PENGAJARAN TUHAN YESUS
MENGENAI BERBAHAGIA DALAM MATIUS 5:3-12
Yohanes Enci Patandean
Sekolah Tinggi Teologi Simpson
Jl. Agung No. 66, Krajan, Kel. Susukan,Kec. Ungaran Timur, Kab. Semarang, Jawa Tengah
Email: agapemasyarakat@gmail.com
Asbtract: Yohanes Enci Patandean, Preaching the Lord Jesus to be blessed in Matthew 5: 3-12. This
article discusses the preaching of the Lord Jesus concerning of blessing in Matthew 5: 3-12 and analyzed
there are three points to be analyzed, that is the understanding of blessing, blessing objects / goals and the
reasons why should be blessed. The method that used is descriptive with a qualitative approach to the
biblical text, and word analysis methods. In the text of Matthew 5: 3-12, Jesus
teaches about blessed
which includes the standard of living of the blessed people and the reasons why believers should be
blessed. Jesus gives the preaching of blessing which includes the standard of living of a happy person is
poor before God; mourning; gentle; hunger and thirst for righteousness; generous; sacred heart; bring
peace; persecuted by righteousness; blemished and persecuted for Christ; and slandered all evil.
Keywords: Happy, Matthew, Jesus, Preaching
Abstrak: Yohanes Enci Patandean, Pengajaran Yesus Mengenai Berbahagia Dalam Matius 5:3-12.
Artikel ini membahas tentang pengajaran Tuhan Yesus mengenai berbahagia dalam Matius 5:3-12 dan
dianalisis ada tiga hal pokok yang menjadi analisis yaitu pengertian berbahagia, sasaran/objek berbahagia
serta alasan-alasan mengapa harus berbahagia. Metode yang digunakan adalah deskriptif dengan
pendekatan kualitatif pada teks Alkitab, dan metode analisis kata. Dalam teks Matius 5:3-12, Yesus
memberikan pengajaran mengenai berbahagia yang mencakup standar hidup orang-orang yang
berbahagia serta alasan-alasan mengapa orang-orang percaya harus berbahagia.Yesus memberikan
pengajaran mengenai berbahagia yang mencakup standar hidup orang-orang yang berbahagia dan standar
hidup orang yang berbahagia ialah miskin di hadapan Allah; berdukacita; lemah lembut; lapar dan haus
akan kebenaran; murah hatinya; suci hatinya; membawa damai; dianiaya oleh sebab kebenaran; dicela
dan dianiaya karena Kristus; difitnahkan segala yang jahat.
Kata kunci: Berbahagia, Matius, Yesus, Pengajaran
PENDAHULUAN
Kehidupan orang Kristen tidak pernah terlepas dari berbagai tantangan, baik dari dalam diri maupun dari keadaan di sekitarnya. Tantangan tersebut
merupakan kenyataan yang harus dihadapi dan dijalani, walaupun pada kenyataanya mengecewakan
dan menakutkan. Ladd (1994, p. 13) berkata bahwa
manusia hidup dalam masa yang indah tetapi menakutkan karena perkembangan teknologi seperti pesawat udara yang membelah angkasa melewati ribuan
mil dalam beberapa jam, tenaga listrik membuat sejumlah alat dapat bekerja sendiri menggantikan fungsi pembantu,dan itu sungguh suatu zaman yang
mengagumkan, tetapi kebahagiaan dan keamanan
menjadi lebih menipis karena menghadapi bahaya
yang tiada bandingnya. Dampak perkembangan tersebut adalah kesulitan-kesulitan seperti masalah pemisah antara orang-orang kaya dan miskin; masalah
ekonomi; masalah sandang dan papan, juga dialami
oleh orang Kristen yang menuntut adanya suatu jalan keluar, namun kenyataan yang muncul dalam masyarakat merupakan bukti bahwa masalah tersebut
belum teratasi.
Tantangan penganiayaan fisik dan mental
adalah suatu keadaan yang tidak menyenangkan
yang dapat menimpa orang Kristen. Penganiayaan
melalui tulisan yang memojokkan kekristenan dan
ejekan mengenai iman Kristen yang menimbulkan
tekanan mental, tetapi juga dilakukan secara nyata
seperti pembakaran gedung gereja, pemukulan dan
116 Volume 2, Nomor 2, Juli 2018
penyiksaan secara fisik. Mengikut Yesus bukan jaminan untuk tidak mengalami penderitaan. Tindakan
aniaya ini terjadi karena kebencian terhadap pengikut Kristus. Fernando (1989, pp. 495-496) mengatakan bahwa alasan untuk penderitaan ialah kebencian
kekuatan-kekuatan kegelapan terhadap dunia terang
yang mengakibatkan terjadinya penganiayaan (2
Tim. 3:12). Kemudian penganiayaan merupakan wujud ketidakpuasan dan ketidaksenangan orang lain
terhadap kekristenan yang dianggap sebagai penghambat atau wabah dari kelompok tertentu. Pengajaran Yesus mengenai konsep berbahagia dapat menimbulkan juga suatu tekanan etis/moral yang datang dari luar kehidupan orang Kristen. Tidak mungkin merasa bahagia pada saat berada dalam keadaan
miskin, saat menghadapi keputusasaan, saat teraniaya, bahkan tidak mungkin berbahagia pada saat dikucilkan oleh keluarga maupun masyarakat. Konsep
berbahagia pada umumnya menyangkut keadaan
atau situasi yang aman, tentram, damai, makmur, menyenangkan bukan sebaliknya. Logisnya, saat mengalami kemiskinan, fitnahan, celaan, aniaya ataupun
penderitaan dalam bentuk yang lain tidak mungkin
orang percaya dapat merasakan kebahagiaan. Dalam
keadaan demikian yang timbul adalah kesedihan,
dukacita, kuatir bukan merasa bahagia.
Selain itu timbul masalah dimana dalam kekristenan muncul pandangan kebahagiaan seperti teologi sukses yang mengajarkan bahwa Allah memberkati orang-orang percaya dengan kelimpahan materi.
Teologi sukses mengharuskan setiap orang Kristen
menyatakan kehidupannya dengan kekayaan dan kelimpahan materi sebagai tanda bahwa mereka diberkati. Penganutnya berpendapat bahwa jika orang percaya belum memiliki berkat materi yang berkeliumpahan, itu berarti orang tersebut belum dipulihkan
hubungannya dengan Allah. Jadi jika orang Kristen
yang tidak memiliki berkat materi secara berkelimpahan berarti mereka tidak deberkati dan kalau mereka tidak diberkati, tidak mungkin dapat mengalami
kebahagiaan dalam hidup mereka. Yang mereka alami adalah kesedihan, dan kegelisaan. Kemiskinan
yang dialami seseorang terjadi karena memiliki konsep yang salah dan itu harus diubah dengan konsep
yang baru dengan mengizinkan Yesus membuat segala sesuatu baru, dengan demikian seseorang dapat
mengalami berkat yang berkelimpahan. Hal inilah
yang dapat membahagiakan seseorang kalau memiliki materi yang berkelimpahan. Kemudian muncul
pula pandangan teologi hidup sederhana yang sangat
bertolak belakang dengan pandangan teologi sukses.
Teologi hidup sederhana berpendapat bahwa kehidupan yang akan diberkati Tuhan ialah hidup dalam kemiskinan, menderita, dan mengajarkan bahwa orang
yang berbahagia serta diberkati adalah orang-orang
yang miskin dan berkekurangan. Nababan (1988, p.
11) menjelaskan
Di kalangan Kristen terutama di kalangan mereka yang tidak mempunyai apa-apa kecuali suatu
warisan kesalehan, pengajaran Pietisme, yang
mengajarkan bahwa miskin adalah lebih baik
dari pada kaya dalam hidup orang-orang beragama.
Hal ini membuktikan bahwa dalam kekristenan pun
muncul ajaran-ajaran yang berbeda mengenai kehidupan yang berbahagia.
Dengan latar belakang di atas maka dilakukan kajian terhadap pengajaran Yesus mengenai berbahagia dalam Matius 5:3-12. Injil Matius ditulis oleh
Matius, anak Alfeus, seorang pemungut cukai yang
dipanggil Yesus menjadi murid-Nya (Mat. 9:9).
Tulluan (1999, p. 34) menegaskan jika Matius tepat
untuk menulis buku tentang pengajaran dan perbuatan Yesus. Sebagai pemungut cukai, Matius pandai
berbahasa Ibrani dan Yunani, pandai berhitung, suka
mencatat dan teliti sampai bagian yang terkecil sekalipun. Dengan menyimak pada suatu catatan dari Papias, bapak gereja abad kedua berbunyi: “Matius
menulis (mengumpulkan) pidato (laporan) dalam bahasa Ibrani dan masing-masing orang menafsirkannya menurut kemampuannya.” (Kingsbury, 2000, p.
210). Injil Matius ditujukan kepada orang-orang Yahudi yang percaya, hal itu tampak dari penulisanpenulisan yang mengacu pada Perjanjian Lama dan
istilah-istilah Yahudi yang digunakan. Injil Matius
sering disebut ‘Injil Kerajaan’ karena Injil ini berbicara banyak tentang Kerajaan Allah. Orang-orang
Jefrie Walean, Katekita Dalam Sejarah Pemikiran Pedagogis Kristen 117
Yahudi selalu memegang janji Allah bahwa Allah
akan memberikan seorang Mesias bagi mereka. Itu
adalah pengharapan besar yang perwujudannya dipohonkan oleh orang Yahudi saleh dalam doa: “Semoga Allah menegakkan pemerintahan-Nya yang
rajani sewaktu hidupmu dan sewaktu hari-harimu,
dan sewaktu hidup seluruh kaum Israel” (Hunter,
2004, p. 31). Mesias yang akan menjadi Raja dan
membebaskan mereka dari segala permasalahan
yang ada di antara bangsa Yahudi. Hal ini merupakan suatu pengharapan di kalangan orang-orang
Yahudi secara turun temurun. Tjandra (1994, p. 76)
menjelaskan bahwa
Tendensi sejarah dari pemikiran Perjanjian Lama
merangsang timbulnya semacam pengharapan
yang berkisar pada pikiran yang berpusat pada
Mesias, menantikan kedatangan Mesias, mereka
senantiasa mendambakan datangnya hari itu.
Bavinck (2007, p. 21) mengungkapkan bahwa tujuan
Injil Matius ditulis adalah untuk membuktikan dengan jelas bahwa Yesus adalah Mesias yang sekian
lamanya dijanjikan oleh Allah dan di dalam-Nya segala nubuatan-nubuatan dalam Perjanjian Lama digenapi. Terdapat 47 kutipan Matius dari Perjanjian
Lama membuktikan dalam Yesus telah digenapi apa
yang dulu dituliskan oleh nabi-nabi (Mat. 26:54a;
27:9, 10, 35). Orang-orang Yahudi percaya bahwa
Allah akan menggenapkan janji-Nya kepada mereka
dengan memberikan Mesias dan mereka akan menemukan kebahagiaan. Matius ingin menjelaskan kepada orang-orang Yahudi bahwa Sang Mesias itu sudah datang di antara mereka serta telah mendirikan
kerajaan-Nya. Mesias hadir di antara orang Yahudi
dan hal itu merupakan penggenapan dari janji Allah
yang telah dinantikan sejak lama. Packer, Tenney, &
White Jr. (1993, p. 121) mengatakan bahwa hampir
semua masyarakat Yahudi pada masa Yesus, hidup
dalam pengharapan akan terjadinya peristiwa-peristiwa besar karena penindasan oleh orang-orang Romawi, tetapi mereka sangat percaya bahwa tidak lama lagi Mesias akan datang. Pengharapan orangorang Yahudi bahwa Sang Mesias akan membebaskan mereka dari belenggu penjajahan dan mengadakan peristiwa-peristiwa besar serta mendirikan suatu
kerajaan di dunia ini bagi orang Yahudi sangat besar. Mereka berharap bahwa semua itu menimbulkan
kebahagiaan. Tetapi kenyataan yang ditemukan sangat bertolak belakang dengan apa yang mereka harapkan. Mesias yang sudah lama dinantikan oleh
mereka hanyalah seorang tukang kayu dari Nazareth.
