KURSUS APOLOGETIKA
UNTUK AWAM I [AUA I]
A.
Penjelasan
Lengkap:
Kursus AUA I adalah bagian pertama dari 2 bagian Kursus
Apologetika untuk Awam yang disiapkan. Di AUA I ini akan dipelajari
pokok-pokok penting bagaimana membangun "rumah apologetika"
Kristen, khususnya dengan mempelajari tentang Allah dan karakter manusia
ketika diciptakan, jatuh dalam dosa dan ditebus oleh Kristus. Akan
dipelajari pula perbedaan mendasar antara filsafat Kristen dan non-Kristen.
[Modul ini adalah modifikasi dari buku "Menaklukkan Segala Pikiran
kepada Kristus" oleh Richard L. Pratt Jr. , terbitan Seminar Alkitab Asia
Tenggara, Malang]
B.
Tujuan
Pelajaran
Sesudah mengerjakan seluruh pelajaran dan tugas-tugas
yang diberikan dan menyelesaikan Kursus DIK, maka diharapkan peserta akan
dapat:
1.
Menjelaskan
"rumah apologetika" bagaimana yang seharusnya dibangun oleh orang
Kristen
2.
Mengulang
beberapa pokok pengajaran penting tentang karakter manusia yang diciptakan
oleh Tuhan, baik ketika diciptakan, jatuh dalam dosa dan ditebus oleh
Kristus.
3.
Menyebutkan
dengan jelas perbedaan antara filsafat Kristen dan non-Kristen.
C.
Materi
Pelajaran (6 Pelajaran)
5.
PELAJARAN
05: KARAKTER MANUSIA SETELAH DITEBUS KRISTUS
Tujuan: Dalam pelajaran ini peserta diharapkan dapat mengerti dengan jelas
kebaikan Allah menyelamatkan manusia dari kutuk dosa dan menempatkannya kembali
sebagai gambar Allah seperti semula.
Baca Online : Pelajaran 05 | Pertanyaan 05 | Referensi 05a | Referensi 05b
6.
PELAJARAN
06: FILSAFAT NON-KRISTEN DAN KRISTEN
Tujuan: Dalam pelajaran ini peserta diharapkan dapat membedakan dengan
jelas antara filsafat non-Kristen dan Kristen dan mengerti dilema yang
diharapi orang non-Kristen agar dapat ditemukan titik temu untuk menginjili
mereka.
Baca Online : Pelajaran 06 | Pertanyaan 06 | Referensi 06a | Referensi 06b
PESTA // PENDIDIKAN
ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA
Nama
Kursus
|
:
|
APOLOGETIKA
UNTUK AWAM I (AUA I)
|
Nama
Pelajaran
|
:
|
Dasar
yang Kokoh
|
Kode
Pelajaran
|
:
|
AUA
I-P01
|
Pelajaran 01 -
DASAR YANG KOKOH
Daftar Isi
A.
Rumah
Apologetika
B.
Pengertian
Apologetika Alkitabiah
C.
Kepentingan
Apologetika
Doa
DASAR YANG KOKOH
"Tetapi
kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan dan siap sedialah pada
segala sesuatu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang
yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada
padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat." (1 Pet. 3:15)
Kehidupan
yang taat pada firman Tuhan adalah seperti rumah yang dibangun di atas
dasar yang teguh. Akhir dari khotbah Tuhan Yesus di atas bukit berkata:
"Setiap
orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan
orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu. Kemudian
turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi
rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu. Tetapi setiap orang
yang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan
orang yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir. Kemudian turunlah
hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, sehingga rubuhlah
rumah itu dan hebatlah kerusakkannya." (Mat. 7:24-27)
Tuhan
Yesus menunjuk pada suatu fakta yang nyata, yakni kekuatan fondasi
menentukan kemampuan rumah itu untuk dapat bertahan dari deras dan kuatnya
angin yang menerjang. Jika seseorang membangun rumahnya di atas pasir,
rumah itu akan runtuh; tetapi jika ia membangunnya di atas batu yang kokoh,
rumah itu akan tetap berdiri teguh, walaupun diterjang angin badai yang
dahsyat. Mempelajari pelajaran-pelajaran ini seperti membangun sebuah rumah
di mana kita akan tinggal tenang ketika ada hujan dan angin dari
orang-orang tak percaya yang menyerang rumah tersebut karena kita yakin
bahwa kita membangun dasar rumah kita dari batu yang kokoh -- firman
Kristus.
Sebelum
meletakkan dasar, sebaiknya kita mengetahui rumah macam apa yang akan kita
bangun. Karena itu, mari kita mulai dengan memikirkan dasar ini.
A.
Rumah
Apologetika
Istilah "apologetika" sering kali
disalahmengerti karena biasanya dipakai saat kita bersalah kepada seseorang
dan kita merasa perlu mendatangi orang tersebut untuk meminta maaf. Namun
dalam pelajaran-pelajaran berikut, istilah ini akan dipakai secara terbatas
untuk pengertian khusus.
Kata "apologetika" berasal dari bahasa Yunani
"apologia". Kata ini sering dipakai dalam literatur non-Kristen
dan Kristen (Perjanjian Baru). Contohnya, "The Apology of
Socrates" adalah sebuah catatan pembelaan Socrates yang disajikannya
dalam sidang di Athena. Justin Martyr, dalam "Apology"nya,
berusaha memberikan pembelaan untuk saudara-saudara seimannya dari tuduhan
orang-orang tidak percaya. Pada waktu Paulus berdiri di hadapan banyak
orang di Yerusalem, ia berkata, "Hai saudara-saudara dan bapa-bapa,
dengarkanlah apa yang hendak kukatakan kepadamu sebagai pembelaan
diri." (Kis. 22:1). Berapologetika, dalam hal ini berarti memberikan
pembelaan; jadi "apologetika" adalah studi yang mempelajari
bagaimana mengembangkan dan menggunakan pembelaan itu secara langsung.
Apologetika memang merupakan suatu bidang yang
mendapatkan perhatian secara khusus dari berbagai agama dan filsafat.
Tetapi dalam pelajaran-pelajaran ini, perhatian kita hanya akan ditujukan
pada pembelaan kebenaran kristiani yang telah diwahyukan kepada manusia
melalui firman Tuhan dalam Alkitab. Apologetika semacam ini disebut
"apologetika Kristen", yakni pembelaan filsafat hidup Kristen
terhadap berbagai bentuk filsafat hidup non-Kristen (Cornelius Van Til,
Apologetics). Karena itu, kita tidak akan mempelajari apologetika secara
umum, namun hanya apologetika yang berkaitan dengan kekristenan. Sesuai
dengan analogi yang telah diberikan di atas, rumah yang akan kita bangun
dalam pelajaran-pelajaran berikut ini adalah rumah apologetika Kristen.
B.
Pengertian
Apologetika Alkitabiah
Ketika Tuhan Yesus berbicara mengenai fondasi kokoh yang
harus mendasari setiap area kehidupan kita, fondasi kokoh itu adalah firman
Allah. Firman Allah adalah satu-satunya fondasi yang dapat memberikan
kekuatan yang kita butuhkan untuk tetap berdiri teguh di tengah badai dosa
yang dahsyat dan menghancurkan. Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
adalah firman Allah. Merupakan pengakuan umum semua orang Kristen bahwa
Alkitab adalah:
"Segala tulisan yang diilhamkan Allah, memang
bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki
kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian
tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan
baik." (2 Tim. 3:16, 17)
Alkitab adalah penuntun berotoritas yang mutlak bagi
setiap orang percaya; tanpa Alkitab, kita hanya akan menerka-nerka pikiran
Allah, tetapi dengan Alkitab, semua petunjuk dan pimpinan Allah dalam
setiap aspek kehidupan menjadi pasti dan jelas. Seperti pemazmur katakan:
"Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi
jalanku." (Maz. 119:105)
Tidaklah cukup kalau hanya menyebutkan Alkitab sebagai fondasi
untuk berapologetika karena orang percaya yang tidak terlatih pun tahu
bahwa otoritas Alkitab merupakan hal yang terpenting dalam kebutuhan
pembelaan iman. Serangan terbesar dalam iman Kristen ditujukan kepada
Alkitab itu sendiri. Alkitab sering kali dituduh mengandung banyak
kesalahan dan hanya memunyai sedikit otoritas yang tidak berbeda dengan
tulisan literatur lainnya. Karena kita harus sering membela keyakinan bahwa
Alkitab adalah firman Tuhan, hubungan apologetika dengan Alkitab
kadang-kadang disalahmengerti. Sebagai firman Tuhan, Alkitab adalah fondasi
di mana kita membangun pembelaan kita dan juga merupakan salah satu
kepercayaan yang harus kita pertahankan. Dua peran Alkitab ini yang kadang
kita lupakan.
Ada orang-orang Kristen yang memiliki pandangan yang
keliru mengenai karakter Alkitab sebagai fondasi dan cenderung membangun
pembelaan mereka hanya di atas dasar hikmat dan kemampuan berpikir manusia.
Firman Tuhan ditempatkan sebagai atap dari bangunan yang didukung oleh
apologetika mereka. Kesulitan untuk mendukung firman Tuhan dengan bangunan
yang didasarkan pada hikmat manusia sebagai otoritas yang tertinggi, sering
kali menjadi terlampau berat. Pembangun-pembangun rumah semacam itu mungkin
akan menutup mata dan mengatakan hal yang sebaliknya atau menyangkalinya,
tetapi kehancuran rumah tidak dapat dihindarkan, bagaikan rumah yang
dibangun di atas pasir.
Sebagai pengikut Kristus, kita harus selalu ingat untuk
membangun pembelaan iman Kristen kita di atas fondasi yang kuat, yaitu
Alkitab. Dengan demikian, tidak akan ada beban yang terlampau berat untuk
ditunjang dan tidak akan ada angin yang terlalu kencang untuk ditahan.
Apologetika harus membela Alkitab dengan ketaatan secara mutlak kepada
prinsip-prinsip pembelaan dan petunjuk yang diwahyukan oleh Alkitab
sendiri.
Peranan Alkitab sebagai penuntun dalam berapologetika
dapat terlihat dengan jelas dalam 1 Pet. 3:15:
"Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai
Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan
jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu
tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut
dan hormat.
Pada konteks sebelumnya, Petrus menulis tentang
penderitaan yang harus dihadapi orang-orang Kristen pada masa itu. Petrus
tahu bahwa dalam masa penderitaan, serangan-serangan dari dunia yang
berdosa sering kali dapat membuat kita lupa bahwa kita sedang melayani
Kristus dan harus tetap percaya dan taat pada-Nya. Petrus berharap para
pembaca suratnya akan memberikan tanggapan yang tepat atas
pertanyaan-pertanyaan yang para penganiaya mereka mungkin akan lontarkan.
Karena itu, Petrus memberikan petunjuk untuk mempersiapkan diri menghadapi
penderitaan itu dengan memohon supaya mereka memunyai sikap yang tepat terhadap
Kristus.
Kita harus memerhatikan dengan saksama bagaimana Petrus
menyusun petunjuk dalam ayat-ayat berikut ini. Pertama, Petrus berkata,
"Kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan!" dan kemudian
ia menambahkan, "siap sedialah pada segala waktu untuk memberi
pertanggungan jawab ...." Sebelum pembelaan atau jawaban diberikan,
Kristus harus dikuduskan terlebih dulu sebagai Tuhan yang memerintah dan
mengatur setiap segi kehidupan kita.
Perhatikanlah bahwa kita harus menguduskan Kristus
sebagai Tuhan dalam hati kita. Ini tidak berarti hanya emosi saja yang
harus didasarkan pada Kristus, sementara pikiran kita bebas melakukan apa
yang dikehendakinya. Tidak juga berarti bahwa ke-Tuhanan Kristus harus
tinggal hanya dalam hati kita yang terdalam dan tidak pernah memengaruhi
jawaban-jawaban kita atas pertanyaan-pertanyaan dari dunia. Firman Tuhan
mengajarkan bahwa hati adalah pusat personalitas kita, yang darinya
"terpancar kehidupan" (Ams. 4:23). Hati tidak hanya memerintah
emosi, tetapi juga pikiran dan setiap aspek kehidupan lainnya. Lebih dari
itu, menguduskan Kristus sebagai Tuhan dalam hati kita berarti
ke-Tuhanan-Nya juga akan efektif dalam semua yang kita ekspresikan,
termasuk pembelaan iman kita. Karena itu, menurut Petrus, penaklukkan
terhadap otoritas Kristus merupakan hal yang sangat penting dalam melakukan
pembelaan yang benar dan tepat. Sebagai Tuhan, Kristus akan memimpin pada
saat kita melakukan pembelaan iman. Pimpinan ini datang melalui firman-Nya,
dan tanpa pimpinan-Nya, segala sesuatu akan menjadi sia-sia.
Dalam pelajaran berikut, kita akan memerhatikan
bagaimana membangun pembelaan untuk iman Kristen yang didasarkan pada batu
karang yang teguh, yaitu Alkitab. Ada beragam buku yang mengajarkan
bagaimana membela kebenaran iman Kristen. Keanekaragaman ini sering kali
membingungkan orang Kristen. Namun di tengah kebingungan ini, ada satu hal
yang tetap jelas bagi kita, yaitu jangan mengadopsi cara berapologetika
hanya karena orang-orang terkenal menggunakannya, atau karena ternyata
banyak yang berhasil, atau karena memberikan kekuatan kepada iman percaya
kita. Jika kita rindu membangun pembelaan yang akan selalu tegak berdiri
dan tidak pernah goyah dan jatuh, kita harus membangunnya di atas dasar
firman Allah.
