Wednesday 24 April 2019

PENGAJARAN TUHAN YESUS MENGENAI BERBAHAGIA DALAM MATIUS 5:3-12
Yohanes Enci Patandean Sekolah Tinggi Teologi Simpson Jl. Agung No. 66, Krajan, Kel. Susukan,Kec. Ungaran Timur, Kab. Semarang, Jawa Tengah Email: agapemasyarakat@gmail.com Asbtract: Yohanes Enci Patandean, Preaching the Lord Jesus to be blessed in Matthew 5: 3-12. This article discusses the preaching of the Lord Jesus concerning of blessing in Matthew 5: 3-12 and analyzed there are three points to be analyzed, that is the understanding of blessing, blessing objects / goals and the reasons why should be blessed. The method that used is descriptive with a qualitative approach to the biblical text, and word analysis methods. In the text of Matthew 5: 3-12, Jesus
teaches about blessed which includes the standard of living of the blessed people and the reasons why believers should be blessed. Jesus gives the preaching of blessing which includes the standard of living of a happy person is poor before God; mourning; gentle; hunger and thirst for righteousness; generous; sacred heart; bring peace; persecuted by righteousness; blemished and persecuted for Christ; and slandered all evil. Keywords: Happy, Matthew, Jesus, Preaching Abstrak: Yohanes Enci Patandean, Pengajaran Yesus Mengenai Berbahagia Dalam Matius 5:3-12. Artikel ini membahas tentang pengajaran Tuhan Yesus mengenai berbahagia dalam Matius 5:3-12 dan dianalisis ada tiga hal pokok yang menjadi analisis yaitu pengertian berbahagia, sasaran/objek berbahagia serta alasan-alasan mengapa harus berbahagia. Metode yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif pada teks Alkitab, dan metode analisis kata. Dalam teks Matius 5:3-12, Yesus memberikan pengajaran mengenai berbahagia yang mencakup standar hidup orang-orang yang berbahagia serta alasan-alasan mengapa orang-orang percaya harus berbahagia.Yesus memberikan pengajaran mengenai berbahagia yang mencakup standar hidup orang-orang yang berbahagia dan standar hidup orang yang berbahagia ialah miskin di hadapan Allah; berdukacita; lemah lembut; lapar dan haus akan kebenaran; murah hatinya; suci hatinya; membawa damai; dianiaya oleh sebab kebenaran; dicela dan dianiaya karena Kristus; difitnahkan segala yang jahat. Kata kunci: Berbahagia, Matius, Yesus, Pengajaran PENDAHULUAN Kehidupan orang Kristen tidak pernah terlepas dari berbagai tantangan, baik dari dalam diri maupun dari keadaan di sekitarnya. Tantangan tersebut merupakan kenyataan yang harus dihadapi dan dijalani, walaupun pada kenyataanya mengecewakan dan menakutkan. Ladd (1994, p. 13) berkata bahwa manusia hidup dalam masa yang indah tetapi menakutkan karena perkembangan teknologi seperti pesawat udara yang membelah angkasa melewati ribuan mil dalam beberapa jam, tenaga listrik membuat sejumlah alat dapat bekerja sendiri menggantikan fungsi pembantu,dan itu sungguh suatu zaman yang mengagumkan, tetapi kebahagiaan dan keamanan menjadi lebih menipis karena menghadapi bahaya yang tiada bandingnya. Dampak perkembangan tersebut adalah kesulitan-kesulitan seperti masalah pemisah antara orang-orang kaya dan miskin; masalah ekonomi; masalah sandang dan papan, juga dialami oleh orang Kristen yang menuntut adanya suatu jalan keluar, namun kenyataan yang muncul dalam masyarakat merupakan bukti bahwa masalah tersebut belum teratasi. Tantangan penganiayaan fisik dan mental adalah suatu keadaan yang tidak menyenangkan yang dapat menimpa orang Kristen. Penganiayaan melalui tulisan yang memojokkan kekristenan dan ejekan mengenai iman Kristen yang menimbulkan tekanan mental, tetapi juga dilakukan secara nyata seperti pembakaran gedung gereja, pemukulan dan 116 Volume 2, Nomor 2, Juli 2018 penyiksaan secara fisik. Mengikut Yesus bukan jaminan untuk tidak mengalami penderitaan. Tindakan aniaya ini terjadi karena kebencian terhadap pengikut Kristus. Fernando (1989, pp. 495-496) mengatakan bahwa alasan untuk penderitaan ialah kebencian kekuatan-kekuatan kegelapan terhadap dunia terang yang mengakibatkan terjadinya penganiayaan (2 Tim. 3:12). Kemudian penganiayaan merupakan wujud ketidakpuasan dan ketidaksenangan orang lain terhadap kekristenan yang dianggap sebagai penghambat atau wabah dari kelompok tertentu. Pengajaran Yesus mengenai konsep berbahagia dapat menimbulkan juga suatu tekanan etis/moral yang datang dari luar kehidupan orang Kristen. Tidak mungkin merasa bahagia pada saat berada dalam keadaan miskin, saat menghadapi keputusasaan, saat teraniaya, bahkan tidak mungkin berbahagia pada saat dikucilkan oleh keluarga maupun masyarakat. Konsep berbahagia pada umumnya menyangkut keadaan atau situasi yang aman, tentram, damai, makmur, menyenangkan bukan sebaliknya. Logisnya, saat mengalami kemiskinan, fitnahan, celaan, aniaya ataupun penderitaan dalam bentuk yang lain tidak mungkin orang percaya dapat merasakan kebahagiaan. Dalam keadaan demikian yang timbul adalah kesedihan, dukacita, kuatir bukan merasa bahagia. Selain itu timbul masalah dimana dalam kekristenan muncul pandangan kebahagiaan seperti teologi sukses yang mengajarkan bahwa Allah memberkati orang-orang percaya dengan kelimpahan materi. Teologi sukses mengharuskan setiap orang Kristen menyatakan kehidupannya dengan kekayaan dan kelimpahan materi sebagai tanda bahwa mereka diberkati. Penganutnya berpendapat bahwa jika orang percaya belum memiliki berkat materi yang berkeliumpahan, itu berarti orang tersebut belum dipulihkan hubungannya dengan Allah. Jadi jika orang Kristen yang tidak memiliki berkat materi secara berkelimpahan berarti mereka tidak deberkati dan kalau mereka tidak diberkati, tidak mungkin dapat mengalami kebahagiaan dalam hidup mereka. Yang mereka alami adalah kesedihan, dan kegelisaan. Kemiskinan yang dialami seseorang terjadi karena memiliki konsep yang salah dan itu harus diubah dengan konsep yang baru dengan mengizinkan Yesus membuat segala sesuatu baru, dengan demikian seseorang dapat mengalami berkat yang berkelimpahan. Hal inilah yang dapat membahagiakan seseorang kalau memiliki materi yang berkelimpahan. Kemudian muncul pula pandangan teologi hidup sederhana yang sangat bertolak belakang dengan pandangan teologi sukses. Teologi hidup sederhana berpendapat bahwa kehidupan yang akan diberkati Tuhan ialah hidup dalam kemiskinan, menderita, dan mengajarkan bahwa orang yang berbahagia serta diberkati adalah orang-orang yang miskin dan berkekurangan. Nababan (1988, p. 11) menjelaskan Di kalangan Kristen terutama di kalangan mereka yang tidak mempunyai apa-apa kecuali suatu warisan kesalehan, pengajaran Pietisme, yang mengajarkan bahwa miskin adalah lebih baik dari pada kaya dalam hidup orang-orang beragama. Hal ini membuktikan bahwa dalam kekristenan pun muncul ajaran-ajaran yang berbeda mengenai kehidupan yang berbahagia. Dengan latar belakang di atas maka dilakukan kajian terhadap pengajaran Yesus mengenai berbahagia dalam Matius 5:3-12. Injil Matius ditulis oleh Matius, anak Alfeus, seorang pemungut cukai yang dipanggil Yesus menjadi murid-Nya (Mat. 9:9). Tulluan (1999, p. 34) menegaskan jika Matius tepat untuk menulis buku tentang pengajaran dan perbuatan Yesus. Sebagai pemungut cukai, Matius pandai berbahasa Ibrani dan Yunani, pandai berhitung, suka mencatat dan teliti sampai bagian yang terkecil sekalipun. Dengan menyimak pada suatu catatan dari Papias, bapak gereja abad kedua berbunyi: “Matius menulis (mengumpulkan) pidato (laporan) dalam bahasa Ibrani dan masing-masing orang menafsirkannya menurut kemampuannya.” (Kingsbury, 2000, p. 210). Injil Matius ditujukan kepada orang-orang Yahudi yang percaya, hal itu tampak dari penulisanpenulisan yang mengacu pada Perjanjian Lama dan istilah-istilah Yahudi yang digunakan. Injil Matius sering disebut ‘Injil Kerajaan’ karena Injil ini berbicara banyak tentang Kerajaan Allah. Orang-orang Jefrie Walean, Katekita Dalam Sejarah Pemikiran Pedagogis Kristen 117 Yahudi selalu memegang janji Allah bahwa Allah akan memberikan seorang Mesias bagi mereka. Itu adalah pengharapan besar yang perwujudannya dipohonkan oleh orang Yahudi saleh dalam doa: “Semoga Allah menegakkan pemerintahan-Nya yang rajani sewaktu hidupmu dan sewaktu hari-harimu, dan sewaktu hidup seluruh kaum Israel” (Hunter, 2004, p. 31). Mesias yang akan menjadi Raja dan membebaskan mereka dari segala permasalahan yang ada di antara bangsa Yahudi. Hal ini merupakan suatu pengharapan di kalangan orang-orang Yahudi secara turun temurun. Tjandra (1994, p. 76) menjelaskan bahwa Tendensi sejarah dari pemikiran Perjanjian Lama merangsang timbulnya semacam pengharapan yang berkisar pada pikiran yang berpusat pada Mesias, menantikan kedatangan Mesias, mereka senantiasa mendambakan datangnya hari itu. Bavinck (2007, p. 21) mengungkapkan bahwa tujuan Injil Matius ditulis adalah untuk membuktikan dengan jelas bahwa Yesus adalah Mesias yang sekian lamanya dijanjikan oleh Allah dan di dalam-Nya segala nubuatan-nubuatan dalam Perjanjian Lama digenapi. Terdapat 47 kutipan Matius dari Perjanjian Lama membuktikan dalam Yesus telah digenapi apa yang dulu dituliskan oleh nabi-nabi (Mat. 26:54a; 27:9, 10, 35). Orang-orang Yahudi percaya bahwa Allah akan menggenapkan janji-Nya kepada mereka dengan memberikan Mesias dan mereka akan menemukan kebahagiaan. Matius ingin menjelaskan kepada orang-orang Yahudi bahwa Sang Mesias itu sudah datang di antara mereka serta telah mendirikan kerajaan-Nya. Mesias hadir di antara orang Yahudi dan hal itu merupakan penggenapan dari janji Allah yang telah dinantikan sejak lama. Packer, Tenney, & White Jr. (1993, p. 121) mengatakan bahwa hampir semua masyarakat Yahudi pada masa Yesus, hidup dalam pengharapan akan terjadinya peristiwa-peristiwa besar karena penindasan oleh orang-orang Romawi, tetapi mereka sangat percaya bahwa tidak lama lagi Mesias akan datang. Pengharapan orangorang Yahudi bahwa Sang Mesias akan membebaskan mereka dari belenggu penjajahan dan mengadakan peristiwa-peristiwa besar serta mendirikan suatu