Mereka merasa kecewa dan menolak Yesus (Mat.
13:55,57; Mrk. 6:3).
Dalam pengajaran-Nya, Yesus banyak mengajarkan tentang Kerajaan Allah dan orang percaya
adalah anggota Kerajaan Allah.Orang-orang percaya
dituntut untuk dapat melaksanakan peraturan-peraturan, menjadi saksi, bahkan harus siap untuk mengalami hal-hal yang seringkali bertentangan dengan
segala keinginan mereka. Ladd (1994, p. 10) mengatakan bahwa
Pemerintahan Allah menuntut kepatuhan penuh.
Warga Kerajaan-Nya harus mengutamakan Dia
di atas segalanya. Kita dapat memasuki kerajaan Allah hanya bila kita telah membuat keputusan dan kita telah membayar harganya.
Pemerintahan Allah dalam kerajaan-Nya saat ini dapat dialami, dirasakan oleh setiap orang yang percaya kepada-Nya. Orang-orang percaya yang sungguhsungguh menyerahkan diri kepada Allah, dapat merasakan Allah berkuasa dalam hidupnya sehingga mereka mengalami hidup yang berkemenangan. Pengajaran Yesus mengenai Kerajaan Allah, sangat berbeda dengan pengajaran orang-orang Farisi dan para
ahli Taurat sebagai pembawa agama yang meng-utamakan hal-hal lahiriah yaitu norma-norma agama sebagai cara untuk mengalami kerajaan Allah. Orangorang Yahudi pada waktu berusaha memenuhi ketentuan-ketentuan, hukum-hukum, dan tradisi-tradisi
tetapi belum menerapkan firman kerajaan secara
sungguh-sungguh dalam hati mereka. Tetapi Yesus
sebagai agen pembaruan agama, jauh berbeda dengan pengajaran dan sikap mereka. Yesus menafsirkan ritual dan Hukum Allah dengan cara jauh lebih
dalam. Yesus adalah penggenapan dari ketentuanketentuan, hukum-hukum, tradisi-tradisi. Di dalam
Yesus telah digenapi segala tuntutan Allah bagi
orang-orang Yahudi secara sempurna. Dia memberikan pengajaran tentang pola hidup yang pantas di
118 Volume 2, Nomor 2, Juli 2018
kerajaan Allah yang datang ke bumi. Pengajaran
Yesus dalam Khotbah di Bukit meyakinkan manusia
betapa tingginya standar hidup dalam Kerajaan
Allah bagi umat manusia. Tidak mungkin manusia
dapat memenuhi segala tuntutan Allah, karena
tuntutan Allah adalah sempurna. Da-lam Matius
5:48 Yesus berkata: “Karena itu haruslah kamu
sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga
adalah sempurna.” Jadi selayaknya manusia berhenti
mengandalkan diri sendiri, menyesal dan bertobat
karena segala usaha yang dilakukan untuk masuk dalam kerajaan Allah sia-sia belaka. Jaminan untuk hidup dalam kerajaan Allah adalah mengandalkan Yesus karena di dalam Yesus segala tuntutan Allah telah digenapi secara sempurna.
Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana pengajaran Yesus mengenai berbahagia dalam Matius 5:3-12? Tujuan penelitian ini adalah untuk memaparkan mengenai pengajaran Yesus tentang kata berbahagia dalam Matius 5:3-12.
METODE
Metode yang digunakan adalah deskriptif
dengan pendekatan kualitatif pada teks Alkitab, dan
metode analisis kata. Penulis melakukan analisis terhadap Matius 5:3-12 untuk mendapatkan arti kata
maupun makna dan ajaran Yesus mengenai berbahagia. Tahapan analisis yang penulis lakukan adalah
mengumpulkan buku-buku yang terkait topik penulisan, mempelajari arti kata dalam bahasa Yunaninya, menggunakan alat bantu bible work 8, mempelajari latar belakang pengajaran Yesus dalam Matius
5, dan menyusun simpulan dalam bentuk laporan
tertulis. Beberapa sumber literatur yang relevan penulis gunakan misalnya Strong Exautive Concordace, The Analytical Greek-Lexicon, Novum Testamentum Graece, Kamus Yunani – Indonesia untuk
Perjanjian Baru, aplikasi Bible work 8. Beberapa
tafsiran digunakan sebagai sumber pendukung dalam
analisis penelitian ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengajaran Mengenai Berbahagia
Pengertian
Pengajaran Yesus mengenai berbahagia dalam Matius 5:3-12 ditujukan kepada orang percaya.
Bagaimana sikap yang akan muncul dalam hidup
mereka pada waktu orang tersebut berada dalam
keadaan atau situasi yang sulit. Hal ini merupakan
suatu tantangan atau pergumulan dalam kehidupan
orang tersebut untuk tetap bersabar serta merasa
berbahagia di dalam keadaan yang tidak menguntungkan ataupun dalam situasi yang tidak mendukung. Yesus memberikan pengajaran ini kepada murid-murid-Nya dan orang banyak yang datang kepada-Nya dari berbagai tempat baik yang datang dari
Galilea, Dekapolis, Yerusalem, Yudea dan dari seberang sungai Yordan (Mat. 4:24-25;5:1-2).
Dalam bahasa Yunani kata berbahagia (diberkati) yang digunakan dalam Matius 5:3-12, adalah makarioi. Kata makarioi berasal dari kata makarios yang berarti amat sangat menyenangkan; untung; agak kaya, berada, mampu, beruntung, gembira, senang, bahagia.” (Newman Jr., 2005). Jadi yang
dimaksud dengan berbahagia di sini menurut arti
katanya adalah suatu keadaan di mana seseorang
merasa bahwa ia beruntung, senang, dan bahagia
atau ia sedang merasakan bahwa keadaan yang dihadapinya adalah sangat menyenangkan baginya. Sikap itu akan tampak secara almiah (wajar) bila orang
itu berada dalam keadaan yang menyenangkan
(menguntungkan) bahkan pada situasi yang tidak
menguntungkan (mengecewakan). “Bahagia, sebuah
gambaran mengenai kondisi batin seseorang percaya. Bila melukiskan seseorang yang dalam kehendak
Allah, sesungguhnya yang dimaksudkan adalah
orang yang sudah selamat. Vine (1981) menjelaskan
“Di dalam kebahagiaan, Allah menunjukkan tidak
hanya sifat atau watak dari kebahagiaan itu, tetapi sifat dasar yang merupakan kebaikan tertinggi.” Ryrie
(1985, p. 1485) menjelaskan “The beatitudes (blessed
means happy) describe the inner condition of a
follower of Christ and promise him blessing in the
future.” Dalam kehidupan orang percaya, kebahagia-
Jefrie Walean, Katekita Dalam Sejarah Pemikiran Pedagogis Kristen 119
an adalah suatu lukisan atau gambaran mengenai keadaan batin yang muncul dalam sikapnya saat menghadapi suatu situasi yang sulit.
Pada awalnya, kata makarios dalam bahasa
Yunani berkenaan dengan kehidupan para dewa.
Akar kata dari kata ini merupakan sebuah kata puitis. Kittel (1981, p. 362) menjelaskan
Makarios is a poetic word, also found later in
common speech. It is a subsidiary form of makar. The latter is reffered predominantly, at first
to the gods. It denotes the transcendent happiness of a life beyond care, labour and death.
Para dewa sebagai penguasa atas dunia ini mempunyai kuasa dan kemuliaan, serta mereka merasa senang karena dapat menguasai segala sesuatu yang
ada di dunia. Sebagai penguasa, para dewa seringkali
merasa gembira karena mereka mempunyai kemampuan dan memiliki kuasa atas dunia ini.
Pfeiffer dan Harrison(2001, p. 34) mengatakan bahwa “Mazmur 1 memberikan gambaran Perjanjian Lama mengenai orang yang berbahagia, yang
menunjukkan sifat dasarnya melalui hal-hal yang ia
lakukan.” Di kalangan orang Yahudi, kata berbahagia ini merupakan kata yang biasa dan umum didengar. Kata ini muncul lebih dari 350 kali dalam Perjanjian Lama. Hal ini berarti orang Yahudi mengenal
arti dari kata berbahagia ini. Kata berbahagialah dalam Mazmur 24:3-4 dan 37:11 mempunyai pengertian yang hampir sama dengan kata berbahagia dalam Perjanjian Baru, khususnya yang diajarkan oleh
Yesus dalam Matius 5:3-12. Barclay (2010, p. 146)
lebih lanjut menjelaskan seruan seperti itu merupakan hal yang biasa di dalam Perjanjian Lama, misalnya dalam Mazmur 1:1, ungkapan yang hampir sama dengan yang ditemukan dalam khotbah di bukit
ini: “Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik.” Pengajaran Yesus mengenai
berbahagia sangat berbeda denganpengajaran orangorang Farisi dan para ahli Taurat. Verkuyl (2002, p.
20) menjelaskan pada waktu itu pemimpin agama
Yahudi ialah para Rabbi dan ahli-ahli Taurat bangsa
Israel, memberikan pelajaran sebagai berikut:
Berbahagialah orang yang kaya jiwanya, karena
ia akan mendapat tempat di Firdaus ... Berusahalah menyimpan (menabung) sebanyak mungkin pada bank itu berupa perbuatan-perbuatan
baik, bila saldo perbuatan baik kepunyaanmu
itu besar, maka pastilah engkau mendapat tempat yang bagus di Firdaus.
Sejak kecil mereka dididik dengan ajaran itu sehingga sulit untuk melupakannya.Mereka berada di
dalam tekanan atau penindasan ajaran itu.
Pengajaran Yesus mengenai berbahagia didasarkan pada penafsiran-penafsiran mengenai Kerajaan Allah. Para pemimpin agama Yahudi memberikan pengajaran bahwa Kerajaan Allah memiliki
kebenaran sendiri dan kebenaran itu berdasarkan hukum Taurat. Orang Farisi amat memperhatikan pengajaran mereka akan ketaatan terhadap hukum Taurat
sebagai dasar pengajaran mereka. Orang-orang yang
dapat menjalankan atau memenuhi aturan hukum
Taurat akan mendapatkan keselamatan/mewarisi kerajaan Sorga.
Dalam pengajaran-Nya, Yesus memberikan
pengajaran khususnya mengenai konsep berbahagia
amat berbeda dengan pengajaran para pemimpin
agama Yahudi pada waktu itu. Kebahagiaan yang diajarkan oleh Yesus memberikan suatu nilai baru bagi
orang-orang percaya sebagai warga kerajaan Allah.
Pengajaran ini diberikan agar orang-orang yang hadir pada waktu itu sadar bahwa berbahagia yang dimaksudkan oleh Yesus tidak tergantung dari keadaan yang ada. Kebahagiaan itu berasal dari dalam
diri seseorang bagaimana menyikapi dan bersikap
dalam setiap keadaan.Kebahagiaan tersebut tidak
tergantung pada hal-hal lahiriah. Barclay (2010, p.
146) menjelaskan bahwa kata makarios mengungkapkan kesukacitaan yang mengandung rahasia di
dalam dirinya sendiri yaitu kebahagiaan yang sangat
mendalam serta tidak tersentuh dan kebahagiaan
yang begitu lengkap serta tidak tidak bergantung kepada kesempatan yang diberikan oleh pihak lain.
Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa kebahagiaan manusiawi adalah kebahagiaan yang bergantung pada kesempatan-kesempatan yang diberikan
oleh orang lain dan oleh hidup itu sendiri. Sebaliknya, kebahagiaan Kristus adalah sama sekali tidak
bisa disentuh atau diperdebatkan. Penekanan dalam
120 Volume 2, Nomor 2, Juli 2018
pengajaran Yesus adalah kebahagiaan itu ada pada
orang percaya dan rasa bahagia, gembira itu muncul
dari dalam dirinya walaupun keadaan yang dialami
agak berbeda dengan kenyataan yang ada. Kebahagiaan yang dialami oleh orang percaya merupakan
sikap yang harus tampak dalam kehidupan. Orang
percaya dituntut untuk dapat merasakan sukacita, keberuntungan yang ada dalam hidupnya.