C.
Kepentingan
Apologetika
Mempelajari apologetika dan mengembangkan kemampuan
berapologetika secara benar adalah tanggung jawab setiap orang percaya.
Dari yang tertua sampai yang termuda, terkaya sampai yang termiskin,
terpandai sampai yang sederhana, setiap orang yang telah percaya pada keselamatan
dalam Yesus Kristus bertanggung jawab untuk mempelajari apologetika. Namun
sering kali, maksud baik orang Kristen melaksanakan tanggung jawab ini
gagal secara serius.
Salah satu alasan yang biasa dikemukakan untuk
mengabaikan apologetika terletak pada kesalahmengertian dari apa yang Tuhan
Yesus katakan dalam Mat. 10:19: "Apabila mereka menyerahkan kamu,
janganlah kamu kuatir akan bagaimana dan akan apa yang harus kamu katakan,
karena semuanya itu akan dikaruniakan kepadamu pada saat itu juga."
Kesalahmengertian yang serius berkenaan dengan ayat ini,
khususnya jika kita membaca terjemahan dari King James: "... give no
thought how or what ye shall speak ...." ("... tidak perlu
dipikirkan bagaimana atau apa yang harus kita katakan ...."). Ayat
tersebut sering kali ditafsirkan bahwa kita harus bersandar mutlak pada
pimpinan Roh Kudus saat membela iman kita. Karena itu, kita tidak perlu
mempersiapkan diri dengan mempelajari cara berapologetika.
Lebih jauh dikatakan bahwa orang yang mempelajari
apologetika malah menunjukkan bahwa ia kurang beriman dan hatinya tidak
sungguh-sungguh berserah pada Allah. Penafsiran seperti ini tidak dapat
dipertanggungjawabkan sebab tidak memertimbangkan pengamatan secara
menyeluruh terhadap konteks dari ayat tersebut dan juga firman Tuhan secara
keseluruhan.
Perlu diperhatikan bahwa Tuhan Yesus tidak mengatakan
"jangan pikirkan tentang apa yang akan kamu katakan" seperti yang
sering dimengerti oleh pembaca terjemahan King James. Ayat ini sebenarnya
berkenaan dengan peringatan Tuhan Yesus supaya orang-orang percaya jangan
cemas dan kuatir. Pada ayat-ayat sebelumnya (Mat. 10:19), Tuhan Yesus
mengatakan bahwa murid-murid-Nya akan diserahkan ke hadapan para gubernur
dan raja. Kenyataan bahwa mereka akan berhadapan dengan orang-orang penting
seperti itu tentu merupakan pengalaman yang sangat menggentarkan. Karena
itu, Tuhan Yesus mendorong dan memberi semangat kepada para murid-Nya untuk
tidak cemas dan takut. Segala ketakutan harus lenyap sebab mereka tidak
akan sendiri. Tuhan Yesus mengatakan bahwa Roh Kudus dari Allah akan
memberikan kepada kita kekuatan dan hikmat saat kita membutuhkannya.
Seperti apa yang rasul Paulus katakan: "Pada waktu pembelaanku yang
pertama tidak seorang pun yang membantu aku ... tetapi Tuhan telah mendampingi
aku dan menguatkan aku ...." (2 Tim. 4:16, 17)
Sangatlah penting untuk dimengerti bahwa jaminan akan
diberikannya kekuatan dari Roh Kudus tidak boleh dipakai untuk mengganti
ketekunan dan kesetiaan dalam mempelajari dan mempersiapkan diri untuk
berapologetika. Contoh lain, meski kita dianjurkan untuk tidak kuatir akan
makanan dan pakaian (lihat Mat. 6:25, dst.), kita tetap diminta berjerih
payah bekerja untuk mendapatkannya. Demikian juga halnya dengan
berapologetika, kita harus memenuhi tanggung jawab kita untuk mempersiapkan
diri.
Petrus menulis bahwa kita harus "selalu bersiap
sedia (sudah mempersiapkan diri) untuk memberikan jawaban" (1 Pet.
3:15). Karena itu, mereka yang mengabaikan hal ini berarti tidak taat
secara mutlak kepada ke-Tuhanan Kristus dan tidak bergantung pada Roh
Kudus, sebab ketaatan dan penyerahan yang sungguh-sungguh akan dinyatakan
dengan mempelajari apologetika secara serius.
Alasan lain yang sering dipakai untuk mengabaikan
apologetika adalah alasan bahwa pembelaan iman merupakan pekerjaan mereka
yang terlatih (seperti pendeta atau sarjana teologi), bukan tugas orang
Kristen awam. Dosen teologi dan pendeta diharapkan dapat memberikan jawaban
secara sistematis, sebab apologetika bersifat terlalu filosofis, abstrak,
dan tidak praktis bagi kaum awam. Oleh karena itu, banyak orang Kristen
yang berpikir bahwa tugas mereka hanyalah mengabarkan Injil. Dan kalau ada
pertanyaan mengenai kredibilitas iman Kristen, mereka akan membawa orang
itu kepada pendeta, yang dianggap sebagai "tenaga ahli".
Memang benar bahwa dosen teologi dan pendeta memunyai
tanggung jawab yang lebih berat dalam berapologetika daripada kebanyakan
kaum awam, namun ini tidak berarti berapologetika adalah tanggung jawab
pendeta dan dosen saja. Setiap orang percaya bertanggung jawab untuk dapat
berapologetika. Ayat yang telah kita pelajari mengatakan bahwa tidak ada
pengecualian bagi orang Kristen dalam berapologetika (1 Pet. 3:15). Setiap
orang harus siap untuk menderita bagi Kristus dan memberikan jawaban serta
pembelaan atas pengharapan mereka di dalam Kristus.
Lebih dari itu, Paulus secara jelas menyatakan bahwa
setiap orang percaya harus menjadi pembela iman. Sebagai rasul, Paulus
secara khusus "dipilih untuk menjadi pembela Injil" (Flp. 1:16).
Tetapi Paulus mengerti bahwa pekerjaan berapologetika bukan hanya tanggung
jawabnya sendiri. Karena itu, ia berkata pada orang-orang Filipi:
"Memang sudahlah sepatutnya aku berpikir demikian
akan kamu semua, sebab kamu ada di dalam hatiku, oleh karena kamu semua
turut mendapat bagian dalam kasih karunia yang diberikan kepadaku, baik
pada waktu aku dipenjarakan, maupun pada waktu aku membela dan meneguhkan
Berita Injil." (Flp. 1:7)
Paulus dipenjara karena berkhotbah mengenai Injil,
tetapi orang-orang Kristen di Filipi tidak meninggalkannya. Mereka
mengirimkan pemberian-pemberian yang disampaikan oleh wakil gereja mereka.
Malahan, mereka sangat terlibat dengan pelayanan Paulus sehingga mereka
juga "mengalami hal yang sama" (Flp. 1:30) seperti Paulus. Salah
satu yang mereka alami dijelaskan sebagai "pembelaan dan pengukuhan
dari Injil" (Flp. 1:7). Orang-orang Filipi dihargai dan dipuji karena
mereka membela iman Kristen dengan serius. Demikian pula setiap orang yang
membela iman Kristennya akan dihargai dan dipuji oleh Allah.
Kepentingan apologetika dapat dilihat dari berbagai segi
lain. Kemampuan untuk memertahankan kepercayaan kita akan membuat
penginjilan lebih efektif. Kita tidak perlu takut mengemukakan masalah
kekristenan di antara kawan-kawan dan tetangga kita bila kita mampu memberi
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mereka. Kita tidak perlu takut
menghadapi orang tidak percaya dari kalangan intelektual bila kita mampu
memertahankan iman kepercayaan kita. Semangat penginjilan akan bertambah
dengan memelajari apologetika. Lebih dari itu, keraguan orang yang
mendengar Injil sering kali menjadi sirna setelah mendengar jawaban yang
benar atas pertanyaan dari keraguan mereka.
Selain itu, apologetika alkitabiah dapat menguatkan iman
orang-orang percaya. Banyak orang Kristen yang terkena wabah keragu-raguan.
Keraguan ini sering menjadi penyebab orang percaya kehilangan kemampuannya
melayani Kristus. Apologetika memampukan orang percaya mengatasi berbagai
macam pencobaan, seperti jatuh dalam ketidaksetiaan yang mungkin akan
dialami. Kemampuan ini juga akan memungkinkan mereka kreatif dalam
pelayanan.
Bagi orang Kristen yang belum pernah mengalami keraguan,
mempelajari apologetika secara sungguh-sungguh akan membuatnya semakin
bertambah yakin dan bersemangat untuk lebih taat menjadi anak Tuhan.
Apologetika adalah subjek yang sangat penting, yang seharusnya menjadi
perhatian semua orang percaya.
Dalam pelajaran yang berikut, kita akan membangun satu
bata demi satu bata dari rumah apologetika yang sangat penting ini. Rumah
ini akan dibangun secara kokoh atas dasar firman Tuhan. Satu pengharapan
kami adalah orang percaya akan diperlengkapi untuk lebih baik lagi melayani
Tuhan dan untuk membangun kerajaan-Nya dengan ketaatan pada-Nya. Serta
secara efektif dapat memenangkan jiwa-jiwa yang terhilang.
-Akhir
Pelajaran (AUA I-P01)--
Doa
Ya,
Tuhan, Engkaulah dasar iman dan pengharapan kami. Ajarkan kepada kami untuk
memiliki sikap yang siap sedia memertanggungjawabkan iman kami kepada
mereka yang memintanya. Tapi terlebih dahulu, berikan kami kekuatan untuk
menguduskan Engkau dalam hati kami sebagai Tuhan dan Juru Selamat supaya
hidup kami sungguh mememuliakan Engkau. Amin.
(Catatan:
Pertanyaan tertulis ada di bagian terpisah)
PESTA=========Pendidikan Elektronik Studi Teologia
Awam==========PESTA
PESTA //
PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA
Nama
Kursus
|
:
|
APOLOGETIKA
UNTUK AWAM I (AUA I)
|
Nama
Pelajaran
|
:
|
Dasar
yang Kokoh
|
Kode
Pelajaran
|
:
|
AUA
I-P01
|
Pelajaran 01 -
DASAR YANG KOKOH
*Instruksi*
Harap
setiap peserta mengikuti petunjuk mengerjakan tugas sbb.:
1.
Bacalah
Bahan Pelajaran dan semua Referensi Pelajaran 05 dengan teliti.
2.
Bacalah
Pertanyaan (A) dan (B) di bawah ini, kemudian jawablah dengan benar dan
lengkap.
3.
Apabila
Anda mendapatkan kesulitan sehubungan dengan isi Bahan Pelajaran, silakan
menghubungi Pembimbing di:
< yulia(at)in-christ.net >
Selamat
mengerjakan!
Perhatian:
Setelah
Anda menjawab tugas tertulis ini, mohon kirim kembali tugas ini dalam
bentuk plain text (e-mail biasa) dan BUKAN DALAM BENTUK ATTACHMENT ke:
==> <
staf-pesta(at)sabda.org >
PERTANYAAN
(A):
1.
Kata
Apologetika berasal dari kata Yunani, Apologia, artinya [...........].
2.
Mempelajari
bidang Apologetika diumpamakan seperti membangun rumah, dimana bagian
terpenting dari pembangunan ini adalah [...........].
3.
Firman
Tuhan adalah satu-satunya [..........] untuk membangun rumah apologetika
Kristen yang kuat.
4.
Serangan
yang terbesar pada iman Kristen ditujukan kepada [........].
5.
Menurut
Petrus (1 Pet. 3:15), hal pertama yang harus dilakukan orang Kristen untuk
dapat melakukan apologetika dengan benar adalah [............]
6.
Tugas
apologetika seharusnya dilakukan oleh [..........]
7.
Ayat
yang sering disalahmengerti dan dipakai orang Kristen untuk menghindarkan
diri dari tugas apologetika adalah [............]
Kepentingan apologetika dapat dilihat dari beberapa
segi. Sebutkan tiga kepentingan berapologetika bagi orang-orang Kristen
yang melakukan:
8.
[........]
9.
[........]
10.
[........]
PERTANYAAN
(B):
1.
Apakah
betul bahwa banyak orang Kristen yang merasa tidak mampu untuk melakukan
tugas berapologetika? Mengapa? Bagaimana mengatasinya?
2.
Sebutkan
contoh tokoh-tokoh dalam Alkitab yang melakukan apologetika dan bagaimana
hasilnya?