kerajaan di dunia ini bagi orang Yahudi sangat besar. Mereka berharap bahwa semua itu menimbulkan kebahagiaan. Tetapi kenyataan yang ditemukan sangat bertolak belakang dengan apa yang mereka harapkan. Mesias yang sudah lama dinantikan oleh mereka hanyalah seorang tukang kayu dari Nazareth. Mereka merasa kecewa dan menolak Yesus (Mat. 13:55,57; Mrk. 6:3). Dalam pengajaran-Nya, Yesus banyak mengajarkan tentang Kerajaan Allah dan orang percaya adalah anggota Kerajaan Allah.Orang-orang percaya dituntut untuk dapat melaksanakan peraturan-peraturan, menjadi saksi, bahkan harus siap untuk mengalami hal-hal yang seringkali bertentangan dengan segala keinginan mereka. Ladd (1994, p. 10) mengatakan bahwa Pemerintahan Allah menuntut kepatuhan penuh. Warga Kerajaan-Nya harus mengutamakan Dia di atas segalanya. Kita dapat memasuki kerajaan Allah hanya bila kita telah membuat keputusan dan kita telah membayar harganya. Pemerintahan Allah dalam kerajaan-Nya saat ini dapat dialami, dirasakan oleh setiap orang yang percaya kepada-Nya. Orang-orang percaya yang sungguhsungguh menyerahkan diri kepada Allah, dapat merasakan Allah berkuasa dalam hidupnya sehingga mereka mengalami hidup yang berkemenangan. Pengajaran Yesus mengenai Kerajaan Allah, sangat berbeda dengan pengajaran orang-orang Farisi dan para ahli Taurat sebagai pembawa agama yang meng-utamakan hal-hal lahiriah yaitu norma-norma agama sebagai cara untuk mengalami kerajaan Allah. Orangorang Yahudi pada waktu berusaha memenuhi ketentuan-ketentuan, hukum-hukum, dan tradisi-tradisi tetapi belum menerapkan firman kerajaan secara sungguh-sungguh dalam hati mereka. Tetapi Yesus sebagai agen pembaruan agama, jauh berbeda dengan pengajaran dan sikap mereka. Yesus menafsirkan ritual dan Hukum Allah dengan cara jauh lebih dalam. Yesus adalah penggenapan dari ketentuanketentuan, hukum-hukum, tradisi-tradisi. Di dalam Yesus telah digenapi segala tuntutan Allah bagi orang-orang Yahudi secara sempurna. Dia memberikan pengajaran tentang pola hidup yang pantas di 118 Volume 2, Nomor 2, Juli 2018 kerajaan Allah yang datang ke bumi. Pengajaran Yesus dalam Khotbah di Bukit meyakinkan manusia betapa tingginya standar hidup dalam Kerajaan Allah bagi umat manusia. Tidak mungkin manusia dapat memenuhi segala tuntutan Allah, karena tuntutan Allah adalah sempurna. Da-lam Matius 5:48 Yesus berkata: “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.” Jadi selayaknya manusia berhenti mengandalkan diri sendiri, menyesal dan bertobat karena segala usaha yang dilakukan untuk masuk dalam kerajaan Allah sia-sia belaka. Jaminan untuk hidup dalam kerajaan Allah adalah mengandalkan Yesus karena di dalam Yesus segala tuntutan Allah telah digenapi secara sempurna. Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana pengajaran Yesus mengenai berbahagia dalam Matius 5:3-12? Tujuan penelitian ini adalah untuk memaparkan mengenai pengajaran Yesus tentang kata berbahagia dalam Matius 5:3-12. METODE Metode yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif pada teks Alkitab, dan metode analisis kata. Penulis melakukan analisis terhadap Matius 5:3-12 untuk mendapatkan arti kata maupun makna dan ajaran Yesus mengenai berbahagia. Tahapan analisis yang penulis lakukan adalah mengumpulkan buku-buku yang terkait topik penulisan, mempelajari arti kata dalam bahasa Yunaninya, menggunakan alat bantu bible work 8, mempelajari latar belakang pengajaran Yesus dalam Matius 5, dan menyusun simpulan dalam bentuk laporan tertulis. Beberapa sumber literatur yang relevan penulis gunakan misalnya Strong Exautive Concordace, The Analytical Greek-Lexicon, Novum Testamentum Graece, Kamus Yunani – Indonesia untuk Perjanjian Baru, aplikasi Bible work 8. Beberapa tafsiran digunakan sebagai sumber pendukung dalam analisis penelitian ini. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengajaran Mengenai Berbahagia Pengertian Pengajaran Yesus mengenai berbahagia dalam Matius 5:3-12 ditujukan kepada orang percaya. Bagaimana sikap yang akan muncul dalam hidup mereka pada waktu orang tersebut berada dalam keadaan atau situasi yang sulit. Hal ini merupakan suatu tantangan atau pergumulan dalam kehidupan orang tersebut untuk tetap bersabar serta merasa berbahagia di dalam keadaan yang tidak menguntungkan ataupun dalam situasi yang tidak mendukung. Yesus memberikan pengajaran ini kepada murid-murid-Nya dan orang banyak yang datang kepada-Nya dari berbagai tempat baik yang datang dari Galilea, Dekapolis, Yerusalem, Yudea dan dari seberang sungai Yordan (Mat. 4:24-25;5:1-2). Dalam bahasa Yunani kata berbahagia (diberkati) yang digunakan dalam Matius 5:3-12, adalah makarioi. Kata makarioi berasal dari kata makarios yang berarti amat sangat menyenangkan; untung; agak kaya, berada, mampu, beruntung, gembira, senang, bahagia.” (Newman Jr., 2005). Jadi yang dimaksud dengan berbahagia di sini menurut arti katanya adalah suatu keadaan di mana seseorang merasa bahwa ia beruntung, senang, dan bahagia atau ia sedang merasakan bahwa keadaan yang dihadapinya adalah sangat menyenangkan baginya. Sikap itu akan tampak secara almiah (wajar) bila orang itu berada dalam keadaan yang menyenangkan (menguntungkan) bahkan pada situasi yang tidak menguntungkan (mengecewakan). “Bahagia, sebuah gambaran mengenai kondisi batin seseorang percaya. Bila melukiskan seseorang yang dalam kehendak Allah, sesungguhnya yang dimaksudkan adalah orang yang sudah selamat. Vine (1981) menjelaskan “Di dalam kebahagiaan, Allah menunjukkan tidak hanya sifat atau watak dari kebahagiaan itu, tetapi sifat dasar yang merupakan kebaikan tertinggi.” Ryrie (1985, p. 1485) menjelaskan “The beatitudes (blessed means happy) describe the inner condition of a follower of Christ and promise him blessing in the future.” Dalam kehidupan orang percaya, kebahagia- Jefrie Walean, Katekita Dalam Sejarah Pemikiran Pedagogis Kristen 119 an adalah suatu lukisan atau gambaran mengenai keadaan batin yang muncul dalam sikapnya saat menghadapi suatu situasi yang sulit. Pada awalnya, kata makarios dalam bahasa Yunani berkenaan dengan kehidupan para dewa. Akar kata dari kata ini merupakan sebuah kata puitis. Kittel (1981, p. 362) menjelaskan Makarios is a poetic word, also found later in common speech. It is a subsidiary form of makar. The latter is reffered predominantly, at first to the gods. It denotes the transcendent happiness of a life beyond care, labour and death. Para dewa sebagai penguasa atas dunia ini mempunyai kuasa dan kemuliaan, serta mereka merasa senang karena dapat menguasai segala sesuatu yang ada di dunia. Sebagai penguasa, para dewa seringkali merasa gembira karena mereka mempunyai kemampuan dan memiliki kuasa atas dunia ini. Pfeiffer dan Harrison(2001, p. 34) mengatakan bahwa “Mazmur 1 memberikan gambaran Perjanjian Lama mengenai orang yang berbahagia, yang menunjukkan sifat dasarnya melalui hal-hal yang ia lakukan.” Di kalangan orang Yahudi, kata berbahagia ini merupakan kata yang biasa dan umum didengar. Kata ini muncul lebih dari 350 kali dalam Perjanjian Lama. Hal ini berarti orang Yahudi mengenal arti dari kata berbahagia ini. Kata berbahagialah dalam Mazmur 24:3-4 dan 37:11 mempunyai pengertian yang hampir sama dengan kata berbahagia dalam Perjanjian Baru, khususnya yang diajarkan oleh Yesus dalam Matius 5:3-12. Barclay (2010, p. 146) lebih lanjut menjelaskan seruan seperti itu merupakan hal yang biasa di dalam Perjanjian Lama, misalnya dalam Mazmur 1:1, ungkapan yang hampir sama dengan yang ditemukan dalam khotbah di bukit ini: “Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik.” Pengajaran Yesus mengenai berbahagia sangat berbeda denganpengajaran orangorang Farisi dan para ahli Taurat. Verkuyl (2002, p. 20) menjelaskan pada waktu itu pemimpin agama Yahudi ialah para Rabbi dan ahli-ahli Taurat bangsa Israel, memberikan pelajaran sebagai berikut: Berbahagialah orang yang kaya jiwanya, karena ia akan mendapat tempat di Firdaus ... Berusahalah menyimpan (menabung) sebanyak mungkin pada bank itu berupa perbuatan-perbuatan baik, bila saldo perbuatan baik kepunyaanmu itu besar, maka pastilah engkau mendapat tempat yang bagus di Firdaus. Sejak kecil mereka dididik dengan ajaran itu sehingga sulit untuk melupakannya.Mereka berada di dalam tekanan atau penindasan ajaran itu. Pengajaran Yesus mengenai berbahagia didasarkan pada penafsiran-penafsiran mengenai Kerajaan Allah. Para pemimpin agama Yahudi memberikan pengajaran bahwa Kerajaan Allah memiliki kebenaran sendiri dan kebenaran itu berdasarkan hukum Taurat. Orang Farisi amat memperhatikan pengajaran mereka akan ketaatan terhadap hukum Taurat sebagai dasar pengajaran mereka. Orang-orang yang dapat menjalankan atau memenuhi aturan hukum Taurat akan mendapatkan keselamatan/mewarisi kerajaan Sorga. Dalam pengajaran-Nya, Yesus memberikan pengajaran khususnya mengenai konsep berbahagia amat berbeda dengan pengajaran para pemimpin agama Yahudi pada waktu itu. Kebahagiaan yang diajarkan oleh Yesus memberikan suatu nilai baru bagi orang-orang percaya sebagai warga kerajaan Allah. Pengajaran ini diberikan agar orang-orang yang hadir pada waktu itu sadar bahwa berbahagia yang dimaksudkan oleh Yesus tidak tergantung dari keadaan yang ada. Kebahagiaan itu berasal dari dalam diri seseorang bagaimana menyikapi dan bersikap dalam setiap keadaan.Kebahagiaan tersebut tidak tergantung pada hal-hal lahiriah. Barclay (2010, p. 146) menjelaskan bahwa kata makarios mengungkapkan kesukacitaan yang mengandung rahasia di dalam dirinya sendiri yaitu kebahagiaan yang sangat mendalam serta tidak tersentuh dan kebahagiaan yang begitu lengkap serta tidak tidak bergantung kepada kesempatan yang diberikan oleh pihak lain. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa kebahagiaan manusiawi adalah kebahagiaan yang bergantung pada kesempatan-kesempatan yang diberikan oleh orang lain dan oleh hidup itu sendiri. Sebaliknya, kebahagiaan Kristus adalah sama sekali tidak bisa disentuh atau diperdebatkan. Penekanan dalam 120 Volume 2, Nomor 2, Juli 2018 pengajaran Yesus adalah kebahagiaan itu ada pada orang percaya dan rasa bahagia, gembira itu muncul dari dalam dirinya walaupun keadaan yang dialami agak berbeda dengan kenyataan yang ada. Kebahagiaan yang dialami oleh orang percaya merupakan sikap yang harus tampak dalam kehidupan. Orang percaya dituntut untuk dapat merasakan sukacita, keberuntungan yang ada dalam hidupnya. Cara atau sikap yang dapat diterapkan untuk tetap berbahagia pada situasi yang tidak mendukung membutuhkan respon yang baik dari setiap orang percaya terhadap pengajaran Yesus mengenai berbahagia. Respon tersebut dapat terwujud pada setiap perilaku baik ketika orang percaya berada dalam situasi yang tidak mendukung maupun dalam situasi yang mendukung. Berikut penulis akan menguraikan cara, sikap maupun tindakan yang harus dimiliki orang percaya untuk mengalami kebahagiaan sebagaimana yang Yesus maksudkan. Sasaran Pengajaran Yesus mengenai berbahagia memiliki sasaran atau objek yang merupakan orangorang yang berbahagia. Sasaran ini tampak dalam kriteria-kriteria yang merupakan sifat dan sikap orang percaya. Adapun sasaran atau objek yang berbahagia dalam hal ini adalah sebagai berikut: Orang yang Miskin di Hadapan Allah Matius 5:3a berbunyi, “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah” Dalam bahasa Yunani ditulis “makarioi hoi ptokhoi to pneumati” (Bible work 8) atau sebagaimana dicatat dalam Novum Testamentum Graece (1975)“Makarioi hoi ptokhoi to pneumati.” Ptokhoi berarti: “pengemis; orang miskin, orang melarat (orang minta-minta); susah, serba kurang; keadaan yang sukar, menderita; kere; kaum miskin, miskin, malang,tidak baik, rendah, lemah.” (Strong, 1984). Kata ini berasal dari kata ptokhos yang berarti “tunduk, merangkak; membungkukkan badan.” (Strong, 1984). Kata ptokhos dalam The Analytical Greek-Lexicon (1974) diartikan sebagai: “fakir miskin, fakir, miskin; miskin secara batin, rohani; seseorang yang berada dalam keadaan rendah; rendah, menyedihkan.” Pneumati berarti roh yaitu yang mengarah pada keadaan manusia.Makarioi hoi ptokhoi to pneumati, dapat diterjemahkan sebagai berikut: “Yang diberkati adalah orang-orang yang tahu dirinya miskin dalam roh,” (Susanto, 2003, p. 16). Senada dengan itu, Carlton (2002, p. 45) menerjemahkan, “Diberkati (oleh Allah) orang-orang yang bergantung kepada Allah dalam segala hal.” Jadi dapat dikatakan bahwa barangsiapa yang secara rohani merasa miskin, tidak berdaya dan sepenuhnya berharap dan bergantung kepada Allah, mereka itulah yang berbahagia (diberkati). Kata ‘diberkati’ berarti mempunyai hubungan yang baik dengan Allah, bukan menyatakan perasaan seperti senang.” (Carlton, 2002, p. 45). Karena kemiskinan secara rohani itulah seseorang akan berseru minta tolong kepada Allah dan Allah akan menyelamatkan mereka. Pfeiffer dan Harrison (2001, p. 34) mengatakan bahwa, miskin rohani adalah lawan dari sombong rohani, kemudian mereka yang telah menyadari kemiskinan rohani dalam dirinya harus membiarkan Kristus memenuhi kebutuhan tersebut. Tuhan tidak berkenan kepada orang yang sombong rohani. Abineno (2002, pp. 14-15) mengatakan bahwa: Sebutan “orang miskin” bukan saja tidak mempunyai apa-apa di bidang ekonomis, tetapi juga orang yang miskin di bidang religious … ‘orang-orang yang sederhana’ yang banyak menderita diskriminasi dari pemimpi-pemimpin agama karena mereka tidak mengenal hukum Taurat (Yoh. 7:49; Luk. 18:9). Bila dikaitkan dengan pengajaran Yesus di bukit terlihat jelas bahwa Yesus membela orang-orang miskin sekaligus menantang para pendengar-Nya agar memiliki sikap ataupun tindakan yang benar di hadapan Allah sebagai orang-orang yang menderita agar tetap merasakan kebahagiaan. Barclay (2010, pp. 149-150) menjelaskan kata ‘miskin’ itu sebagai berikut: Di dalam teks kata yang dipakai bukanlah penes, tetapi ptokhos, yang berarti kemiskinan yang mutlak dan yang mengharukan. Kata ptokhos mempunyai hubungan dengan asal kata ptosein yang bererti membungkuk atau berjongkok. Ka- Jefrie Walean, Katekita Dalam Sejarah Pemikiran Pedagogis Kristen 121 ta tersebut menerangkan kemiskinan yang amat sangat. Nababan (1988, p. 24) menanggapi bahwa, Ptokhos melukiskan orang yang betul-betul miskin dan menderita dan karena menyadari kesengsaraannya sendiri yang sungguh tidak kepalang, dia mempercayakan seluruh jiwa-raganya Kepada Tuhan. Verkuyl (2002, p. 21) menjelaskan, Disebut-Nya berbahagia: mereka tak mengharapkan apapun lagi dari dirinya sendiri. Yang tidak mengharapkan apa-apa lagi dari kebajikannya, kesalehannya, kekuasaannya, kehormatannya dan kekayaannya. Yang merasa sengsara sama sekali dan yang menyerahkan diri sebagaimana keadaan mereka kepada Tuhan, Tuhan yang belas kasihan. Injil Matius lebih menekankan sifat rohani dari orang-orang yang mengalami kebahagiaan itu. Senada dengan itu, de Heer (2007, pp. 156-158) menjelaskan, Mereka disebut “miskin dalam hati”. Itulah arti hurufiah … yang Matius pakai, ‘en pneumati’. “Miskin dalam hati” berarti bahwa mereka tahu dalam hati bahwa hanyalah Tuhan yang dapat menolong mereka. Henry (2007) menjelaskan bahwa miskin di hadapan Allah berarti bahwa merasa puas di tengah kemiskinan, kemudian bersedia dikosongkan dari kekayaan duniawi jika itu menjadi kehenadak Allah dan bersikap rendah hati terhadap orang miskin serta turut serta merasakan penderitaan mereka. Dari uraian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa orang yang miskin di hadapan Allah adalah orang-orang yang sungguh-sungguh menyadari keadaannya yaitu tidak memiliki apa-apa, tidak berdaya. Miskin itu sendiri tidaklah membawa kebahagiaan bagi mereka. Ada kemiskinan rohani yang menghalangi orang untuk mengalami berkat atau kebahagiaan seperti kecut dan tawar hati, kesedihan yang menyerahkan diri pada hawa nafsu. Yang dimaksud Yesus dalam Matius 5:3, adalah miskin secara rohani di hadapan Allah. Orang yang demikian secara naluri akan merendahkan diri serta berseru minta tolong kepada Allah maka Allah yang maha kasih pasti akan menyelamatkan orang itu dengan mengaruniakan kerajaan Surga kepadanya. Raja Daud berkata, “Orang yang tertindas ini berseru, dan Tuhan mendengar; Ia menyelamatkan dia dari segala kesesakannya.” (Mzm 34:7, TB). Orang yang Berdukacita Sasaran atau objek yang diajarkan Yesus mengenai orang-orang yang berbahagia adalah orang-orang yang berdukacita. Kata ini menggambarkan keadaan orang-orang yang sedang mengalami kesedihan, kesusahan di dalam hatinya (bersedih/bersusah hati).Dalam Matius 5:4, Yesus berkata: “Berbahagialah orang yang bedukacita.” Kalimat ini dalam Bahasa Yunani adalah: Makarioi hoi Penthounthes (Mat. 5:4 BYZ, Bible work 8). Kata penthountes berasal dari kata penthos yang berarti dukacita, kesedihan, perkabungan, penderitaan (Strong, 1984). Orang-orang yang berdukacita ini adalah orang-orang yang berada dalam suatu keadaan kesedihan yang amat menderita, dimana hal itu bagaikan suatu keadaan perkabungan. Kesedihan itu dinyatakan dalam tindakan meratap/meraung yang menggambarkan keadaan duka yang sedang dialami. Barclay (2010, p. 154) menggambarkan keadaan ini dengan: Kedukacitaan yang mencekam manusia sedemikian rupa, sehingga tidak bisa ditutup-tutupi atau disembunyikan. Kedukacitaan seperti itu, bukan hanya kesusahan yang membawah perasaan sakit di dalam hati. Kedukacitaan seperti itu adalah kesusahan yang membawa air mata yang tidak bisa ditahan lagi. Perasaan dukacita itu sangat mendalam sehingga orang yang berduka itu hanya dapat meratapi keadaannya. Pada saat Yesus menyampaikan berita tentang Kerajaan Surga terasalah betapa kesedihan jiwa orang itu karena tidak hidup sebagaimana seharusnya. Verkuyl (2002, p. 22) menjelaskan sebagai berikut: Berbahagialah orang yang bersedih hati, karena keadaannya atau keadaan orang disekiranya tidak terjadi sebagaimana mestinya … mereka bersedih hati karena keadaan gereja tidak terjadi sebagaimana mestinya … sedih di dalam hati karena masyasakatnya terbawah sesuatu arah yang bertentangan dengan Kerajaan Allah. 122 Volume 2, Nomor 2, Juli 2018 de Heer (2007, p. 37) setuju dengan penjelasan Ridderbos bahwa: Orang yang berdukacita … bersedih, sebab anggota-anggota umat Tuhan mengalami ketidakadilan serta disudutkan ... berdukacita atas keadaan buruk di dunia, berdukacita juga atas dosanya sendiri, sebab dosa-dosa mereka sendiri merupakan sebagian dari keadaan yang buruk di dunia. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa berdukacita yang dimaksud lebih tepat mengarah pada keadaan dukacita yang disebabkan karena dosa seseorang. Keadaan berdosa inilah yang menyebabkan munculnya keadaan berdukacita. Yesus menekankan keadaan orang-orang yang berdukacita ini untuk memberikan pengertian kepada orang-orang yang mendengarkan pengajaran-Nya tentang perlunya perasaan berdukacita karena dosa. Kesadaran mengenai dosa mengakibatkan sikap yang benar. Orangorang yang menyadari bahwa dirinya berdosa, tetapi menutup diri bahkan beranggapan bahwa mereka dapat mengatasi dosanya sendiri, akan memberikan sikap yang berbeda dengan orang yang sangat berduka karena dosanya. Dalam kehidupan orang percaya, kesadaran akan dosa, menghasilkan pertobatan. Yesus mengajarkan bahwa orang-orang yang berbahagia adalah orang-orang yang menyadari akan dosa-dosanya; orang-orang yang menderita atas dosa dan kegagalannya serta memohon pengampunan atas dosa itu. Keadaan yang dialami oleh orang-orang yang berdukacita ini adalah keadaan yang benar-benar bahagia. Ada dukacita yang merupakan dosa yakni kemurungan karena putus asa atas hal-hal rohani. Dukacita seperti ini tidak dapat diberkati oleh Allah kecuali kembali mengakui keterbatasan dan kegagalannya di hadapan Tuhan. Jadi orang-orang yang diberkati oleh Allah adalah mereka yang berdukacita karena hidup atau keadaan di sekelilingnya tidak berjalan sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan. Orang yang Lemah Lembut Orang-orang yang memiliki