin memahami dan menghargai pokok-pokok  ajaran yang menjelaskan makna kehidupan dan sejarah masyarakatnya.


c.Kebudayaan, Teologi Kristen dan Pendidikan Agama Kristen
            Pendidikan agama Kristen melayani kehidupan orang yang ditebus, yakni kehidupan yang dijadikan baru oleh Allah yang menciptakan manusia menurutu gambar-Nya, menyatakan diri sejelas mungkin dalam Yesus Kristus dan yang senantiasa membimbingnya dengan Roh Kudus. Jadi, sifat paling khas dari pendidikan agama Kristen ialah bahwa ia mencakup pelayanan Firman, Firman yang Allah sabdakan kepada manusia.

3.Pedoman untuk Membangun Teori Pendidikan Agama Kristen
a.Apa itu Teori ?
            “Suatu teori terdiri dari hipotesis-hipotesis yang telah diujicobakan,ataupun asas-asas yang berarti pedoman-pedoman yang dapat diandalkan dalam praktek. Jadi, teori Pendidikan Agama Kristen terdiri dari hipotesis-hipotesis yang diujicobakan dan asas yang diterima sebagai pedoman-pedoman yang dapat diandalkan dalam pelayanan dikalangan jemaat. Seorang pendidik yang ingin mengembangkan teori Pendidikan memperoleh pengetahuan dasariah bagi pelaksanaan tugasnya,yakni ilmu teologi, kehidupan dan pekerjaan gereja, filsafat, sejarah, ilmu jiwa, ilmu masyarakat dan ilmu komunikasi.

b. Dasar-dasar bagi Perkembangan Teori Pendidikan Agama Kristen
1.Asas-asas Penuntun
            Istilah “asas penuntun” sudah disebutkan beberapa kali dalam buku, tetapi Wyckoff adalah pemikir pertama yang memakainya dalam pembahasannya. Ia merumuskannya sebagai satu “gagasan agung” yang menyoroti seluruh proses menyusuri tujuan umum, memilih isi kurikulum besera metodologinya dan gaya mengelola pelayanan pendidikan agama Kristen. Intinya perlu diperoleh dari ilmu pendidikan dalam terang teologi, atau dengan ucapan yang lebih saksama lagi, ia akan mencakup pendidikan orang orang dalam terang Allah.
2.Tujuan Pendidikan Agama Kristen
            Tujuan pendidikan agama Kristen ialah menolong orang-orang menjadi sadar akan penyingkapan diri Allah dan kasih-Nya dalam Yesus Kristus yang senantiasa mencari orang serta menjawabnya dengan kerpercayaan dan kasih, agar mereka mengetahui siapa dirinya sebenarnya. Dan apa artinya keadaannya, bertumbuh sebagai anak-anak Allah yang berakar dalam perseketuan Kristen, memenuhi panggilannya bersama sebagai murid-murid Yesus Kristus di dunia dan tetap percaya pada pengharapan Kristen.
3.Asas-asas Kurikulum
            Menurut Wyckoff, kurikulum terdiri dari  tata cara (prosedur) yang dipakai untuk mencapai tujuan pendidikan agama Kristen; ia disusun agar dimanfaatkan oleh pelbagai kelompok belajar dikalangan jemaat , misalnya Sekolah Minggu, kelompok remaja, pemuda,  dan warga jemaat.
4.Asas-asas pengelolaan(administrasi)
            Ada tiga fungsi utama pengelolaan: pengorganisasian, manajemen dan pengawasan. Pengorganisasian rencana pendidikan agama Kristen teridiri dari proses menentukan menentukan tenaga pimpinan, sarana, waktu dan ruang yang diperlukan untuk melaksanakan pelayanan pendidikan agama Kristen.

III. Kesimpulan
            Dari pemaparan, saya sebagai penyaji menyimpulkan bahwa tahap perkembangan ilmu pendidikan agama berporos pada teologi “liberal” dan dinamakan “gerakan pendidikan agama”. Prestasinya gemilang, tetapi didalamnya terdapat kelemahan yang mencolok pula. Kelemahan dalam orientasi teologilah yang justru semakin tampak kemudian.
            Pemikiran pertama yang menentang arah gerakan itu berjalan ialah H. Shelton Smith, kemudian disusul oleh Rudolph Crump Miller, L. J. Sherrill dan setelah itu D. Campbell Wyckoof. Sehingga dari beberapa pemikiran/ pendapat tokoh-tokoh itu kita dapat melihat bahwa kelemahan yang mencolok itu dapat diperbaiki. Dengan demikian, PAK akan mencapai kematangan yang berorientasi pada teologi gereja.

