Konsep Yesus Kristus dalam Membangun Gereja-Nya

Kebanyakan dari kita berpikir bahwa Yesus pada awal pelayanan-Nya di bumi menetapkan 12 orang sebagai murid-Nya sekaligus sebagai unit dasar jemaat mula-mula, yang kemudian secara konsep kita kenal sebagai komunitas sel. Pemikiran ini ternyata tidak sepenuhnya tepat. Jika kita meneliti kronologi kehidupan dan pelayanan Yesus di dunia, khususnya dalam hal urutan waktu pemanggilan murid-murid-Nya, rupanya Yesus memulai proses pemuridan bukan dengan komunitas berisi 12 orang sekaligus, melainkan dengan dua orang sahabat yang merupakan murid Yohanes Pembaptis.

 


Sebelum Yohanes Pembaptis dipenjara dan akhirnya dibunuh oleh Raja Herodes, Yesus memanggil beberapa orang murid Yohanes Pembaptis untuk menjadi murid-Nya. Hampir pasti, enam orang telah dipanggil oleh Yesus sebagai murid mula-mula. Perkiraan kuat angka ini muncul dari empat nama yang jelas tercatat dalam Injil Yohanes pasal 1 ditambah Yohanes sendiri ditambah nama Yakobus (saudara Yohanes) yang tercatat dalam Matius 4:21-22 sebagai bagian dari kelompok murid mula-mula. Dari keenam murid yang mula-mula itu, dua orang merupakan yang pertama kali dipanggil oleh Yesus.

Pada keesokan harinya Yohanes berdiri di situ pula dengan dua orang muridnya. Dan ketika ia melihat Yesus lewat, ia berkata: Lihatlah Anak Domba Allah! Kedua murid itu mendengar apa yang dikatakannya itu, lalu mereka pergi mengikut Yesus,” (Yoh. 1:35-37, TB).

Siapakah dua orang murid Yohanes Pembaptis yang pertama kali dipanggil menjadi murid Yesus ini? Ayat 40 menyebutkan bahwa salah satunya ialah Andreas, sedangkan yang lain namanya tidak dituliskan secara eksplisit. Jika kita menganalisis gaya penulisan Yohanes, orang kedua dalam dua sahabat yang dipanggil itu ialah dirinya sendiri. Dapat kita perkirakan dengan sangat kuat bahwa kedua orang inilah dua sahabat sesama murid Yohanes Pembaptis yang Yesus panggil pertama kali menjadi murid-Nya: Yohanes dan Andreas.

 

Persahabatan, Sistem Pemuridan Rabi-Rabi Yahudi

Yohanes Pembaptis mempunyai murid-murid yang memanggilnya dengan sebutan “rabi”, yang berarti dia merupakan seorang rabi Yahudi (Yoh. 3:26). Rabi Yahudi selalu memuridkan pengikut-pengikutnya dalam kelompok pemuridan yang disebut chavruta atau havruta. Menurut sumber-sumber Talmud Babilonia (Berakhot 63b), havruta (secara harfiah berarti “pertemanan” atau “persahabatan”, dan pada waktu itu juga disebut haburah) adalah suatu sistem pemuridan para rabi Yahudi yang sudah mulai diterapkan sejak zaman pembuangan bangsa Yahudi di Babel kemudian populer pada zaman Yesus (tahun 20 M), serta masih diterapkan sampai sekarang. Pada zaman pembuangan di Babel, orang-orang Yahudi dianiaya dan karenanya cenderung melakukan proses belajar dalam kelompok kecil saja (idealnya dua orang saja, tetapi bisa juga lebih dari dua asalkan tetap merupakan kelompok kecil). Contohnya, kita dapat melihat bahwa Daniel mempraktikkan havruta bersama ketiga temannya: Sadrach, Mesakh, dan Abednego. Dalam komunitas kecil inilah Daniel dan kawan-kawannya sanggup bertahan hidup menghadapi berbagai tantangan berat di Babilonia. Mereka tidak kompromi dalam iman mereka dan tidak bersedia tunduk kepada perintah untuk menyembah berhala, karena mereka saling didukung secara rohani oleh teman-teman yang sangat luar biasa. Salah satu contoh lain ialah ketika Daniel diminta untuk menafsirkan mimpi; pertama-tama dia mencari teman-temannya dan meminta dukungan doa dari teman-teman havruta-nya (Dan. 2:17-18), lalu barulah dia menafsirkan mimpi raja sehingga menjadi berkat besar bagi bangsa Babilonia. Pada proses selanjutnya, melalui kehidupan bersama dalam havruta itu, Daniel menjadi semakin dihormati dan dibutuhkan perannya dalam pemerintahan Babilonia.

