SEKOLAH TINGGI TEOLOGI POKOK ANGGUR INDONESIA
“Paper”
Dosen : Ps. Dr. Eko Basuki, M.Pd.K
Disusun Oleh
Nama : e b
Nim :
M. K : Spiritualitas II
Semester : III (Pastoral)
SURABAYA, OKTOBER 2017
BAB
I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Edwards adalah pencetus
pertama kebagunan rohan di Amerika Serikat pada tahun 1734-1735. Ia dilahirkan pada
tahun 1703 di Northampton, Massachussets, Amerika Serikat. Edwards belajar pada
Universitas Yale dan setelah menyelesaikan pendidikannya menjadi pendeta
pembantu di Northampton. Setelah neneknya, Solomon Stoddard, meninggal, Edwards
menjadi pendeta penuh di sana. Ia seorang yang pandai, cerdas, dan sangat
saleh. selain dikenal sebagai seorang teolog dan psikolog ia juga dikenal sebagai
revivalist.
Edwards mengalami
pertobatan pada tahun 1727. Kisah pertobatannya ditulis dalam catatan
hariannya. Ia adalah seorang Calvinisme yang sejati. Ia mempertahankan ajaran
Calvin tentang predestinasi dan pemeliharaan Allah. Menurut Edwards, manusia
yang telah jatuh ke dalam dosa berada dalam keadaan tanpa pengharapan untuk
memperoleh keselamatan-keselamatan adalah anugerah Allah semata-mata. Ia sangat
ant dengan pengajaran Arminisme, karena hal itulah ia diusir dari Northampton
pada tahun 1750.
Setelah
pengusirannya dari Northampton ia memulai perjalanan untuk kebanguna rohani di
Stockbridge. Di sini ia menghasilkan beberapa tulisannya yang terpenting
seperti The Great Christian Doctrine of
Original Sin Degended (Ajaran Kristen yang Pokok mengenai Dosa Asal), Treatise
on the Freedom of the Will (Risalah mengenai Kehendak Bebas). Pada tahun
1750 Edwards menjadi direktur New Yersey College, yang kemudian menjadi
Unversitas Princenton. Edwards meninggal pada tahun 1758 karena terserang wabah
cacar. Edwards merupakan seorang revivalist yang berhasil memperkembangkan
suatu teologi yang baik.[1]
Tujuan
Tujuan
dari Penulisan Paper ini adalah agar pembaca lebih lagi mengetahui bagaimana
perjalanan kehidupan rohani Jonathan Edwards. Karena ketika hanya membaca latar
belakangnya saja, akan membuat seseorang penasaran bagaimana perjalanan dan apa
saja yang dialami oleh Jonathan Edwards. Untuk memenuhi rasa penasaran itu mari
membaca paper ini dengan seksama, agar anda dapat mengetahui siapa Jonathan
Edwards.
BAB
II
PEMBAHASAN
Pengertian
Spiritualitas
Spiritualitas berasal
dari akar kata spare (Latin) yang memiliki arti: menghembus, meniup, mengalir.
Dari kata kerja spare terjadi pembentukan kata benda spiritus atau spirit, yang
memiliki arti: hembusan, tiupan, aliran udara. Kata itu kemudian mengalami
perkembangan arti menjadi: udara, hawa yang dihisap, nafas hidup, nyawa roh,
hati, sikap, perasaan, kesadaran diri, kebesaran hati, keberanian.
Dalam Alkitab, spirit
ditulis dalam bahasa asli: ruakh (Ibrani) dan pneuma (Yunani). Arti kata ruakh
atau pneuma dalam Alkitab adalah “nafas atau udara yang menggerakkan dan
menghidupkan”. Pengertian ini sama dengan pengertian spirit yang sering kita
pakai, yaitu ‘semangat’. Semangat atau spirit yang kita butuhkan untuk bergerak
dan hidup. semangat atau spirit ini hanya kita miliki di dalam Holy Spirit (Roh
Kudus).
Jadi, dari kata itu
sendiri, spiritualitas dapat dipahami sebagai sumber semangat untuk hidup,
bertumbuh, dan berkembang dalam semua bidang kehidupan di dunia ini, baik
secara pribadi maupun bersama orang lain, yang kita peroleh di dalam perjumpaan
dengan Allah, sesama dan diri sendiri.[2]
Kehidupan
Pribadi Jonathan Edwards
Kita
banyak mengetahui tentang kehidupan Edwards berasal dari tulisannya sendiri
seperti Resolutons (Ketetapan Hati), Catatan
hariannya, Personal Narrative (Narasi
Pribadi), dan dari surat-suratnya. East Windsor, Connecticut terbukti
sebagai sebuah tempat pelatihan bagi calon pendeta dan sarjana muda ini, dan
yang juga mempersiapkan dirinya bagi studinya di perguruan tinggi. Edwards
menerima gelar sarjananya dari Yale, dan tetap belajar di sana untuk gelar
magsternya, dan selama dua tahun lag sebagai seorang dosen. Masa-masa di Yale
diselingi dengan tugas penggembalaan singkat di New York City. Pada tahun 1727,
Edwards menjadi asisten pendeta di Northampton, Massachusetts, dan kemudian
menikah dengan sarah Pierrepont, yang menjadi pendamping sepanjang hidupnya.