Cara atau sikap yang dapat diterapkan untuk
tetap berbahagia pada situasi yang tidak mendukung
membutuhkan respon yang baik dari setiap orang percaya terhadap pengajaran Yesus mengenai berbahagia. Respon tersebut dapat terwujud pada setiap perilaku baik ketika orang percaya berada dalam situasi
yang tidak mendukung maupun dalam situasi yang
mendukung. Berikut penulis akan menguraikan cara,
sikap maupun tindakan yang harus dimiliki orang
percaya untuk mengalami kebahagiaan sebagaimana
yang Yesus maksudkan.
Sasaran
Pengajaran Yesus mengenai berbahagia memiliki sasaran atau objek yang merupakan orangorang yang berbahagia. Sasaran ini tampak dalam
kriteria-kriteria yang merupakan sifat dan sikap
orang percaya. Adapun sasaran atau objek yang berbahagia dalam hal ini adalah sebagai berikut:
Orang yang Miskin di Hadapan Allah
Matius 5:3a berbunyi, “Berbahagialah orang
yang miskin di hadapan Allah” Dalam bahasa Yunani ditulis “makarioi hoi ptokhoi to pneumati” (Bible work 8) atau sebagaimana dicatat dalam Novum
Testamentum Graece (1975)“Makarioi hoi ptokhoi
to pneumati.” Ptokhoi berarti: “pengemis; orang miskin, orang melarat (orang minta-minta); susah, serba
kurang; keadaan yang sukar, menderita; kere; kaum
miskin, miskin, malang,tidak baik, rendah, lemah.”
(Strong, 1984). Kata ini berasal dari kata ptokhos
yang berarti “tunduk, merangkak; membungkukkan
badan.” (Strong, 1984). Kata ptokhos dalam The
Analytical Greek-Lexicon (1974) diartikan sebagai:
“fakir miskin, fakir, miskin; miskin secara batin, rohani; seseorang yang berada dalam keadaan rendah;
rendah, menyedihkan.” Pneumati berarti roh yaitu
yang mengarah pada keadaan manusia.Makarioi hoi
ptokhoi to pneumati, dapat diterjemahkan sebagai
berikut: “Yang diberkati adalah orang-orang yang
tahu dirinya miskin dalam roh,” (Susanto, 2003, p.
16). Senada dengan itu, Carlton (2002, p. 45) menerjemahkan, “Diberkati (oleh Allah) orang-orang yang
bergantung kepada Allah dalam segala hal.” Jadi dapat dikatakan bahwa barangsiapa yang secara rohani
merasa miskin, tidak berdaya dan sepenuhnya berharap dan bergantung kepada Allah, mereka itulah
yang berbahagia (diberkati). Kata ‘diberkati’ berarti
mempunyai hubungan yang baik dengan Allah, bukan menyatakan perasaan seperti senang.” (Carlton,
2002, p. 45). Karena kemiskinan secara rohani itulah
seseorang akan berseru minta tolong kepada Allah
dan Allah akan menyelamatkan mereka. Pfeiffer dan
Harrison (2001, p. 34) mengatakan bahwa, miskin
rohani adalah lawan dari sombong rohani, kemudian
mereka yang telah menyadari kemiskinan rohani dalam dirinya harus membiarkan Kristus memenuhi kebutuhan tersebut. Tuhan tidak berkenan kepada orang
yang sombong rohani. Abineno (2002, pp. 14-15)
mengatakan bahwa:
Sebutan “orang miskin” bukan saja tidak mempunyai apa-apa di bidang ekonomis, tetapi juga
orang yang miskin di bidang religious …
‘orang-orang yang sederhana’ yang banyak
menderita diskriminasi dari pemimpi-pemimpin
agama karena mereka tidak mengenal hukum
Taurat (Yoh. 7:49; Luk. 18:9).
Bila dikaitkan dengan pengajaran Yesus di bukit terlihat jelas bahwa Yesus membela orang-orang miskin sekaligus menantang para pendengar-Nya agar
memiliki sikap ataupun tindakan yang benar di hadapan Allah sebagai orang-orang yang menderita
agar tetap merasakan kebahagiaan.
Barclay (2010, pp. 149-150) menjelaskan
kata ‘miskin’ itu sebagai berikut:
Di dalam teks kata yang dipakai bukanlah penes,
tetapi ptokhos, yang berarti kemiskinan yang
mutlak dan yang mengharukan. Kata ptokhos
mempunyai hubungan dengan asal kata ptosein
yang bererti membungkuk atau berjongkok. Ka-
Jefrie Walean, Katekita Dalam Sejarah Pemikiran Pedagogis Kristen 121
ta tersebut menerangkan kemiskinan yang amat
sangat.
Nababan (1988, p. 24) menanggapi bahwa,
Ptokhos melukiskan orang yang betul-betul miskin dan menderita dan karena menyadari kesengsaraannya sendiri yang sungguh tidak kepalang, dia mempercayakan seluruh jiwa-raganya Kepada Tuhan.
Verkuyl (2002, p. 21) menjelaskan,
Disebut-Nya berbahagia: mereka tak mengharapkan apapun lagi dari dirinya sendiri. Yang tidak mengharapkan apa-apa lagi dari kebajikannya, kesalehannya, kekuasaannya, kehormatannya dan kekayaannya. Yang merasa sengsara
sama sekali dan yang menyerahkan diri sebagaimana keadaan mereka kepada Tuhan, Tuhan
yang belas kasihan.
Injil Matius lebih menekankan sifat rohani dari
orang-orang yang mengalami kebahagiaan itu. Senada dengan itu, de Heer (2007, pp. 156-158) menjelaskan,
Mereka disebut “miskin dalam hati”. Itulah arti
hurufiah … yang Matius pakai, ‘en pneumati’.
“Miskin dalam hati” berarti bahwa mereka tahu
dalam hati bahwa hanyalah Tuhan yang dapat
menolong mereka.
Henry (2007) menjelaskan bahwa miskin di hadapan
Allah berarti bahwa merasa puas di tengah kemiskinan, kemudian bersedia dikosongkan dari kekayaan duniawi jika itu menjadi kehenadak Allah dan
bersikap rendah hati terhadap orang miskin serta turut serta merasakan penderitaan mereka. Dari uraian
di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa orang
yang miskin di hadapan Allah adalah orang-orang
yang sungguh-sungguh menyadari keadaannya yaitu
tidak memiliki apa-apa, tidak berdaya. Miskin itu
sendiri tidaklah membawa kebahagiaan bagi mereka.
Ada kemiskinan rohani yang menghalangi orang untuk mengalami berkat atau kebahagiaan seperti kecut
dan tawar hati, kesedihan yang menyerahkan diri pada hawa nafsu. Yang dimaksud Yesus dalam Matius
5:3, adalah miskin secara rohani di hadapan Allah.
Orang yang demikian secara naluri akan merendahkan diri serta berseru minta tolong kepada Allah maka Allah yang maha kasih pasti akan menyelamatkan
orang itu dengan mengaruniakan kerajaan Surga kepadanya. Raja Daud berkata, “Orang yang tertindas
ini berseru, dan Tuhan mendengar; Ia menyelamatkan dia dari segala kesesakannya.” (Mzm 34:7, TB).
Orang yang Berdukacita
Sasaran atau objek yang diajarkan Yesus
mengenai orang-orang yang berbahagia adalah
orang-orang yang berdukacita. Kata ini menggambarkan keadaan orang-orang yang sedang mengalami kesedihan, kesusahan di dalam hatinya
(bersedih/bersusah hati).Dalam Matius 5:4, Yesus
berkata: “Berbahagialah orang yang bedukacita.”
Kalimat ini dalam Bahasa Yunani adalah: Makarioi
hoi Penthounthes (Mat. 5:4 BYZ, Bible work 8).
Kata penthountes berasal dari kata penthos yang berarti dukacita, kesedihan, perkabungan, penderitaan
(Strong, 1984). Orang-orang yang berdukacita ini
adalah orang-orang yang berada dalam suatu keadaan kesedihan yang amat menderita, dimana hal itu
bagaikan suatu keadaan perkabungan. Kesedihan itu
dinyatakan dalam tindakan meratap/meraung yang
menggambarkan keadaan duka yang sedang dialami.
Barclay (2010, p. 154) menggambarkan keadaan ini
dengan:
Kedukacitaan yang mencekam manusia sedemikian rupa, sehingga tidak bisa ditutup-tutupi
atau disembunyikan. Kedukacitaan seperti itu,
bukan hanya kesusahan yang membawah perasaan sakit di dalam hati. Kedukacitaan seperti
itu adalah kesusahan yang membawa air mata
yang tidak bisa ditahan lagi.
Perasaan dukacita itu sangat mendalam sehingga
orang yang berduka itu hanya dapat meratapi keadaannya. Pada saat Yesus menyampaikan berita
tentang Kerajaan Surga terasalah betapa kesedihan
jiwa orang itu karena tidak hidup sebagaimana seharusnya. Verkuyl (2002, p. 22) menjelaskan sebagai berikut:
Berbahagialah orang yang bersedih hati, karena
keadaannya atau keadaan orang disekiranya tidak terjadi sebagaimana mestinya … mereka
bersedih hati karena keadaan gereja tidak terjadi
sebagaimana mestinya … sedih di dalam hati
karena masyasakatnya terbawah sesuatu arah
yang bertentangan dengan Kerajaan Allah.
122 Volume 2, Nomor 2, Juli 2018
de Heer (2007, p. 37) setuju dengan penjelasan
Ridderbos bahwa:
Orang yang berdukacita … bersedih, sebab anggota-anggota umat Tuhan mengalami ketidakadilan serta disudutkan ... berdukacita atas keadaan buruk di dunia, berdukacita juga atas dosanya sendiri, sebab dosa-dosa mereka sendiri
merupakan sebagian dari keadaan yang buruk di
dunia.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa berdukacita yang dimaksud lebih tepat mengarah pada keadaan dukacita yang disebabkan karena dosa seseorang. Keadaan berdosa inilah yang menyebabkan
munculnya keadaan berdukacita. Yesus menekankan
keadaan orang-orang yang berdukacita ini untuk
memberikan pengertian kepada orang-orang yang
mendengarkan pengajaran-Nya tentang perlunya perasaan berdukacita karena dosa. Kesadaran mengenai dosa mengakibatkan sikap yang benar. Orangorang yang menyadari bahwa dirinya berdosa, tetapi
menutup diri bahkan beranggapan bahwa mereka dapat mengatasi dosanya sendiri, akan memberikan sikap yang berbeda dengan orang yang sangat berduka
karena dosanya.
Dalam kehidupan orang percaya, kesadaran
akan dosa, menghasilkan pertobatan. Yesus mengajarkan bahwa orang-orang yang berbahagia adalah
orang-orang yang menyadari akan dosa-dosanya;
orang-orang yang menderita atas dosa dan kegagalannya serta memohon pengampunan atas dosa
itu. Keadaan yang dialami oleh orang-orang yang
berdukacita ini adalah keadaan yang benar-benar
bahagia. Ada dukacita yang merupakan dosa yakni
kemurungan karena putus asa atas hal-hal rohani.
Dukacita seperti ini tidak dapat diberkati oleh Allah
kecuali kembali mengakui keterbatasan dan kegagalannya di hadapan Tuhan. Jadi orang-orang yang
diberkati oleh Allah adalah mereka yang berdukacita
karena hidup atau keadaan di sekelilingnya tidak
berjalan sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan.
Orang yang Lemah Lembut
Orang-orang yang memiliki sikap hati yang
lemah-lembut adalah orang-orang yang berbahagia.
“Berbahagialah orang yang lemah lembut” (Matius
5:5). Matius 5:5 berbunyi, “Berbahagialah orang
yang lemah lembut,” dalam bahasa Yunani, “makarioi hoi praeis”(Bible Work 8). Kata praeis secara
literal berarti “lemah lembut, rendah, hati, sopan.”