Kirimkan
kembali tugas ini dalam bentuk plain text (e-mail biasa) dan BUKAN DALAM
BENTUK ATTACHMENT ke:
==> <
staf-pesta(at)sabda.org >
PESTA=========Pendidikan Elektronik Studi Teologia
Awam==========PESTA
PESTA //
PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA
Nama
Kursus
|
:
|
APOLOGETIKA
UNTUK AWAM I (AUA I)
|
Nama
Pelajaran
|
:
|
Dasar
yang Kokoh
|
Kode
Referensi
|
:
|
AUA
I-R01a
|
Referensi
AUA I-R01a diambil dari:
Judul
buku
|
:
|
Pedoman
Apologetika Kristen
|
Judul
artikel
|
:
|
Mengenai
Apologetika
|
Pengarang
|
:
|
Peter
Kreeft dan Ronald K. Tacelli
|
Penerbit
|
:
|
Yayasan
Kalam Hidup, Bandung, 2006
|
Halaman
|
:
|
23 --
31
|
MENGENAI
APOLOGETIKA
A.
Jawaban-Jawaban
terhadap Keberatan-Keberatan dalam Melakukan Apologetik. Kebanyakan orang
tidak senang atau mengabaikan apologetik karena hal itu tampaknya bersifat
terlalu intelektual, abstrak, dan rasional. Mereka mengemukakan bahwa
kehidupan, kasih, moralitas, dan kekudusan itu jauh lebih penting daripada
akal.
Mereka yang memiliki pola berpikir sedemikian memang
benar; namun mereka tidak sempat memperhatikan bahwa sebenarnya mereka pun
sedang terlibat dalam proses berpikir. Kita tak dapat menghindar dari hal
ini. Yang hanya dapat kita hindari adalah melakukannya secara baik. Selain
itu, akal itu sebenarnya adalah sahabat, bukan musuh iman dan menjadi
sahabat kekudusan, karena akal itu adalah jalan menuju kebenaran, dan
kekudusan berarti mengasihi Allah yang adalah Kebenaran.
Bukan hanya berpikir secara apologetik mengantar
seseorang kepada iman dan kekudusan, melainkan iman dan kekudusan juga
mengantar kepada berpikir secara apologetik. Karena kekudusan berarti
mengasihi Allah, dan mengasihi Allah berarti menaati kehendak Allah, dan
kehendak Allah bagi kita adalah mengenal Dia dan "siap sedia memberi
pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab
dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu" (1 Ptr. 3:15).
Akhirnya, fakta bahwa apologetik tidak sepenting seperti
kasih tidak berarti bahwa apologetik itu tidak sangat, sangat penting. Fakta
bahwa kesehatan tidak sepenting seperti hikmat tidak berarti bahwa
kesehatan itu tidak sangat penting - misalnya jauh lebih penting cari uang.
Seluruh argumentasi yang dikemukakan dalam buku ini, dan
di dalam buku-buku lain mengenai apologetik yang pernah ditulis, kurang
nilainya di hadapan Allah dibandingkan dengan perbuatan kasih kepadanya
atau kepada sesama Anda. Tetapi walaupun salah satu dari argumentasi ini
sangat baik, argumentasi itu sendiri memiliki nilai yang melebihi nilai
uang yang Anda belanjakan.
Sebuah alasan lain yang lebih dalam mengapa sebagian
orang tidak menyenangi hal berpikir secara apologetik adalah karena mereka
memutuskan untuk percaya atau tidak dengan hati mereka ketimbang dengan
kepala mereka. Bahkan argumentasi yang paling sempurna pun tidak
menggerakkan hati orang seperti emosi, keinginan, dan pengalaman nyata.
Kebanyakan dari kita mengetahui bahwa hati kita, bukan kepala kita, yang
menjadi pusat kita. Tetapi apologetik masuk sampai ke hati kita melalui
kepala kita. Kepala itu sangat penting karena berfungsi menjadi pintu yang
menuju ke hati. Kita hanya akan dapat mengasihi apa yang kita kenal atau
ketahui.
Selanjutnya, akal itu minimal memiliki kuasa untuk
memveto. Kita tak dapat mempercayai sesuatu yang kita ketahui tidak benar,
dan kita tak dapat mengasihi sesuatu yang kita percayai tidak nyata.
Argumentasi-argumentasi mungkin tidak akan mengantar Anda kepada iman,
tetapi pasti hal-hal itu dapat menjauhkan Anda dari iman. Karena itu kita
harus terjun dan ikut serta dalam peperangan argumentasi ini.
Argumentasi-argumentasi dapat mengantar Anda kepada
iman, sama seperti sebuah mobil dapat mengantar Anda ke tepi pantai. Mobil
itu rak yang dapat berenang; Anda harus meloncat masuk ke dalam air untuk
dapat berenang. Namun Anda tak dapat meloncat ke dalam air apabila Anda
berada ratusan kilometer dari pantai laut. Anda pertama-tama membutuhkan
mobil yang akan membawa Anda ke tempat di mana Anda dapat membuat loncatan
iman ke dalam air laut. Iman adalah sebuah loncatan, namun itu adalah
loncatan dalam terang, bukan dalam kegelapan.
Kepala itu laksana seorang navigator kapal. Hati itu
laksana kapten kapal. (Yang dimaksud Kitab Suci dengan "hati"
lebih dekat dengan "kehendak" daripada "perasaan".)
Keduanya penting. Masing-masing saling menaati satu dengan yang lain dengan
cara yang berbeda.
B.
Alasan-Alasan
untuk Melakukan Apologetik
Alasan pertama, bagi orang Kristen adalah karena
ketaatan kepada kehendak Allah yang dinyatakan dalam firman-Nya. Penolakan
untuk memberi pertanggungjawaban (alasan) bagi iman merupakan ketidaktaatan
kepada Allah. Sekurang-kurangnya ada dua alasan praktis mengapa kita
melakukan apologetik, yaitu: untuk meyakinkan orang tidak percaya dan untuk
mengajar dan membangun orang percaya. Kalaupun tak ada orang tak percaya
yang perlu diyakinkan, kita masih harus memberikan pertanggungjawaban atas
iman kita, karena iman itu tidak berdiri sendiri, melainkan menghasilkan
atasan- atasan sama seperti iman itu menghasilkan perbuatan baik. Iman itu
mendidik akal dan akal memeriksa isi dari "iman yang telah disampaikan
kepada orang- orang kudus" (Yud. 3).
Selain itu, iman bagi orang Kristen adalah iman kepada
Allah yang adalah kasih, Kekasih jiwa kita, dan Yang kita kasihi; dan
semakin hati kita mengasihi seseorang, semakin besar keinginan pikiran kita
untuk mengenal pribadi yang kita kasihi itu. Iman dengan sendirinya
mengantar kepada akal melalui perantaraan kasih. Jadi iman itu mengantar
kepada akal, dan akal mengantar kepada iman - itulah yang ingin
diperlihatkan oleh buku ini. Demikianlah akal dan iman adalah sahabat,
sekawan, pasangan, partner.
Apologetik itu juga dapat diumpamakan seperti peperangan
karena iman dan akal sebagai dua sahabat itu memiliki musuhmusuh yang sama.
Argumentasi-argumentasi apologetik adalah seumpama perlengkapan peperangan.
Perhatikan bagaimana Paulus menjelaskan tentang peperangan rohani di mana
apologetik itu juga turut terlibat:
"Memang kami masih hidup di dunia, tetapi kami
tidak berjuang secara duniawi, karena senjata kami dalam perjuangan bukanlah
senjata duniawi, melainkan senjata yang diperlengkapi dengan kuasa Allah,
yang sanggup untuk meruntuhkan benteng-benteng. Kami mematahkan setiap
siasat orang dan merobohkan setiap kubu yang dibangun oleh keangkuhan
manusia untuk menentang pengenalan akan Allah. Kami menawan segala pikiran
dan menaklukkannya kepada Kristus" (2 Kor. 10:3-5).
Dalam peperangan ini kita mempertahankan iman maupun
akal, karena akal adalah sahabat kebenaran, dan ketiadaan iman itu adalah
ketiadaan kebenaran. Dalam mempertahankan iman, kita menguasai kembali
teritorial pikiran yang kita miliki, atau yang menjadi milik Allah. Seluruh
teritorial itu adalah milik Allah. Sebagaimana yang dikatakan Arthur
Holmes, "Seluruh kebenaran adalah kebenaran Allah."
Namun peperangan itu adalah untuk melawan
ketidakpercayaan, bukan untuk melawan orang tidak percaya, sama seperti
insulin yang diperuntukkan bagi penyakit diabetes, bukannya untuk penderita
diabetes. Sasaran dari apologetik bukanlah kemenangan, melainkan kebenaran.
Kedua pihak akan menang. Ucapan Abraham Lincoln juga dapat diterapkan
kepada argumentasi apologetik: "Cara yang terbaik untuk dapat
mengalahkan musuh Anda adalah menjadikannya teman Anda."
Kami mengundang para kritik!ts, mereka yang skeptis,
untuk berdialog dengan kami dan menulis kepada kami - demi mewujudkan
kebersamaan dalam mencari kebenaran, dan demi untuk (kurang penting)
memperbaiki edisi-edisi masa depan buku ini. Salah satu dari beberapa hal
dalam kehidupan ini yang tak dapat membahayakan kita, adalah mencari kebenaran
itu secara jujur.
C.
Mengenai
Metodologi
Suatu pendahuluan atau perkenalan kepada apologetik
biasanya membahas mengenai metodologi. Namun kami tidak melakukan hal ini.
Kami percaya bahwa dewasa ini pertanyaan-pertanyaan yang sekunder mengenai
metodologi sering menyelewengkan perhatian kita dari pertanyaan-pertanyaan
primer mengenai kebenaran. Tujuan kami adalah "kembali kepada hal-hal
dasar". Kami tidak memiliki kapak metodologi khusus untuk menebang.
Kami coba menggunakan standar- standar rasionalitas yang masuk akal dan
prinsip-prinsip logika yang diterima secara universal dalam
pembahasan-pembahasan kami. Kami mengumpulkan dan mempertajam
argumentasi-argumentasi seperti orang-orang yang senang koleksi batu-batu
permata berharga yang mengumpulkan dan kemudian memoles batu-batu itu
supaya kelihatan lebih indah; para pembaca dapat menyusunnya sesuai dengan
berbagai situasi atau latar belakang mereka sendiri.
Namun kami harus menyampaikan satu hal mengenai
metodologi, yaitu: bagaimana untuk tidak menggunakan buku [bahan] ini.
Kami telah mengatakan bahwa argumentasi-argumentasi
apologetik adalah seperti perlengkapan perang. Ini merupakan metafora yang
berbahaya, karena perlengkapan perang ini tak pernah digunakan untuk
memukul kepala orang. Argumentasi adalah kegiatan manusia yang merupakan
bagian dari konteks sosial dan psikologis yang lebih luas. Konteks ini
mencakup (1) jiwa seutuhnya (psyche) dari dua orang yang terlibat dalam
suatu kegiatan dialog, (2) hubungan antara dua orang, (3) situasi di mana
mereka sendiri sedang berada, dan (4) situasi sosial, kultural, dan
historikal yang lebih luas di sekitar mereka. Bahkan faktor-faktor
nasional, politik, rasial, dan seksual pun mempengaruhi situasi apologetis.
Seseorang tidak boleh menggunakan argumentasi-argumentasi sama yang
digunakan dalam berdiskusi dengan wanita India ketika berhadapan dengan
seorang remaja Afrika-Amerika dari Los Angeles.
Dengan perkataan lain, walaupun argumentasi-argumentasi
itu adalah senjata-senjata, fungsinya lebih menyerupai sebuah pedang
daripada sebuah bom. Kita ketahui bahwa bom tidak akan mempedulikan
sasarannya. Juga tidak perlu banyak menjadi masalah tentang siapa yang
menjatuhkan bom itu. Namun untuk sebuah pedang, sangat penting sekali siapa
yang mengayunkannya, karena pedang itu adalah kepanjangan tangan dari orang
yang memegangnya. Demikian pula, sebuah argumentasi dalam apologetik, bila
benar-benar digunakan dalam dialog, merupakan kepanjangan tangan dari orang
yang terlibat dalam argumentasi itu. Nada suara, kesungguhan, kepedulian,
perhatian, sikap main mendengar, dan menghargai dari orang yang
berargumentasi sangat penting dan menentukan seperti logikanya, bahkan
terkadang lebih penting. Dunia ini dapat dimenangkan bagi Kristus bukan
melalui argumentasi-argumentasi, melainkan melalui kekudusan: "Ucapan
Anda terdengar sedemikian nyaring sehingga saya hampir tak dapat
mendengarkan apa yang Anda katakan."
D.
Kebutuhan
Akan Apologetik Dewasa Ini
Apologetik secara khusus sangat dibutuhkan dewasa ini,
khususnya di saat dunia sedang diperhadapkan pada tiga persimpangan jalan
dan berbagai krisis.
1.
Peradaban
Barat untuk pertama kalinya dalam sejarah sedang menghadapi bahaya sekarat.
Alasannya bersifat spiritual. Peradabannya sedang kehilangan kehidupannya,
jiwanya; dan jiwa yang dimaksud adalah iman Kristen. Infeksi yang sedang
mematikannya bukan multikulturalisme kemajemukan budaya atau agama dan
kepercayan lain - melainkan monokulturalisme sekularisme - ketiadaan iman,
ketiadaan jiwa. Abad kita ini ditandai oleh pembasmian kelompok orang tertentu,
kekacauan seksual, dan penyembahan uang. Apabila para nabi tidak
mengucapkan kebohongan, maka kita akan mengalami kehancuran, kecuali jika
kita bertobat dan "memutar kembali jarum jamnya" (bukan secara
teknologi, melainkan secara spiritual). Gereja Yesus Kristus tidak akan
pernah mati, namun peradaban kita bisa mati. Apabila pintu-pintu neraka
tidak akan dapat menguasai gereja, maka dunia ini pun pasti tidak akan bisa
melakukannya. Kami melaksanakan apologetik bukan untuk menyelamatkan
gereja, melainkan untuk menyelamatkan dunia.