sikap hati yang lemah-lembut adalah orang-orang yang berbahagia. “Berbahagialah orang yang lemah lembut” (Matius 5:5). Matius 5:5 berbunyi, “Berbahagialah orang yang lemah lembut,” dalam bahasa Yunani, “makarioi hoi praeis”(Bible Work 8). Kata praeis secara literal berarti “lemah lembut, rendah, hati, sopan.” (Newman Jr., 2005). Dalam The Analytical GreekLexicon (1974) kata ini berasal dari kata “praus” yang berarti “lembut (hati); penurut, lemah-lembut, jinak, berperasaan baik, ramah, baik hati, manis, sayang; mudah memberi maaf.” Dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (1992) dijelaskan bahwa: Kata sifat praus menunjuk kepada sifat batin … Orang-orang yang lemah lembut tidak mendendam terhadap tindakan kasar (yang dialaminya), dan tidak tawar hati dalam kemalangan, karena segala sesuatu diterimanya sebagai jalan Allah bagi dia dalam tujuan-Nya yang penuh hikmat dan kasih. Orang-orang yang memiliki sifat rendah hati/lemah lembut adalah orang-orang yang diberkati oleh Allah, karena mereka mengerti akan kedudukan yang mereka miliki. Orang-orang yang lemah lembut menyadari kehadiran Allah dalam hidupnya. Lemah lembut dapat digambarkan sebagai seekor kuda yang telah dilatih untuk menaati segala perintah dari tuannya. Ketaatan kuda atas perintah merupakan suatu hasil atau latihan yang telah dicapai. Orang-orang yang berhasil menguasai dirinya akan mampu menempatkan diri atau menyadari kedudukannya di hadapan Allah dan manusia. Verkuyl (2002, p. 23) menjelaskan: Berbahagialah orang yang berhati lembut ... Berbahagialah orang yang tidak membalas, apabila diumpat. Yang tidak membalas ketidakadilan dengan ketidakadilan. Yang tidak melawan kekerasan dengan kekerasan. Tetapi menaruh pengharapannya pada Tuhan dan menyerahkan perkaranya kepada Allah Bapa yang di Surga. Orang yang lemah lembut dapat memaklumi dan menerima keadaan orang lain. Mereka mampu menyesuaikan diri dengan tradisi kecuali dosa. Mereka dapat menunjukkan rasa tidak senang bila memang ada alasan untuk itu, tanpa terseret kepada sikap yang tidak pantas. Yesus mengajarkan hal ini agar orang-orang yang hadir dapat menyadari keadaan Jefrie Walean, Katekita Dalam Sejarah Pemikiran Pedagogis Kristen 123 mereka di hadapan Allah. Kelemahlembutan adalah adanya satu sikap yang muncul karena ketergantungan kepada Allah. Orang-orang yang berbahagia (diberkati oleh Allah) adalah mereka yang memiliki sifat lemah lembut atau rendah hati dalam hidupnya. Yesus merupakan merupakan sosok yang dapat diteladani dalam sikap yang lemah lembut. Ia makan bersama dengan orang berdosa, ia mengampuni dan menerima orang yang mau bertobat dan datang kepada-Nya. Yesus mengajak orang-orang yang letih lesu dan berbeban berat untuk datang kepadaNya (Mat. 11:28-29). Orang yang Lapar dan Haus akan Kebenaran Objek lain dari orang-orang yang berbahagia atau diberkati oleh Allah adalah “orang-orang yang lapar dan haus akan kebenaran,” (Mat. 5:6). Dalam bahasa Yunani kalimat ini berbunyi “Makarioi hoi peinonteskai dipsontes ten dikaiosunen” (Bible Work 8). Kata peinontes artinya “sangat lapar, sangat membutuhkan/mengharapkan, candu akan, kelaparan, rasa lapar, sangat menginginkan/mendambakan; merasa,” (Strong, 1984). Dipsontes berasal dari kata ‘dipsao’ yang berarti haus (Strong, 1984). Dikaiosunen berasal dari kata dikaiosune yang berarti kebenaran, keadilan; apa yang dituntut Allah; Kebenaran yang dianugrahkan Allah; kewajiban agama atau kedermawanan (Mat. 6:1). (Newman Jr., 2005). Perubahan dari kata peinoa menjadi kata peinontes menyatakan keadaan orang-orang yang sedang dalam keadaan kelaparan. Keadaan lapar di sini adalah keadaan yang sangat lapar, di mana orang-orang tersebut merana karena sangat mengharapkan agar rasa lapar itu dapat dipenuhi. Demikian pula dengan kata dipsontes yang menyatakan keadaan orang-orang yang berada dalam keadaan yang sangat haus dan hal itu juga memerlukan pemenuhan. Lapar dan haus di sini adalah suatu keadaan yang memerlukan adanya pemenuhan sesegera mungkin. Orang yang lapar dan haus itu bagaikan orang yang kecanduan karena selalu merasakan kelaparan dan kehausan. Orang-orang yang sedang lapar dan haus di sini bukanlah lapar dan haus secara literal tetapi lapar dan haus secara rohani. “Lapar dan haus akan kebenaran…”(Mat. 5:6) menunjukkan keadaan rohani. Lapar dan haus akan kebenaran, Pfeiffer dan Harisson (2001, p. 34) mengatakan bahwa, suatu kerinduan yang amat mendalam untuk memperoleh kebenaran pribadi. Kerinduan semacam itu merupakan bukti ketidakpuasan dengan tingkatan rohani yang dicapai saat ini (kontras dengan orang Farisi (Luk. 18:9 dst). Lapar dan haus merupakan selera yang sering berulang kembali dan membutuhkan pemenuhan yang segar. Henry (2007, p. 164) mengutif pendapat Hammond bahwa: Hammond membedakan antara lapar dan haus. Lapar adalah keinginan akan makanan supaya tetap bertahan, seperti misalnya kebenaran yang menguduskan. Haus adalah keinginan akan minuman untuk menyegarkan, seperti misalnya kebenaran yang membenarkan dan perasaan diampuni. Kebenaran di sini adalah kebenaran di dalam Kristus. Kebenaran di dalam Kristus adalah adalah wujud dari kebenaran itu sendiri. Kebenaran juga berarti semua berkat rohani (Mzm. 24:5; Mat. 6:33). Orang-orang yang lapar dan haus akan kebenaran, memerlukan pemenuhan dari kebenaran itu sendiri. Kebenaran itu akan menyatakan kehendak Allah, karena orang-orang yang lapar dan haus itu memiliki keinginan atau hasrat yang sangat besar untuk mendapat pemenuhan dalam hidupnya. Kristus adalah kebenaran yang telah memberikan teladan kepada orang-orang percaya agar mengikuti keteladanan itu. Kristus mentaati Allah dalam setiap hidup-Nya; dalam segala hukum dan ajaran-Nya. Dialah sosok teladan sempurna yang dapat diteladani oleh setiap orang percaya dalam hidunya. Firman Tuhan adalah kebenaran yang dapat menuntun orang percaya untuk percaya dan menegenal Yesus. Alkitab adalah firman Allah yang telah diilhamkan oleh Allah yang dapat mengakibatkan suatu perubahan dalam hidup setiap orang yang menjadikan kebenaran tersebut sebagai dasar hidup mereka (lih. Hermanto, 2017; Objantoro, 2017, p. 138). Dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (1992) dijelaskan: Dikaiosune berarti penyesuaian dengan hukum, khususnya Hukum Ilahi; Kristus memenuhi ke- 124 Volume 2, Nomor 2, Juli 2018 benaran, baik dalam hal Ia menaati Hukum Allah dalam kehidupan-Nya, maupun dalam hal Ia menerima hukuman Allah yang adil atas dosa dalam kematian-Nya (Ibrani 2:9; Roma 2:7). Kebahagiaan yang dimiliki oleh orang-orang yang sangat merindukan adanya kebenaran Allah dalam hidupnya merupakan suatu sikap yang wajar. Yesus mengajarkan bahwa orang-orang yang berbahagia itu adalah orang-orang yang selalu mengharapkan kebenaran di dalam dirinya seperti orang-orang yang selalu kelaparan dan kehausan. Semakin besar pengharapan orang percaya kepada Allah, semakin besar pula mereka bersandar kepada Allah dalam hidupnya. Orang-orang yang lapar dan haus akan berkatberkat rohani, diberkati oleh Allah dengan keinginan-keinginan itu dan akan dipuaskan dengan berkatberkat itu juga. Lapar dan haus akan kebenaran merupakan ciri kebergantungan kepada Allah. Orang yang Murah Hatinya Orang yang bermurah hati adalah suatu kriteria diberkati oleh Allah dalam pengajaran Yesus. Matius 5:7 berbunyi, “Berbahagialah orang-orang yang murah hatinya,” kalimat ini dalam Bahasa Yunani berbunyi, “Makarioi hoi elemones” (Bible Work 8). Carlton (2002, p. 46) menerjemahkan kalimat tersebut, “sebagai berikut: “Diberkati oleh Allah orang-orang yang berbelas kasihan kepada orang lain,” Kata elemones berasal dari kata elemon yang berarti, “sangat merasa kasihan; ingin menghibur orang lain; bermurah hati (tulus). Kata murah hati menjelaskan suatu sifat yang dimiliki oleh seseorang, dimana dia selalu merasa kasihan terhadap orang lain, selalu ingin menghibur orang lain dan suka menolong. Kemurahan hati adalah gambaran sifat Allah dalam kehidupan orang percaya. Allah penuh dengan kemurahan, Ia menyatakan kemurahan hatiNya kepada manusia yang berdosa. Orang-orang percaya yang telah merasakan kemurahan Allah harus menyatakannya kepada orang lain. Pernyataan kemurahan hati kepada sesama merupakan bukti bahwa seseorang telah mengalami kemurahan Allah di dalam hidupnya. Keinginan untuk menghibur orang lain, berbelas kasihan kepada orang lain merupakan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. “Bersikap benar atau adil berarti memberikan kepada seseorang apa yang sepatutnya diterimanya, sedangkan bermurah hati adalah memberi seseorang apa yang tidak patut dia dapatkan.” (Lee, 1997, p. 33). Henry (2007, p. 165) menambahkan bahwa, “Untuk menjadi orang yang benarbenar murah hati, tidak perlu memiliki kekayaan yang berlimpah, karena yang diterima Allah adalah hati yang bersedia memberi.” Yesus mengecam orang yang sudah mengalami kemurahan, namun tidak bermurah hati kepada orang lain (Mat. 18:33). Hal mengampuni adalah juga merupakan wujud dari kemurahan hati dalam kehidupan orang percaya. Orang percaya harus menaruh belas kasihan kepada jiwa-jiwa lain dan menolong mereka. Orang percaya harus iba kepada orang bebal dan menasihati mereka; iba terhadap orang yang lalai dan memperingatkan mereka. Jika menolak melakukan semuanya ini, maka apapun yang diperbuat, sama saja dengan menutup pintu hati (Yak. 2:15-16; 1Yoh. 3:17). Kebahagiaan orang yang murah hati nampak dalam setiap tindakan yang dilakukan dalam hidupnya. Orang yang Suci Hatinya Dalam pengajaran-Nya, Yesus memberikan kriteria orang yang berbahagia dan merupakan sasaran yang ingin dicapai dalam kehidupan orang percaya. Matius 5:8 dalam bahasa Yunani disebutkan, “Makarioi hoi katharoi te kardia,” (Bible Work 8). Carlton (2002, p. 46) menerjemahkan, “Diberkati oleh Allah orang-orang yang murni hatinya/pikirannya,” Secara literal dalam Novum Testatemen Graece (1975, p. 9) katharoi berasal dari kata ‘katharos’ yang berarti: “bersih, halal, tidak