(Newman Jr., 2005). Dalam The Analytical GreekLexicon (1974) kata ini berasal dari kata “praus”
yang berarti “lembut (hati); penurut, lemah-lembut,
jinak, berperasaan baik, ramah, baik hati, manis, sayang; mudah memberi maaf.” Dalam Ensiklopedi
Alkitab Masa Kini (1992) dijelaskan bahwa:
Kata sifat praus menunjuk kepada sifat batin …
Orang-orang yang lemah lembut tidak mendendam terhadap tindakan kasar (yang dialaminya),
dan tidak tawar hati dalam kemalangan, karena
segala sesuatu diterimanya sebagai jalan Allah
bagi dia dalam tujuan-Nya yang penuh hikmat
dan kasih.
Orang-orang yang memiliki sifat rendah hati/lemah
lembut adalah orang-orang yang diberkati oleh Allah, karena mereka mengerti akan kedudukan yang
mereka miliki. Orang-orang yang lemah lembut menyadari kehadiran Allah dalam hidupnya. Lemah
lembut dapat digambarkan sebagai seekor kuda yang
telah dilatih untuk menaati segala perintah dari tuannya. Ketaatan kuda atas perintah merupakan suatu
hasil atau latihan yang telah dicapai. Orang-orang
yang berhasil menguasai dirinya akan mampu menempatkan diri atau menyadari kedudukannya di hadapan Allah dan manusia. Verkuyl (2002, p. 23)
menjelaskan:
Berbahagialah orang yang berhati lembut ... Berbahagialah orang yang tidak membalas, apabila
diumpat. Yang tidak membalas ketidakadilan dengan ketidakadilan. Yang tidak melawan kekerasan dengan kekerasan. Tetapi menaruh pengharapannya pada Tuhan dan menyerahkan perkaranya kepada Allah Bapa yang di Surga.
Orang yang lemah lembut dapat memaklumi dan
menerima keadaan orang lain. Mereka mampu menyesuaikan diri dengan tradisi kecuali dosa. Mereka
dapat menunjukkan rasa tidak senang bila memang
ada alasan untuk itu, tanpa terseret kepada sikap
yang tidak pantas. Yesus mengajarkan hal ini agar
orang-orang yang hadir dapat menyadari keadaan
Jefrie Walean, Katekita Dalam Sejarah Pemikiran Pedagogis Kristen 123
mereka di hadapan Allah. Kelemahlembutan adalah
adanya satu sikap yang muncul karena ketergantungan kepada Allah. Orang-orang yang berbahagia (diberkati oleh Allah) adalah mereka yang memiliki sifat lemah lembut atau rendah hati dalam hidupnya.
Yesus merupakan merupakan sosok yang dapat diteladani dalam sikap yang lemah lembut. Ia makan
bersama dengan orang berdosa, ia mengampuni dan
menerima orang yang mau bertobat dan datang
kepada-Nya. Yesus mengajak orang-orang yang letih lesu dan berbeban berat untuk datang kepadaNya (Mat. 11:28-29).
Orang yang Lapar dan Haus akan Kebenaran
Objek lain dari orang-orang yang berbahagia
atau diberkati oleh Allah adalah “orang-orang yang
lapar dan haus akan kebenaran,” (Mat. 5:6). Dalam
bahasa Yunani kalimat ini berbunyi “Makarioi hoi
peinonteskai dipsontes ten dikaiosunen” (Bible
Work 8). Kata peinontes artinya “sangat lapar,
sangat membutuhkan/mengharapkan, candu akan, kelaparan, rasa lapar, sangat menginginkan/mendambakan; merasa,” (Strong, 1984). Dipsontes berasal dari
kata ‘dipsao’ yang berarti haus (Strong, 1984). Dikaiosunen berasal dari kata dikaiosune yang berarti
kebenaran, keadilan; apa yang dituntut Allah; Kebenaran yang dianugrahkan Allah; kewajiban agama
atau kedermawanan (Mat. 6:1). (Newman Jr., 2005).
Perubahan dari kata peinoa menjadi kata peinontes
menyatakan keadaan orang-orang yang sedang dalam keadaan kelaparan. Keadaan lapar di sini adalah
keadaan yang sangat lapar, di mana orang-orang tersebut merana karena sangat mengharapkan agar rasa
lapar itu dapat dipenuhi. Demikian pula dengan kata
dipsontes yang menyatakan keadaan orang-orang
yang berada dalam keadaan yang sangat haus dan
hal itu juga memerlukan pemenuhan.
Lapar dan haus di sini adalah suatu keadaan
yang memerlukan adanya pemenuhan sesegera mungkin. Orang yang lapar dan haus itu bagaikan orang
yang kecanduan karena selalu merasakan kelaparan
dan kehausan. Orang-orang yang sedang lapar dan
haus di sini bukanlah lapar dan haus secara literal
tetapi lapar dan haus secara rohani. “Lapar dan haus
akan kebenaran…”(Mat. 5:6) menunjukkan keadaan
rohani. Lapar dan haus akan kebenaran, Pfeiffer dan
Harisson (2001, p. 34) mengatakan bahwa,
suatu kerinduan yang amat mendalam untuk
memperoleh kebenaran pribadi. Kerinduan semacam itu merupakan bukti ketidakpuasan dengan tingkatan rohani yang dicapai saat ini
(kontras dengan orang Farisi (Luk. 18:9 dst).
Lapar dan haus merupakan selera yang sering berulang kembali dan membutuhkan pemenuhan yang
segar. Henry (2007, p. 164) mengutif pendapat
Hammond bahwa:
Hammond membedakan antara lapar dan haus.
Lapar adalah keinginan akan makanan supaya
tetap bertahan, seperti misalnya kebenaran yang
menguduskan. Haus adalah keinginan akan minuman untuk menyegarkan, seperti misalnya
kebenaran yang membenarkan dan perasaan diampuni.
Kebenaran di sini adalah kebenaran di dalam Kristus. Kebenaran di dalam Kristus adalah adalah wujud dari kebenaran itu sendiri. Kebenaran juga berarti semua berkat rohani (Mzm. 24:5; Mat. 6:33).
Orang-orang yang lapar dan haus akan kebenaran,
memerlukan pemenuhan dari kebenaran itu sendiri.
Kebenaran itu akan menyatakan kehendak Allah, karena orang-orang yang lapar dan haus itu memiliki
keinginan atau hasrat yang sangat besar untuk mendapat pemenuhan dalam hidupnya. Kristus adalah
kebenaran yang telah memberikan teladan kepada
orang-orang percaya agar mengikuti keteladanan itu.
Kristus mentaati Allah dalam setiap hidup-Nya; dalam segala hukum dan ajaran-Nya. Dialah sosok teladan sempurna yang dapat diteladani oleh setiap
orang percaya dalam hidunya. Firman Tuhan adalah
kebenaran yang dapat menuntun orang percaya untuk percaya dan menegenal Yesus. Alkitab adalah
firman Allah yang telah diilhamkan oleh Allah yang
dapat mengakibatkan suatu perubahan dalam hidup
setiap orang yang menjadikan kebenaran tersebut sebagai dasar hidup mereka (lih. Hermanto, 2017;
Objantoro, 2017, p. 138). Dalam Ensiklopedi Alkitab
Masa Kini (1992) dijelaskan:
Dikaiosune berarti penyesuaian dengan hukum,
khususnya Hukum Ilahi; Kristus memenuhi ke-
124 Volume 2, Nomor 2, Juli 2018
benaran, baik dalam hal Ia menaati Hukum Allah dalam kehidupan-Nya, maupun dalam hal Ia
menerima hukuman Allah yang adil atas dosa
dalam kematian-Nya (Ibrani 2:9; Roma 2:7).
Kebahagiaan yang dimiliki oleh orang-orang yang
sangat merindukan adanya kebenaran Allah dalam
hidupnya merupakan suatu sikap yang wajar. Yesus
mengajarkan bahwa orang-orang yang berbahagia
itu adalah orang-orang yang selalu mengharapkan
kebenaran di dalam dirinya seperti orang-orang yang
selalu kelaparan dan kehausan. Semakin besar pengharapan orang percaya kepada Allah, semakin besar
pula mereka bersandar kepada Allah dalam hidupnya. Orang-orang yang lapar dan haus akan berkatberkat rohani, diberkati oleh Allah dengan keinginan-keinginan itu dan akan dipuaskan dengan berkatberkat itu juga. Lapar dan haus akan kebenaran merupakan ciri kebergantungan kepada Allah.
Orang yang Murah Hatinya
Orang yang bermurah hati adalah suatu kriteria diberkati oleh Allah dalam pengajaran Yesus.
Matius 5:7 berbunyi, “Berbahagialah orang-orang
yang murah hatinya,” kalimat ini dalam Bahasa
Yunani berbunyi, “Makarioi hoi elemones” (Bible
Work 8). Carlton (2002, p. 46) menerjemahkan kalimat tersebut, “sebagai berikut: “Diberkati oleh Allah orang-orang yang berbelas kasihan kepada orang
lain,” Kata elemones berasal dari kata elemon yang
berarti, “sangat merasa kasihan; ingin menghibur
orang lain; bermurah hati (tulus). Kata murah hati
menjelaskan suatu sifat yang dimiliki oleh seseorang, dimana dia selalu merasa kasihan terhadap
orang lain, selalu ingin menghibur orang lain dan suka menolong. Kemurahan hati adalah gambaran sifat
Allah dalam kehidupan orang percaya. Allah penuh
dengan kemurahan, Ia menyatakan kemurahan hatiNya kepada manusia yang berdosa. Orang-orang
percaya yang telah merasakan kemurahan Allah
harus menyatakannya kepada orang lain.
Pernyataan kemurahan hati kepada sesama
merupakan bukti bahwa seseorang telah mengalami
kemurahan Allah di dalam hidupnya. Keinginan
untuk menghibur orang lain, berbelas kasihan kepada orang lain merupakan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. “Bersikap benar atau adil berarti
memberikan kepada seseorang apa yang sepatutnya
diterimanya, sedangkan bermurah hati adalah memberi seseorang apa yang tidak patut dia dapatkan.”
(Lee, 1997, p. 33). Henry (2007, p. 165) menambahkan bahwa, “Untuk menjadi orang yang benarbenar murah hati, tidak perlu memiliki kekayaan
yang berlimpah, karena yang diterima Allah adalah
hati yang bersedia memberi.” Yesus mengecam
orang yang sudah mengalami kemurahan, namun
tidak bermurah hati kepada orang lain (Mat. 18:33).
Hal mengampuni adalah juga merupakan wujud dari
kemurahan hati dalam kehidupan orang percaya.
Orang percaya harus menaruh belas kasihan kepada
jiwa-jiwa lain dan menolong mereka. Orang percaya
harus iba kepada orang bebal dan menasihati mereka; iba terhadap orang yang lalai dan memperingatkan mereka. Jika menolak melakukan semuanya
ini, maka apapun yang diperbuat, sama saja dengan
menutup pintu hati (Yak. 2:15-16; 1Yoh. 3:17). Kebahagiaan orang yang murah hati nampak dalam setiap tindakan yang dilakukan dalam hidupnya.
Orang yang Suci Hatinya
Dalam pengajaran-Nya, Yesus memberikan
kriteria orang yang berbahagia dan merupakan sasaran yang ingin dicapai dalam kehidupan orang percaya. Matius 5:8 dalam bahasa Yunani disebutkan,
“Makarioi hoi katharoi te kardia,” (Bible Work 8).
Carlton (2002, p. 46) menerjemahkan, “Diberkati
oleh Allah orang-orang yang murni hatinya/pikirannya,” Secara literal dalam Novum Testatemen Graece
(1975, p. 9) katharoi berasal dari kata ‘katharos’
yang berarti: “bersih, halal, tidak haram, tidak berdosa (dalam perkataan), biasa saja, tenang, jelas,
gambling, murni, semata-mata.” Sementara kata kardia memiliki beberapa arti yaitu: hati sebagai pusat
perasaan, dorongan hati, kasih sayang, keinginan-keinginan; sebagai pusat intelek; sebagai pusat keadaan batin/rohani, kata hati, suara hati, hati nurani, sebagai bagian sebelah dalam tubuh, pertengahan, pu-
Jefrie Walean, Katekita Dalam Sejarah Pemikiran Pedagogis Kristen 125
sat.” (Novum Testatemen Graece, 1975, p. 9). Sebagai dativ, kata hati menjelaskan keadaan yang suci.