 

Sayangnya, kebanyakan sistem pemuridan yang diterapkan gereja masa kini tidak berdasarkan sistem pemuridan Yesus Kristus. Rupanya banyak di antara kita para pemimpin dan pekerja gereja belum mengerti latar belakang, konsep, dan konteks pemuridan pada zaman Yesus ini. Rabi-rabi Yahudi selalu memuridkan dengan sistem kelompok kecil dua-tiga orang yang disebut chavruta atau havrutaChavruta atau havruta dalam bahasa Aram berasal dari kata haver, yang berarti “teman”. Havruta berarti “pertemanan”, “persahabatan”, atau “persekutuan”. Kekuatan dari hubungan pertemanan ini menjadikan pembelajaran efektif dan produktif.

 

Havruta adalah metode belajar yang digunakan oleh orang-orang Israel untuk mempelajari Torah, Talmud, atau teks-teks bacaan Yahudi lainnya. Cara belajarnya tidak pernah dilakukan seorang diri, melainkan selalu dilakukan di dalam bentuk pasangan murid. Kata havruta sendiri berarti “fellowship” atau “companionship” dalam bahasa Inggris, atau secara sederhana “persahabatan” dalam bahasa Indonesia. Dalam havruta, bukan hanya pembelajaran akademik saja yang diperhatikan, tetapi juga pembelajaran dalam hubungan pertemanan itu. Biasanya hasil dari havruta diukur dari bagaimana cara pasangan murid mempraktikkan pemahamannya di dalam kehidupan nyata. Materi teori yang dipelajari menjadi praktik nyata, sehingga pemahaman dan perubahannya menjadi sangat mendalam. Inilah yang dikemukakan dalam analisis Patricia Carini (1979), bahwa lewat havruta ada proses “meaning-making” (pembentukan makna/arti), yang terjadi dalam konteks hubungan saling antarmanusia. Apa yang dipelajari oleh dua-tiga orang dalam havruta masing-masing membentuk suatu makna/arti yang utuh dalam hubungan mereka yang saling belajar-mengajar, yang membuat mereka benar-benar “melihat” makna/arti dari pembelajaran itu (sumber: www.vousinstitute.com).

 

 

Havruta, Sistem Pemuridan yang Terbukti Efektif sampai Sekarang

Havruta adalah sistem belajar-mengajar (pemuridan) yang sangat efektif. Konsep belajar-mengajar dalam Alkitab berbeda dengan konsep belajar-mengajar dalam budaya barat pada umumnya. Konsep budaya barat lebih banyak berfokus pada proses mengajar dari guru ke murid secara satu arah (biasanya dalam konteks/sistem kelas). Murid cenderung belajar (memaknai dan memahami pelajaran) secara independen, sehingga hasilnya cenderung berupa pengetahuan otak saja. Konsep havruta dalam Alkitab lebih berfokus pada proses “saling mengajar” dalam memaknai dan memahami pelajaran, sehingga terjadi proses “saling menajamkan” seperti besi yang saling menajamkan (Ams. 27:17). Hal ini juga tercatat dalam kitab Talmud, bahwa orang Yahudi pada zaman pembuangan mempunyai prinsip untuk tidak belajar sendiri tetapi selalu belajar dalam kelompok saling mengajar. Salah satu perkataan bijak orang Yahudi pada zaman dulu ialah, “Seorang pelajar yang duduk sendiri untuk belajar Torah sendiri, akan menjadi bodoh,” (Berakhot 63b). Bahkan, begitu pentingnya havruta bagi murid-murid Yeshiva (sekolah rabi), sehingga mereka memiliki perkataan bijak yang lebih tegas lagi, “O havruta, o mituta,” yang artinya “berikan aku persahabatan, atau jika tidak, berikan aku kematian saja”. Bagi mereka, lebih baik mati daripada tidak mendapatkan persahabatan yang sejati yang saling mengajar dan menajamkan.