2.
Kita
bukan hanya sedang nenghadapi krisis kultural dan kemasyarakatan, melainkan
kita pun sedang berada di tengah krisis filosofis dan intelektual. Krisis
yang kita sedang hadapi adalah "krisis kebenaran". Ide mengenai
kebenaran objektif semakin diabaikan, ditinggalkan atau diserang - bukan
hanya dari sisi praktis, melainkan juga dari sisi teoritis, secara langsung
dan terbuka, terutama oleh lembaga-lembaga pendidikan dan media, yang
membentuk pikiran-pikiran kita.
3.
Hal
yang terakhir, tingkat yang terdalam dari krisis yang kita hadapi bukanlah
bersifat kultural atau intelektual, melainkan spiritual. Yang dipertaruhkan
adalah jiwa-jiwa manusia, lelaki maupun wanita yang baginya Kristus telah
mati. Sebagian orang berpikir bahwa hari kiamat telah dekat. Kami bersikap
skeptis terhadap ramalan seperti itu, namun kami mengetahui satu hal yang
pasti: setiap orang sedang mendekati ajalnya, kematian dan hukuman kekal
setiap hari. Peradaban kita bisa saja bertahan lagi sampai satu abad lagi,
tetapi Anda sendiri tidak akan dapat bertahan. Anda segera akan menghadap
Tuhan tanpa dapat menyembunyikan sesuatu. Sebaiknya Anda mulai belajar
mengasihi dan mencari terang itu selama masih ada kesempatan, supaya Anda
akan menikmati sukacita dan bukan ketakutan untuk selama-lamanya. Adalah
hal yang tak sesuai dewasa ini untuk menulis hal-hal seperti ini pada masa
kini -- suatu kenyataan yang berbicara banyak sekali tentang kesehatan
spiritual dari masa gaya burung unta yang sedang kita hadapi ini.
E.
Kekristenan
Belaka atau Ortodoks
Kami membatasi diri kami dalam buku ini pada kepercayaan
kepercayaan inti yang dikenal oleh seluruh orang Kristen ortodoks - yang
disebut oleh C.S. Lewis "Kekristenan Belaka". Istilah belaka
tidak diartikan sesuatu "denominasi yang terendah" yang abstrak,
melainkan menunjukkan intisari atau pokok iman seperti yang disimpulkan
dalam Pengakuan Iman Rasuli. Intisari pengajaran yang kuno dan tak berubah
ini telah mempersatukan orang-orang, percaya yang berbeda-beda satu dengan
yang lain dan telah dipergunakan pula untuk menentang orang yang tidak
percaya yang berada di banyak gereja dan denominasi maupun yang berada di
luar. Para teolog liberal (atau modernis, atau demytologis atau revisionis)
tidak akan senang dengan buku ini, terutama tentang argumentasi-
argumentasinya mengenai mukjizat-mukjizat, keabsahan Kitab Suci, realita
kebangkitan, keilahian Kristus, dan realita mengenai surga dan neraka. Kami
mengundang mereka untuk bergabung bersama-sama dengan mereka yang mengaku
diri bukan orang-orang percaya untuk coba mengemukakan sanggahan-sanggahan
terhadap argumentasi- argumentasi ini. Kami juga mengundang mereka untuk
mulai mempraktekkan "pemberian label kebenaran" yang lebih akurat
dalam menjelaskan posisi mereka sendiri.
Para pembaca liberal mungkin akan mencap buku ini
sebagai buku "konservatif" atau "sayap kanan".
Istilah-istilah itu tidak tepat atau tak cocok.
Istilah "konservatif" yang berlawanan dengan
"progresif", mengacu kepada sesuatu dalam waktu dan sejarah,
bukan kebenaran-kebenaran kekal, melainkan pendapat-pendapat atau cara-cara
masa lampau yang bertentangan dengan mash depan. Sesuatu yang
"progresif" pada suatu waktu dapat menjadi
"konservatif" pada waktu yang lain. Pertanyaan apakah Allah, surga,
atau mukjizat-mukjizat ada merupakan pertanyaan yang tidak menyangkut
pendapat-pendapat yang terikat dengan waktu, melainkan menyangkut
realita-realita yang tidak berubah.
Istilah "sayap kanan" mengacu kepada orientasi
politik. pasca Revolusi Perancis, yang bertentangan dengan "sayap
kiri" (kira-kira sosialis), yang sama sekali tak ada kaitannya dengan
apologetik Kristen. Kebenaran atau kekeliruan sosialisme dalam politik tak
ada kaitannya dengan eksistensi atau noneksistensi Allah.
Istilah teologis yang tepat bagi mereka yang menamakan
diri teolog "liberal" atau "sayap kiri" atau
"progresif" adalah "heretik". Secara definisi, seorang
heretik adalah seorang yang menyeleweng atau meninggalkan doktrin yang
esensial (dari istilah Yunani haireomai yang berarti "memilih
sendiri"). Oleh karena kebanyakan kaum heretik masa kini tidak lagi
percaya kepada pokok-pokok doktrin esensial, maka mereka tidak menerima
label ini.
Keberatan yang mereka kemukakan masih memiliki bobot
karena gereja pernah ternoda oleh Peristiwa Inquisisi, di mana gereja
melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan kaurri liberal yaitu:
mengacaukan ajaran sesat dengan orang-orang sesat. Peristiwa Inquisisi
Spanyol keliru menghancurkan orang-orang heretik demi untuk dengan benar
menghancurkan ajaran heretik; kaum "liberal" modern keliru
mengasihi ajaran heretik demi untuk dengan benar mengasihi kawan heretik.
Apologetik bertujuan membela kekristenan ortodoks. Para
penyeleweng dari kebenaran tidak senang berapologetik untuk kekristenan
ortodoks karena mereka tidak mempercayai kekristenan ortodoks itu. Mereka
lebih senang meminta maaf untuk itu, daripada berupaya membelanya.
----------------------------------------------------------------------
PESTA ======Pendidikan Elektronik Studi Teologia Kaum Awam====== PESTA
PESTA //
PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA
Nama
Kursus
|
:
|
APOLOGETIKA
UNTUK AWAM I (AUA I)
|
Nama
Pelajaran
|
:
|
Dasar
yang Kokoh
|
Kode
Referensi
|
:
|
AUA
I-R01b
|
Referensi
AUA I-R01b diterjemahkan dari:
Nama
situs
|
:
|
Carm
|
URL
|
:
|
http://www.carm.org/apologetics.htm
|
Judul
artikel
|
:
|
Introduction
to Apologetics
|
Pengarang
|
:
|
Matthew
J. Slick
|
Penerbit
|
:
|
1995 -
2007
|
PENGANTAR
APOLOGETIKA Istilah "apologetika" berasal dari kata Yunani,
"apologia". Artinya suatu pembelaan-pembelaan lisan. Istilah ini
dipakai delapan kali di Perjanjian Baru: Kis. 22:1; 25:16; 1Kor. 9:3; 2Kor.
7:11; Flp. 1:7-8; 2 Tim. 4:16 dan 1Pet. 3:15.
"Kuduskanlah
KRISTUS di dalam hatimu sebagai TUHAN! Dan siap sedialah pada segala waktu
untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta
pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi
haruslah dengan lemah lembut dan hormat." (1 Petrus 3:15. TB.)
"Apologetika"
adalah pekerjaan untuk meyakinkan orang agar mengubah cara pandang
mereka". Apologetika Kristen adalah cabang kekristenan yang berkenaan
dengan hal menjawab segala kritik yang melawan atau pertanyaan tentang
wahyu Allah di dalam Kristus dan Alkitab. Hal ini termasuk mempelajari
transmisi manuskrip alkitabiah, filsafat, biologi, matematika, evolusi, dan
logika. Tetapi apologetika dapat juga berisi suatu jawaban sederhana
terhadap pertanyan tentang Yesus atau sebuah ayat Alkitab.
Apologetika
bisa bersifat defensif dan opensif. Filipi 1:7-8, memberikan kepada kita
sifat defensifnya, "Memang sudahlah sepatutnya aku berpikir demikian
akan kamu semua, sebab kamu ada di dalam hatiku, oleh karena kamu semua
turut mendapat bagian dalam kasih karunia yang diberikan kepadaku, baik
pada waktu aku dipenjarakan, maupun pada waktu aku membela dan meneguhkan
Berita Injil. Sebab Allah adalah saksiku betapa aku dengan kasih mesra
Kristus Yesus merindukan kamu sekalian." 2 Korintus 10:5-6 memberikan
kepada kita sifat ofensifnya, "Kami mematahkan setiap siasat orang dan
merubuhkan setiap kubu yang dibangun oleh keangkuhan manusia untuk
menentang pengenalan akan Allah. Kami menawan segala pikiran dan
menaklukkannya kepada Kristus dan kami siap sedia juga untuk menghukum
setiap kedurhakaan, bila ketaatan kamu telah menjadi sempurna."
Seorang pembela dapat dan harus membela alasannya untuk percaya (1 Pet. 3:15).
Tetapi dia juga boleh menyerang. Ia dapat mencari orang-orang yang melawan
Kekristenan (2 Kor. 10:5). Tentu, ia harus mengadakan persiapan sebelumnya
dan semua pembelaan harus dilakukan dengan kelemahlembutan.
Apologetika
adalah pekerjaan untuk meyakinkan orang agar mengubah cara pandang mereka.
Hal ini mirip dengan berkhotbah karena tujuan akhirnya adalah membela dan
menyajikan keabsahan dan pentingnya Injil. Ini adalah sebuah upaya untuk
membujuk pendengar untuk mengubah keyakinan dan hidup mereka untuk menerimaan
kebenaran alkitabiah dan menerima keselamatan dari Kristus.
Pada
dasarnya, apologetika adalah sebuah pembuktian atau presupposisi[onal].
Apologetika evidesial berhubungan dengan bukti- bukti kekristenan, seperti:
kebangkitan Yesus, manuskrip Alkitab, penggenapan nubuatan,
mujizat-mujizat, dll. Apologetika presuposisional berhubungan dengan
presuposisi-presuposisi dari pihak-pihak yang menantang Kekristenan, karena
presuposisi- presuposisi itu berpengaruh pada bagaimana sudut pandang
seseorang dalam melihat bukti dan alasan. Di beberapa debat dalam
apologetika Kristen berkaitan dengan penggunaan bukti-bukti, alasan-alasan,
filsafat-filsafat, dsb.
Haruskah
seorang apologis hanya menggunakan kriteria yang dapat diterima oleh orang
yang tidak percaya? Apakah kita boleh menggunakan Alkitab sebagai sebuah
pembelaan posisi kita atau haruskah kita membuktikan Kekristenan tanpa
Alkitab? Apakah alasan saja dapat membuktikan kebenaran keberadaan Allah
atau kebenaran kekristenan? Ada berapa seharusnya alasan dan bukti yang
digunakan di dalam terang pengajaran Kitab Suci sehingga Allahlah yang
membukakan pikiran untuk dapat memahami? Apakah doa, penggunaan Alkitab,
dan sifat keberdosaan dari orang tidak percaya berperan di dalam kesaksian?
Bagaimana faktor-faktor itu berpengaruh dalam membawa seseorang yang tidak
percaya untuk beriman? Pertanyaan-pertanyaan ini mudah; jawabannya ialah
tidak.
Yesus
memilih seorang yang cerdas-seorang terdidik secara agamawi sebagai rasul.
Dia adalah Paulus. Rasul yang lain adalah nelayan sederhana, seorang
pemungut pajak, seorang doktor, dll. Mereka adalah orang-orang biasa pada
masanya yang bersedia dan rindu untuk dipakai oleh Tuhan. Mereka dilengkapi
oleh Roh Allah dan mereka menjadi seperti bejana Allah. Allah menggunakan
segala sesuatu untuk kemuliaan-Nya. Jadi, kita melakukan tugas apologetika
atas dasar iman.
Tuhan
sudah memanggil setiap orang Kristen untuk mempersiapkan suatu pembelaan
tentang imannya. Artinya, Anda dipanggil untuk memberikan alasan terhadap
pertanyaan tentang kekeristenan. Anda tidak harus seorang bergelar Ph.D.
atau Anda telah kuliah di Seminari. Tetapi Anda harus siap, paling tidak
memberikan sebuah jawaban untuk kepercayaan Anda. Jika Anda menemui bahwa
Anda tidak dapat melakukannya, berdoalah sungguh-sungguh dan mulailah
belajar.
Apa
Yang Anda Pelajari?
-----------------------
Anda
dapat berdoa dan meminta Tuhan untuk mengajar Anda tentang apa yang Dia
inginkan untuk Anda ketahui. Mintalah kepada-Nya untuk memberikan kepada
Anda suatu beban untuk sesuatu yang Anda pelajari. Tidak masalah, apapun
itu. Minta saja! Apa saja yang membuat Anda tertarik di dalamnya adalah apa
yang harus Anda pelajari tentangnya karena kemungkinan sesuatu yang Allah
ingin Anda ketahui untuk dipakai kelak. Seperti alat-alat, lebih banyak
yang Anda punya, maka lebih banyak yang dapat Anda kerjakan.