IV. Daftar Pustaka
Boehlke.Robert R,Sejarah Perkembangan Pikiran & Praktek PAK dari Yohanes Amos      Comenius Sampai Perkembangan PAK di Indonesia,Jakarta :BPK-GM,1997



Bab X:
PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DI INDONESIA SEJAK TAHUN 1955

Pendidikan Agama Kristen di Indonesia
Pendidikan Indonesia di mulai darikedatangan para serdadu, pedagang dan imam Portugis di pulau Ternate pada tahun 1538. Sejak inilah dimulai sejarah pendidikan agama Kristen di Indonesia, sesuai dengan perintah kepada panglima ekspedisi Portugis maka ia mendirikan sekolah di pantai Ternate sebagai sarana untuk memberitakan Injil, disamping mereka belajar membaca, menulis, berhitung.Tatkala kekuasaan Belanda mulai menggeser Portugis di Indonesia, maka perdagangan Belanda (VOC) di Nusantara Indonesia lebih diutamakan daripada hal-hal agamawi.
Dengan mendidik anak pribumi dalam bahasa Belanda, kekuasaan atas orangtuanya dapat diperkuat dan tujuan ini tersirat dalam Perintah Umum kepada Gereja pada tahun 1643, yang menentukan tugas yang diberi kepada para guru yaitu ”tugas terpenting bagi para guru ialah menanamkan rasa takut akan Tuhan dalam diri anak-anak, mengajarkan intisari iman Kristen, cara berdoa, menyanyi dan untuk mengantar mereka ke tempat beribadah. Kedua, guru wajib mengajar anak-anak untuk taat kepada orangtua, tokoh-tokoh berkuasa termasuk guru sendiri. Ketiga, anak-anak hendaknya diajar membaca, menulis dan berhitung. Keempat, guru wajib membina anak-anak dalam hal budi pekerti dan untuk bertindak sopan
Dalam bagian ini penulis akan menjelaskan pendidikan agama, baik dari sudut pandang umum dan juga kekristenan. Sejatinya kata pendidikan merupakan kata yang sangat luas dan dipastikan bahwa setiap orang telah mengerti bahkan telah melakukannya dalam kehidupan sehari-hari.Contoh sederhana, pendidikan sudah dilakukan dalam kehidupan sehari-hari yakni ketika orang tua mengajarkan nilai baik kepada anak-anaknya dalam kehidupan rumah tangga dan banyak hal lainnya.
1.                  PENDIDIKAN AGAMA
Pendidikan pada hakikatnya adalah suatu usaha manusia untuk meningkatkan ilmu pengetahuan, yang didapat dari lembaga formal maupun non formal.Sedangkan makna pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai didalam masyarakat dan kebudayaan.Diakui bahwa tujuan pendidikan adalah untuk menghasilkan pengertian atau ilmu yang jauh lebih baik, karena ilmu atau pengetahuan yang dimiliki setiap orang sangatlah memberi nalai positif untuk setiap orang yang menghargainya.
Pengertian Pendidikan
Pada hakekatnya dalam memahami pengertian pendidikan, terlebih dahulu perlu diketahui dua istilah dalam dunia pendidikan yaitu pedagogi yang berarti “pendidikan” dan pedagogia yang artinya “ilmu pendidikan”.Istilah ini berasal dari bahasa Yunani yakni pedagogia yang berarti paedos dan agoge, kedua kata ini memiliki arti “saya membimbing, memimpin anak”.Berdasarkan asal kata tersebut, maka pendidikan memiliki pengertian “seorang yang tugasnya membimbing anak di dalam pertumbuhannya kepada arah berdiri sendiri serta tanggung jawab”.
Dalam kamus pendidikan, pengertian pendidikan dapat dijelaskan sebagai berikut: pertama, kumpulan dari semua proses yang memungkinkan seseorang untuk mengembangkan kemampuan dan sikap-sikap serta bentuk-bentuk tingkah laku yang bernilai positif di dalam masyarakat dimana dia hidup. Kedua, proses sosial dimana orang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khusus di lingkungan sekolah), sehingga mereka dapat memperoleh kemampuan sosial dan perkembangan individu yang maksimal.
Berikut beberapa pendapat para ahli tentang pengertian pendidikan diantaranya pertama, Prof. Richey dalam bukunya yang berjudul “Planing for Teaching an Introduction to Education” menjelaskan hakikat pendidikan adalah suatu proses yang lebih luas daripada proses yang berlangsung di dalam sekolah saja. Pendidikan adalah aktivitas sosial yang esensial yang memungkinkan masyarakat yang kompleks, modern, fungsi pendidikan ini mengalami proses spesialisasi dan melembaga dengan pendidikan formal, yang tetap berhubungan dengan proses pendidikan informal di luar sekolah. Kedua, Brubacher dalam bukunya yang berjudul “Modern, Phylosophies, Education” menyatakan pendidikan adalah proses timbal-balik dari tiap pribadi manusia dalam penyesuaian dirinya dengan alam, dengan teman dan dengan alam semesta. Ketiga, Driyarkara menyebutkan bahwa pendidikan adalah pemanusiaanmanusia muda atau pengangkatan manusia muda ketaraf insani. Keempat, Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah tuntutan didalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun pendidikan adalah menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginyaTujuan Pendidikan