Jadi suci hati dapat diartikan sebagai keadaan di mana hati sebagi pusat dari segala sesuatu
yang berhubungan dengan manusia yang berada dalam keadaan bersih, tidak berdosa, murni. Orang Yahudi menganggap hati merupakan pusat pikiran,
emosi dan keinginan, yaitu pusat watak seseorang.
Hati yang suci adalah keadaan di mana pusat pikiran, perasaan, keadaan rohani seseorang berada
dalam keadaan bersih/tidak berdosa/murni. Keadaan
ini hanya dapat diperoleh dengan pengampunan dari
Allah. Tanpa pengampunan, hati tetap berada di bawah tekanan dosa (Mat. 15:19), tetap dihantui oleh
keadaan bersalah. Kesadaran akan dosa dapat menuntun pada pertobatan dalam Yesus.
Yesus mengajarkan kesucian hati, karena
pada saat itu muncul pengajaran di kalangan orang
Yahudi bahwa dengan menjalankan ritual-ritual keagamaan, mereka akan menyenangkan Allah dan
memperoleh kebahagiaan. Tidak ada kebahagiaan
yang dapat dicapai hanya dengan menjalankan upacara ritual. de Heer (2007, p. 74) menjelaskan bahwa
orang Yahudi kadang berpikir cukup dengan melaksanakan berbagai upacara maka dapat memperoleh
kebahagiaan, tetapi Yesus lebih mementingkan kesucian hati. Orang-orang yang suci hatinya adalah
orang-orang yang berbahagia, karena mereka telah
memperoleh pengampunan atas dosa. Pengampunan
Allah telah memberikan nilai-nilai, sifat-sifat yang
baru dalam hidup. Bebas dari rasa bersalah, membuat mereka memiliki perasaan damai sehingga tidak ada keinginan-keinginan jahat yang muncul terhadap orang lain. Lee (1997) mengatakan bahwa
murni hatinya berarti hanya memiliki satu tujuan, satu sasaran yaitu merampungkan kehendak Allah bagi
kemuliaan Allah (I Kor. 10:31). Stott (1995, p. 59)
mengatakan:
Jadi, orang yang suci hatinya itu adalah orang
yang amat bersungguh-sungguh. Seluruh hidup
mereka, baik yang pribadi maupun yang terbuka bagi orang lain, adalah transparan di hadapan
Allah dan sesama manusia. Hati mereka termasuk pikiran, dan motivasi mereka adalah murni.
Kebahagiaan orang-orang yang suci hatinya merupakan perasaan yang benar-benar senang, merasa diri
sebagai seorang yang paling beruntung di dalam hidupnya. Orang-orang yang suci hatinya diberkati
oleh Allah. Hidup mereka berkenan kepada Allah
dan menjadi berkat bagi sesama. Orang-orang yang
suci hatinya dapat merasakan kebahagiaan dalam dirinya. Mereka dapat merasakan persekutuan yang indah dengan Allah dan sesama orang percaya.
Orang yang Membawa Damai
Kehidupan yang membawa damai merupakan kerinduan bagi setiap orang. Hidup tentram selalu menjadi impian; tanpa gangguan, tanpa kecemasan, tanpa kedengkian. “Berbahagialah orang yang
membawa damai …” (Mat. 5:9), dalam bahasa Yunani berbunyi: “Makarioi hoi eirenopoioi” (Bible
Work 8). Diberkati oleh Allah orang-orang yang
menolong orang lain untuk hidup damai satu sama
lain. Kata eirenopoioi berasal dari kata eirenepoiois
yang berarti: “Ingin damai, dengan damai, suka damai, pembuat damai.” (Strong, 1984). Akar katanya
adalah eirene yang berarti: “damai, perdamaian, keserasian, damai sejahtera; ketertiban, selamat.” Kedamaian itu dapat tercipta dengan adanya suatu usaha yaitu membuat damai/membuat ketertiban, berinisiatif untuk melakukan damai. Abineno (2002)
menjelaskan bahwa untuk mengerti ungkapan
“membawa damai” maka perlu dilihat konteks dalam Perjanjian Lama yaitu, “Perdamaian adalah terjemahan dari kata Ibrani “syalom” yang tidak hanya
berarti perdamaian, melainkan berarti juga kesehatan, kesejahteraan, kemakmuran, kebahagiaan. Orangorang percaya diberi tanggung jawab untuk menciptakan perdamaian di dunia yang penuh dengan kebencian. Mereka berusaha mengadu domba, saling
menjatuhkan antara satu dengan yang lain. Terjadi
perpecahan, bahkan perceraian dalam rumah tangga
akibatnya mereka tidak merasakan kedamaian. Dalam hubungannya dengan hal tersebut de Heer (2007,
p. 75) menjelaskan bahwa menciptakan perdamaian’
berarti dalam dunia yang penuh dengan perselisihan,
orang-orang Kristen mencoba untuk mengadakan
126 Volume 2, Nomor 2, Juli 2018
perdamaian bila melihat jika seseorang berselisih dengan seseorang lain, maka mereka berusaha untuk
memperdamaikannya. Orang-orang yang diberkati
Allah adalah mereka yang membawa damai. Ia menciptakan damai di sekitarnya, karena dia cinta damai.
Pembawa damai adalah salah satu tindakan orangorang yang diberkati oleh Allah. Namun, seseorang
tidak mungkin menjadi seorang pendamai kalau dia
sendiri belum didamaikan dengan Allah. Yesus adalah pengantara antara Allah dan manusia (Kol. 1:
20). Orang-orang percaya adalah orang-orang yang
telah menerima pendamaian dari Allah, melalui Yesus Kristus. Sebagai orang yang telah menerima
pendamaian, mereka itu dipanggil untuk hidup dalam perdamaian (1 Kor. 7:15); berusaha mencari dan
mendapatkan perdamaian (1 Pet. 3:11); mengusahakan hidup dalam damai dengan orang lain (Ibr. 12:
14); hidup dalam perdamaian (Rm. 12:18).
Yesus mengajarkan tentang hal ini karena
Dia tahu latar belakang para pendengarnya. Mereka
datang dari berbagai tempat dan latar belakang yang
berbeda. Ada orang Yahudi yang sedang dalam jajahan, baik budaya maupun kebudayaan; ada orangorang Romawi sebagai penjajah; ada orang-orang
Samaria yang merupakan musuh orang Yahudi; secara agama, ada pengikut-pengikut Farisi, Saduki
dan kelompok lain yang ada pada saat itu. Yesus
menekankan hal ini agar orang-orang menyadari
bahwa untuk mencapai kebahagiaan, kehidupan damai harus diciptakan. Bagaimana orang Yahudi dapat berdamai dengan orang Romawi atau bagaimana
orang Yahudi berdamai dengan orang Samaria yang
dianggap oleh mereka najis dan hina.
Kedamaian adalah impian atau harapan bagi
semua orang dan Yesus mengajarkan bahwa orangorang yang berbahagia/diberkati oleh Allah adalah
orang-orang yang menolong orang lain untuk hidup
dalam kedamaian satu sama lain. Henry (2007, p.
168) menjelaskan bahwa sama seperti orang yang
cinta dusta memang terikat pada kebiasaan berdusta,
demikian pula seorang yang mencari damai berarti
memiliki kecintaan yang kuat terhadap perdamaian
(Mzm. 120:7) sebab cinta damai berarti mencintai,
menginginkan perdamaian. Orang-orang yang mencintai damai adalah mereka menjadikan kedamaian
itu sebagai salah satu unsur dalam diri mereka dan
belajar bersikap tenang, tutur katanya yang penuh
damai. Membawa damai ada kalanya merupakan pelayanan yang tidak dihargai dengan rasa terima kasih. Yesus mengajarkan hal ini, agar orang-orang
yang berusaha untuk menciptakan damai bagi dirinya sendiri dan sesama ia selalu merasa diberkati
oleh Allah. Orang-orang yang mencintai damai berusaha untuk menciptakan suatu keserasian atau ketertiban dengan orang lain. Mereka selalu mengambil
inisiatif untuk dapat berdamai dengan orang lain di
sekitarnya.
Orang yang Dianiaya Karena Kebenaran
Pendapat yang muncul pada masa kinipun
tentang orang-orang yang berbahagia seringkali bertolak belakang dengan pengajaran Yesus. Yesus
mengajarkan dalam Matius 5:10-11 demikian, “Berbahagialah orang yang dianiaya karena kebenaran,
… Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala
yang jahat.” Kalimat dalam huruf Yunani diterjemahkan oleh Carlton (2007, p. 44) sebagai berikut:
Diberkati oleh Allah orang-orang yang dianiaya/disiksa/disakiti oleh orang lain karena mentaati/melakukan kehendak Allah … Diberkati
oleh Allah kamu ketika orang-orang mencerca/
menghina/mengolok-olok kamu … dan mengatakan segala macam fitnah terhadap kamu karena kamu mengikut Aku.
Dalam bahasa Yunani, kata dediokmenoi berasal dari
kata dioko yang berarti: “Mengejar, mengikuti, menyiksa, menganiaya, menggoda, menderita; penyiksaan, penganiayaan, penghambatan, tekanan, peras,
alat pemeras.” Kata heneken berarti: “Karena, sebab,
untuk, depan, muka, berhubungan dengan.” (Strong,
1984). Kata dikaiosunes berasal dari kata dikaiosune
yang berarti: kebenaran, keadilan, apa yang dituntut
Allah; kebenaran yang dianugrahkan Allah; kewajiban agama.” (Newman Jr., 2005).
Dalam Matius 5:10-12, Yesus menggambarkan reaksi yang dapat timbul dari orang-orang tidak
Jefrie Walean, Katekita Dalam Sejarah Pemikiran Pedagogis Kristen 127
percaya kepada orang-orang percaya karena memiliki sikap ataupun tindakan sebagai warga kerajaan
Surga. Verkuyl (2002, p. 31) mengatakan bahwa
“Tuhan Yesus tidak meramalkan suatu masa depan
yang menyenangkan bagi murid-murid-Nya. Ia tidak
memberitakan bahwa mereka akan selalu dihargai
dalam masyarakat.”Yesus tahu bahwa akan ada saatnya orang-orang percaya akan mengalami hambatan,
penghinaan, karena kebenaran dan karena mengikut
Dia. de Heer (2007, p. 75) menjelaskan hal ini bahwa, Yesus tahu, bahwa banyak orang di dunia tidak
mau hidup menurut perintah-perintah Allah, sehingga mereka membenci juga orang yang taat kepada
Tuhan. Jikalau di dunia berada dua macam orang
yang dasarnya begitu bertentangan, ada orang-orang
yang ingin akan kedatangan Kerajaan Allah dan ada
orang-orang yang tidak ingin akan kedatangan Kerajaan Allah, maka tak dapat disangkal bahwa muncul beberapa macam konflik dan bentrokan, bahkan
penganiayaan. Yesus jujur dan terbuka, sehingga Ia
tidak menyembunyikan hal itu.
Orang Yahudi melakukan hal-hal tersebut
pada masa awal pelayanan murid-murid Yesus. Para
murid meninggalkan sidang mahkamah agama dengan senang hati karena telah dianggap layak menderita penghinaan oleh karena nama Yesus (Kis. 5:
41); orang-orang Yahudi menghasut pengikut-pengikut Tuhan, mereka menganiaya Rasul Paulus dan
Barnabas sebagai pemberita Injil (Kis. 13:45).
Orang-orang percaya masa kini dapat mengalami
berbagai tekanan dari orang-orang yang tidak percaya karena mereka hidup dalam realitas kerajaan
Allah. Penganiayaan dalam Matius 5:10, merupakan
penganiayaan yang dialami oleh orang-orang percaya karena melakukan kebenaran dan penganiayaan
yang dialami oleh orang-orang percaya dalam ayat
11, diakibatkan karena mengikut Kristus. Dalam
kaitannya dengan penganiayaan ataupun bentuk penderitaan lain yang dialami oleh orang-orang percaya
dalam ayat 10 dan 12 terlihat jelas bahwa Yesus
memegang peranan sentral dalam kerajaan Surga.
Orang-orang yang diberkati oleh Allah adalah orang-orang yang mengalami penganiayaan karena merealisasikan kebenaran dalam hidup mereka.