haram, tidak berdosa (dalam perkataan), biasa saja, tenang, jelas, gambling, murni, semata-mata.” Sementara kata kardia memiliki beberapa arti yaitu: hati sebagai pusat perasaan, dorongan hati, kasih sayang, keinginan-keinginan; sebagai pusat intelek; sebagai pusat keadaan batin/rohani, kata hati, suara hati, hati nurani, sebagai bagian sebelah dalam tubuh, pertengahan, pu- Jefrie Walean, Katekita Dalam Sejarah Pemikiran Pedagogis Kristen 125 sat.” (Novum Testatemen Graece, 1975, p. 9). Sebagai dativ, kata hati menjelaskan keadaan yang suci. Jadi suci hati dapat diartikan sebagai keadaan di mana hati sebagi pusat dari segala sesuatu yang berhubungan dengan manusia yang berada dalam keadaan bersih, tidak berdosa, murni. Orang Yahudi menganggap hati merupakan pusat pikiran, emosi dan keinginan, yaitu pusat watak seseorang. Hati yang suci adalah keadaan di mana pusat pikiran, perasaan, keadaan rohani seseorang berada dalam keadaan bersih/tidak berdosa/murni. Keadaan ini hanya dapat diperoleh dengan pengampunan dari Allah. Tanpa pengampunan, hati tetap berada di bawah tekanan dosa (Mat. 15:19), tetap dihantui oleh keadaan bersalah. Kesadaran akan dosa dapat menuntun pada pertobatan dalam Yesus. Yesus mengajarkan kesucian hati, karena pada saat itu muncul pengajaran di kalangan orang Yahudi bahwa dengan menjalankan ritual-ritual keagamaan, mereka akan menyenangkan Allah dan memperoleh kebahagiaan. Tidak ada kebahagiaan yang dapat dicapai hanya dengan menjalankan upacara ritual. de Heer (2007, p. 74) menjelaskan bahwa orang Yahudi kadang berpikir cukup dengan melaksanakan berbagai upacara maka dapat memperoleh kebahagiaan, tetapi Yesus lebih mementingkan kesucian hati. Orang-orang yang suci hatinya adalah orang-orang yang berbahagia, karena mereka telah memperoleh pengampunan atas dosa. Pengampunan Allah telah memberikan nilai-nilai, sifat-sifat yang baru dalam hidup. Bebas dari rasa bersalah, membuat mereka memiliki perasaan damai sehingga tidak ada keinginan-keinginan jahat yang muncul terhadap orang lain. Lee (1997) mengatakan bahwa murni hatinya berarti hanya memiliki satu tujuan, satu sasaran yaitu merampungkan kehendak Allah bagi kemuliaan Allah (I Kor. 10:31). Stott (1995, p. 59) mengatakan: Jadi, orang yang suci hatinya itu adalah orang yang amat bersungguh-sungguh. Seluruh hidup mereka, baik yang pribadi maupun yang terbuka bagi orang lain, adalah transparan di hadapan Allah dan sesama manusia. Hati mereka termasuk pikiran, dan motivasi mereka adalah murni. Kebahagiaan orang-orang yang suci hatinya merupakan perasaan yang benar-benar senang, merasa diri sebagai seorang yang paling beruntung di dalam hidupnya. Orang-orang yang suci hatinya diberkati oleh Allah. Hidup mereka berkenan kepada Allah dan menjadi berkat bagi sesama. Orang-orang yang suci hatinya dapat merasakan kebahagiaan dalam dirinya. Mereka dapat merasakan persekutuan yang indah dengan Allah dan sesama orang percaya. Orang yang Membawa Damai Kehidupan yang membawa damai merupakan kerinduan bagi setiap orang. Hidup tentram selalu menjadi impian; tanpa gangguan, tanpa kecemasan, tanpa kedengkian. “Berbahagialah orang yang membawa damai …” (Mat. 5:9), dalam bahasa Yunani berbunyi: “Makarioi hoi eirenopoioi” (Bible Work 8). Diberkati oleh Allah orang-orang yang menolong orang lain untuk hidup damai satu sama lain. Kata eirenopoioi berasal dari kata eirenepoiois yang berarti: “Ingin damai, dengan damai, suka damai, pembuat damai.” (Strong, 1984). Akar katanya adalah eirene yang berarti: “damai, perdamaian, keserasian, damai sejahtera; ketertiban, selamat.” Kedamaian itu dapat tercipta dengan adanya suatu usaha yaitu membuat damai/membuat ketertiban, berinisiatif untuk melakukan damai. Abineno (2002) menjelaskan bahwa untuk mengerti ungkapan “membawa damai” maka perlu dilihat konteks dalam Perjanjian Lama yaitu, “Perdamaian adalah terjemahan dari kata Ibrani “syalom” yang tidak hanya berarti perdamaian, melainkan berarti juga kesehatan, kesejahteraan, kemakmuran, kebahagiaan. Orangorang percaya diberi tanggung jawab untuk menciptakan perdamaian di dunia yang penuh dengan kebencian. Mereka berusaha mengadu domba, saling menjatuhkan antara satu dengan yang lain. Terjadi perpecahan, bahkan perceraian dalam rumah tangga akibatnya mereka tidak merasakan kedamaian. Dalam hubungannya dengan hal tersebut de Heer (2007, p. 75) menjelaskan bahwa menciptakan perdamaian’ berarti dalam dunia yang penuh dengan perselisihan, orang-orang Kristen mencoba untuk mengadakan 126 Volume 2, Nomor 2, Juli 2018 perdamaian bila melihat jika seseorang berselisih dengan seseorang lain, maka mereka berusaha untuk memperdamaikannya. Orang-orang yang diberkati Allah adalah mereka yang membawa damai. Ia menciptakan damai di sekitarnya, karena dia cinta damai. Pembawa damai adalah salah satu tindakan orangorang yang diberkati oleh Allah. Namun, seseorang tidak mungkin menjadi seorang pendamai kalau dia sendiri belum didamaikan dengan Allah. Yesus adalah pengantara antara Allah dan manusia (Kol. 1: 20). Orang-orang percaya adalah orang-orang yang telah menerima pendamaian dari Allah, melalui Yesus Kristus. Sebagai orang yang telah menerima pendamaian, mereka itu dipanggil untuk hidup dalam perdamaian (1 Kor. 7:15); berusaha mencari dan mendapatkan perdamaian (1 Pet. 3:11); mengusahakan hidup dalam damai dengan orang lain (Ibr. 12: 14); hidup dalam perdamaian (Rm. 12:18). Yesus mengajarkan tentang hal ini karena Dia tahu latar belakang para pendengarnya. Mereka datang dari berbagai tempat dan latar belakang yang berbeda. Ada orang Yahudi yang sedang dalam jajahan, baik budaya maupun kebudayaan; ada orangorang Romawi sebagai penjajah; ada orang-orang Samaria yang merupakan musuh orang Yahudi; secara agama, ada pengikut-pengikut Farisi, Saduki dan kelompok lain yang ada pada saat itu. Yesus menekankan hal ini agar orang-orang menyadari bahwa untuk mencapai kebahagiaan, kehidupan damai harus diciptakan. Bagaimana orang Yahudi dapat berdamai dengan orang Romawi atau bagaimana orang Yahudi berdamai dengan orang Samaria yang dianggap oleh mereka najis dan hina. Kedamaian adalah impian atau harapan bagi semua orang dan Yesus mengajarkan bahwa orangorang yang berbahagia/diberkati oleh Allah adalah orang-orang yang menolong orang lain untuk hidup dalam kedamaian satu sama lain. Henry (2007, p. 168) menjelaskan bahwa sama seperti orang yang cinta dusta memang terikat pada kebiasaan berdusta, demikian pula seorang yang mencari damai berarti memiliki kecintaan yang kuat terhadap perdamaian (Mzm. 120:7) sebab cinta damai berarti mencintai, menginginkan perdamaian. Orang-orang yang mencintai damai adalah mereka menjadikan kedamaian itu sebagai salah satu unsur dalam diri mereka dan belajar bersikap tenang, tutur katanya yang penuh damai. Membawa damai ada kalanya merupakan pelayanan yang tidak dihargai dengan rasa terima kasih. Yesus mengajarkan hal ini, agar orang-orang yang berusaha untuk menciptakan damai bagi dirinya sendiri dan sesama ia selalu merasa diberkati oleh Allah. Orang-orang yang mencintai damai berusaha untuk menciptakan suatu keserasian atau ketertiban dengan orang lain. Mereka selalu mengambil inisiatif untuk dapat berdamai dengan orang lain di sekitarnya. Orang yang Dianiaya Karena Kebenaran Pendapat yang muncul pada masa kinipun tentang orang-orang yang berbahagia seringkali bertolak belakang dengan pengajaran Yesus. Yesus mengajarkan dalam Matius 5:10-11 demikian, “Berbahagialah orang yang dianiaya karena kebenaran, … Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat.” Kalimat dalam huruf Yunani diterjemahkan oleh Carlton (2007, p. 44) sebagai berikut: Diberkati oleh Allah orang-orang yang dianiaya/disiksa/disakiti oleh orang lain karena mentaati/melakukan kehendak Allah … Diberkati oleh Allah kamu ketika orang-orang mencerca/ menghina/mengolok-olok kamu … dan mengatakan segala macam fitnah terhadap kamu karena kamu mengikut Aku. Dalam bahasa Yunani, kata dediokmenoi berasal dari kata dioko yang berarti: “Mengejar, mengikuti, menyiksa, menganiaya, menggoda, menderita; penyiksaan, penganiayaan, penghambatan, tekanan, peras, alat pemeras.” Kata heneken berarti: “Karena, sebab, untuk, depan, muka, berhubungan dengan.” (Strong, 1984). Kata dikaiosunes berasal dari kata dikaiosune yang berarti: kebenaran, keadilan, apa yang dituntut Allah; kebenaran yang dianugrahkan Allah; kewajiban agama.” (Newman Jr., 2005). Dalam Matius 5:10-12, Yesus menggambarkan reaksi yang dapat timbul dari orang-orang tidak Jefrie Walean, Katekita Dalam Sejarah Pemikiran Pedagogis Kristen 127 percaya kepada orang-orang percaya karena memiliki sikap ataupun tindakan sebagai warga kerajaan Surga. Verkuyl (2002, p. 31) mengatakan bahwa “Tuhan Yesus tidak meramalkan suatu masa depan yang menyenangkan bagi murid-murid-Nya. Ia tidak memberitakan bahwa mereka akan selalu dihargai dalam masyarakat.”Yesus tahu bahwa akan ada saatnya orang-orang percaya akan mengalami hambatan, penghinaan, karena kebenaran dan karena mengikut Dia. de Heer (2007, p. 75) menjelaskan hal ini bahwa, Yesus tahu, bahwa banyak orang di dunia tidak mau hidup menurut perintah-perintah Allah, sehingga mereka membenci juga orang yang taat kepada Tuhan. Jikalau di dunia berada dua macam orang yang dasarnya begitu bertentangan, ada orang-orang yang ingin akan kedatangan Kerajaan Allah dan ada orang-orang yang tidak ingin akan kedatangan Kerajaan Allah, maka tak dapat disangkal bahwa muncul beberapa macam konflik dan bentrokan, bahkan penganiayaan. Yesus jujur dan terbuka, sehingga Ia tidak menyembunyikan hal itu. Orang Yahudi melakukan hal-hal tersebut pada masa awal pelayanan murid-murid Yesus. Para murid meninggalkan sidang mahkamah agama dengan senang hati karena telah dianggap layak menderita penghinaan oleh karena nama Yesus (Kis. 5: 41); orang-orang Yahudi menghasut pengikut-pengikut Tuhan, mereka menganiaya Rasul Paulus dan Barnabas sebagai pemberita Injil (Kis. 