Northampton
merupakan rumah bagi keluarga Edwards hingga tahun 1750. Selama tinggal di
sana, jemaatnya mengalami sejumlah kebangunan rohani dan seluruh koloni
menikmati kebangunan rohani besar. Edwards kemudian pindah ke kota perbatasan
di Stockbridge, Massachusetts, melayani suku Mohican dan Mohawk. Ia juga
menulis sejumlah risalah selama tujuh tahun dia di sana. Pada akhir tahun 1757,
yayasan perguruan tinggi Princenton mengundangnya menjadi presiden. Edwards
memulai jabatan itu pada bulan januari dan melayani di sana hingga hari
kematiannya yang tidak disangka-sangka pada tanggal 22 Maret 1758.
Pengajaran
yang dianut
Edwards belajar
Alkitab, katekismus, dan warisan yang kaya dari man Purritan dan Reformed dari
ayah ibunya. Edward juga menerima pendidikan untuk bidang pelayanan
penggembalaan dari ayahnya. Pengalaman Timothy selama 61 tahun sebagai gembala
bagi jemaatnya di East Windsor menyediakan banyak kondisi yang naik-turun di
mana Edwards bisa memandang berbagai sudut berkenan dengan menggembalakan suatu
domba. Meskipun hanya menerbitkan sebuah khotbah saja seumur hidupnya. Edwards
juga belajar bahasa Yunani dan bahasa Ibrani agar dapat membaca teks Alkitab
dalam bahasa aslinya di samping teks-teks Yunani klasik dalam bdang
kesusasteraan dan filsafat.[3]
Edwards adalah pembela
ajaran Calvinis melalui khotbah-khotbah yang dikemukakannya. Tanpa ia sadari,
hal itu mengakibatkan jemaatnya ikut bangkit. Peristiwa ini kemudian dikenal
dengan nama The Great Awakening (Kebangunan Rohani Besar), yang meluas pada
seluruh gereja di Amerika Utara.[4]
Selain khotbah-khotbahnya, Jonathan Edwards juga memiliki sejumlah tulisan yang
isinya adalah pembelaan terhadap predestinasi Calvin.[5] Edwards
menerima ide tentang kehendak bebas secara sangat terbatas, dengan pengertian manusia
bebas berlaku menurut kehendak mereka masing-masing.
Pada tahun 1734,
Edwards mewartakan pesan Calvinis tentang kebenaran atas dasar iman dengan
gencar. Akibatnya, dalam waktu setahun hampir seluruh penduduk dewasa di
Massachusetts, Northampton menjadi Kristen. Pada tahun berikutnya ia pergi ke
Stockbridge sebagai penginjil bagi orang Indian. Pada tahun 1757 ia menerima
undangan menjadi rektor New Jersey College (sekarang Princenton University) dan
ia menerimanya. Tidak lama setelah itu Edwards meninggal karena cacar pada
1758, akibat suntikan anti cacar yang diterimanya ketika wabah penyakit itu melanda
tempat pelayanannya.
Edwards adalah pembela
dan sekaligus pengkritik kebangunan rohani di zamannya. Hal ini terlihat dari
khotbahnya yang terkenal, Sinners in The Hand of an Angry God (Orang-orang
Berdosa di Tangan Allah yang Murka), yang menekankan secara khusus tentang
murka Allah, sehingga menyebabkan kebangunan rohani. Ia dikenal sebagai pejuang
yang tidak kenal mundur terhadap Arminianisme, karena tetap gencar mengemukakan
ajaran Calvinis. Edwards pernah disebut filsuf Amerika terbesar karena karya
Freedom of Willnya. Ia juga adalah bapak teologi New England. Ajaran teologinya
kemudian dilanjutkan oleh putranya Jonathan Edwards Junior (1745-1801), yang
menghasilkan Teologi New Heaven dari Charles Finney.