Pendidikan adalah suatu proses untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya. Tujuan pendidikan akan menentukan kea rah mana peserta didik itu dibawa. Secara umum, tujuan pendidikan membantu perkembangan anak untuk mencapai tingkat kedewasaan, baik kedewasaan biologis maupun kedewasaan pedagogis. Berdasarkan hirarki (tingkat) tujuan pendidikan di Indonesia, terbagi kedalam empat macam tingkat yang berbeda tingkat dan luasnya, yaitu:
Tujuan pendidikan nasional
Tujuan pendidikan nasional yaitu tujuan seluruh proses pendidikan yang berlandaskan pada falsafah hidup bangsa Indonesia (Pancasila). Dalam pengertian ini terkandung enam aspek dalam tujuan pendidikan nasional, antara lain: bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani, memiliki kepribadian yang mantap, memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Tujuan institusional
Tujuan institusional, yaitu perumusan secara umum pola prilaku dan pola kemampuan yang harus dimiliki setiap lembaga pendidikan yang berbeda-beda sesuai dengan fungsi dan tugas dalam rangka menghasilkan lulusan dengan kemampuan atau keterampilan tertentu.
Tujuan kurikuler dan tujuan instruksional.
Tujuan kurikuler adalah tujuan yang berupa pola pendidikan untuk mencapai suatu target dalam proses belajar mengajar. Sedangkan tujuan instruksional adalah rumusan secara terinci apa saja yang harus dikuasai oleh peserta didik sesudah mengikuti kegiatan pengajaran sesuai dengan pokok bahasan yang bersangkutan.
PENDIDIKAN AGAMA DALAM ALKITAB
Alkitab sangat jelas berbicara tentang pendidikan karena pendidikan merupakan hal penting. Dalam banyak perintahNya ia telah mengajarkan umatNya untuk mendidik anak-anak mereka sesuai dengan hukum-hukum yang telah Ia berikan. Segala hukum-hukumNya tercatat dengan jelas dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Persekutuan Antar Sekolah Teologia Injili Indonesia (PASTI) dalam Anggaran Dasarnya mengemukakan: “Kami percaya bahwa Alkitab adalah satu-satunya Firman yang diilhamkan Allah, yang ditulis oleh orang-orang yang dipilih Allah di bawah penguasaan dan pimpinan Roh Kudus tanpa salah dalam segala penyataan dan merupakan otoritas tertinggi dalam iman, tingkah laku dan sejarah”. Istilah penyataan (revelation) yang dimaksud di sini adalah tindakan Allah untuk mengkomunikasikan diri-Nya kepada manusia melalui Alkitab.Dalam bagian ini, penulis akan menyoroti pendidikan dalam pandangan alkitabiah.Penulis setuju dengan pendapat E.G Homrighausen yang menyatakan “pada hakikatnya kitab-kitab yang termuat dalam Kitab Suci, dikarang dengan maksud untuk mengajar dan mendidik para pembaca yang beriman”.
Pendidikan Agama dalam Perjanjian Lama
Pendidikan Agama dalam Perjanjian Lama dimulai dari perpindahan Abraham dari daerah sekitar sungai Efrat dan Tigris menuju Kanaan. Allah berjanji kepada Abraham bahwa keturunannya akan menjadi bangsa yang besar, “Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat. Aku memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat” (Kejadian 12:2-3).Umat Yahudi pada umumnya dan setiap keluarga pada khususnya ditugaskan untuk menyampaikan kekayaan iman bangsa pilihan Allah ini kepada generasi baru.
Dan keluarga merupakan pusat pendidikan agama, terutama bagi para kelapa rumah tangga yang bertanggung jawab dalam pendidikan agama kepada keluarganya yang ia pimpin, dengan tujuan anak-anak mereka akan mengalami pengenalan dasar terhadap Tuhan yang mereka sembah. “dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu Esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang Kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumah, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada lenganmu dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu” (Ulangan 6:4-9).
Pengajaran agama dalam Perjanjian Lama berpusat pada hukum Allah dan Kurban melalui sistem imamat.Allah telah memberikan Sepuluh Hukum kepada umat Israel (Keluaran 20:1-17) dan perintah untuk mengasihiNya (Ulangan 6:4-9), selain itu Ia juga memberikan peraturan-peraturan yang mengatur tata ibadah dan hubungan sosial. Sesungguhnya Perjanjian Lama mengajar umat Allah untuk bersandar pada takhta anugerah Allah melalui sistem korban. Melalui hukum-hukum yang diberikan Allah, umat Allah disadarkan bahwa mereka adalah orang berdosa yang memerlukan anugerah dan pengampunan dari Allah. Jelaslah bahwa pengajaran agama dalam Perjanjian Lama sebenarnya menyiapkan umat Israel untuk menyambut kedatangan sang Mesias.