Bruce (1990, p. 74) menjelaskan “Kebenaran di sini
harus berarti kelakuan yang benar dan hanya apabila
orang yang dianiaya itu berkelakuan benar, ia dapat
disebut berbahagia.” Yesus adalah kebenaran itu
sendiri (Yoh. 14:6), dan firman Tuhan adalah kebenaran (Yoh. 17:17). Orang-orang yang mengikut Yesus dan merefleksikan firman Tuhan melalui kehidupan yang nyata dalam sikap, perkataan dan tindakan mereka itulah yang berbahagia. Penderitaan
yang dialami oleh orang-orang percaya karena kebenaran adalah bagian dari cara Allah untuk menyatakan janji-Nya kepada mereka. Penderitaan orangorang percaya karena kebenaran merupakan sarana
yang dipakai Allah untuk menyatakan berkat-Nya.
Alasan-alasan Berbahagia
Pengajaran Yesus di bukit, memberikan pengertian mengenai konsep berbahagia, sasaran-sasaran yang berbahagia serta alasan-alasan mengapa
orang-orang percaya harus berbahagia. Alasan-alasan ini merupakan dasar yang mendorong orangorang percaya untuk tetap merasa berbahagia di dalam hidupnya. Adapun alasan-alasan yang diberikan
Yesus adalah sebagai berikut:
Mereka Empunya Kerajaan Sorga
Alasan ini diberikan oleh Yesus setelah Ia
menjelaskan sasaran-objek dari orang-orang yang
miskin dalam roh. Miskin dalam roh di sini menjelaskan keadaan rohani seseorang. Orang-orang tersebut menyadari bahwa ia tidak memiliki sesuatu dari
dirinya sendiri yang dapat menyenangkan Allah di
dalam hidupnya. Kemiskinan merupakan suatu keadaan yang sangat menyedihkan sehingga ia tidak
mampu lagi untuk berbuat apa-apa kecuali hanya berharap kepada Allah. Pada kriteria miskin dalam roh,
Yesus mengajarkan orang-orang percaya agar mereka tetap bergembira karena mereka akan memiliki
kerajaan Sorga. Matius 5:3, dalam bahasa Yunani sebagai berikut: “makarioi hoi ptokhoi to pneumati hoti auton estin he basileiai ton ouranon” (Bible Work
8). Kalimat tersebut diterjemahkan oleh Carlton
128 Volume 2, Nomor 2, Juli 2018
(2002, p. 45) sebagai berikut: “Deberkati oleh Allah
orang-orang yang rendah hati di hadapan Allah (bergantung kepada Allah dalam segala hal) sebab merekalah pemilik kerajaan/pemerintahan Sorga.”
Pengertian kerajaan merupakan dasar untuk
mengerti istilah kerajaan Surga. Basileia ton ouranon. Basileia berarti pemerintahan/kerajaan” (Newman Jr., 2005). Ton adalah kata sandang untuk kasus
genitive. Ouranon berasal dari kata ouranos yang
berarti Sorga/Allah, langit.” (Newman Jr., 2005). Kerajaan merupakan suatu kekuasaan yang dimiliki oleh
raja untuk memerintah, sebab itu kerajaan tidak terbatas pada suatu bentuk atau wilayah saja, tetapi otoritas yang dimiliki untuk melaksanakan pemerintahan.
Pengertian Kerajaan Sorga yang ingin disampaikan
oleh Matius berbeda dengan pengertian pada masa kini yang menekankan bentuk/wilayah kerajaan serta
raja sebagai kepala pemerintahan. Ladd (1994, p. 21)
menjelaskan pengertian kerajaan sebagai berikut,
Arti utama kata malkuth (bahasa Ibrani) dalam
PL dan basileia (bahasa Yunani) dalam PB adalah tingkatan, kekuasaan dan kedaulatan yang
dimiliki oleh seorang raja. Suatu basileia dapat
merupakan wilayah yang atasnya seorang raja
menggunakan kekuasaannya; ... kerajaan adalah
kekuasaan untuk memerintah, kedaulatan raja.
Jadi pengertian kerajaan di sini lebih mengarah pada
suatu kedaulatan untuk memerintah; atau kekuasaan
untuk memerintah yang dimiliki seseorang/raja (Luk.
19:11-12). Pengertian ini dapat disimpulkan bahwa,
“Kerajaan Sorga yang dimaksud di sini adalah “pemerintahan Allah, kekuatan Allah, kedaulatan Allah.”
(Ladd, 1994, p. 21). Orang-orang percaya yang berharap sepenuhnya kepada Allah, mereka akan mengalami pemerintahan, kedaulatan dan kekuasaan Allah
di dalam hidup mereka. Yesus mengajarkan hal ini
untuk membuka pengertian orang-orang yang hadir
pada waktu itu; yaitu konsep bahwa Mesias akan datang untuk mendirikan kerajaan-Nya (yang lebih
mengarah pada bentuk atau wilayah kerajaan). Kerajaan Allah lebih luas daripada konsep Mesianik
orang Yahudi. Orang-orang yang merasa tidak berdaya serta berharap hanya kepada Allah saja mereka
mengalami suasana kerajaan Surga pada saat ini juga. Orang-orang percaya tersebut memiliki kekuasaan, kedaulatan Allah dalam hidupnya.
Mereka Akan Dihibur
Pengajaran Yesus tentang berbahagia yang
diucapkan di hadapan orang banyak merupakan hal
yang menarik untuk disimak. Dalam Matius 5:4 Yesus berkata: “Berbahagialah orang yang berdukacita
karena mereka akan dihibur”dan dalam bahasa Yunaninya: “makarioi hoi penthuntes, hoti autoi parakletesontai” (Bible Work 8). Kalimat tersebut diterjemahkan oleh Carlton (2007, p. 45) sebagai berikut:
“Diberkati oleh Allah orang-orang yang meratap/
berdukacita/sedih, sebab mereka akan dihiburkan
(oleh Allah/Dia).” Orang-orang percaya yang sedang
dalam keadaan berdukacita, haruslah tetap merasa
bergembira, karena ada alasan yang kuat untuk tetap
berbahagia/diberkati oleh Allah dalam keadaan tersebut, yaitu mereka akan mengalami penghiburan.
Orang-orang percaya yang berdukacita kerena dosa yang ada dalam dirinya, juga kerena melihat
orang-orang yang ada di sekitarnya hidup tidak sebagaimana seharusnya, haruslah tetap merasa bergembira karena kerena mereka akan menerima penghiburan. Secara liteal: Hoti adalah “kata Penghubung; bahwa, karena; ada kalanya hoti menandai
permulaan kalimat langsung.” Autoi berarti: “diri,
sendiri, yang sama; dia, mereka.” (Newman Jr.,
2005). Paraklethesontai berasal dari kata parakaleo
yang berarti: “kesenangan (hidup); penghiburan, untuk menerima kesenangan (hidup)/dihibur; untuk menemukan kesenangan atau penghiburan.” (Rienecker,
1981, p. 12). Newman Jr. (2005) memberikan arti kata
ini dengan: “Memohon, meminta; berseru (minta tolong); menghibur, menguatkan hati, menjawab dengan ramah.”
Yesus mengajarkan bahwa orang-orang yang
berbahagia adalah orang-orang yang merasakan dukacita yang amat mendalam karena dosa di dalam
dirinya atau karena keadaan tidak sebagaimana seharusnya. Orang-orang yang menyadari keadaan dosa
dalam dirinya dan menyesali dosanya, akan mendapat penghiburan. Tanpa adanya penyesalan yang
Jefrie Walean, Katekita Dalam Sejarah Pemikiran Pedagogis Kristen 129
mendalam akan dosa maka orang-orang tersebut akan
tetap hidup dalam dosanya. Orang-orang yang menyadari keadaan dirinya akan berseru kepada Allah
memohon pengampunan atas dosa. Barclay (2010, p.
157) menjelaskan demikian:
Kekristenan mulai dengan kesadaran tentang
dosa. Berbahagialah orang-orang yang secara
sungguh-sungguh menyesal karena dosa-dosanya. Berbahagialah orang yang hatinya hancur,
karena dosa yang telah dilakukannya sendiri
terhadap Allah dan terhadap Yesus Krisus.
Orang yang sungguh-sungguh sadar, menyesal karena dosa-dosanya lalu datang kepada Yesus mengakui dosa-dosa tersebut, akan menerima pengampunan dosa dari pada-Nya. Orang-orang tersebut akan
mengalami kelegaan dalam jiwanya, mereka mengalami janji Allah yaitu merasakan penghiburan dan
kelegaan dalam dirinya. Orang-orang tersebut dapat
merasakan berkat-berkat Allah. Lebih lanjut Barclay
(2010, p. 157) menjelaskan,
Berbahagialah orang yang melihat salib dan
yang merasa nyeri serta tertekan oleh kedahsyatan dosa. Orang-orang yang mempunyai
pengalaman seperti itulah yang kita sebut penyesalan pertobatan. Dan hati yang hancur serta
penuh penyesalan tidak akan dihinakan oleh
Allah (Maz. 51:17).
Orang-orang yang berdukacita, menyadari kebutuhannya akan pengampunan dosa. Hanya Allah
yang sanggup mengatasi masalah dosa. Orang-orang
berdosa yang menyadari bahwa akibat dosa yang dilakukannya, ia terpisah dari Allah. Tanpa adanya
pengampunan dari Allah, maka ia akan mendapatkan
hukuman; tetapi pada waktu ia berseru kepada Allah
ia akan diselamatkan dari hukuman itu. Roh kudus
menyadarkan akan dosa mereka serta memberikan
penghiburan saat mereka menyesali dan bertobat dari dosa-dosa mereka. Jadi orang-orang yang dapat
mengalami sukacita sejati terlebih dahulu harus ‘berdukacita’ karena dosa-dosanya. Jalan menuju kesukacitaan adalah melewati kesedihan dan kehancuran
hati yang sangat mendalam. Penghiburan yang sejati
adalah dambaan setiap orang dalam hidup mereka.
Yesus mengajarkan bahwa untuk mengalami penghiburan tersebut seseorang harus menyesal dan bertobat dari dosa-dosa mereka.
Mereka Akan Memiliki Bumi
Dalam pengajaran-Nya, Yesus menjabarkan
sasaran dari kebahagiaan serta alasan-alasan mengapa orang-orang tetap berbahagia. Matius 5:5 “berbahagialah orang yang lemah lembut karena mereka
akan memiliki bumi” dan dalam bahasa Yunani,
“makarioi hoi praeis, hoti autoi kleronomesousin ten
gen.” (Bible Work 8). Kalimat tersebut diterjemahkan oleh Carlton (2002)sebagai berikut: “Diberkati
oleh Allah orang-orang yang rendah hati (tidak sombong) sebab mereka akan mewarisi (memiliki) bumi
ini.” Kata “kleronomesousin” berasal dari kata kleronemeo yang berarti “menjadi ahli waris; mendapat
bagian-bagian.” (Newman Jr., 2005). Ten adalah kata sandang untuk kasus akusatif. Dalam The Analytical Greek-Lexicon (1794), dituliskan bahwaGen adalah
akusatifsingular yang berarti: “bumi, tanah, daerah
permukaan bumi; wilayah, tanah pilihan” Bumi adalah kerajaan Mesianis yang di bumi. Carlton (2002,
p. 46) menambahkan bahwa Yesus mungkin mengutip Mazmur 37:11 bahwa,
... tanah ini mungkin bagian dari kemakmuran
yang besar yang akan diberikan oleh Allah kepada umat-Nya…mewarisi tanah berarti Allah
akan membuat umat-Nya sejahtera secara rohani baik sekarang, maupun pada masa yang akan
datang (Matius 19:28-29; 25:34).