Kehidupan
Spiritualitas Jonathan Edwards
pada
tahun 1734-1735, kebangunan-kebangunan rohani meledak di Northampton dan di
kota-kota tetangganya. Edwards mencatat peristiwa-peristiwa dan kisah-kisah
pertobatan di dalam karyanya A Faithful
Narrative (Sebuah Narasi yang setia). Kehidupan pribadi Edwards sangat
memikat hat banyak orang. Edwards menjadikan dirinya terkenal sebagai sosok
sarjana pada usia muda, yang memimpin salah satu mimbar paling bergengsi di New
England pada saat berusia dua puluh enam tahun, dan kemudian melayani sebagai
seorang utusan injil bagi suku-suku asli Amerika dan mengakhiri hidupnya
sebagai presiden di Princeton. Selain kehidupan pribadinya yang menggugah hati
tetapi dia juga adalah seorang yang paling menonjol dari antara para pendeta.
Menjadi seorang pendeta melibatkan dua hal utama: berkhotba dan tugas
penggembalaan. Edwards cemerlang dalam keduanya. Khotbah-khotbahnya
merefleksikan perhatiannya yang cermat terhadap teks, analisis theologi yang
tajam, dan penerapan yang anggun dan tepat.
Ia
juga tahu bagaimana cara menggembalakan. Memang dia memiliki kecenderungan
tidak banyak bicara; dia lebih banyak berada di rumah bersama dengan
buku-bukunya daripada dengan orang-orang, dan dia lebih banyak menyerahkan hal
bercengkerama kepada sarah. Tetapi dia juga mau mengambil waktu untuk
mengunjungi jemaatnya, khususnya mereka, dalam perkataan orang-orang Puritan,
yang “cemas jiwanya.” Ia menaruh mendalam terhadap mereka yang berada dalam
penggembalaannya. Bahkan sesudah tidak melayani lagi di Northampton, dia
meneruskan hubungan denga korespondensi, menjawab banyak pertanyaan dari para
mantan jemaatnya. Hingga pada akhirnya edwards masih tetap menjadi tokoh yang
abadi dan menark perhatian banyak orang karena devosinya yang total kepada
Allah. Dalam diri Edwards, kita melihat keseluruhan pribadi – hati, jiwa, akal
budi, dan kekuatan – yang diserahkan kepada Allah. Memang ada kebiasaan
sekarang ini untuk mengadu kepala dengan hati, dan biasanya kepalalah yang
kalah. Polaritas yang demkan adalah sesuatu yang asng bagi Edwards. Ia tidak
hanya memberi tempat bagi keduanya secara timbal balik. Devosi total yang
demikian tidak hanya dijalaninya sebentar, tetapi justru nyata disepanjang
hidupnya.[6]
Tantangan yang
dihadapi
Ketika
mengadakan perjalanan dari Northampton ke Boston selama musim panas pada bulan
Juli tahun 1731, pikiran-pikran Edwards tertuju tanpa ragu pada khotbah yang
akan dkhotbahkannya. Berbicara dhadapan para rohaniawan dan pejabat Boston
dalam ceramah hari kamis akan cukup dapat melemaskan bahkan pendeta-pendeta
yang paling berpengalaman sekalipun. Namun ini bukanlah pertemuan umum yang
biasa. Dalam minggu pertama pada bulan Juli, ceramah hari kamis berkatan dengan
upacara wisuda Harvard. Seluruh alumni akan ada di sana, memenuhi gedung yang
tersedia. Hari itu tidak hanya pertemuan biasa, tetapi Edwards bukanlah
pembicara tipikal untuk perstiwa demikian.
Kata
pengantar pada versi terbitan untuk khotbah yang muncul kemudian menyingkapkan
serangan-serangan terhadap Edwards, bahkan sebelum dia melangkah menuju mmbar.
Pertama, dia masih muda. Pada usia 28 tahun, Edwards dipandang sangat kurang
berpengalaman dan kurang hikmat dibanding para pendengarnya. Seperti yang
disebutkan dalam kata pengantar, “Tanpa suatu kesukaran sedikit pun pengarang
yang mash muda dan lugu ini diizinkan tampil sebagai seorang pengkhotbah dalam
ceramah umum kita ini.” kata pengantar ini juga menambahkan suatu ucapan terima
kasih dari para pendeta Boston bahwa pelayanan yang baik dari “gemabala yang
dihormati,” Solomon Stoddard, tampaknya berada di tangan yang baik, yaitu
cucunya.
Sebagai
orang Yale, Edwards berada dalam suatu posisi yang lemah. Merasa takut akan
adanya penyusupan para penganut Latitudinarianisme ke dalam Harvard, pendeta-pendeta
tertentu berkumpul bersama membentuk Yale di Connecticut. Latitudinarianisme
secara sederhana berarti “bertoleransi terhadap gerakan atau kebebasan
berpikir.” Dalam hal ini, mereka bertoleransi terhadap kebebasan berpikir dari
para penganut pengakuan Iman Westminster dan Calvinisme Ortodoks. Orang-orang
yang prihatin dengan pembaharuan di Harvard memandang gerakan kebebasan
berpikir ini sebagai kemiringan yang licin yang pada akhirnya akan membawa
Harvard, dan dalam hal ini seluruh New England, ke dalam arus theologi yang
mengerikan.