Allah sendiri bertindak sebagai pemrakarsa dan pengajar utama pendidikan agama dalam Perjanjian Lama, “ketika Israel masih muda, Kukasihidia, dan dari Mesir Kupanggil AnakKu itu … Akulah yang mengajar Efraim berjalan dan mengangkat mereka di tangan-Ku, tetapi mereka tidak mau insaf, bahwa Aku menyembuhkan mereka. Aku menarik mereka dengan tali kesetiaan, dengan ikatan kasih. Bagi mereka Aku seperti orang yang mengangkat kuk dari tulang rahang mereka; Aku membungkuk kepada mereka untuk memberi mereka makan” (Hosea 11:1,3,4).Dalam mengajar umatNya, Allah sering menggunakan empat golongan pemimpin orang Israel, yaitu para imam (Bilangan 3), para nabi (Yunus, Mikha, dan sebagainya), kaum bijaksana (Amsal 1-2, 6:1), dan kaum penyair (Mazmur).Disamping empat golongan tersebut, pengajaran dalam keluarga dijalankan kepala keluarga, yaitu orang tua kepada anak-anak.
Metode Penyampaian Pendidikan Agama dalam Perjanjian Lama
Kepala keluarga bertanggung jawab mengajar pendidikan agama kepada keluarganya.Metode pengajaran yang digunakan adalah menghafal (Ulangan 6:4-9, Amsal 22:6, Mazmur 119:11, 105), bercerita kepada kaum muda tentang peristiwa-peristiwa bermakna, “supaya ini menjadi tanda di tengah-tengah kamu. Jika anak-anakmu bertanya dikemudian hari: Apakah batu-batu ini bagi kamu? Maka haruslah kamu katakan kepada mereka: Bahwa air sungai Yordan terputus di depan tabut perjanjian Tuhan; ketika tabut itu menyeberangi sungai Yordan, air sugai Yordan telah terputus. Sebab itu batu-batu ini menjadi tanda peringatan bagi orang Israel untuk selama-lamanya” (Yosua 4:6-7; lihat Keluaran 12:24-27).
Ini merupakan tingkatan pendidikan dalam sekolah-sekolah formal Yahudi yang selalu menggunakan metode hafalan.Anak laki-laki pada umur 6 tahun sudah mempelajari huruf-huruf Ibrani. Pada umur 10 tahun mereka sudah mampu membaca Perjanjian Lama dalam bahasa Ibrani, setelah itu mereka melanjutkan sekolah Beth Talmud untuk mempelajari Taurat lisan yang terdiri dari Misyna, Talmud, dan Haggadah. Mereka yang telah lulus dari Beth Talmud, nantinya akan menjadi guru-guru di sekolah-sekolah Yahudi tingkat dasar.
Pendidikan Agama dalam Perjanjian Baru
Pendidikan agama dalam Perjanjian Baru tidak terlepas dari pendidikan agama dalam Perjanjian Lama. Tema pokok pengajaran agama dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah karya penyelamatan manusia oleh Allah. Jika dalam Perjanjian Lama karya tersebut dinyatakan dalam pengajaran tentang Hukum-hukum Allah dan Kurban sedangkan dalam Perjanjian Baru dinyatakan dalam pribadi Kristus, Tuhan dan Juruselamat. Jadi dengan demikian pendidikan agama dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru memiliki pusat pengajaran pada satu pribadi yaitu Kristus.
Pendidikan agama dalam Perjanjian Baru telah mengalami perubahan besar dengan munculnya pengajaran Kristus. Guru agama Yahudi yang bernama Nikodemus ketika dating kepada Yesus membuka pembicaraan dengan berkata “kami tahu, bahwa Engkau dating sebagai Guru yang diutus Allah, sebab tidak ada seorang pun yang dapat mengadakan tanda-tanda yang Engkau adakan itu, jika Allah tidak menyertainya” (Yohanes 3:2).
Tuhan Yesus layak dikatakan sebagai Guru Agung karena pengajaranNya yang disertai dengan kuasa mukjizat. Dan lebih dari itu, Ia mengajarkan moral (Matius 5-7) dan hubungan antar sasama yang menekankan kasih (Matius 22:37-40), serta inti pengajaranNya yang berpusat pada diriNya sendiri, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang dating kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yohanes 14:6).Metode-metode pengajaran yang dilakukan Yesus adalah memberi teladan dalam pengajaranNya untuk membangun kontak dengan para pendengar terutama muridNya. Ada pun metode-metode tersebut antara lain: menggunakan mata (Matius 4:18, bdg. Yohanes 1:38), mengundang pembicaraan (Yohanes 4:7-10), menanyakan pertanyaan (Matius 16:13), mengundang persahabatan (Markus 1:17), dan memanggil namanya (Yohanes 1:42)
Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen.
Yesus sebagai seorang guru
Ada enam bukti yang menunjukkan bahwa Yesus adalah seorang guru.]pertama, sebutan yang paling banyak digunakan untuk Yesus dalam keempat Injil adalah Didaskalos, yaitu Guru, selain itu juga Ia disebut 12 kali disebut Rabbi dan 2 kali Rabboni yang juga berarti guru. Kedua, Yesus sendiri menyebut diriNya guru (Matius 23:8; Markus 14:14; Lukas 22:11; Yohanes 13:13-14). Ketiga, terlihat jelas bagaimana kegiatan Yesus lebih sering digambarkan dengan kata kerja “mengajar” daripada dengan kata kerja “memberitakan atau “berkhotbah”.