Cara
lain untuk menemukan kehendak Allah bagi Anda adalah belajar dalam segala
keadaan. Andaikanlah, ada seorang Saksi Yehova datang di depan pintu rumah
Anda dan berdebat tentang keilahian Kristus dengan Anda dan Anda tidak
mengetahui bagaimana caranya untuk membela secara Alkitabiah. Dalam kasus
ini, Anda sadar bahwa Anda perlu belajar ayat-ayat pelajaran Alkitabiah
yang mengajarkan bahwa Yesus adalah Allah yang menjadi Manusia. Atau mungkin
seorang teman kerja bertanya kepada Anda tentang bagaimana Anda tahu bahwa
Alkitab itu benar? Jika Anda tidak mempunyai suatu jawaban, berdoa dan
mulailah mencari jawabannya. Pergilah ke toko buku Kristen dan belilah
beberapa judul buku yang dimaksud. Ceritakan ke Pastor Anda. Anda akan
belajar.
Suatu
saat Allah akan membuat ayat atau judul di dalam Alkitab menjadi
"hidup" bagi Anda dan mungkin ayat itu akan nampak aneh atau
menarik perhatian Anda. Anda bisa mencari komentari atau buku tafsiran dan
mempelajarinya. Anda juga dapat bertanya kepada yang lain tentang hal ini.
Dengan demikian, Anda telah mempersiapkan diri Anda sendiri dengan belajar
untuk persiapan menjawab pertanyaan- pertanyaan dan hal-hal penting lain
dari seseorang untuk digiring kepada kebenaran. Anda akan terpesona betapa
banyak detail-detail yang dapat digunakan oleh Allah untuk menolong Anda
dalam kesaksian Anda, bahkan melaui semuanya itu, ayat-ayat yang Anda
anggap asing tiba-tiba "hidup."
----------------------------------------------------------------------
PESTA ======Pendidikan Elektronik Studi Teologia Kaum Awam====== PESTA
PESTA //
PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA
Nama
Kursus
|
:
|
APOLOGETIKA
UNTUK AWAM I (AUA I)
|
Nama
Pelajaran
|
:
|
Dasar
yang Kokoh
|
Kode
Referensi
|
:
|
AUA
I-R01c
|
Referensi
AUA I-R01c diambil dari:
Judul
buku
|
:
|
Pedoman
Apologetik Kristen 1
|
Judul
artikel
|
:
|
Alasan-alasan
untuk Melakukan Apologetika
|
Penulis
|
:
|
Peter
Kreeft dan Ronald K. Tacelli
|
Penerbit
|
:
|
Yayasan
Kalam Hidup, Bandung 2006
|
Halaman
|
:
|
25 --
29
|
ALASAN-ALASAN
UNTUK MELAKUKAN APOLOGETIKA
Alasan
pertama, bagi orang Kristen adalah karena ketaatan kepada kehendak Allah
yang dinyatakan dalam firman-Nya. Penolakan untuk memberi
pertanggungjawaban (alasan) bagi iman merupakan ketidaktaatan kepada Allah.
Sekurang-kurangnya ada dua alasan praktis mengapa kita melakukan
apologetik, yaitu: untuk meyakinkan orang tidak percaya dan untuk mengajar
dan membangun orang percaya.
Kalaupun
tak ada orang tak percaya yang perlu diyakinkan, kita masih harus
memberikan pertanggungjawaban atas iman kita, karena iman itu tidak berdiri
sendiri, melainkan menghasilkan alasan-alasan sama seperti iman itu
menghasilkan perbuatan baik. iman itu mendidik akal dan akal memeriksa isi
dari "iman yang telah disampaikan kepada orang- orang kudus"
(Yud. 3).
Selain
itu, iman bagi orang Kristen adalah iman kepada Allah yang adalah kasih,
Kekasih jiwa kita, dan Yang kita kasihi; dan semakin hati kita mengasihi
seseorang, semakin besar keinginan pikiran kita untuk mengenal pribadi yang
kita kasihi itu. Iman dengan sendirinya mengantar kepada akal melalui
perantaraan kasih. Jadi iman itu mengantar kepada akal, dan akal mengantar
kepada iman - itulah yang ingin diperlihatkan oleh buku ini. Demikianlah
akal dan iman adalah sahabat, sekawan, pasangan, partner.
Apologetik
itu juga dapat diumpamakan seperti peperangan karena iman dan akal sebagai
dua sahabat itu memiliki musuh-musuh yang sama. Argumentasi-argumentasi
apologetik adalah seumpama perlengkapan peperangan. Perhatikan bagaimana
Paulus menjelaskan tentang peperangan rohani di mana apologetik itu juga
turut terlibat:
"Memang
kami masih hidup di dunia, tetapi kami tidak berjuang secara duniawi,
karena senjata kami dalam perjuangan bukanlah senjata duniawi, melainkan
senjata yang diperlengkapi dengan kuasa Allah, yang sanggup untuk meruntuhkan
benteng-benteng. Kami mematahkan setiap siasat orang dan merobohkan setiap
kubu yang dibangun oleh keangkuhan manusia untuk menentang pengenalan akan
Allah. Kami menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus"
(2 Kor. 10:3-5).
Dalam
peperangan ini kita mempertahankan iman maupun akal, karena akal adalah
sahabat kebenaran, dan ketiadaan iman itu adalah ketiadaan kebenaran. Dalam
mempertahankan iman, kita menguasai kembali teritorial pikiran yang kita
miliki, atau yang menjadi milik Allah. Seluruh teritorial itu adalah milik
Allah. Sebagaimana yang dikatakan Arthur Holmes, "Seluruh kebenaran
adalah kebenaran Allah."
Namun
peperangan itu adalah untuk melawan ketidakpercayaan, bukan untuk melawan
orang tidak percaya, sama seperti insulin yang diperuntukkan bagi penyakit
diabetes, bukannya untuk penderita diabetes. Sasaran dari apologetik
bukanlah kemenangan, melainkan kebenaran. Kedua pihak akan menang. Ucapan
Abraham Lincoln juga dapat diterapkan kepada argumentasi apologetik:
"Cara yang terbaik untuk dapat mengalahkan musuh Anda adalah
menjadikannya teman Anda."
Kami
mengundang para kritikus: mereka yang skeptis, untuk berdialog dengan kami
dan menulis kepada kami - demi mewujudkan kebersamaan dalam mencari
kebenaran, dan demi untuk (kurang penting) memperbaiki edisi-edisi masa
depan buku ini. Salah satu dari beberapa hal dalam kehidupan ini yang tak
dapat membahayakan kita, adalah mencari kebenaran itu secara jujur.
Mengenai
Metodologi
Suatu
pendahuluan atau perkenalan kepada apologetik biasanya membahas mengenai
metodologi. Namun kami tidak melakukan hal ini. Kami percaya bahwa dewasa
ini pertanyaan-pertanyaan yang sekunder mengenai metodologi sering
menyelewengkan perhatian kita dari pertanyaan- pertanyaan primer mengenai
kebenaran. Tujuan kami adalah "kembali kepada hal-hal dasar".
Kami tidak memiliki kapak metodologi khusus untuk menebang. Kami coba
menggunakan standar-standar rasionalitas yang masuk akal dan
prinsip-prinsip logika yang diterima secara universal dalam pembahasan-pembahasan
kami. Kami mengumpulkan dan mempertajam argumentasi-argumentasi seperti
orang-orang yang senang koleksi batu-batu permata berharga yang
mengumpulkan dan kemudian memoles batu-batu itu supaya kelihatan lebih
indah; para pembaca dapat menyusunnya sesuai dengan berbagai situasi atau
latar belakang mereka sendiri.
Namun
kami harus menyampaikan satu hal mengenai metodologi, yaitu: bagaimana
untuk tidak menggunakan buku ini.
Kami
telah mengatakan bahwa argumentasi-argumentasi apologetik adalah seperti
perlengkapan perang. Ini merupakan metafora yang berbahaya, karena
perlengkapan perang ini tak pernah digunakan untuk memukul kepala orang.
Argumentasi adalah kegiatan manusia yang merupakan bagian dari konteks
sosial dan psikologis yang lebih luas. Konteks ini mencakup (1) jiwa
seutuhnya (psyche) dari dua orang yang terlibat dalam suatu kegiatan
dialog, (2) hubungan antara dua orang, (3) situasi di mana mereka sendiri
sedang berada, dan (4) situasi sosial, kultural, dan historikal yang lebih
luas di sekitar mereka. Bahkan faktor-faktor nasional, politik, rasial, dan
seksual pun mempengaruhi situasi apologetis. Seseorang tidak boleh
menggunakan argumentasi- argumentasi sama yang digunakan dalam berdiskusi
dengan wanita India ketika berhadapan dengan seorang remaja Afrika-Amerika
dari Los Angeles.
Dengan
perkataan lain, walaupun argumentasi-argumentasi itu adalah
senjata-senjata, fungsinya lebih menyerupai sebuah pedang daripada sebuah
bom. Kita ketahui bahwa bom tidak akan mempedulikan sasarannya. Juga tidak
perlu banyak menjadi masalah tentang siapa yang menjatuhkan bom itu. Namun
untuk sebuah pedang, sangat penting sekali siapa yang mengayunkannya,
karena pedang itu adalah kepanjangan tangan dari orang yang memegangnya.
Demikian pula, sebuah argumentasi dalam apologetik, bila benar-benar
digunakan dalam dialog, merupakan kepanjangan tangan dari orang yang
terlibat dalam argumentasi itu. Nada suara, kesungguhan, kepedulian,
perhatian, sikap mau mendengar, dan menghargai dari orang yang
berargumentasi sangat penting dan menentukan seperti logikanya, bahkan
terkadang lebih penting. Dunia ini dapat dimenangkan bagi Kristus bukan
melalui argumentasi- argumentasi, melainkan melalui kekudusan: "Ucapan
Anda terdengar sedemikian nyaring sehingga saya hampir tak dapat mendengarkan
apa yang Anda katakan."
Kebutuhan
Akan Apologetik Dewasa Ini
Apologetik
secara khusus sangat dibutuhkan dewasa ini, khususnya di saat dunia sedang
diperhadapkan pada tiga persimpangan jalan dan berbagai krisis.
1.
Peradaban
Barat untuk pertama kalinya dalam sejarah sedang menghadapi bahaya sekarat.
Alasannya bersifat spiritual. Peradabannya sedang kehilangan kehidupannya,
jiwanya; dan jiwa yang dimaksud adalah iman Kristen. Infeksi yang sedang
mematikannya bukan multikulturalisme kemajemukan budaya atau agama dan
kepercayan lain - melainkan monokulturalisme sekularisme - ketiadaan iman,
ketiadaan jiwa. Abad kita ini ditandai oleh pembasmian kelompok orang
tertentu, kekacauan seksual, dan penyembahan uang. Apabila para nabi tidak
mengucapkan kebohongan, maka kita akan mengalami kehancuran, kecuali jika
kita bertobat dan "memutar kembali jarum jamnya" (bukan secara
teknologi, melainkan secara spiritual). Gereja Yesus Kristus tidak akan
pernah mati, namun peradaban kita bisa mati. Apabila pintu-pintu neraka
tidak akan dapat menguasai gereja, maka dunia ini pun pasti tidak akan bisa
melakukannya. Kami melaksanakan apologetik bukan untuk menyelamatkan
gereja, melainkan untuk menyelamatkan dunia.
2.
Kita
bukan hanya sedang menghadapi krisis kultural dan kemasyarakatan, melainkan
kita pun sedang berada di tengah krisis filosofis dan intelektual. Krisis
yang kita sedang hadapi adalah "krisis kebenaran" (menggunakan
istilah dari Ralph Martin). Ide mengenai kebenaran objektif semakin
diabaikan, ditinggalkan atau diserang - bukan hanya dari sisi praktis,
melainkan juga dari sisi teoritis, secara langsung dan terbuka, terutama
oleh lembaga-lembaga pendidikan dan media, yang membentuk pikiran-pikiran
kita. (Lihat Pasal 16 untuk pembelaan mengenai konsep mendasar tentang
kebenaran objektif.)
3.
Hal
yang terakhir, tingkat yang terdalam dari krisis yang kita hadapi bukanlah
bersifat kultural atau intelektual, melainkan spiritual. Yang dipertaruhkan
adalah jiwa-jiwa manusia, lelaki maupun wanita yang baginya Kristus telah
mati. Sebagian orang berpikir bahwa hari kiamat telah dekat. Kami bersikap
skeptis terhadap ramalan seperti itu, namun kami mengetahui satu hal yang
pasti: setiap orang sedang mendekati ajalnya, kematian dan hukuman kekal
setiap hari. Peradaban kita bisa saja bertahan lagi sampai satu abad lagi,
tetapi Anda sendiri tidak akan dapat bertahan. Anda segera akan menghadap
Tuhan tanpa dapat menyembunyikan sesuatu. Sebaiknya Anda mulai belajar
mengasihi dan mencari terang itu selama masih ada kesempatan, supaya Anda
akan menikmati sukacita dan bukan ketakutan untuk selama-lamanya. Adalah
hal yang tak sesuai dewasa ini untuk menulis hal-hal seperti ini pada masa
kini -- suatu kenyataan yang berbicara banyak sekali tentang kesehatan
spiritual dari masa gaya burung unta yang sedang kita hadapi ini.