 

Pada masa kini, kita lebih banyak mempraktikkan konsep budaya barat dalam sistem pemuridan yang ada. Di dalamnya, cara belajar murid cenderung bersifat satu arah dan independen. Pemuridan yang diterapkan oleh gereja masa sekarang biasanya berbentuk kegiatan/program mempelajari materi-materi tertentu, dengan sistem pengajaran dari seorang guru di kelas dan/atau murid belajar secara pribadi. Sering pula kita temukan bahwa para murid tergabung dalam kelompok-kelompok kecil, tetapi kelompok kecil ini masih bergantung pada proses pengajaran dari seorang “pemurid/mentor”. Sistem ini pada dasarnya sama seperti sistem satu arah yang independen ala budaya barat, yang tidak memfasilitasi proses saling mengajar dan menajamkan di antara murid-murid itu.

 

Beberapa waktu lalu, saya menjelaskan konsep dan prinsip pemuridan havruta ini dalam sebuah pertemuan di Brasilia. Seorang dokter spesialis yang hadir saat itu mendatangi saya dan menceritakan penelitian yang sedang dilakukannya bersama tim tentang potensi otak manusia dalam kaitannya dengan sistem pendidikan. Dokter spesialis itu menunjukkan temuannya, bahwa sistem pendidikan terbaik ternyata ialah sistem “saling mengajar”, seperti konsep havruta yang baru saja saya jelaskan. Menurut penelitiannya, saat beberapa orang saling mengajar, otak mereka saling berhubungan dalam gelombang komunikasi yang kemudian menyebabkan semua bagian otak dan area kecerdasan otak bekerja aktif dan maksimal. Hasilnya, apa yang dipelajari membuahkan perubahan cara berpikir dan perubahan cara hidup. Itulah sebabnya saling belajar merupakan sistem yang amat sangat efektif. Mendengar tentang temuan penelitian ini, saya semakin diteguhkan tentang mengapa Yesus menggunakan sistem pemuridan havruta.

 

Havruta Yesus Kristus pada Masa Hidup-Nya di Bumi

Lalu, bagaimana kita dapat yakin bahwa Yesus memang memuridkan dengan sistem havruta? Mari kita lihat bukti-buktinya; baik secara eksplisit maupun implisit jelas sekali terbukti bahwa Yesus menggunakan pola pemuridan havruta selama masa hidup dan pelayanan-Nya di bumi.