Kata kerja didasko (mengajar) dalam berbagai bentuknya telah dipakai 9 kali dalam Matius, 15 kali dalam Markus dan Lukas, dan 8 kali dalam Yohanes. Keempat, Yesus sangat mementingkan pekerjaan mengajar (contoh: dalam Markus 9 dicatat bahwa Yesus tidak mau diganggu ketika Ia sedang mengajar). Kelima, Yesus tidak hanya disebut rabi (guru) oleh para murid-muridNya tetapi juga disebut rabi (guru) oleh para musuhNya (Markus 12:13-14). Yesus disapa sebagai seorang rabi (guru) oleh karena Ia telah dididik dalam sekolah yang mempersiapkan menjadi rabi (guru). Keenam, di rumah ibadat Nazaret Ia dihormati sebagai seorang rabi (Lukas 4:16-21).
Sebagai seorang guru, Yesus mengajar berdasarkan otoritas, wibawa maupun kuasa. Dalam pelayananNya Yesus sudah mendemonstrasikan bagaimana selayaknya seorang guru harus mengajar, melatih atau membina orang lain. Yesus menunjukkan kemampuanyang tinggi di dalam pelayanan.Ia tampak memiliki visi yang luas akan keselamatan dunia (bdg. Markus 10:45), serta pengetahuan yang luas mengenai manusia (bdg. Yohanes 2:24, 25). Disamping itu, penulis sangat setuju dengan pandangan B.S. Sidjabat yang menyatakan kehidupanNya sesuai dengan yang Ia ajarkan.Haruslah diakui bahwa pengajaran yang sesungguhnya bukanlah hanya sekedar teori tetapi teladan hidup, penulis menilai bahwa kondisi inilah yang membedakan antara pengajar dalam Kristus dengan pengajar umum.Tujuan para pendidikan Kristen adalah memperkenalkan Kristus ke dalam kehidupan setiap orang-orang percaya, oleh sebab itu juga haruslah kehidupan para pendidik menjadi contoh dan teladan.
Gaya mengajar Yesus
Yesus sebagai seorang guru memiliki berbagai gaya mengajar yang mampu menarik perhatian khalayak ramai (Markus 1:22; 12:37), ada pun beberapa gaya mengajar yang Yesus lakukan antara lain: pertama, ceramah dan bimbingan yaitu Yesus berusaha menyampaikan pengetahuan kepada murid-muridNya. Selain Yesus mengajar, Ia juga melakukan pembimbingan (contoh: dalam Matius 10, keduabelas murid telah menerima petunjuk-petunjuk dari Yesus untuk mengusir roh-roh jahat dan memberitakan bahwa Kerajaan Sorga sudah dekat. Kedua, menghafalkan yakni setelah Yesus mengajar, Ia selalu mengikhtisarkan isinya dalam suatu ucapan yang gampang dihafal, misalnya “ … Anak manusia adalah Tuhan atas hari Sabat” (Matius 12:8), “bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit” (Matius 9:12).Ketiga, dialog dan perjumpaan.Keempat, perbuatan simbolis, dan lain sebagainya.
Isi Pengajaran Yesus
Isi ajaran Yesus adalah tentang Kerajaan Allah, diriNya sendiri, kematianNya, dan masa yang akan dating. Namun, tema utama pengajaranNya adalah Kerajaan Allah.Dalam Injil Markus istilah Kerajaan Allah terdapat 14 kali, sedangkan dalam Injil Lukas 32 kali.Kerajaan Sorga diutamakan oleh Matius oleh karena orang-orang Yahudi yang setia, Matius selalu berusaha menjauhkan diri dari penggunaan istilah yang dapat menyinggung perasaan orang-orang Yahudi untuk siapa Injilnya itu dimaksudkan.Dalam bahasa Aram yang dipakai oleh Yesus untuk Kerajaan Allah adalah malkuth, artinya pemerintahan (aktivitas) seorang raja.Jadi, dapat dikatakan bahwa Yesus berbicara tentang pemerintahan (aktivitas) Allah sebagai Raja dan bukan wilayah kekuasaanNya.
Menurut pengajaran Yesus terdapat enam sifat Kerajaan Allah.Pertama, Kerajaan Allah sudah ada. Menurut Yesus, Kerajaan Allah bukanlah sebuah suasana hati dan bukan pula pengharapan untuk hari depan, melainkan sebuah tindakan Allah yang sudah dimulai dan sudah terjadi sejak sekarang ini. Kedua, Kerajaan Allah harus disambut secara pribadi.Jadi, Kerajaan Allah mempunyai dimensi kekinian yang berlaku setiap saat bagi orang-orang yang hidup (Markus 10:15).Ketiga, Kerajaan Allah bersifat bertumbuh.Contohnya adalah perumpamaan tentang penabur (Markus 4:3-8), tentang benih (Markus 4:26-29), tentang biji sesawi (Markus 4:30-32), dan tentang ragi (Lukas 13:20-21). Keempat, kehidupan dalam kerajaan seperti yang diajarkan Yesus bukanlah kesempatan untuk bermalas-malasan, karena apabila tidak bertindak sebagai “kewarganegaraan” yang bertanggung jawab maka “kewarganegaraan” mereka dapat dicabut dan diberikan kepada orang lain (Matius 21:43). Kelima, Kerajaan Allah bersifat masa yang akan datang. Keenam, Allah yang membuat dan mendatangkan Kerajaan Allah bukan, manusia karena Kerajaan Allah bukanlah hasil dari prestasi iman melainkan pemberian anugerah dari Bapa sorgawi.


PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DI INDONESIASEJAK TAHUN 1955
Sejarah Pendidikan Agama Kristen di Indonesia
Pendidikan Agama Kristen mulai berkembang sejak kehadiran Prof. Dr. Elmer G. Homrighausen ke Indonesia pada tahun 1955.Inilah awal sejarah dimana periode pendidikan agama Kristen modern ditanggalkan. Yang pertama, Konferensi Studi Pendidikan Agama Kristen di Sukabumi pada tahun 1955, kedua, akan ditelusuri tempat dampak utama dari ceramah Homrighausen atas teori dan praktek Pendidikan Agama Kristen di Indonesia. Ketiga, usaha meredakan ketegangan kreatif antara pendidikan agama Kristen dan pembinaan warga jemaat, dan refleksi terhadap teori dan praktek Pendidikan Agama Kristen di Indonesia pada masa depan.
Konferensi Studi Pendidikan Agama Kristen Sukabumi tahun 1955
Latar Belakang Homrighausen
Homrighausen lahir pada tahun 1900 dan dibesarkan dalam keluarga Kristen Amerika yang berbahasa Jerman.Orangtuanya aktif dalam jemaat gereja Reformasi dan mengamalkan iman itu dalam urusan rumah tangga. Sesudah tamat dari perguruan tinggi dan sekolah teologi ia ditakhbiskan pendeta dalam Gereja Reformasi yang berasal dari Jerman. Sebelum terpanggil menjadi dosen dalam bidang Pendidikan Agama Kristen dan pastoral di Sekolah Tinggi Teologi Princeton, ia adalah pendeta jemaat Gereja Reformasi, kota Indianapolis. Semangat dalam mengajar ditunjukkan oleh semboyan yang hidup diantara kaum Mahasiswa bahwa Homrighausen dapat membaca daftar belanja, sehingga dapat menggugah hati para pendengarnya.
Konferensi Studi Pendidikan Agama Kristen
Panitia konferensi sangatlah bijaksana memilih Dr. Homrighausen, diundang untuk memperkenalkan ilmu dan praktek Pendidikan Agama Kristen kepada para pemimpin persekutuan Kristen di Indonesia. Pengertian Homrighausen sangatlah berbeda dengan para teolog atau pemikir pendidikan agama Kristen sebelumnya yang pernah diundang sebagai pembicara, ia dimasukkan ke dalam kelompok ahli teologi yang menolak baik teologi ortodoks yang kaku, maupun liberal. Sejak tahun 1939, Homrighausen menjadi pengkritik terhadap pendekatan yang berlaku dalam gerakan pendidikan agama, ia tidak ingin mengasingkan diri dari urusan duniawi. Ia berpandangan bahwa Allah tidak mengasingkan diri dari dunia, melainkan “karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yohanes 3:16).
Pendidikan agama yang hanya berporos pada manusia tidak mempunyai kebenaran penting yang hendaknya diajarkan kepada murid.Homrighausen yakin bahwa gereja dan orang-orang Kristen secara pribadi tidak dapat mengundurkan diri dari urusan duniawi.Jadi, para pekerja dibidang Pendidikan Agama Kristen wajib menjawab atau menyoroti masalah yang ditimbulkan dalam kehidupan masyarakat.
Dampak Kuliah Homrighausen atas Perkembangan Pendidikan Agama Kristen di Indonesia.
Salah satu dampak dari pemikiran Homrighausen adalah memperkuat langkah-langkah oikumenis yang sudah diprakarsai dalam pelayanan Pendidikan Agama Kristen.Membangun di atas pikiran Homrighausen, Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) memberlakukan pembentukan panitia Pendidikan Agama Kristen pada tahun 1958, yang kemudian orang mulai semakin sadar akan kontradiksi yang hidup dalam pangkuan DGI. Dalam perkembangan kemudian, perhatian pada pendidikan warga gereja, agar fungsional dalam tugas sehari-hari di tengah masyarakat mendorong gereja-gereja di Indonesia untuk mendirikan “Akademi Leimena”.Akademi ini, selain menjadi pusat pengkajian berbagai permasalahan tentang gereja dalam hubungannya dengan masyarakat (politis, ekonomis, sosial-budaya, hukum, pendidikan dan agama), lembaga ini juga menjadi wadah PAK.Metode pendidikannya lebih berpusat pada perluasan wawasan melalui teknik belajar ceramah, diskusi serta penelitian.Dengan demikian mereka setuju bahwa pelayanan pendidikan agama Kristen bukanlah tugas orang Kristen di luar struktur gereja, melainkan perlu dilaksanakan oleh gereja sebagai persekutuan yang terpanggil untuk bertindak oleh Tuhan.
Pelayanan Pendidikan Agama Kristen bagi Anak-anak
Salah satu saran lagi dari Konferensi PAK di Sukabumi pada tahun 1955, dan kebutuhan yang sangat mendesak bagi kurikulum Sekolah Minggu yang bertitik tolak dari keadaan Indonesia bertemu ketika Komisi Pendidikan Agama Kristen (KOMPAK) DGI. Oleh karena keyakinan bahwa pendidikan agama Kristen paling mendalam dialami dalam suatu persekutuan yang beribadah, hasil konferensi ini adalah “mengajak, membantu, menghantar seseorang untuk mengenal kasih Allah yang nyata dalam Yesus Kristus, sehingga dengan pimpinan Roh Kudus, ia datang kedalam suatu persekutuan hidup pribadi dengan Tuhan. Hal ini dinyatakan dalam kasihnya kepada Allah dan sesamanya manusia yang dihayatinya dalam kehidupan sehari-hari, baik dengan kata-kata maupun dengan perbuatan selaku anggota Tubuh Kristus.”
Melalui PGI (DGI) dan konferensi-konferensi, para pemimpin berusaha menyadarkan jemaat-jemaat akan pelayanan Sekolah Minggu sebagai bagian integral dari rencana asuhan Kristen gereja. Namun “… kenyataan menunjukkan bahwa gereja belum sepenuhnya memahami peranan dan tanggung jawabnya atas pendidikan agama Kristen bagi anak-anak”.