Buku
ini diupayakan untuk berfungsi seperti peta penunjuk jalan dalam mencari
kebenaran tentang Allah. Peta penunjuk jalan sangat berguna setiap waktu,
khususnya pada masa-masa ini di mana terjadi banyak perubahan besar
sehingga banyak orang berkeliling-keliling dalam keadaan tersesat,
sedangkan peta yang tua itu (Alkitab) dihina, dirusak atau ditinggalkan.
----------------------------------------------------------------------
PESTA ======Pendidikan Elektronik Studi Teologia Kaum Awam====== PESTA
PESTA //
PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA
Nama
Kursus
|
:
|
APOLOGETIKA
UNTUK AWAM I (AUA I)
|
Nama
Pelajaran
|
:
|
Permulaan
dari Segalanya
|
Kode
Pelajaran
|
:
|
AUA
I-P02
|
Pelajaran 02 -
PERMULAAN DARI SEGALANYA
Daftar
Isi
A.
Allah
dan Ciptaan-Nya
1.
Allah
adalah Allah yang Tidak Bergantung atas Apa Pun (Siapa Pun)
2.
Ciptaan
Bergantung pada Allah
3.
Allah
Menyatakan Diri kepada Manusia
A.
Melalui
Setiap Aspek dari Ciptaan-Nya
B.
Melalui
Penyataan Khusus Allah
B.
Ketergantungan
Manusia kepada Allah
1.
Ketergantungan
Pengetahuan Manusia
2.
Ketergantungan
Moralitas Manusia
Doa
PERMULAAN DARI
SEGALANYA
"Pada
mulanya Allah menciptakan langit dan bumi." (Kej. 1:1)
Dalam
pelajaran kedua ini, kita akan mengembangkan prinsip-prinsip dan penerapan
pembelaan iman Kristen berdasarkan kebenaran Alkitab sebagai firman Tuhan.
Sesuai dengan keyakinan ini, ada beberapa hal yang harus dibahas. Pertama,
kita akan memulainya dengan mempelajari konsep penciptaan secara
alkitabiah.
A.
Allah
dan Ciptaan-Nya
Alkitab menempatkan kebenaran bahwa Allah adalah
Pencipta segala sesuatu sebagai kalimat pembukaannya. Hal ini menyatakan
betapa pentingnya mengakui bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu. Oleh
karena itu, tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa seluruh Alkitab berisi
penjelasan mengenai kebenaran yang satu ini, yakni Allah sebagai Pencipta
dan Tuhan.
Taman Eden merupakan penyataan (wahyu) dari keharmonisan
Allah dengan ciptaan-Nya. Dosa merupakan pemberontakan ciptaan melawan
Penciptanya. Keselamatan merupakan pembebasan dari dosa dan hak ciptaan
untuk dapat berdiri di hadapan Allah. Rasul Yohanes berbicara mengenai
sifat yang hakiki dari aktivitas penciptaan Allah sebagai berikut:
"Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun
yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan." (Yoh. 1:3)
Jika kita mengamati Kej. 1:1, kita dapat melihat bahwa
aktivitas penciptaan terdiri dari dua bagian. Di satu pihak, kita melihat
Seseorang yang menciptakan. Di pihak lain, kita melihat ciptaan yang Ia
ciptakan. Akibatnya, kita dapat melihat garis pemisah atau pembeda antara
Allah sebagai Pencipta dengan ciptaan-Nya. Kita akan menyebut hal ini
sebagai "perbedaan antara Pencipta dengan ciptaan". Ini merupakan
konsep yang akan diselidiki lebih jauh dan merupakan referensi yang akan
selalu kita lihat kembali.
Perbedaan antara Pencipta dan ciptaan-Nya ini tidak
boleh kita lupakan atau kesampingkan barang sedetik pun dalam usaha
mengembangkan apologetika alkitabiah.
1.
Allah
adalah Allah yang Tidak Bergantung atas Apa Pun (Siapa Pun)
Orang-orang Kristen pada zaman ini kadang masih berpikir
bahwa Allah hanyalah gambaran dari seorang kakek tua yang duduk di atas
awan sambil memerhatikan semua peristiwa menyedihkan yang terjadi di dunia
ini tanpa mampu berbuat apa-apa. Karena itu, Allah sering dilihat sebagai
Allah yang tidak berguna dan tidak penting bagi dunia ini, kecuali jika
manusia sendiri yang memiliki kerinduan dan kebutuhan pribadi yang ingin
dipenuhi oleh Allah.
Dalam pikiran kebanyakan orang, Allah tidak ada
hubungannya dengan proses yang terjadi di dunia. Mereka mengatakan bahwa
"Allah dibutuhkan hanya jika ada malapetaka atau masalah pribadi yang
berat". Lebih dari itu, Allah sendiri sering dimengerti sebagai Allah
yang bergantung pada ciptaan-Nya. Dia merindukan sesuatu terjadi di tengah
dunia ini, namun yang Ia dapatkan adalah sebaliknya, yang tidak Ia duga,
karena kepandaian tingkah manusia. Pikiran-pikiran demikian, yang jauh dari
gambaran firman Tuhan, juga tumbuh di gereja.
Allah bukanlah Allah yang tidak dapat berdiri sendiri
atau seperti "ayah yang hanya bisa duduk manis"; padahal Ia
adalah Pencipta yang Mahakuasa serta terus-menerus terlibat dan bertanggung
jawab atas ciptaan-Nya. Roma 11:36 berbicara mengenai hal ini:
"Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh
Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!"
Pengamatan yang lebih teliti pada bagian firman Tuhan
ini akan menyatakan kedalaman dari pengetahuan tentang Allah. Pertama,
Paulus berkata bahwa semua ciptaan adalah "dari Dia". Ayat ini
berarti Allah menciptakan dari yang tidak ada menjadi ada dan semua ciptaan
tidak terjadi dengan sendirinya. Kedua, Paulus mengatakan ciptaan
diciptakan "bagi Dia". Ini berarti ciptaan diciptakan untuk
kemuliaan Allah dan untuk menyenangkan Allah, bukan untuk manusia atau
ciptaan lain.
Penciptaan adalah "melalui Dia". Di sini,
Paulus tidak berbicara mengenai awal atau akhir dari hubungan Allah dengan
ciptaan-Nya. Ia berbicara mengenai Allah sebagai Pencipta yang memelihara
dan menunjang keberadaan ciptaan-Nya setiap saat sampai akhir. Ciptaan
dapat terus melangsungkan keberadaannya oleh karena Allah.
Inti dari kebenaran ini adalah: Sebagaimana Allah
berkuasa menciptakan dari permulaan, Dia juga berkuasa memungkinkan atau
mendukung ciptaan ini untuk terus ada sampai sekarang. Demikian juga Allah
tidak diciptakan oleh ciptaan-Nya, Dia sekarang pun tidak didukung oleh
ciptaan-Nya dalam hal apa pun juga.
"dan (Allah) juga tidak dilayani oleh tangan
manusia, seolah-olah Ia kekurangan apa-apa, karena Dialah yang memberikan
hidup dan nafas dan segala sesuatu kepada semua orang." (Kis. 17:25)
Sangat jelas dikatakan bahwa Allah tidak membutuhkan apa
pun yang harus atau dapat dipenuhi oleh ciptaan-Nya, karena pada
kenyataannya yang terjadi adalah sebaliknya, segala sesuatu yang dibutuhkan
oleh ciptaan dipenuhi oleh Allah. Allah adalah Allah yang tidak bergantung
atas apa pun atau siapa pun.
2.
Ciptaan
Bergantung pada Allah
Jika kita mengatakan bahwa Allah adalah Allah yang tidak
bergantung pada apa pun (siapa pun), di lain pihak kita harus menegaskan
ketergantungan ciptaan pada Allah sebagai Pencipta. Kita tahu bahwa
ketergantungan anak pada orang tua akan semakin berkurang saat mereka
tumbuh menjadi dewasa. Bahkan bayi yang baru lahir pun, pada waktu yang
singkat masih dapat hidup tanpa orang tuanya. Tetapi tidak demikian halnya
dengan ketergantungan ciptaan kepada Allah. Ciptaan tidak dapat memisahkan
keberadaannya dari Allah atau tidak dapat berdiri sendiri sedetik pun tanpa
kuasa pemeliharaan Allah. Demikian kata firman Tuhan:
"Dialah yang memberikan hidup dan nafas dan segala
sesuatu kepada semua orang." (Kis. 17:25)
"Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan
segala sesuatu ada di dalam Dia." (Kol. 1:17)
Allah mengatur, memenuhi kebutuhan, dan memelihara
segala sesuatu tanpa terkecuali. Dari yang terbesar sampai yang terkecil,
setiap aspek dari ciptaan secara keseluruhan bergantung kepada Allah untuk
kelangsungan keberadaannya.
Kita harus setuju dengan John Calvin, bahwa kepercayaan
pada Allah sebagai Pencipta harus disertai dengan kepercayaan bahwa Allah
adalah Pengontrol sejarah. Dunia tidak dapat berlangsung dengan kekuatannya
sendiri. Segala keberadaan adalah dari Allah dan melalui Allah. Karena itu,
kita harus berpikir bahwa ciptaan secara keseluruhan bergantung kepada
Allah.
Kita dapat melihat dalam pelajaran yang berikutnya bahwa
kesadaran akan perbedaan antara Allah yang berdiri sendiri dengan ciptaan
yang bergantung pada Penciptanya merupakan hal yang membedakan antara
orang-orang Kristen dengan non-Kristen. Orang Kristen berusaha melihat
segala sesuatu dari sudut pandang ciptaan yang bergantung pada sang
Pencipta, sedangkan orang non-Kristen mencoba untuk menyangkal
ketergantungannya dari sang Pencipta.
Penyangkalan yang sangat keras atas perbedaan Pencipta
dan ciptaan dari orang-orang tidak percaya akan dapat dilihat dari ketidakpercayaan
mereka pada keselamatan dalam Kristus. Mereka menempatkan Allah dan
ciptaan-Nya saling bergantung dan mengatakan bahwa ciptaan bergantung pada
Allah hanya dalam taraf tertentu saja. Orang tidak percaya mengemukakannya
dengan berbagai cara, tetapi pada intinya adalah sama -- penyangkalan akan
perbedaan antara Pencipta dan ciptaan.
3.
Allah
Menyatakan Diri kepada Manusia
Sebagai orang Kristen, kita harus menekankan perbedaan
antara Allah (Pencipta) dan ciptaan-Nya. Kita juga tidak boleh melupakan
bahwa Allah telah menyatakan diri-Nya sendiri dan kehendak-Nya kepada
manusia. Walaupun Allah telah mengadopsi berbagai cara untuk menyatakan
diri-Nya pada waktu yang berbeda, kita akan memerhatikan dua cara yang
Allah pilih untuk menyatakan diri-Nya sepanjang waktu.
A.
Melalui
Setiap Aspek dari Ciptaan-Nya
Secara luar biasa, Allah telah membangun seluruh jaga
raya ini sehingga setiap bagiannya menyatakan diri-Nya kepada manusia.
Setiap elemen dari dunia, tanpa kecuali, menyatakan Allah dan kehendak-Nya
kepada manusia.
"Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala
memberitakan pekerjaan tangan-Nya; hari meneruskan berita itu kepada hari,
dan malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam." (Maz. 19:1-2)
Ciptaan dengan segala keindahan dan kemegahannya menyatakan
kemegahan dan kualitas Allah dan tuntutan kebenaran yang Ia minta dari
manusia. Sebagaimana yang dikatakan Paulus dalam Roma 1:20, 32:
"Sebab apa yang tidak nampak daripada-Nya, yaitu
kekuatan-Nya yang kekal dan Keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari
karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih ....
Sebab walaupun mereka mengetahui tuntutan-tuntutan hukum Allah, yaitu bahwa
setiap orang yang melakukan hal-hal demikian patut dihukum mati, mereka
bukan saja melakukannya sendiri, tetapi mereka juga setuju dengan mereka
yang melakukannya."
Meskipun manusia, yang telah jatuh dalam dosa,
menyangkalinya dan orang-orang Kristen sering kali menemukan kesulitan
untuk melihatnya, Alkitab mengajarkan secara jelas bahwa Allah telah
menyatakan diri-Nya dalam setiap aspek ciptaan dan semua manusia, bahkan
rupa manusia sendiri menyatakan semua itu.
Penyataan Allah ini tidak dapat dihindari atau
disangkali. Kita tidak dapat mengetahui satu aspek dari ciptaan tanpa
memikirkan Penciptanya. "Langit memberitakan keadilan-Nya, dan segala
bangsa melihat kemuliaan-Nya." (Maz. 97:6)
Contohnya, tidaklah cukup untuk mengetahui bahwa sapi
makan rumput. Pengertian yang benar akan sapi dan rumput akan menyatakan
kuasa pemeliharaan Allah serta tanggung jawab manusia untuk menaklukkan
ciptaan yang lain bagi kemuliaan Allah (lihat Kej. 1:28). Jarak terdekat
antara bumi dan salah satu bintang akan dapat dimengerti hanya dengan
kesadaran terhadap penyataan Allah. Begitu besarnya jarak tahun cahaya
semata-mata merupakan pekerjaan tangan Allah dan memerlihatkan kepada
manusia akan kebutuhan mereka untuk merendahkan diri di hadapan Allah dan
bersyukur atas anugerah-Nya (lihat Maz. 8:1-5).