Oleh
karena itu, Yale mulai dengan sebuah komitmen yang kuat terhadap Calvinisme
ortodoks. Pada suatu waktu sekitar tahun 1720, yaitu selama masa Edwards
menjadi mahasiswa, “kemurtadan” yang keji terjadi. Edwards tetap bersih dalam
peristiwa ini, di samping ia mengkritiknya. Beberapa dosen mengumumkan pada
saat wisuda bahwa mereka akan meninggalkan Kongregasionalisme dan menjadi
orang-orang Anglikan. Mereka tidak hanya mengganti bentuk pemerintahan
kebijaksanaan gereja mereka, tetapi juga
telah meninggalkan Calvinisme, lalu bergabung dengan kelompok latitudinarian
Anglikanisme. Harvard mungkin punya beberapa tokoh kongregasionalisme dan
beberapa tokoh Calvinis yang tidak secara penuh berkomitmen pada Calvinisme,
tetapi tidak pula menjadi induk golongan Anglikan dan juaga tidak bertoleransi
terhadap orang-orang Arminian. Di manakah posisi theologis lulusan Yale yang
istimewa ini adalah sesuatu yang sangat ingin diketahui orang-orang Boston.[7]
BAB
III
KESIMPULAN
Sebagai kesimpulan yang
dapat di ambil adalah Edwards adalah seorang pendeta koloni New England, dia
merupakan seorang tokoh kunci pada masa kebangunan Rohani Besar (Great
Awakening), dia seorang presiden di Princenton untuk waktu yang singkat sebelum
hidupnya berakhir secara tragis. Edwards mempunyai pribadi yang luar biasa yang
mampu memkat hati banyak orang. Ia mengetahui bagaimana cara menggembalakan
yang baik. Walaupun ia cenderung tidak banyak bicara, dan lebih banyak di rumah dengan buku-bukunya. Tetapi dia mau
mengambil waktu untuk mengunjungi jemaatnya, khususnya mereka, yang cemas
jiwanya. Ia juga menaruh kepedulian mendalam terhadap mereka yang berada dalam penggembalaan. Bahkan sesudah
tdak melayani lagi Northampton, dia meneruskan hubungan dengan korespondensi,
menjawab banyak pertanyaan dari mantan jemaatnya.
Edwards adalah seorang yang pandai, cerdas dan sangat
saleh. ia dikenal sebagai seorang revivalist
di samping sebagai seorang teolog dan pskolog. Ia adalah pencetus pertama
kebangunan rohani di Amerika Serikat pada tahun 1734-1735. Edwards merupakan
seorang revivalist yang berhasil
memperkembangkan suatu teologi yang baik. Edwards adalah pembela ajaran
Calvinis melalui khotbah-khotbah yang dikemukakannya. Tanpa ia sadari, hal itu
mengakibatkan jemaatnya ikut bangkit. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan
nama The Great Awakening (Kebangunan Rohani Besar), yang meluas pada seluruh
gereja di Amerika Utara. Selain khotbah-khotbahnya, Jonathan Edwards juga
memiliki sejumlah tulisan yang isinya adalah pembelaan terhadap predestinasi
Calvin. Edwards menerima ide tentang kehendak bebas secara sangat terbatas,
dengan pengertian manusia bebas berlaku menurut kehendak mereka masing-masing.
IMPLIKASI
Yang
dapat di contoh dari tokoh Jonathan Edwards yaitu jadilah pribadi yang luar
biasa, yang selalu menyerahkan segalanya kepada Tuhan, mampu membangkitkan
semangat kerohanian orang-orang yang lemah. Memiliki waktu dan kepedulian
terhadap orang-orang yang membutuhkan.
[1]F. D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh dalam
Sejarah Gereja (Jakarta: Bpk. Gunung Mulia, 2003) 72.
[2]Widi Artanto, “Spiritualitas Pelayanan: Perjumpaan dengan
Allah dan Sesama” dalam “Pelayan, Spiritualitas, & Pelayanan”, (Yogyakarta:
Taman Pustaka Kristen, 2012), hlm. 7
[3]F. D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh dalam
Sejarah Gereja (Jakarta: Bpk. Gunung Mulia, 2003) 17-19
[4]Tony
Lane. Runtut Pijar, Sejarah Pemikiran
Kristiani (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2007) Hlm. 158-160.
[6]F. D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh dalam
Sejarah Gereja (Jakarta: Bpk. Gunung Mulia, 2003) 3-6
[7]F. D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh dalam
Sejarah Gereja (Jakarta: Bpk. Gunung Mulia, 2003) 59-61
No comments:
Post a Comment