  • Yesus sebagai seorang rabi Yahudi memulai kelompok pemuridan-Nya yang pertama dari havruta yang sudah ada, yaitu kelompok havruta murid-murid Yohanes Pembaptis (Yoh. 1:35-39).
  • Dalam kitab-kitab Injil, penyebutan nama rasul-rasul adalah dengan mengelompokkan mereka ke dalam kelompok dua-tiga orang, yang masing-masingnya dihubungkan dengan kata “kai” dalam bahasa Yunani (dalam bahasa Indonesia, “dan”). Kata kai merupakan kata sambung yang menghubungkan dua atau lebih hal yang adalah suatu kesatuan (bukan sekadar dua atau lebih hal yang merupakan bagian dari daftar/deretan hal). Jelaslah, penulis kitab-kitab Injil menyatakan bahwa ke-12 murid terdiri dari beberapa “unit” havruta yang merupakan suatu kesatuan (baca juga: Mat. 10:2-4; Luk. 6:14-16; Kis. 1:13).
  • Yesus mengutus ke-12 murid dan ke-72 murid berdua-dua untuk melakukan pekerjaan yang sama dengan yang Dia sendiri telah lakukan. Ini menunjukkan bahwa Yesus melatih para pemagang-Nya (murid-Nya) untuk melakukan apa yang Dia lakukan, yaitu menjadi penjala manusia, dalam havruta (berdua-dua) (Mrk. 6:7; Luk. 10:1-2).
  • Secara khusus, Yesus berulang kali disebut/ditunjukkan mempunyai hubungan dan kedekatan khusus dengan tiga murid-Nya: Petrus-Yohanes-Yakobus. Yohanes dan Yakobus disebut “teman” Petrus dalam bahasa Yunani (“koinonos”, yang bisa berarti “teman” atau “rekan”). Dalam konteksnya, penyebutan itu muncul sesudah murid-murid menjadi pengikut Yesus. Maka, istilah itu mengacu kepada makna “teman” dalam havruta, bukan sekadar rekan dalam aktivitas belajar atau bisnis (Luk. 5:8-11).
  • Yesus menyatakan kekuatan pelayanan dua-tiga orang saksi (havruta) untuk melepaskan orang yang terikat oleh dosa di dalam jemaat. Jika dua orang saja sepakat (havruta), mereka dapat menggunakan kunci Kerajaan Allah (kuasa untuk mengikat dan melepaskan) untuk melepaskan orang yang dilayani dari dosa yang mengikat dirinya. Yesus pun menjelaskan prinsip yang mendasari hal ini, yaitu bahwa jika dua-tiga orang (havruta) berkumpul dalam nama-Nya, Dia hadir di tengah-tengah mereka (Mat. 18:15-20).
  • Isi Amanat Agung ialah menjadikan segala bangsa murid Kristus, yaitu mengajar orang agar taat melakukan segala perintah Yesus. Karena Yesuslah yang memberikan amanat ini, tentu cara mengajarnya ialah dengan konsep dan sistem yang telah diterapkan sendiri oleh Yesus semasa pelayanan-Nya di bumi sebagai seorang rabi Yahudi: havruta (Mat. 28:19-20).
  • Pertumbuhan jumlah murid Yesus dari 12 murid (generasi pertama), menjadi 72 murid (generasi kedua), menjadi 500 lebih murid (generasi ketiga); menjadi 3.000 lebih murid (generasi keempat) menunjukkan pola pelipatgandaan havruta yang konsisten. Para murid itu diutus berdua-dua untuk masing-masing havruta menghasilkan sekitar enam havruta (12 orang murid) (Mat. 10:2-4; Luk. 10:1-2; 1 Kor. 15:6; Kis. 2:41).
  • Gereja mula-mula bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan cara mereka bertekun secara implisit ialah dengan mencontoh bagaimana ke-12 rasul belajar dari pengajaran Kristus, yaitu dengan sistem havruta (Kis. 2:42).
  • Rasul-rasul, terutama Petrus dan Yohanes, tercatat terus-menerus mempraktikkan pertemanan (havruta), sejak zaman sebelum kebangkitan Yesus Kristus sampai sesudah itu. Mereka tercatat masih terus melakukan pelayanan “menjala manusia” bersama-sama sebagai komunitas pertemanan (havruta) bahkan sesudah Yesus naik ke surga (Kis. 3-4).
  • Paulus sebagai murid Gamaliel pun mengerti prinsip havruta, sehingga dia selalu melakukan perjalanan misi dengan kelompok havruta-nya (2-3 orang). Paulus sering menyebut kelompok yang menjadi tim pelayanannya ini sebagai “teman sekerja”-nya (Roma 16:21; Fil. 4:3; dan banyak contoh lainnya).

 

Havruta Yesus Kristus pada Masa Sekarang

Para rabi Yahudi memuridkan dengan sistem havruta, tetapi mereka semua bukanlah rabi yang kekal. Mereka hanya menyertai murid-murid mereka selama beberapa tahun saja. Sebaliknya, Yesus berkata kepada murid-murid-Nya bahwa adalah lebih baik jika Dia pergi kepada Bapa, sebab setelah Yesus pergi kepada Bapa, Roh Kudus akan datang dan berdiam di dalam dan di antara murid-murid-Nya sampai selama-lamanya (Yoh. 14:12-23). Lalu, Yesus bahkan berjanji untuk hadir selalu dalam setiap kelompok pemuridan-Nya (havruta-Nya) (Mat. 18:19-20). Dia rabi yang mengajar kita dengan kekal dan memimpin kita untuk saling belajar serta saling menajamkan dalam havruta! Dalam havruta, bila kita berkumpul dalam nama Yesus, Dia selalu hadir untuk memuridkan kita melalui Tubuh-Nya. Inilah kebenaran dan janji yang pasti akan tergenapi!

—–

*Artikel ini merupakan bagian dari bab kedua buku terbaru karya penatua jemaat Abbalove Ministries, Eddy Leo, yang berjudul “HAVRUTA – Komunitas Pemuridan – Persahabatan Sejati”. Dalam buku ini dijelaskan dengan terperinci bagaimana pola pemuridan yang diterapkan Kristus pada zaman gereja mula-mula yang telah mengubah dunia itu dapat kita terapkan pula.