13:45). Orang-orang percaya masa kini dapat mengalami berbagai tekanan dari orang-orang yang tidak percaya karena mereka hidup dalam realitas kerajaan Allah. Penganiayaan dalam Matius 5:10, merupakan penganiayaan yang dialami oleh orang-orang percaya karena melakukan kebenaran dan penganiayaan yang dialami oleh orang-orang percaya dalam ayat 11, diakibatkan karena mengikut Kristus. Dalam kaitannya dengan penganiayaan ataupun bentuk penderitaan lain yang dialami oleh orang-orang percaya dalam ayat 10 dan 12 terlihat jelas bahwa Yesus memegang peranan sentral dalam kerajaan Surga. Orang-orang yang diberkati oleh Allah adalah orang-orang yang mengalami penganiayaan karena merealisasikan kebenaran dalam hidup mereka. Bruce (1990, p. 74) menjelaskan “Kebenaran di sini harus berarti kelakuan yang benar dan hanya apabila orang yang dianiaya itu berkelakuan benar, ia dapat disebut berbahagia.” Yesus adalah kebenaran itu sendiri (Yoh. 14:6), dan firman Tuhan adalah kebenaran (Yoh. 17:17). Orang-orang yang mengikut Yesus dan merefleksikan firman Tuhan melalui kehidupan yang nyata dalam sikap, perkataan dan tindakan mereka itulah yang berbahagia. Penderitaan yang dialami oleh orang-orang percaya karena kebenaran adalah bagian dari cara Allah untuk menyatakan janji-Nya kepada mereka. Penderitaan orangorang percaya karena kebenaran merupakan sarana yang dipakai Allah untuk menyatakan berkat-Nya. Alasan-alasan Berbahagia Pengajaran Yesus di bukit, memberikan pengertian mengenai konsep berbahagia, sasaran-sasaran yang berbahagia serta alasan-alasan mengapa orang-orang percaya harus berbahagia. Alasan-alasan ini merupakan dasar yang mendorong orangorang percaya untuk tetap merasa berbahagia di dalam hidupnya. Adapun alasan-alasan yang diberikan Yesus adalah sebagai berikut: Mereka Empunya Kerajaan Sorga Alasan ini diberikan oleh Yesus setelah Ia menjelaskan sasaran-objek dari orang-orang yang miskin dalam roh. Miskin dalam roh di sini menjelaskan keadaan rohani seseorang. Orang-orang tersebut menyadari bahwa ia tidak memiliki sesuatu dari dirinya sendiri yang dapat menyenangkan Allah di dalam hidupnya. Kemiskinan merupakan suatu keadaan yang sangat menyedihkan sehingga ia tidak mampu lagi untuk berbuat apa-apa kecuali hanya berharap kepada Allah. Pada kriteria miskin dalam roh, Yesus mengajarkan orang-orang percaya agar mereka tetap bergembira karena mereka akan memiliki kerajaan Sorga. Matius 5:3, dalam bahasa Yunani sebagai berikut: “makarioi hoi ptokhoi to pneumati hoti auton estin he basileiai ton ouranon” (Bible Work 8). Kalimat tersebut diterjemahkan oleh Carlton 128 Volume 2, Nomor 2, Juli 2018 (2002, p. 45) sebagai berikut: “Deberkati oleh Allah orang-orang yang rendah hati di hadapan Allah (bergantung kepada Allah dalam segala hal) sebab merekalah pemilik kerajaan/pemerintahan Sorga.” Pengertian kerajaan merupakan dasar untuk mengerti istilah kerajaan Surga. Basileia ton ouranon. Basileia berarti pemerintahan/kerajaan” (Newman Jr., 2005). Ton adalah kata sandang untuk kasus genitive. Ouranon berasal dari kata ouranos yang berarti Sorga/Allah, langit.” (Newman Jr., 2005). Kerajaan merupakan suatu kekuasaan yang dimiliki oleh raja untuk memerintah, sebab itu kerajaan tidak terbatas pada suatu bentuk atau wilayah saja, tetapi otoritas yang dimiliki untuk melaksanakan pemerintahan. Pengertian Kerajaan Sorga yang ingin disampaikan oleh Matius berbeda dengan pengertian pada masa kini yang menekankan bentuk/wilayah kerajaan serta raja sebagai kepala pemerintahan. Ladd (1994, p. 21) menjelaskan pengertian kerajaan sebagai berikut, Arti utama kata malkuth (bahasa Ibrani) dalam PL dan basileia (bahasa Yunani) dalam PB adalah tingkatan, kekuasaan dan kedaulatan yang dimiliki oleh seorang raja. Suatu basileia dapat merupakan wilayah yang atasnya seorang raja menggunakan kekuasaannya; ... kerajaan adalah kekuasaan untuk memerintah, kedaulatan raja. Jadi pengertian kerajaan di sini lebih mengarah pada suatu kedaulatan untuk memerintah; atau kekuasaan untuk memerintah yang dimiliki seseorang/raja (Luk. 19:11-12). Pengertian ini dapat disimpulkan bahwa, “Kerajaan Sorga yang dimaksud di sini adalah “pemerintahan Allah, kekuatan Allah, kedaulatan Allah.” (Ladd, 1994, p. 21). Orang-orang percaya yang berharap sepenuhnya kepada Allah, mereka akan mengalami pemerintahan, kedaulatan dan kekuasaan Allah di dalam hidup mereka. Yesus mengajarkan hal ini untuk membuka pengertian orang-orang yang hadir pada waktu itu; yaitu konsep bahwa Mesias akan datang untuk mendirikan kerajaan-Nya (yang lebih mengarah pada bentuk atau wilayah kerajaan). Kerajaan Allah lebih luas daripada konsep Mesianik orang Yahudi. Orang-orang yang merasa tidak berdaya serta berharap hanya kepada Allah saja mereka mengalami suasana kerajaan Surga pada saat ini juga. Orang-orang percaya tersebut memiliki kekuasaan, kedaulatan Allah dalam hidupnya. Mereka Akan Dihibur Pengajaran Yesus tentang berbahagia yang diucapkan di hadapan orang banyak merupakan hal yang menarik untuk disimak. Dalam Matius 5:4 Yesus berkata: “Berbahagialah orang yang berdukacita karena mereka akan dihibur”dan dalam bahasa Yunaninya: “makarioi hoi penthuntes, hoti autoi parakletesontai” (Bible Work 8). Kalimat tersebut diterjemahkan oleh Carlton (2007, p. 45) sebagai berikut: “Diberkati oleh Allah orang-orang yang meratap/ berdukacita/sedih, sebab mereka akan dihiburkan (oleh Allah/Dia).” Orang-orang percaya yang sedang dalam keadaan berdukacita, haruslah tetap merasa bergembira, karena ada alasan yang kuat untuk tetap berbahagia/diberkati oleh Allah dalam keadaan tersebut, yaitu mereka akan mengalami penghiburan. Orang-orang percaya yang berdukacita kerena dosa yang ada dalam dirinya, juga kerena melihat orang-orang yang ada di sekitarnya hidup tidak sebagaimana seharusnya, haruslah tetap merasa bergembira karena kerena mereka akan menerima penghiburan. Secara liteal: Hoti adalah “kata Penghubung; bahwa, karena; ada kalanya hoti menandai permulaan kalimat langsung.” Autoi berarti: “diri, sendiri, yang sama; dia, mereka.” (Newman Jr., 2005). Paraklethesontai berasal dari kata parakaleo yang berarti: “kesenangan (hidup); penghiburan, untuk menerima kesenangan (hidup)/dihibur; untuk menemukan kesenangan atau penghiburan.” (Rienecker, 1981, p. 12). Newman Jr. (2005) memberikan arti kata ini dengan: “Memohon, meminta; berseru (minta tolong); menghibur, menguatkan hati, menjawab dengan ramah.” Yesus mengajarkan bahwa orang-orang yang berbahagia adalah orang-orang yang merasakan dukacita yang amat mendalam karena dosa di dalam dirinya atau karena keadaan tidak sebagaimana seharusnya. Orang-orang yang menyadari keadaan dosa dalam dirinya dan menyesali dosanya, akan mendapat penghiburan. Tanpa adanya penyesalan yang Jefrie Walean, Katekita Dalam Sejarah Pemikiran Pedagogis Kristen 129 mendalam akan dosa maka orang-orang tersebut akan tetap hidup dalam dosanya. Orang-orang yang menyadari keadaan dirinya akan berseru kepada Allah memohon pengampunan atas dosa. Barclay (2010, p. 157) menjelaskan demikian: Kekristenan mulai dengan kesadaran tentang dosa. Berbahagialah orang-orang yang secara sungguh-sungguh menyesal karena dosa-dosanya. Berbahagialah orang yang hatinya hancur, karena dosa yang telah dilakukannya sendiri terhadap Allah dan terhadap Yesus Krisus. Orang yang sungguh-sungguh sadar, menyesal karena dosa-dosanya lalu datang kepada Yesus mengakui dosa-dosa tersebut, akan menerima pengampunan dosa dari pada-Nya. Orang-orang tersebut akan mengalami kelegaan dalam jiwanya, mereka mengalami janji Allah yaitu merasakan penghiburan dan kelegaan dalam dirinya. Orang-orang tersebut dapat merasakan berkat-berkat Allah. Lebih lanjut Barclay (2010, p. 157) menjelaskan, Berbahagialah orang yang melihat salib dan yang merasa nyeri serta tertekan oleh kedahsyatan dosa. Orang-orang yang mempunyai pengalaman seperti itulah yang kita sebut penyesalan pertobatan. Dan hati yang hancur serta penuh penyesalan tidak akan dihinakan oleh Allah (Maz. 51:17). Orang-orang yang berdukacita, menyadari kebutuhannya akan pengampunan dosa. Hanya Allah yang sanggup mengatasi masalah dosa. Orang-orang berdosa yang menyadari bahwa akibat dosa yang dilakukannya, ia terpisah dari Allah. Tanpa adanya pengampunan dari Allah, maka ia akan mendapatkan hukuman; tetapi pada waktu ia berseru kepada Allah ia akan diselamatkan dari hukuman itu. Roh kudus menyadarkan akan dosa mereka serta memberikan penghiburan saat mereka menyesali dan bertobat dari dosa-dosa mereka. Jadi orang-orang yang dapat mengalami sukacita sejati terlebih dahulu harus ‘berdukacita’ karena dosa-dosanya. Jalan menuju kesukacitaan adalah melewati kesedihan dan kehancuran hati yang sangat mendalam. Penghiburan yang sejati adalah dambaan setiap orang dalam hidup mereka. Yesus mengajarkan bahwa untuk mengalami penghiburan tersebut seseorang harus menyesal dan bertobat dari dosa-dosa mereka. Mereka Akan Memiliki Bumi Dalam pengajaran-Nya, Yesus menjabarkan sasaran dari kebahagiaan serta alasan-alasan mengapa orang-orang tetap berbahagia. Matius 5:5 “berbahagialah orang yang lemah lembut karena mereka akan memiliki bumi” dan dalam bahasa Yunani, “makarioi hoi praeis, hoti autoi kleronomesousin ten gen.” (Bible Work 8). Kalimat tersebut diterjemahkan oleh Carlton (2002)sebagai berikut: “Diberkati oleh Allah orang-orang yang rendah hati (tidak sombong) sebab mereka akan mewarisi (memiliki) bumi ini.” Kata “kleronomesousin” berasal dari kata kleronemeo yang berarti “menjadi ahli waris; mendapat bagian-bagian.” (Newman Jr., 2005). Ten adalah kata sandang untuk kasus akusatif. Dalam The Analytical Greek-Lexicon (1794), dituliskan bahwaGen adalah akusatifsingular yang berarti: “bumi, tanah, daerah permukaan bumi; wilayah, tanah pilihan” Bumi adalah kerajaan Mesianis yang di bumi. Carlton (2002, p. 46) menambahkan bahwa Yesus mungkin mengutip Mazmur 37:11 bahwa, ... tanah ini mungkin bagian dari kemakmuran yang besar yang