Pada akhirnya para pemimpin, bersepakat tentang pokok-pokok yang mencakup pelbagai tolak ukur yang hendaknya dipakai untuk mempertimbangkan mutu pengorganisasian pelayanan Sekolah Minggu pada tingkat sinode, klasis, resort dan jemaat. Pertama, hendaknya ada wadah yang menangani urusan Sekolah Minggu pada setiap tingkat dan yang mengembangkan saluran komunikasi timbal-balik.Kedua, gereja (jemaat) yang memanfaatkan Sekolah Minggu sebagai wadah utama untuk mendidik kaum muda, wajib memikul biayanya sama seperti ia membebani ongkos pelaksanaan kebaktian pagi setiap hari Minggu. Ketiga, jemaat hendaknya memupuk langkah-langkah yang cenderung memperkokoh hubungan antara orangtua dan anak-anak Sekolah Minggu.Keempat, pelayanan anak di Sekolah Minggu adalah “…bagian integral dari semua kegiatan yang ada di tingkat jemaat, resort, klasis dan sinodal”.Kelima, agar mulai mempertinggi kesadaran jemaat akan pentingnya para pekerja dalam pelayanan Sekolah Minggu, majelis hendaknya mengambil ketiga tindakan berikut: i).
keberadaan pelayan anak atau guru Sekolah Minggu di jemaat perlu diakui dan dihargai melalui pelantikan mereka dalam suatu ibadah Minggu di gereja; ii). Kepada mereka perlu diberikan sertifikat tanda resmi menjadi pelayan anak/guru Sekolah Minggu, sesudah mereka mengikuti penataran pelayan anak/guru Sekolah Minggu; iii). Pelayan anak/guru Sekolah Minggu yang telah menunaikan tugasnya dengan baik untuk jangka waktu tertentu diberikan Piagam Penghargaan oleh jemaat di tempat ia melayani.
Kurikulum Pendidikan Agama Kristen di Sekolah-sekolah
Sesuai dengan jati diri Republik Indonesia sebagai Negara pancasila, maka fokus agama sudah masuk ke dalam kurikulum wajib di sekolah-sekolah sejak dasarwarsa 50-an. Peraturan pelaksanaannya disempurnakan terus tanpa mengubah keharusan adanya nilai agama dalam rapor setiap anak didik yang duduk pada bangku Sekolah Dasar, sampai akhir SLTA. “pendidikan agama wajib diberikan walaupun dari suatu golongan agama hanya ada seorang pelajar” (Instruksi 1967). Para pemimpin dari setiap agama ditugaskan menyusun kurikulumnya, tetap pemerintah yakni Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Departemen Agama yang akan menyetujuinya serta menentukan persyaratan untuk melaksanakannya.
Untuk Sekolah Dasar, kurikulumnya berporos pada pengetahuan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, tetapi isi mata pelajaran tertentu disesuaikan dengan tahap perkembangan yang Nampak dalam anak dari golongan umur tertentu. Buku pelajaran disiapkan untuk setiap kelas, ibu Leatha Humes seorang ahli mengarang dari Amerika melayani di bawah pimpinan ibu Lieke Simanjuntak sebagai pengarang dan redaktur kurikulum agama SD yang dikeluarkan oleh DGI. Membangun atas pengetahuan Alkitab yang diperoleh melalui studi di SD, kurikulum agama bagi anak remaja dipusatkan pada ruang lingkup tematis, yakni “manusia”, “masyarakat”, dan “iman”. Sedangkan untuk kurikulum di Perguruan Tinggi isinya bersifat bebas, karena setiap dosen yang menetapkan sendiri isi kuliahnya dank arena itu ada kecenderungan untuk membawakan pokok-pokok teologis seperti yang diikuti pendeta sendiri tatkala ia mengukuti kuliah di Sekolah Tinggi Teologi.
Hakikat Pendidikan Agama Kristen di Indonesia
Pendidikan
Istilah pendidikan merupakan terjemahan dari kata “education” yang berasal dari kata bahasa Latin, kata “ducere” yang berarti membimbing (to lead), ditambah awalan “e” yang berarti keluar (out). Jadi arti dasar dari pendidikan adalah suatu tindakan untuk membimbing keluar.Seorang tokoh pendidikan bernama, A.N Whitehead mendefinisikan pendidikan sebagai bimbingan kepada individu menuju pemahaman dari seni kehidupan.Seni kehidupan diartikan sebagai pencapaian yang paling lengkap dari berbagai aktivitas yang menyatakan potensi-potensi dari makhluk hidup berhadapan dengan lingkungan yang aktual.
Agama (wi)
Jika benar bahwa pendidikan secara mutlak adalah usaha mencapai suatu ekspresi dari keinginan manusia, maka semua pendidikan yang baik dapat bersifat religius.Ada hal yang khas dalam pendidikan agama, yang memberinya fungsi yang khusus dalam hubungannya dengan pendidikan secara umum.Harus diakui bahwa berbagai definisi tentang agama disebabkan oleh dua hal. Pertama, adanya tradisi agama yang bermacam-macam. Kedua, adanya disiplin akademik yang bermacam-macam yang berusaha memahami fenomena agama tersebut.Sebagai contoh, ahli-ahli antropologi, sosiologi, psikologi dan ilmu lainnya.Groome mencoba mendefinisikan agama sebagai “pencarian manusia terhadap yang transenden dimana hubungan seseorang dengan suatu dasar dengan keberadaan yang mutlak dibawa ke dalam kesadaran dengan itu diberi ekspresi (perwujudan)”.
Unsur yang lain yang terdapat dalam definisi itu adalah “pencarian manusia”. Manusia pada dasarnya selalu mencari yang transenden (yang supranatural), secara teologis maka hal ini disebut “kesadaran religius” yakni kesadaran akan adanya sesuatu yang dianggap supranatural. Hal ini disebabkan karena manusia pada hakikatnya diciptakan Allah menurut gambarNya. Dengan kata sifat agamawi, maka ia menunjuk kepada kekhususannya, dan dengan kata benda “pendidikan” ia menunjuk kepada kebersamaannya dengan semua pendidikan.
Tujuan Pendidikan Agama Kristen di Indonesia
Tujuan dari suatu usaha untuk memajukan sesuatu sangatlah penting termasuk tujuan pendidikan agama Kristen, sebab tanpanya sulit bagi setiap pelaksana PAK untuk mengarahkan dan memberikan penilaian apakah usaha tersebut mencapai sasarannya atau tidak. Seorang ahli pendidikan bernama Werner C. Graendorf dalam bukunya yang berjudul Introduction to Biblical Christian Education mengatakan bahwa tujuan PAK antara lain adalah “untuk membimbing individu-individu pada semua tingkat perkembangannya, dengan cara pendidikan kontemporer menuju pengenalan serta pengalaman akan tujuan serta rencana Allah dalam Kristus melalui setiap aspek kehidupan, dan juga untuk memperlengkapi mereka demi pelayanan yang efektif”