Jadi dapat dijelaskan bahwa “akan memiliki bumi”
berarti orang-orang percaya menjadi ahli waris dan
ia akan mendapat bagian warisannya. Sebagai ahli
waris, mereka berhak menerima bagian/warisan
yang akan menjadi miliknya dalam hal ini yaitu tanah, bumi. Orang-orang yang rendah hati memiliki
pengharapan dalam hidup mereka. Sebagai ahli waris, harta/bagian yang menjadi haknya adalah miliknya sendiri dan bagian itu adalah harta yang sah menurut hukum. Tuhan menekankan hal ini kepada para pendengarnya yang hadir sebagai kekuatan yang
memberikan pengharapan. Kedudukan sebagai ahli
waris akan memberikan kekuatan bagi orang-orang
yang rendah hati untuk tetap merasa berbahagia ka-
130 Volume 2, Nomor 2, Juli 2018
rena mereka memiliki suatu bagian yang dijanjikan
oleh Allah. Orang-orang yang lemah lembut adalah
mereka yang dapat menahan diri dalam hidupnya.
Ekspresi yang muncul dari setiap keadaan adalah
hasil dari pengendalian diri.
Mereka Akan Dipuaskan
Kepuasan dalam hidup adalah suatu wujud
kebahagiaan.Kadang kala kepuasan merupakan suatu tolak ukur, seseorang dikatakan berbahagia apabila keinginan-keinginan hidupnya dapat terpenuhi.
Matius 5:6 berbunyi, “Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan
dipuaskan”, dalam bahasa Yunani, “makarioi hoi
peinontes kai dipsontes ten diaiosunen hoti autoi
chortasthesontai”.(Bible Work 8). Kalimat tersebut
diterjemahkan oleh Carlton (2002, p. 46) sebagai
berikut: “Diberkati oleh Allah orang-orang yang
sungguh-sungguh ingin melakukan kehendak Allah
sebab (keinginan) mereka akan dipenuhi/dipuaskan
oleh Allah.” Kata chortasthesontai berarti: “memberi makan, mengenyangkan, makan sampai kenyang.
Yesus memberikan alasan mengapa seseorang harus merasa berbahagia dalam Matius 5:6,
karena berkenaan dengan orang yang lapar akan kebenaran. Mereka harus tetap merasa berbahagia
walaupun mereka sedang dalam keadaan kelaparan
dan kehausan secara rohani, karena mereka
akandipuaskan. Orang-orang yang merindukan
kebenaran Allah nyata di dalam hidupnya akan
mentaati segala kehendak Allah. Kebenaran Allah
akan nyata dalam kehidupan setiap orang yang
percaya dan bersandar kepada-Nya. Kerinduan
dalam hati melebihi segala kerinduan terhadap
segala sesuatu yang ada di dalam dunia ini. Alkitab
menyatakan kehendak Allah kepada manusia dan
merupakan pedoman dalam hidup orang percaya.
Yesus mengajarkan kepada orang-orang percaya yang merindukan kebenaran agar tetap berbahagia, karena mereka akan dipuaskan. Allah rindu
akan memuaskan mereka, sehingga mereka selalu
memiliki kerinduan untuk lebih bertumbuh. Lapar
dan haus secara rohani akan berlangsung terus-menerus bahkan berulang-ulang. Hal tersebut adalah
suatu tanda bahwa orang-orang percaya sedang bertumbuh dan hal itu sangat menyenangkan Allah.
Orang-orang yang berbahagia adalah mereka yang
selalu lapar dan haus akan kebenaran karena Allah
sendiri yang akan memenuhi segala kebutuhan mereka. Tuhan mengajarkan hal ini agar dalam setiap
keadaan orang-orang bersandar pada Allah yang mengetahui segala kebutuhan mereka. Kelaparan dan
kehausan orang-orang percaya tidak akan sia-sia
bahkan akan dipuaskan. Kepuasan tersebut akan digenapi oleh Allah pada akhir zaman.
Mereka Akan Beroleh Kemurahan
Kebahagiaan orang-orang yang telah merasakan kemurahan Allah dalam hidup mereka adalah
kebahagiaan yang wajar, di mana seseorang merasa
senang/gembira di dalam setiap tindakan yang dilakukannya. Kegembiraan tersebut adalah kegembiraan yang tulus tanpa ada tekanan dari pihak lain.
Alasan orang-orang percaya bergembira adalah karena mereka akanberoleh kemurahan. Dalam bahasa
Yunani, “makarioi hoi elemones hoti autoi eletesontai.” (Bible Work 8). Kalimat tersebut diterjemahkan
oleh Carlton sebagai berikut: “diberkati oleh Allah
orang-orang yang berbelaskasihan kepada orang lain
sebab mereka juga akan diberi belaskasihan oleh
Allah.” Secara literal, kata eleethesontai (dari kata
eleeo) berarti: orang-orang yang bermurah hati akan
menerima kemurahan hati Allah di dalam hidupnya.
Allah akan menyatakan kemurahan-Nya kepada mereka sehingga memiliki pengalaman-pengalaman dalam menerima belas kasihan serta merasakan penghiburan Allah dalam setiap langkah hidup mereka.
Dalam pelayanan-Nya, Yesus menunjukkan kemurahan-Nya dengan menyembuhkan orang sakit, membebaskan orang yang terikat dengan kuasa kegelapan, memberi makan kepada mereka yang lapar, mengusir setan-setan dari orang yang kerasukan setan,
mengadakan mujizat-mujizat, menguatkan orang
yang lemah iman, terlebih lagi dalam mengampuni
dosa. Yesus mengajarkan hal ini agar orang-orang
yang hadir pada saat itu dapat merasakan dalam
Jefrie Walean, Katekita Dalam Sejarah Pemikiran Pedagogis Kristen 131
dirinya bahwa Allah sungguh-sungguh mengasihi
mereka.
Orang-orang yang merasakan kasih Allah
dalam kehidupannya menyadari bahwa tanpa kasih
Allah, ia tidak dapat merasakan kemurahan Allah
yang begitu besar. Kemurahan Allah yang mereka
rasakan harus juga diwujudnyatakan kepada orang
lain. Allah telah mengampuni dosa-dosa mereka,
mereka juga harus mengampuni orang-orang yang
bersalah kepadanya. Mereka harus membantu orangorang yang membutuhkan pertolongan serta bentuk
pertolongan yang lain. Tanpa merasakan bagaimana
pertolongan Allah dalam hidupnya tidak mungkin
ada keinginan untuk menolong orang lain. Tanpa
merasakan pengampunan Allah dalam hidupnya, tidak mungkin mengampuni orang lain. Stott (1995, p.
57) mengatakan tidak ada motivasi yang lebih besar
yang menggerakkan untuk mengampuni orang lain
dari pada pengetahuan yang menakjubkan, bahwa
orang Kristen sendiri telah diampuni. Hal mengampuni atau memaafkan orang lain adalah wujud
dari kemurahan hati. Orang-orang yang memiliki
suatu perasaan/kerinduan untuk dapat menghibur
orang lain; menyatakan sifat murah hatinya terhadap
orang lain dengan memberi. Merasa kasihan terhadap orang lain merupakan bukti bahwa ia pernah
merasakan kasih Allah yang besar dalam hidupnya.
Orang-orang yang merasakan bagaimana kemurahan
Allah dalam hidupnya adalah orang-orang yang berbahagia karena semakin ia menyatakan murah hatinya kepada Allah dan sesama semakin pula ia merasakan kasih Allah yang besar dalam hidupnya.
Mereka Akan Melihat Allah
Hidup yang penuh dengan kebahagiaan merupakan kerinduan setiap orang. Dalam pengajaranNya, Yesus menekankan kesucian hati kepada para
pendengarnya (Mat. 5:8). Orang-orang yang suci hatinya adalah mereka yang telah mengalami pengampunan dosa dari Tuhan, sehingga hidupnya berkenan
kepada-Nya. Orang Yahudi menganggap hati merupakan pusat pikiran, emosi, dan keinginan yaitu pusat watak seseorang. Hati yang yang telah mengalami pengampunan berarti orang tersebut telah menjadi ciptaan baru. Hati mereka tidak lagi dikuasai oleh
dosa melainkan oleh Allah. Matius 5:8 dalam bahasa
Yunani: “makarioi hoi kataroi te kardia hoti autoi
ton teon osontai.” (Bible Work 8). Carlton (2002, p.
46) menerjemahkan kalimat tersebut sebagai berikut:
“Diberkati oleh Allah orang-orang yang murni hatinya/pikirannya karena mereka akan melihat Allah/
berada di hadirat Allah.” Alasan bagi orang-orang
yang suci hati untuk merasa berbahagia adalah akan
melihat Allah/berada di hadirat Allah. Dapat dikatakan bahwa orang-orang yang suci hati adalah orang
yang akan memandang/memiliki pengalaman bertatapan muka dengan Allah.
Setiap orang percaya memiliki pengharapan
bahwa ia akan melihat Allah. Dengan hati yang bersih/suci orang percaya dapat bersekutu dengan Tuhan karena Dia berkenan untuk ditemui. Orang percaya dapat melihat Tuhan dengan ‘mata iman’ mereka pada saat ini dan mereka tetap hidup dalam suatu pengharapan yang besar untuk dapat bertemu dengan Tuhan secara langsung; bertemu muka dengan
muka (1 Kor.13:12). Orang yang suci hati adalah
yang sudah bebas dari dosa dan hidup hanya bagi
Allah yang Maha Suci. Mereka akan melihat wajah
Tuhan dan nama-Nya akan tertulis di hati mereka. de
Heer (2007, p. 75) mengatakan bahwa, “Rabi-rabi
Yahudi menganggap hal melihat Tuhan itu sebagai
kebahagiaan yang tertinggi.” Beberapa ahli menduga
artinya bukan hanya tinggal bersama Allah di Surga,
tetapi juga mengenal Allah dan kehendak-Nya sekarang. Pfeiffer dan Harrison (2001, p. 34) menambahkan bahwa orang yang moralnya tidak tercemar dosa, perhatian dan kesetiannya tidak bercabang dan
mereka ini selaku pemilik sifat dasar murni Allah.
Mereka diberi penglihatan yang tak terhalang tentang Allah, dan mencapai puncak penggenapannya
saat kedatangan-Nya kembali (1 Kor. 13:12; 1 Yoh
3:2). Yesus mengajarkan tentang orang-orang yang
suci hati agar orang-orang yang hadir dapat melihat
kenyataan bahwa “hati yang suci” adalah suatu cara
untuk melihat Tuhan. Suci hati bukan dicapai dengan cara melakukan ritual agama. Hati yang suci
132 Volume 2, Nomor 2, Juli 2018
adalah hati yang telah diperdamaikan dengan Tuhan.
Dengan hati yang suci seorang tidak akan memikirkan hal-hal yang tidak berkenan kepada Tuhan.
Orang-orang yang suci hati adalah orang-orang yang
merasa bergembira/berbahagia dan beruntung karena
mereka mempunyai pengharapan untuk dapat bertemu dengan Tuhan kerena Dia sendiri akan menampakkan diri-Nya kepada mereka. Jadi orang yang suci hatinya adalah orang yang berbahagia karena akan
melihat Allah.
Mereka akan Disebut Anak-anak Allah
Kehidupan yang penuh dengan kedamaian
adalah impian banyak orang. Manusia selalu berusaha agar mereka dapat berdamai dengan sesama dalam segala hal. Terbentuk pula organisasi-organisasi
perdamaian baik secara regional bahkan internasional yang berusaha mengambil bagian dalam menciptakan perdamaian dan ketertiban. Anak-anak Tuhan
harus menjadi teladan dalam menciptakan damai.
Yesus memberikan kriteria orang-orang yang menjadi sasaran/objek dari kebahagiaan. Matius 5:9 dalam
bahasa Yunani berbunyi,”makarioi hoi eirenopoioi,
hoti autoi hoioi teu kletesontai.” (Bible work 8).
Kalimat tersebut diterjemahkan oleh Calton (1991)
sebagai berikut:
Diberkati oleh Allah orang-orang yang membawa damai/menolong orang lain untuk hidup
damai satu sama lain/menyelesaikan perpecahan/pertentangan satu sama lain sebab mereka
akan disebut/dianggap anak/umat Allah.