Sebagaimana ciptaan tidak dapat terpisah dari Allah,
ciptaan tidak dapat berdiam diri mengenai keberadaan Allah. Semakin
seseorang mengerti tentang fakta-fakta dari jagat raya ini, semakin kita
menyadari bahwa semua itu menyatakan Allah dan kehendak-Nya.
B.
Melalui
Penyataan Khusus Allah
Dalam banyak hal, Allah selalu membarengi penyataan-Nya
akan ciptaan dengan penyataan-Nya secara khusus mengenai diri-Nya. Di taman
Eden, Allah berbicara dengan suara-Nya kepada Adam mengenai pohon
pengetahuan yang baik dan jahat. Kepada para patriakh (Abraham, Musa,
dll.), Allah menyatakan diri-Nya melalui mimpi-mimpi dan
penglihatan-penglihatan. Kepada Musa, Allah berbicara di semak duri yang
menyala dan di atas kitab batu. Kepada para rasul, Ia berbicara melalui
kehidupan dan perkataan Tuhan Yesus, Putra-Nya. Pada masa kini, Allah
berbicara melalui Alkitab sebagai firman Tuhan yang telah diinspirasikan
oleh Roh Kudus.
Penggunaan beberapa aspek tertentu dari ciptaan untuk
menyatakan wahyu dimaksudkan untuk menambahkan kualitas pewahyuan dari
ciptaan yang lain. Sebelum dosa masuk ke dalam dunia, ketaatan manusia
diuji dengan wahyu khusus. Setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa,
penyataan secara khusus memunyai dua maksud, yakni untuk memerlihatkan
jalan keselamatan melalui Kristus dan untuk menolong manusia mengerti lebih
baik tentang penyataan akan Allah dan kehendak-Nya dalam aspek-aspek
ciptaan lain.
Dosa telah menempatkan manusia di bawah penghakiman dan
membutakan kesadaran manusia terhadap penyataan Allah melalui semua
ciptaan. Akibatnya, firman Allah berfungsi sebagai alat di mana melaluinya
manusia mengerti akan dirinya sendiri, dunia, dan Allah.
"Segala tulisan yang diilhamkan Allah, memang
bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki
kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian
tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan
baik." (2 Tim. 3:16, 17)
Penyataan (wahyu) Allah melalui firman Tuhan diberikan
kepada kita untuk memimpin kita kepada pengetahuan yang benar. Penyataan
Allah melalui semua ciptaan dan firman Tuhan tidak menghapuskan kepastian
perbedaan antara Pencipta dan ciptaan. Sebagaimana kita ketahui, semua
bentuk penyataan Allah pada manusia justru menunjukkan perbedaan atau
pemisahan yang harus diakui oleh manusia.
B.
Ketergantungan
Manusia kepada Allah
Pemazmur mengingat kedudukan kita sebagai manusia dengan
perkataan ini:
"Ketahuilah, bahwa Tuhanlah Allah: Dialah vang
menjadikan kita dan punya Dialah kita, umat-Nya dan kawanan domba
gembalaan-Nya." (Maz. 100:3)
Manusia tidak lebih dan tidak kurang dalam hal ketergantungannya
pada Allah dibandingkan ciptaan Allah yang lain; keduanya adalah ciptaan
Allah yang perlu Ia dukung. Manusia merupakan mahkota dari aktivitas
penciptaan Allah, tetapi ia tetap merupakan makhluk ciptaan dan akan
kembali kepada debu nantinya (Kej. 2:7).
"Di dalam Dia kita hidup dan bergerak." (Kis.
17:28). Karena itu, bila terpisah dari Allah, kita bukanlah apa-apa. Segala
sesuatu yang dimiliki manusia merupakan pemberian Allah. Layaknya ciptaan
lain, bila Allah lepas tangan atas kita, kita akan berhenti dari keberadaan
kita karena kita ada semata-mata hanya karena kehendak-Nya.
Ketergantungan manusia secara mutlak pada Allah memunyai
banyak implikasi, namun ada dua aspek dari kebutuhan kita akan Allah yang
secara khusus penting untuk pekerjaan apologetika selanjutnya.
1.
Ketergantungan
Pengetahuan Manusia
Perbedaan antara Pencipta dan ciptaan memengaruhi
pandangan iman Kristen akan kemampuan manusia untuk mengetahui dirinya
sendiri, dunia di sekelilingnya, dan Allah. Dalam pelajaran berikut ini, kita
akan memerhatikan diri kita sendiri dalam hal pengetahuan, khususnya
setelah dicemari oleh dosa.
Jika manusia secara mutlak bergantung pada Allah, maka
demikian juga dalam hal pengetahuan. Pengetahuan Allah akan diri-Nya dan
ciptaan adalah berdiri sendiri, namun pengetahuan manusia tidak. Pemazmur
mengatakan:
"Sebab pada-Mu ada sumber hayat, di dalam terang-Mu
kami melihat terang." (Maz. 36:10)
Lepas dari pengetahuan Allah melalui penyataan-Nya dalam
ciptaan dan firman Tuhan, kita tidak akan pernah mengerti pengetahuan apa
pun. Allah mengetahui segala sesuatu, karena itu kita bergantung pada
pengetahuan-Nya untuk dapat mengetahui sesuatu. Setiap pengertian yang
benar yang telah manusia dapatkan, baik secara sadar atau tidak sadar,
semua itu didapatkan dari Allah. Hal ini berlaku bagi manusia pertama dan
semua orang sampai sekarang. Tuhan Yesus sendiri mengakuinya:
"Kata Yesus kepadanya: Akulah jalan dan kebenaran
dan hidup." (Yoh. 14:6)
Rasul Paulus menegaskan hal ini dengan mengatakan:
"sebab di dalam Dialah tersembunyi segala harta
hikmat dan pengetahuan." (Kol. 2:3)
Segala sesuatu yang dapat dinyatakan sebagai kebenaran,
termasuk kebenaran yang tidak secara langsung berkenaan dengan agama atau
kerohanian, bersumber dari Allah. Manusia hanya dapat mengetahuinya apabila
manusia datang kepada penyataan Allah akan diri-Nya sebagai sumber
kebenaran. Oleh karena Allahlah yang mengajarkan kepada manusia akan segala
pengetahuan (Maz. 94:10).
Kita akan melihat kemudian bahwa ketergantungan manusia
pada Allah dalam ruang lingkup pengetahuan tidaklah berarti bahwa manusia
tidak memiliki kemampuan untuk berpikir dan mengasah pikirannya. Juga tidak
berarti bahwa manusia diprogram oleh Allah seperti halnya sebuah komputer
dalam memproses pengumpulan data sehingga komputer mengetahui sesuatu.
Manusia memang memunyai kemampuan untuk dapat berpikir, namun pengetahuan
yang benar bergantung pada pengetahuan dari Allah yang telah dinyatakan
pada manusia.
2.
Ketergantungan
Moralitas Manusia
Sebagaimana halnya manusia harus bergantung pada Allah
untuk pengetahuan secara umum, demikian juga halnya dengan petunjuk dalam
moralitas. Pada saat nilai-nilai dan tujuan-tujuan tradisi dipertanyakan,
kita dipaksa untuk memikirkan bagaimana manusia dapat membedakan antara
yang benar dan yang salah, atau yang baik dan yang jahat.
Salah satu cara untuk menemukan jawaban atas berbagai
pertanyaan kita harus sekali lagi kembali pada pengakuan akan perbedaan
antara Pencipta dengan ciptaan. Sebagai Pencipta, sejak semula Allah adalah
Pemberi hukum yang berdiri di atas hukum-Nya dan yang mengharapkan ketaatan
dari makhluk ciptaan-Nya.
Pada saat Allah berkata, "Ini adalah baik," Ia
menyatakan diri-Nya sebagai satu-satunya Hakim yang benar yang dapat
membedakan antara yang baik dan yang jahat. Dia juga mengaplikasikan hak
itu bagi diri- Nya sendiri sampai sekarang. Kepada Adam dan Hawa, Ia
berkata, "tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat
itu, janganlah kaumakan buahnya ...." (Kej. 2:17). Kepada Musa, Ia
menyatakan, "Aku adalah Tuhan Allahmu ... dan jangan ada allah lain di
hadapan-Ku." (Kel. 20:2, 3). Mengenai Yesus, Allah mengatakan,
"Inilah Anak-Ku yang Kukasihi dan kepada-Nyalah Aku berkenan;
dengarkanlah Dia." (Mat. 17:5)
Tidak akan pernah ada sidang pengadilan yang dapat
menghakimi Allah; karena Ia adalah Hakim yang tertinggi. Oleh karena itu,
penyataan-Nya mengenai moralitas berlaku bagi semua orang, dan apabila kita
ingin mengetahui mengenai hal yang baik dan yang jahat, kita harus ingat
akan ketergantungan kita pada Allah.
-Akhir
Pelajaran (AUA I-P02)--
Doa
Ya,
Tuhan, beri kami ketetapan hati untuk mengakui Engkau sebagai Pencipta
langit dan bumi, yang terus-menerus terlibat dan bertanggung jawab atas
ciptaan-Mu. Bimbinglah kami untuk selalu menyadari akan kedaulatan-Mu
supaya kami memiliki hati yang bijaksana. Biarlah hidup kami boleh berpusat
pada Engkau, melalui Engkau, dan bagi Engkau. Amin.
(Catatan:
Pertanyaan tertulis ada di bagian terpisah)
PESTA=========Pendidikan Elektronik Studi Teologia
Awam==========PESTA
PESTA //
PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA
Nama Kursus
|
:
|
APOLOGETIKA
UNTUK AWAM I (AUA I)
|
Nama
Pelajaran
|
:
|
Permulaan
dari Segalanya
|
Kode
Pelajaran
|
:
|
AUA
I-P02
|
Pelajaran 02 -
PERMULAAN DARI SEGALANYA
*Instruksi*
Harap
setiap peserta mengikuti petunjuk mengerjakan tugas sbb.:
1.
Bacalah
Bahan Pelajaran dan semua Referensi Pelajaran 05 dengan teliti.
2.
Bacalah
Pertanyaan (A) dan (B) di bawah ini, kemudian jawablah dengan benar dan
lengkap.
3.
Apabila
Anda mendapatkan kesulitan sehubungan dengan isi Bahan Pelajaran, silakan
menghubungi Pembimbing di:
< yulia(at)in-christ.net >
Selamat
mengerjakan!
Perhatian:
Setelah
Anda menjawab tugas tertulis ini, mohon kirim kembali tugas ini dalam
bentuk plain text (e-mail biasa) dan BUKAN DALAM BENTUK ATTACHMENT ke:
==> <
staf-pesta(at)sabda.org >
PERTANYAAN
(A):
1.
Permulaan
Alkitab (Kejadian 1:1) merupakan deklarasi seluruh isi Alkitab, yang
menyatakan bahwa [ ............. ]
2.
Prinsip
pertama apologetika yang harus kita pahami adalah adanya perbedaan antara
Allah sebagai [.............] dan manusia sebagai [...........].
3.
Ayat
yang memberikan konfirmasi bahwa Allah sampai hari ini terus menerus
terlibat dan bertanggung jawab atas ciptaan-Nya adalah [ ..........].
4.
Kesimpulan
tentang Allah yang terdapat dalam ayat Kis. 17:25 adalah [ .......... ].
5.
Ketergantungan
manusia para Allah bersifat [...........].
6.
Berikan
beberapa contoh tentang cara yang Allah pilih untuk menyatakan diri-Nya
secara umum sepanjang waktu? [............]
7.
Cara
khusus yang Allah pilih untuk menyatakan diri-Nya adalah melalui
[.............]
8.
Penyataan-penyataan
yang Allah ingin sampaikan kepada manusia sering terhalangi oleh
[..........] sehingga manusia dibutakan dari kehendak Allah.
9.
Lepas
dari [............], manusia pada dasarnya tidak mungkin akan pernah
mengerti pengetahuan apa pun dengan benar.
10.
Pada
saat Allah berkata, "Ini adalah baik," Dia menyatakan diri- Nya
sebagai satu-satunya [...........] yang benar, yang dapat memutuskan apa
yang baik dan apa yang jahat.
PERTANYAAN
(B):
1.
Jika
Alkitab berkata bahwa Allah adalah Pencipta alam semesta, apakah berarti
bahwa agama-agama lain harus mengakutinya? Mengapa?
2.
Apakah
implikasi dari pernyataan bahwa Allah adalah sumber moralitas bagi orang
Kristen?