Tuesday 27 August 2019

Dosen Pembimbing

DosenBahasa.com
Paragraf Deduktif, Induktif dan Campuran – Pengertian beserta Contohnya

Sunday 25 August 2019

RINGKASAN BUKU SEJARAH PERKEMBANGAN PRAKTEK DAN PIKIRAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DARI PLATO SAMPAI IGNATIUS LOYOLA (ROBERT R. BOEHLKE, P.h.D )


RINGKASAN BUKU SEJARAH PERKEMBANGAN PRAKTEK DAN PIKIRAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DARI PLATO SAMPAI IGNATIUS LOYOLA (ROBERT R. BOEHLKE, P.h.D )
Description: Gambar terkait




Dosen Pengampu : Dr. Eko Basuki

Description: Hasil gambar untuk RINGKASAN BUKU SEJARAH PERKEMBANGAN PIKIRAN dan praktek PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DARI dari yohanes amos comenius  (ROBERT R. BOEHLKE, P.h.D )








BAB  1
DASAR PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN  MASA KUNO
A.   Pendidikan Yunani- Romawi
1.      Plato ( kira-kira 428 -348 s.M )
·      Pemenu Pendidikan Agama Kristen bukanlah GEREJA PURBA
·      Orang- orang Kristen pertama dibesarkan dalam negeri yang telah dipengaruhi  Kebudayaan Yunani kurang lebih 200 tahun lamanya.
·      Ada 3 macam arus mengalir menjadi sungai Iman Kristen, yaitu

1). Yahudi yang membawa dasar agamawi
2). Yunani yang membawa bahasanya
3). Romawi yang menentukan struktur ketertiban umum dan hak sipil
1.1    Plato berasal dari keluarga Bangsawan, sisilah nenek moyangnya terdapat nama raja-raja Atena dan seorang Anggota DPR yang bernama Solon.
1.2    Guru Plato adalah bernama Sokrates.
Sistim atau gaya mengajar Sokrates kepada murid melalui tiga tingkat fikiran ,yaitu :
1). Yakin yang tiada berdasar
2). Bimbang dan ragu-ragu tentang pendapatnya semula, dan ingin hendak mengetahui yang sebenarnya.
3). Yakin yang berdasarkan kepada penyelidikan dan cara berpikir yang betul.
Tragis, Sokrates dijatuhi hukuman mati ( ia minum racun dalam mangkok dikelilingi murid-muridnya ), Sokrates dituduh oleh musuh-musuhnya merusak akhlak para pemuda dengan pendekatan belajarnya.
1.3     Plato kemudian mendirikan sekolah yang dinamakan “ Akademi “,pikiran matang Plato tentang PENDIDIKAN dimuat dalam bukunya yang berjudul “Republik “   (bukunya melukiskan bentuk suatu Negara yang sesempurna mungkin) .
1.4    Pendidikan menurut Plato, perlu untuk :
v Membimbing orang-orang meninggalkan  semua bayang-bayang yang tidak berakar dalam kenyataan , agar melihat serta menganut Kebenaran
v Dalam Proses pendidikan, menurut Plato kita dibimbing  “ mengingat” inti abadi dari benda-benda dalam dunia ini.
v Pria dan wanita berhak menerima pendidikan.
v Yang termasuk  dalam subyek Pendidikan adalah anak-anak dan muda-mudi dari kaum atasan.


Misi Kristus Sedunia

PELAJARAN SEKOLAH MINGGU

  TANGGAL   PELAJARAN SEKOLAH MINGGU KATEGORI Babak pertama        ...