akan diberikan oleh Allah kepada umat-Nya…mewarisi tanah berarti Allah akan membuat umat-Nya sejahtera secara rohani baik sekarang, maupun pada masa yang akan datang (Matius 19:28-29; 25:34). Jadi dapat dijelaskan bahwa “akan memiliki bumi” berarti orang-orang percaya menjadi ahli waris dan ia akan mendapat bagian warisannya. Sebagai ahli waris, mereka berhak menerima bagian/warisan yang akan menjadi miliknya dalam hal ini yaitu tanah, bumi. Orang-orang yang rendah hati memiliki pengharapan dalam hidup mereka. Sebagai ahli waris, harta/bagian yang menjadi haknya adalah miliknya sendiri dan bagian itu adalah harta yang sah menurut hukum. Tuhan menekankan hal ini kepada para pendengarnya yang hadir sebagai kekuatan yang memberikan pengharapan. Kedudukan sebagai ahli waris akan memberikan kekuatan bagi orang-orang yang rendah hati untuk tetap merasa berbahagia ka- 130 Volume 2, Nomor 2, Juli 2018 rena mereka memiliki suatu bagian yang dijanjikan oleh Allah. Orang-orang yang lemah lembut adalah mereka yang dapat menahan diri dalam hidupnya. Ekspresi yang muncul dari setiap keadaan adalah hasil dari pengendalian diri. Mereka Akan Dipuaskan Kepuasan dalam hidup adalah suatu wujud kebahagiaan.Kadang kala kepuasan merupakan suatu tolak ukur, seseorang dikatakan berbahagia apabila keinginan-keinginan hidupnya dapat terpenuhi. Matius 5:6 berbunyi, “Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan”, dalam bahasa Yunani, “makarioi hoi peinontes kai dipsontes ten diaiosunen hoti autoi chortasthesontai”.(Bible Work 8). Kalimat tersebut diterjemahkan oleh Carlton (2002, p. 46) sebagai berikut: “Diberkati oleh Allah orang-orang yang sungguh-sungguh ingin melakukan kehendak Allah sebab (keinginan) mereka akan dipenuhi/dipuaskan oleh Allah.” Kata chortasthesontai berarti: “memberi makan, mengenyangkan, makan sampai kenyang. Yesus memberikan alasan mengapa seseorang harus merasa berbahagia dalam Matius 5:6, karena berkenaan dengan orang yang lapar akan kebenaran. Mereka harus tetap merasa berbahagia walaupun mereka sedang dalam keadaan kelaparan dan kehausan secara rohani, karena mereka akandipuaskan. Orang-orang yang merindukan kebenaran Allah nyata di dalam hidupnya akan mentaati segala kehendak Allah. Kebenaran Allah akan nyata dalam kehidupan setiap orang yang percaya dan bersandar kepada-Nya. Kerinduan dalam hati melebihi segala kerinduan terhadap segala sesuatu yang ada di dalam dunia ini. Alkitab menyatakan kehendak Allah kepada manusia dan merupakan pedoman dalam hidup orang percaya. Yesus mengajarkan kepada orang-orang percaya yang merindukan kebenaran agar tetap berbahagia, karena mereka akan dipuaskan. Allah rindu akan memuaskan mereka, sehingga mereka selalu memiliki kerinduan untuk lebih bertumbuh. Lapar dan haus secara rohani akan berlangsung terus-menerus bahkan berulang-ulang. Hal tersebut adalah suatu tanda bahwa orang-orang percaya sedang bertumbuh dan hal itu sangat menyenangkan Allah. Orang-orang yang berbahagia adalah mereka yang selalu lapar dan haus akan kebenaran karena Allah sendiri yang akan memenuhi segala kebutuhan mereka. Tuhan mengajarkan hal ini agar dalam setiap keadaan orang-orang bersandar pada Allah yang mengetahui segala kebutuhan mereka. Kelaparan dan kehausan orang-orang percaya tidak akan sia-sia bahkan akan dipuaskan. Kepuasan tersebut akan digenapi oleh Allah pada akhir zaman. Mereka Akan Beroleh Kemurahan Kebahagiaan orang-orang yang telah merasakan kemurahan Allah dalam hidup mereka adalah kebahagiaan yang wajar, di mana seseorang merasa senang/gembira di dalam setiap tindakan yang dilakukannya. Kegembiraan tersebut adalah kegembiraan yang tulus tanpa ada tekanan dari pihak lain. Alasan orang-orang percaya bergembira adalah karena mereka akanberoleh kemurahan. Dalam bahasa Yunani, “makarioi hoi elemones hoti autoi eletesontai.” (Bible Work 8). Kalimat tersebut diterjemahkan oleh Carlton sebagai berikut: “diberkati oleh Allah orang-orang yang berbelaskasihan kepada orang lain sebab mereka juga akan diberi belaskasihan oleh Allah.” Secara literal, kata eleethesontai (dari kata eleeo) berarti: orang-orang yang bermurah hati akan menerima kemurahan hati Allah di dalam hidupnya. Allah akan menyatakan kemurahan-Nya kepada mereka sehingga memiliki pengalaman-pengalaman dalam menerima belas kasihan serta merasakan penghiburan Allah dalam setiap langkah hidup mereka. Dalam pelayanan-Nya, Yesus menunjukkan kemurahan-Nya dengan menyembuhkan orang sakit, membebaskan orang yang terikat dengan kuasa kegelapan, memberi makan kepada mereka yang lapar, mengusir setan-setan dari orang yang kerasukan setan, mengadakan mujizat-mujizat, menguatkan orang yang lemah iman, terlebih lagi dalam mengampuni dosa. Yesus mengajarkan hal ini agar orang-orang yang hadir pada saat itu dapat merasakan dalam Jefrie Walean, Katekita Dalam Sejarah Pemikiran Pedagogis Kristen 131 dirinya bahwa Allah sungguh-sungguh mengasihi mereka. Orang-orang yang merasakan kasih Allah dalam kehidupannya menyadari bahwa tanpa kasih Allah, ia tidak dapat merasakan kemurahan Allah yang begitu besar. Kemurahan Allah yang mereka rasakan harus juga diwujudnyatakan kepada orang lain. Allah telah mengampuni dosa-dosa mereka, mereka juga harus mengampuni orang-orang yang bersalah kepadanya. Mereka harus membantu orangorang yang membutuhkan pertolongan serta bentuk pertolongan yang lain. Tanpa merasakan bagaimana pertolongan Allah dalam hidupnya tidak mungkin ada keinginan untuk menolong orang lain. Tanpa merasakan pengampunan Allah dalam hidupnya, tidak mungkin mengampuni orang lain. Stott (1995, p. 57) mengatakan tidak ada motivasi yang lebih besar yang menggerakkan untuk mengampuni orang lain dari pada pengetahuan yang menakjubkan, bahwa orang Kristen sendiri telah diampuni. Hal mengampuni atau memaafkan orang lain adalah wujud dari kemurahan hati. Orang-orang yang memiliki suatu perasaan/kerinduan untuk dapat menghibur orang lain; menyatakan sifat murah hatinya terhadap orang lain dengan memberi. Merasa kasihan terhadap orang lain merupakan bukti bahwa ia pernah merasakan kasih Allah yang besar dalam hidupnya. Orang-orang yang merasakan bagaimana kemurahan Allah dalam hidupnya adalah orang-orang yang berbahagia karena semakin ia menyatakan murah hatinya kepada Allah dan sesama semakin pula ia merasakan kasih Allah yang besar dalam hidupnya. Mereka Akan Melihat Allah Hidup yang penuh dengan kebahagiaan merupakan kerinduan setiap orang. Dalam pengajaranNya, Yesus menekankan kesucian hati kepada para pendengarnya (Mat. 5:8). Orang-orang yang suci hatinya adalah mereka yang telah mengalami pengampunan dosa dari Tuhan, sehingga hidupnya berkenan kepada-Nya. Orang Yahudi menganggap hati merupakan pusat pikiran, emosi, dan keinginan yaitu pusat watak seseorang. Hati yang yang telah mengalami pengampunan berarti orang tersebut telah menjadi ciptaan baru. Hati mereka tidak lagi dikuasai oleh dosa melainkan oleh Allah. Matius 5:8 dalam bahasa Yunani: “makarioi hoi kataroi te kardia hoti autoi ton teon osontai.” (Bible Work 8). Carlton (2002, p. 46) menerjemahkan kalimat tersebut sebagai berikut: “Diberkati oleh Allah orang-orang yang murni hatinya/pikirannya karena mereka akan melihat Allah/ berada di hadirat Allah.” Alasan bagi orang-orang yang suci hati untuk merasa berbahagia adalah akan melihat Allah/berada di hadirat Allah. Dapat dikatakan bahwa orang-orang yang suci hati adalah orang yang akan memandang/memiliki pengalaman bertatapan muka dengan Allah. Setiap orang percaya memiliki pengharapan bahwa ia akan melihat Allah. Dengan hati yang bersih/suci orang percaya dapat bersekutu dengan Tuhan karena Dia berkenan untuk ditemui. Orang percaya dapat melihat Tuhan dengan ‘mata iman’ mereka pada saat ini dan mereka tetap hidup dalam suatu pengharapan yang besar untuk dapat bertemu dengan Tuhan secara langsung; bertemu muka dengan muka (1 Kor.13:12). Orang yang suci hati adalah yang sudah bebas dari dosa dan hidup hanya bagi Allah yang Maha Suci. Mereka akan melihat wajah Tuhan dan nama-Nya akan tertulis di hati mereka. de Heer (2007, p. 75) mengatakan bahwa, “Rabi-rabi Yahudi menganggap hal melihat Tuhan itu sebagai kebahagiaan yang tertinggi.” Beberapa ahli menduga artinya bukan hanya tinggal bersama Allah di Surga, tetapi juga mengenal Allah dan kehendak-Nya sekarang. Pfeiffer dan Harrison (2001, p. 34) menambahkan bahwa orang yang moralnya tidak tercemar dosa, perhatian dan kesetiannya tidak bercabang dan mereka ini selaku pemilik sifat dasar murni Allah. Mereka diberi penglihatan yang tak terhalang tentang Allah, dan mencapai puncak penggenapannya saat kedatangan-Nya kembali (1 Kor. 13:12; 1 Yoh 3:2). Yesus mengajarkan tentang orang-orang yang suci hati agar orang-orang yang hadir dapat melihat kenyataan bahwa “hati yang suci” adalah suatu cara untuk melihat Tuhan. Suci hati bukan dicapai dengan cara melakukan ritual agama. Hati yang suci 132 Volume 2, Nomor 2, Juli 2018 adalah hati yang telah diperdamaikan dengan Tuhan. Dengan hati yang suci seorang tidak akan memikirkan hal-hal yang tidak berkenan kepada Tuhan. Orang-orang yang suci hati adalah orang-orang yang merasa bergembira/berbahagia dan beruntung karena mereka mempunyai pengharapan untuk dapat bertemu dengan Tuhan kerena Dia sendiri akan menampakkan diri-Nya kepada mereka. Jadi orang yang suci hatinya adalah orang yang berbahagia karena akan melihat Allah. Mereka akan Disebut Anak-anak Allah Kehidupan yang penuh dengan kedamaian adalah impian banyak orang. Manusia selalu berusaha agar mereka dapat berdamai dengan sesama dalam segala hal. Terbentuk pula organisasi-organisasi perdamaian baik secara regional bahkan internasional yang berusaha mengambil bagian dalam menciptakan perdamaian dan ketertiban. Anak-anak Tuhan harus menjadi teladan dalam menciptakan damai. Yesus memberikan kriteria orang-orang yang menjadi sasaran/objek dari kebahagiaan. Matius 5:9 dalam bahasa Yunani berbunyi,”makarioi hoi eirenopoioi, hoti