Orang-orang yang cinta damai selalu berusaha untuk
menciptakan damai dengan orang lain. Alasan
mengapa mereka berbahagia adalah mereka disebut
anak-anak Allah. Kata Huioi berasal dari kata Huios
yang berarti: “Anak laki-laki, keturunan, ahli waris,
murid, pengikut.” (Newman, 1991). Kata Theou berasal dari kata Theos yang berarti: “Dewa, dewata,
Tuhan, ketuhanan/kedewaan yang tertinggi, hakim,
Allah.” (Strong, 1984). Kata kletesontai berasal dari
kata kaleo yang berarti: to call, to name, to be given
a name.” (Rienecher, 1981, p. 12). Orang-orang
yang membawa damai itu akandinamakan anak-anak
Allah. Cinta damai merupakan ciri yang dapat dilihat oleh orang lain, sehingga di manapun berada,
orang lain mengetahui bahwa ia murid Tuhan. Mereka berusaha menciptakan perdamaian dan berusaha
memulihkan kembali apa yang renggang atau rusak.
Terkadang mereka harus menanggung derita karena
berusaha untuk menciptakan perdamaian.Allah adalah sumber perdamaian bagi manusia. Membawa damai adalah sifat dasar Allah. Seringkali orang-orang
tidak percaya senang memancing di air keruh, tetapi
anak-anak Allah adalah pembawa damai. Mereka
dituntut untuk dapat menyatakan kasih Tuhan yang
telah nyata dalam hidupnya. Setiap keadaan merupakan kesempatan untuk menyatakan kasih Tuhan kepada orang lain. Pengalaman karena sudah diperdamaikan dengan Allah merupakan dasar untuk tetap
hidup dalam damai dengan orang lain.
Alasan untuk berbahagia bagi orang-orang
yang cinta damai adalah disebut anak-anak Allah.
Sebagai anak-anak Allah, tuntutan hidup di dunia ini
sangat berat dan orang-orang percaya bertanggung
jawab untuk tetap hidup sesuai dengan tuntutan
Tuhan. Yesus memberikan pengajaran ini agar
orang-orang yang hadir dapat menyadari bahwa cinta damai adalah sasaran yang ingin dicapai. Kebahagiaan tidak mungkin dicapai tanpa adanya perdamaian baik perdamaian dengan Tuhan,maupun dengan sesama manusia. Jadi orang-orang yang diberkati oleh Allah adalah mereka yang cinta damai.
Orang-orang yang cinta damai adalah orang-orang
yang akan dinamakan anak-anak Allah.
Upah Mereka Besar di Sorga
Orang-orang percaya harus siap menghadapi
tantangan yang dilakukan oleh orang-orang yang
membenci cara hidup mereka. Namun Yesus menekankan agar orang-orang percaya harus tetap berbahagia pada saat mengalaminya. Yesus mengajarkan mereka untuk tetap bersukacita dan bergembira,
karena ada janji Tuhan bagi orang-orang yang sedang mengalami penganiayaan tersebut. Matius 5:12
dalam bahasa Yunani: “Khairete kai agalliasthe,
hoti ho misthos humon polus en tois houranois …”
(BGT, Bible work 8). Terjemahan Carlton (2002, p.
Jefrie Walean, Katekita Dalam Sejarah Pemikiran Pedagogis Kristen 133
47) sebagai berikut: “Bergembira dan bersukacita/rayakanlah, sebab (Allah menyediakan) upah yang
berlimpah-limpah bagimu di Sorga.” Khairete berarti: “Bersukacita, bergembira hati.” Agalliasthe berarti: “Bergembira, bersukacita,” Misthos berarti: “Ganjaran, upah.” Polus berarti: besar/masyur dalam jumlah, banyak.” Ouranois, dari kata ouranos berarti:
Surga, dipakai juga dengan arti Allah untuk menghindarkan menyebut nama yang kudus itu, langit.”
(Newman, 1991). Secara literal dapat disebutkan
bahwa bersukacita dan bergembiralah kamu sekalian, karena upahmu besar di Sorga. Penderitaan
yang dialami orang-orang percaya akibat adanya fitnahan, kebencian, bahkan aniaya dari orang-orang
yang tidak hidup dalam terang justru akan mendatangkan kesukacitaan.
Sikap yang diajarkan Yesus pada orangorang yang mengalami penganiayaan adalah bersukacita dan bergembira. Kedua kata ini terdiri dari
present imperative yang berarti: “Suatu perintah atau
permintaan, agar berbuat sesuatu terus menerus atau
berulang-ulang kali.” (Wenham, 2005, p. 56). Sikap
gembira dan sukacita itu merupakan sikap yang kontinyu, hal ini menunjuk pada keadaan yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Pada saat
berada dalam situasi yang sulit, dimana terjadi penganiayaan secara fisik dan mental, orang-orang percaya harus tetap bersukacita dan bergembira, karena
Allah menjanjikan upah besar di Sorga. “Upah yang
diberikan bukanlah sesuatu untuk dinikmati sendiri,
tapi kesanggupan dan kesempatan yang lebih besar
untuk menikmati berkat dan melayani Allah.” (Bruce,
1995, p. 75). Kemampuan untuk menikmati berkat
dan melayani Allah merupakan alasan untuk tetap
berbahagia. Hal ini merupakan dasar sikap seseorang
untuk tetap bersukacita. Stott (1995, p. 62) mengatakan bahwa manusia mungkin kehilangan segala-galanya di dunia tetapi akan mewarisi segala-galanya
di Sorga, itu bukan sebagai upah atas jasa, kemudian
di pihak lain penganiayaan merupakan bukti kesejatian kekristenan. “Sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu” (Mat. 5:12b). Jadi sama seperti nabi-nabi yang hidup dahulu telah
mengalami penganiayaan dan Allah memberikan
upah yang besar di Sorga bagi mereka, hal yang sama juga akan Allah lakukan bagi orang-orang percaya yang mengalami aniaya. Yesus menyatakan hal
ini supaya orang-orang percaya tetap tabah tatkala
mengalami penganiayaan karena hidup dalam kebenaran-Nya dan karena pemberitaan Injil.
KESIMPULAN
Dalam penelitian ini, peneliti telah memaparkan pengajaran Yesus mengenai berbahagia yang
mencakup tiga hal pokok yaitu pengertian berbahagia, sasaran/objek berbahagia serta alasan-alasan
mengapa mereka harus berbahagia. Dalam Matius 5:
3-12, Yesus memberikan pengajaran mengenai berbahagia yang mencakup standar hidup orang-orang
yang berbahagia serta alasan-alasan mengapa orangorang percaya harus berbahagia. Standar hidup
orang yang berbahagia ialah “miskin di hadapan
Allah; berdukacita; lemah lembut; lapar dan haus
akan kebenaran; murah hatinya; suci hatinya; membawa damai; dianiaya oleh sebab kebenaran; dicela
dan dianiaya karena Kristus; difitnahkan segala yang
jahat.” Orang Kristen yang memiliki standar hidup
sebagai umat kerajaan Allah merasakan kebahagiaan
sekalipun berada dalam situasi yang kurang mendukung. Alasan mengapa orang Kristen harus berbahagia adalah karena mereka mempunyai Kerajaan Sorga; mereka akan dihibur; mereka akan memiliki bumi; mereka akan dipuaskan; mereka akan beroleh
kemurahan; mereka akan melihat Allah; mereka
akan disebut anak-anak Allah; mereka akan empunya Kerajaan Sorga; upah mereka besar di Sorga.
DAFTAR RUJUKAN
Abineno, J.L. Ch. 2002. Khotbah di Bukit. Jakarta:
BPK Gunung Mulia.
Avanzini, J. 1985. Lebih Dari Cukup. Surabaya:
YAKIN.
134 Volume 2, Nomor 2, Juli 2018
Barclay,W. 2010. Matius: Pasal 1-10. Jakarta: BPK
Gunung Mulia.
Bavinck, J.H. 2007. Sejarah Kerajaan Allah Perjanjian Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Bible Work 8 – (bibleworks 8 / init /bw 800. Swc )
Bruce, F. F. 1995.“Matius” dalam Tafsiran Alkitab
Masa Kini. Peny. H. Adiwijono. Jakarta:
YBK/OMF.
Carlton, M.E. 2002. Terjemahan Khusus untuk Penerjemahan Dan Pendalaman Alkitab Injil
Matius. Jakarta: Kartidaya.
de Heer, J.J. 2007.Tafsiran Alkitab Injil Matius I. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Fernando, A. 1989. Apakah Orang Kristen harus
Menderita? Malang: Gandum Mas untuk
Kalam Hidup dan YAKIN.
Henry, M. 2007. Tafsiran Injil Matius 1-14. Surabaya: Momentum.
Heriawan, R. 2013. Kemiskinan. Jakarta: BBC Indonesia.
Hermanto, B. W. 2017. “Kajian Dan Uraian Apologetis Teologis Terhadap Ungkapan “Allah
Menyesal” Dalam Alkitab”. Evangelikal:
Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga
Jemaat, 1(1): 29-48.
Hunter, A.M. 2004. Memperkenalkan Teologi Perjanjian Baru. Jakarta: BPK, Gunung Mulia.
Kingsbury, J.D. 2000.Injil Matius Sebagai Cerita.
Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Kittel, G. 1981. Theologikal Dictionary of The New
Testament, Vol. IV. Grand Rapids, Michigan: WM. B. Eerdmans Publishing Company.
Ladd, G.E. 1994. Injil Kerajaan. Malang: Gandum
Mas.
Lee, Witness. 1997.Perjanjian Baru. Jakarta: YPII.
Nababan, S.A.E. 1988. Iman dan Kemiskinan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Newman Jr., B.M. 2005.Kamus Yunani – Indonesia
untuk Perjanjian Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Novum Testamentum Graece. London: United Bible
Societis, 1975.
Objantoro, E. 2017. “Sejarah dan Pemikiran Kaum
Injili Di Tengah-tengah Perubahan dan Tantangan Zaman”. Evangelikal: Jurnal Teologi
dan Pembinaan Warga Jemaat, 1 (2): 129-
138.
Packer, J.L. Tenney, M. C. & White Jr., W. 1993.
Dunia Perjanjian Baru. Surabaya: YAKIN.
Pfeiffer, C.F. dan Harrison, E.F. 2001. Tafsiran Alkitab Wycliffe. Malang: Gandum Mas.
Rienecher, F. 1981. A Linguistic Key To The Greek
New Testament, Vol. I: Matthew-Acts. Grand
Rapids, Michigan: Zoondervan Publishing
House.
Ryrie, C.C. 1985. The Ryrie Study Bible. Chicago:
Moody Press.
Stott, J. 1995. Khotbah di Bukit. Jakarta: Yayasan
Bina Kasih/OMF.
Strong, J. 1984. The Exhaustive Concordance of the
Bible. Iowa: United Bible Publishers.
Susanto, H. 2003. Konkordansi Perjanjian Baru. Jakarta: LAI.
The Analytical Greek-Lexicon.London: Samuel Bagster and Son Limited, 1974.
Tim Penyusun. 1992.Ensiklopedi Alkitab Masa Kini
Jilid I: A-L. Jakarta: Yayasan Bina Kasih/
OMF.
Tjandra, Lukas. 1994. Latar Belakang Perjanjian
Baru II. Malang: SAAT.
Tulluan, Ola. 1999. Introduksi Perjanjian Baru. Malang: YPPII.
Verkuyl, J. 2002. Khotbah di Bukit. Jakarta: BPK
Gunung Mulia.
Vine,W.E. 1981. Vene’s Ekspository Dictionary of
Old and New Testamen. Iowa: Word Bible
Publishers.
Wenham, J.W. 2005. Bahasa Yunani Koine. Malang:
SAAT.
Gereja Misi Kristus Sedunia adalah gereja yang memiliki Doktrin Injili dan Penerapan Praktis yang Pentakosta / Karismatik
Wednesday, 24 April 2019
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Misi Kristus Sedunia
PELAJARAN SEKOLAH MINGGU
TANGGAL PELAJARAN SEKOLAH MINGGU KATEGORI Babak pertama ...
-
It is currently Tue Oct 18, 2016 9:42 pm FAQ Search The team Register Login SarapanPagi Biblika Bible Study / Christian...
-
Home Mempersiapkan Sebuah Khotbah Pemahaman Alkitab Jenis Bahan Indo Lead: Artikel Kategori Bahan Indo Lead: Spiritual L...
No comments:
Post a Comment