autoi hoioi teu kletesontai.” (Bible work 8). Kalimat tersebut diterjemahkan oleh Calton (1991) sebagai berikut: Diberkati oleh Allah orang-orang yang membawa damai/menolong orang lain untuk hidup damai satu sama lain/menyelesaikan perpecahan/pertentangan satu sama lain sebab mereka akan disebut/dianggap anak/umat Allah. Orang-orang yang cinta damai selalu berusaha untuk menciptakan damai dengan orang lain. Alasan mengapa mereka berbahagia adalah mereka disebut anak-anak Allah. Kata Huioi berasal dari kata Huios yang berarti: “Anak laki-laki, keturunan, ahli waris, murid, pengikut.” (Newman, 1991). Kata Theou berasal dari kata Theos yang berarti: “Dewa, dewata, Tuhan, ketuhanan/kedewaan yang tertinggi, hakim, Allah.” (Strong, 1984). Kata kletesontai berasal dari kata kaleo yang berarti: to call, to name, to be given a name.” (Rienecher, 1981, p. 12). Orang-orang yang membawa damai itu akandinamakan anak-anak Allah. Cinta damai merupakan ciri yang dapat dilihat oleh orang lain, sehingga di manapun berada, orang lain mengetahui bahwa ia murid Tuhan. Mereka berusaha menciptakan perdamaian dan berusaha memulihkan kembali apa yang renggang atau rusak. Terkadang mereka harus menanggung derita karena berusaha untuk menciptakan perdamaian.Allah adalah sumber perdamaian bagi manusia. Membawa damai adalah sifat dasar Allah. Seringkali orang-orang tidak percaya senang memancing di air keruh, tetapi anak-anak Allah adalah pembawa damai. Mereka dituntut untuk dapat menyatakan kasih Tuhan yang telah nyata dalam hidupnya. Setiap keadaan merupakan kesempatan untuk menyatakan kasih Tuhan kepada orang lain. Pengalaman karena sudah diperdamaikan dengan Allah merupakan dasar untuk tetap hidup dalam damai dengan orang lain. Alasan untuk berbahagia bagi orang-orang yang cinta damai adalah disebut anak-anak Allah. Sebagai anak-anak Allah, tuntutan hidup di dunia ini sangat berat dan orang-orang percaya bertanggung jawab untuk tetap hidup sesuai dengan tuntutan Tuhan. Yesus memberikan pengajaran ini agar orang-orang yang hadir dapat menyadari bahwa cinta damai adalah sasaran yang ingin dicapai. Kebahagiaan tidak mungkin dicapai tanpa adanya perdamaian baik perdamaian dengan Tuhan,maupun dengan sesama manusia. Jadi orang-orang yang diberkati oleh Allah adalah mereka yang cinta damai. Orang-orang yang cinta damai adalah orang-orang yang akan dinamakan anak-anak Allah. Upah Mereka Besar di Sorga Orang-orang percaya harus siap menghadapi tantangan yang dilakukan oleh orang-orang yang membenci cara hidup mereka. Namun Yesus menekankan agar orang-orang percaya harus tetap berbahagia pada saat mengalaminya. Yesus mengajarkan mereka untuk tetap bersukacita dan bergembira, karena ada janji Tuhan bagi orang-orang yang sedang mengalami penganiayaan tersebut. Matius 5:12 dalam bahasa Yunani: “Khairete kai agalliasthe, hoti ho misthos humon polus en tois houranois …” (BGT, Bible work 8). Terjemahan Carlton (2002, p. Jefrie Walean, Katekita Dalam Sejarah Pemikiran Pedagogis Kristen 133 47) sebagai berikut: “Bergembira dan bersukacita/rayakanlah, sebab (Allah menyediakan) upah yang berlimpah-limpah bagimu di Sorga.” Khairete berarti: “Bersukacita, bergembira hati.” Agalliasthe berarti: “Bergembira, bersukacita,” Misthos berarti: “Ganjaran, upah.” Polus berarti: besar/masyur dalam jumlah, banyak.” Ouranois, dari kata ouranos berarti: Surga, dipakai juga dengan arti Allah untuk menghindarkan menyebut nama yang kudus itu, langit.” (Newman, 1991). Secara literal dapat disebutkan bahwa bersukacita dan bergembiralah kamu sekalian, karena upahmu besar di Sorga. Penderitaan yang dialami orang-orang percaya akibat adanya fitnahan, kebencian, bahkan aniaya dari orang-orang yang tidak hidup dalam terang justru akan mendatangkan kesukacitaan. Sikap yang diajarkan Yesus pada orangorang yang mengalami penganiayaan adalah bersukacita dan bergembira. Kedua kata ini terdiri dari present imperative yang berarti: “Suatu perintah atau permintaan, agar berbuat sesuatu terus menerus atau berulang-ulang kali.” (Wenham, 2005, p. 56). Sikap gembira dan sukacita itu merupakan sikap yang kontinyu, hal ini menunjuk pada keadaan yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Pada saat berada dalam situasi yang sulit, dimana terjadi penganiayaan secara fisik dan mental, orang-orang percaya harus tetap bersukacita dan bergembira, karena Allah menjanjikan upah besar di Sorga. “Upah yang diberikan bukanlah sesuatu untuk dinikmati sendiri, tapi kesanggupan dan kesempatan yang lebih besar untuk menikmati berkat dan melayani Allah.” (Bruce, 1995, p. 75). Kemampuan untuk menikmati berkat dan melayani Allah merupakan alasan untuk tetap berbahagia. Hal ini merupakan dasar sikap seseorang untuk tetap bersukacita. Stott (1995, p. 62) mengatakan bahwa manusia mungkin kehilangan segala-galanya di dunia tetapi akan mewarisi segala-galanya di Sorga, itu bukan sebagai upah atas jasa, kemudian di pihak lain penganiayaan merupakan bukti kesejatian kekristenan. “Sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu” (Mat. 5:12b). Jadi sama seperti nabi-nabi yang hidup dahulu telah mengalami penganiayaan dan Allah memberikan upah yang besar di Sorga bagi mereka, hal yang sama juga akan Allah lakukan bagi orang-orang percaya yang mengalami aniaya. Yesus menyatakan hal ini supaya orang-orang percaya tetap tabah tatkala mengalami penganiayaan karena hidup dalam kebenaran-Nya dan karena pemberitaan Injil. KESIMPULAN Dalam penelitian ini, peneliti telah memaparkan pengajaran Yesus mengenai berbahagia yang mencakup tiga hal pokok yaitu pengertian berbahagia, sasaran/objek berbahagia serta alasan-alasan mengapa mereka harus berbahagia. Dalam Matius 5: 3-12, Yesus memberikan pengajaran mengenai berbahagia yang mencakup standar hidup orang-orang yang berbahagia serta alasan-alasan mengapa orangorang percaya harus berbahagia. Standar hidup orang yang berbahagia ialah “miskin di hadapan Allah; berdukacita; lemah lembut; lapar dan haus akan kebenaran; murah hatinya; suci hatinya; membawa damai; dianiaya oleh sebab kebenaran; dicela dan dianiaya karena Kristus; difitnahkan segala yang jahat.” Orang Kristen yang memiliki standar hidup sebagai umat kerajaan Allah merasakan kebahagiaan sekalipun berada dalam situasi yang kurang mendukung. Alasan mengapa orang Kristen harus berbahagia adalah karena mereka mempunyai Kerajaan Sorga; mereka akan dihibur; mereka akan memiliki bumi; mereka akan dipuaskan; mereka akan beroleh kemurahan; mereka akan melihat Allah; mereka akan disebut anak-anak Allah; mereka akan empunya Kerajaan Sorga; upah mereka besar di Sorga. DAFTAR RUJUKAN Abineno, J.L. Ch. 2002. Khotbah di Bukit. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Avanzini, J. 1985. Lebih Dari Cukup. Surabaya: YAKIN. 134 Volume 2, Nomor 2, Juli 2018 Barclay,W. 2010. Matius: Pasal 1-10. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Bavinck, J.H. 2007. Sejarah Kerajaan Allah Perjanjian Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Bible Work 8 – (bibleworks 8 / init /bw 800. Swc ) Bruce, F. F. 1995.“Matius” dalam Tafsiran Alkitab Masa Kini. Peny. H. Adiwijono. Jakarta: YBK/OMF. Carlton, M.E. 2002. Terjemahan Khusus untuk Penerjemahan Dan Pendalaman Alkitab Injil Matius. Jakarta: Kartidaya. de Heer, J.J. 2007.Tafsiran Alkitab Injil Matius I. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Fernando, A. 1989. Apakah Orang Kristen harus Menderita? Malang: Gandum Mas untuk Kalam Hidup dan YAKIN. Henry, M. 2007. Tafsiran Injil Matius 1-14. Surabaya: Momentum. Heriawan, R. 2013. Kemiskinan. Jakarta: BBC Indonesia. Hermanto, B. W. 2017. “Kajian Dan Uraian Apologetis Teologis Terhadap Ungkapan “Allah Menyesal” Dalam Alkitab”. Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat, 1(1): 29-48. Hunter, A.M. 2004. Memperkenalkan Teologi Perjanjian Baru. Jakarta: BPK, Gunung Mulia. Kingsbury, J.D. 2000.Injil Matius Sebagai Cerita. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Kittel, G. 1981. Theologikal Dictionary of The New Testament, Vol. IV. Grand Rapids, Michigan: WM. B. Eerdmans Publishing Company. Ladd, G.E. 1994. Injil Kerajaan. Malang: Gandum Mas. Lee, Witness. 1997.Perjanjian Baru. Jakarta: YPII. Nababan, S.A.E. 1988. Iman dan Kemiskinan. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Newman Jr., B.M. 2005.Kamus Yunani – Indonesia untuk Perjanjian Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Novum Testamentum Graece. London: United Bible Societis, 1975. Objantoro, E. 2017. “Sejarah dan Pemikiran Kaum Injili Di Tengah-tengah Perubahan dan Tantangan Zaman”. Evangelikal: Jurnal Teologi dan Pembinaan Warga Jemaat, 1 (2): 129- 138. Packer, J.L. Tenney, M. C. & White Jr., W. 1993. Dunia Perjanjian Baru. Surabaya: YAKIN. Pfeiffer, C.F. dan Harrison, E.F. 2001. Tafsiran Alkitab Wycliffe. Malang: Gandum Mas. Rienecher, F. 1981. A Linguistic Key To The Greek New Testament, Vol. I: Matthew-Acts. Grand Rapids, Michigan: Zoondervan Publishing House. Ryrie, C.C. 1985. The Ryrie Study Bible. Chicago: Moody Press. Stott, J. 1995. Khotbah di Bukit. Jakarta: Yayasan Bina Kasih/OMF. Strong, J. 1984. The Exhaustive Concordance of the Bible. Iowa: United Bible Publishers. Susanto, H. 2003. Konkordansi Perjanjian Baru. Jakarta: LAI. The Analytical Greek-Lexicon.London: Samuel Bagster and Son Limited, 1974. Tim Penyusun. 1992.Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I: A-L. Jakarta: Yayasan Bina Kasih/ OMF. Tjandra, Lukas. 1994. Latar Belakang Perjanjian Baru II. Malang: SAAT. Tulluan, Ola. 1999. Introduksi Perjanjian Baru. Malang: YPPII. Verkuyl, J. 2002. Khotbah di Bukit. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Vine,W.E. 1981. Vene’s Ekspository Dictionary of Old and New Testamen. Iowa: Word Bible Publishers. Wenham, J.W. 2005. Bahasa Yunani Koine. Malang: SAAT.

No comments:

Post a Comment

Misi Kristus Sedunia

PELAJARAN SEKOLAH MINGGU

  TANGGAL   PELAJARAN SEKOLAH MINGGU KATEGORI Babak pertama        ...