Kirimkan
kembali tugas ini dalam bentuk plain text (e-mail biasa) dan BUKAN DALAM
BENTUK ATTACHMENT ke:
==> < staf-pesta(at)sabda.org
>
PESTA=========Pendidikan Elektronik Studi Teologia
Awam==========PESTA
PESTA //
PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA
Nama
Kursus
|
:
|
APOLOGETIKA
UNTUK AWAM I (AUA I)
|
Nama
Pelajaran
|
:
|
Permulaan
dari Segalanya
|
Kode
Referensi
|
:
|
AUA
I-R02a
|
Referensi
AUA I-R02a diambil dari:
Judul buku
|
:
|
Kebenaran-Kebenaran
Dasar Iman Kristen
|
Judul
artikel
|
:
|
Wahyu
Khusus dan Alkitab
|
Pengarang
|
:
|
R.C.
Sproul
|
Penerbit
|
:
|
Seminari
Alkitab Asia Tenggara
|
Halaman
|
:
|
17 --
19
|
WAHYU
KHUSUS DAN ALKITAB
Pada
waktu Tuhan Yesus dicobai oleh setan di padang gurun, Ia menghardik setan
dengan perkataan: "Manusia tidak hidup dari roti saja, tetapi dari
setiap perkataan yang keluar dari mulut Allah." (Matius 4:4). Secara
historis, gereja telah meneruskan pengajaran Tuhan Yesus dengan meneguhkan
bahwa Alkitab merupakan vox Dei, yaitu "suara Allah" atau verbum
Dei, yaitu "Firman Allah". Menyebut Alkitab sebagai Firman Allah
tidak menyatakan bahwa Alkitab ditulis oleh tangan Allah sendiri atau
Alkitab itu jatuh dari surga dengan parasut. Alkitab sendiri menyatakan ada
banyak penulis manusia yang menulis Alkitab. Apabila kita mempelajari
Firman Allah dengan teliti, maka kita dapat melihat bahwa setiap manusia
yang menulis memiliki gaya bahasa masing-masing, perbendaharaan bahasa
sendiri, penekanan sendiri, perspektif sendiri dan lain sebagainya. Apabila
Alkitab dinyatakan sebagai hasil karya manusia, bagaimana Alkitab dapat
dikatakan sebagai Firman Allah?
Alkitab
disebut sebagai Firman Allah oleh karena pengakuan dari Alkitab yang
menyatakan bahwa penulis tidak sekedar menyatakan pemikiran mereka.
Perkataan mereka diinspirasikan oleh Allah. Rasul Paulus menulis:
"Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk
mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk
mendidik orang dalam kebenaran." (2 Timotius 3:16). Kata inspirasi
diterjemahkan dari kata Yunani "dinafaskan oleh Allah". Allah
menafaskan Alkitab, sama halnya dengan kita mengeluarkan nafas dari mulut
kita pada waktu kita berbicara, jadi dapat dikatakan bahwa Allah berbicara
melalui Alkitab.
Meskipun
Firman Tuhan datang kepada kita melalui penulisan tangan manusia, tetapi
sumber utamanya adalah Allah. Sebagaimana halnya para nabi berkata:
"Demikianlah Firman Tuhan". Dan Tuhan Yesus juga berkata:
"Firman-Mu adalah kebenaran" (Yohanes 17:17), dan "Firman
Tuhan tidak dapat dibatalkan" (Yohanes 10:35).
Kata
inspirasi juga berkaitan dengan proses, dimana Roh Kudus membimbing
penulisan Firman Tuhan. Roh Kudus membimbing para penulis sehingga
kata-kata mereka merupakan Firman Allah. Kita tidak tahu bagaimana cara
Allah membimbing penulisan pertama dari Alkitab. Tetapi yang pasti
inspirasi tidak berarti bahwa Allah mendikte pesan-pesannya pada mereka
yang menulis Alkitab. Apa yang terjadi adalah Roh Kudus mengkomunikasikan
Firman Allah kepada penulis manusia.
Orang
Kristen mengakui infalibilitas dan ineransi dari Alkitab oleh karena Allah
merupakan Penulis utama dari Alkitab, dan oleh karena itu, Allah tidak
mungkin menginspirasikan hal yang salah. Firman-Nya adalah benar dan dapat
dipercaya. Setiap literatur yang secara normal dihasilkan oleh manusia ada
kemungkinan salah, tetapi Alkitab bukan merupakan hasil produksi manusia
secara normal. Apabila Alkitab diinspirasikan dan dibimbing proses
penulisannya oleh Allah, maka Alkitab tidak dapat salah.
Ini
tidak berarti bahwa terjemahan Alkitab yang kita miliki sekarang ini tanpa
kesalahan, tetapi yang dimaksudkan di sini adalah manuskrip yang asli
secara mutlak adalah benar. Ini tidak berarti juga bahwa setiap pemyataan
di Alkitab adalah benar. Misalnya: penulis dari kitab Pengkhotbah
menyatakan bahwa "tidak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan
hikmat dalam dunia orang mati, ke mana engkau akan pergi" (Pengkhotbah
9:1). Penulis berbicara dari sudut pandang keputusasaan manusia. Apabila
kita melihat bagian lain dari Firman Tuhan maka kita mengetahui bahwa
pernyataan itu tidak benar. Namun dalam hal ini Alkitab berbicara tentang
kebenaran, yaitu kebenaran tentang pemikiran yang salah dari seseorang yang
putus asa.
1.
Inspirasi
merupakan proses dimana Allah menafaskan Firman-Nya.
2.
Allah
merupakan Sumber utama dari Alkitab.
3.
Allah
merupakan Pembimbing utama dari Alkitab.
4.
Hanya
manuskrip yang asli dari Alkitab yang tanpa salah.
AYAT-AYAT
ALKITAB UNTUK BAHAN REFLEKSI:
1.
Mazmur
119
2.
Yohanes
17:17
3.
1
Tesalonika 2:13
4.
2
Timotius 3:15-17
5.
2
Petrus 1 :20-21
----------------------------------------------------------------------
PESTA ======Pendidikan Elektronik Studi Teologia Kaum Awam====== PESTA
PESTA //
PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA
Nama
Kursus
|
:
|
APOLOGETIKA
UNTUK AWAM I (AUA I)
|
Nama
Pelajaran
|
:
|
Permulaan
dari Segalanya
|
Kode
Referensi
|
:
|
AUA
I-R02b
|
Referensi
AUA I-R02b diambil dari:
Judul
buku
|
:
|
Pengakuan
Baptis 1689
|
Judul
artikel
|
:
|
Pemeliharaan
Allah
|
Penerjemah
|
:
|
Dr.
Charles W. Cole
|
Penerbit
|
:
|
Carey
Publication, 1996
|
Halaman
|
:
|
13 --
15
|
PEMELIHARAAN
ALLAH
1.
Allah
yang tak terbatas dalam kuasa dan kebijaksanaan telah menciptakan segala
sesuatu, menopang, memimpin, mengatur dan memerintah segala yang
diciptakan-Nya.[1] Usaha Allah itu meliputi segala makhluk dan benda, baik
yang agung maupun yang remeh.[2] Pengaturan dan pemeliharaan Allah itu
mahabijaksana dan mahasuci. Pengaturan dan pemeliharaan itu dilaksanakan
menurut kemampuan Allah, untuk tanpa salah, tahu terlebih dahulu segala
yang akan terjadi dan menurut keputusan kehendak-Nya yang tak terbatas dan
mutlak.[3] Allah menggenapi maksud dan rencana-Nya yang semua bagi semua
yang diciptakan. Pengaturan dan pemeliharaan Allah mendatangkan kepujian
dan kemuliaan bagi kebijaksanaan Allah, kuasa-Nya, keadilan-Nya,
kebaikan-Nya dan belas kasihan-Nya.
[1] Ibr 1:3; Ayb 38:1 1; Yes 46:10, 11; Mzm 135:6
[2] Mat 10:29-31
[3] Ef 1:11
2.
Tidak
ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan atau yang terjadi di luar
pengawasan dan pengetahuan Allah.[1] Allah adalah sebab yang pertama bagi
segala akibat.[2] Segala sesuatu dilakukan tanpa perubahan dan tanpa
kekeliruan, menurut pengetahuan dan ketetapan Allah yang berhubungan
denganNya. Allah dengan pengaturan dan pemeliharaan-Nya menguasai segala
sesuatu yang terjadi supaya penyebab yang kedua yang berjalan secara bebas,
atau yang, berupa hukum tetap atau yang bergantung pada penyebab lain
menggenapi rencana dan maksud Allah.[3]
[1] Kis 2;23
[2] Ams 16:33 [3] Kej 8:22
3.
Biasanya,
di dalam pemeliharaan-Nya, Allah menggunakan sarana- sarana, namun Ia pun
bebas untuk tidak menggunakannya. Allah bebas memberikan kuasa yang luar
biasa kepada sarana-sarana yang dipakai atau untuk bekerja dengan cara
supaya melawan sarana-sarana biasa. Semua dilakukan sekehendak hati
Allah.[1]
[1] Yes 55:10, 11; Dan 3:27; Hos 1:7; 2Kis 27:31, 44; Rm
4:19-21
4.
Kemahakuasaan,
kemahabijaksanaan dan kebaikan Allah yang tanpa batas di dalam menyatakan
diri-Nya dalam segala sesuatu, sehingga kejatuhan manusia ke dalam dosa
yang pertama dan semua tindakan berdosa baik yang dibuat oleh malaikat maupun
oleh manusia berjalan sesuai dengan rencana-Nya yang berdaulat.[1] Bukan
berarti bahwa Allah yang mengizinkan orang berdosa, melainkan Allah menurut
kebijaksanaan- Nya membatasi, mengatur dan menguasai dengan berbagai-bagai
cara tindakan dosa agar tujuan-Nya yang suci tercapai.[2] Namun demikian
dosa yang dilakukan baik oleh malaikat atau manusia bukan berasal dari
Allah. Allah yang paling suci dan paling benar mustahil menjadi pangkal
atau penyetuju dosa.[3]
1.
Rm
11:33-34; 2Sam 24:1; 1Taw 21:1
2.
2Raja
19:28; Mzm 76:11; Kej. 50:20; Yes 10:6, 7, 12
3.
Mzm
50:21; 1Yoh 2:16
5.
Allah
yang paling benar, bijaksana dan murah hati sering membiarkan umat-Nya
untuk beberapa waktu lamanya mengalami bermacam-macam godaan dan mengalami
kedosaan hatinya. Hal itu diperbuat-Nya untuk mengajar umat-Nya menjadi
rendah hati dengan menyatakan kepadanya betapa kuatnya kejahatan dan
penipuan yang masih tinggal di dalam hati mereka.[1] Hal ini diperbuat
untuk menghukum umat-Nya bagi dosa yang telah pernah diperbuat. Allah
bertujuan supaya mereka menjadi sadar terhadap keperluan mereka untuk
selalu bergantung kepada-Nya dan untuk menolong mereka menjadi lebih
waspada terhadap dosa di kemudian hari. Rencana dan tujuan Allah yang adil
dan suci dijalankan dengan cara di atas atau lainnya agar semua yang
terjadi pada orang pilihan-Nya sesuai dengan ketentuan-Nya, untuk
kemuliaan-Nya dan untuk kebaikan orang terpilih itu.[2]
[1] 2Taw 32:25, 26, 31; 2Sam 24: 1; 2Kor 12:7-9
[2] Rm 8:28
6.
Allah
sebagai hakim yang adil berlaku berbeda kepada orang yang jahat dan tidak
mengenal-Nya. Allah memberikan kepada mereka kebutaan hati dan kekerasan
hati karena dosa mereka.[1] Ia tidak memberikan kepadanya kasih karunia
yang dapat membuat hati dan akal budi menjadi terang.[2] Karunia yang
pernah diberikan kepadanya kadang-kadang diambil kembali.[3] Ia memberikan
kesempatan kepada orang yang hatinya jahat untuk berdosa.[4] Dengan kata
lain, Ia menyerahkan mereka pada nafsu yang busuk, pada pencobaan dunia dan
kepada kuasa Setan, sehingga mereka mengeraskan hatinya.[5] Kekerasan hati
terjadi dengan sarana yang sama dengan yang dipakai Allah untuk melunakkan
hati orang yang lain.
[1] Rm 1:24, 26, 28; 11:7, 8
[2] Ul 29:4
[3] Mat 13:12
[4] Mzm 81:12, 13; UI 2:30; 2Tes 2:10-12
[5] Kel 8:15, 32; Yes 6:9, 10; 1Pet 2:7, 8
7.
Pengaturan
dan pemeliharaan Allah meliputi semua makhluk, tetapi dengan cara istimewa
Allah memelihara Gereja-Nya. Segala sesuatu dikuasai-Nya demi kebaikan
Gereja.[1]
[1] 1Tim 4:10; Ams 9:8, 9; Yes 43:3-5
----------------------------------------------------------------------
PESTA ======Pendidikan Elektronik Studi Teologia Kaum Awam====== PESTA
PESTA //
PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA
Nama
Kursus
|
:
|
APOLOGETIKA
UNTUK AWAM I (AUA I)
|
Nama
Pelajaran
|
:
|
Permulaan
dari Segalanya
|
Kode
Referensi
|
:
|
AUA
I-R02c
|
Referensi
AUA I-R02c diambil dari:
Judul
buku
|
:
|
Tuntunan
Praktis Untuk Mengenal Allah
|
Judul
artikel
|
:
|
Tidak
Ada Batasan
|
Penulis
|
:
|
J.I.
Packer
|
Penerbit
|
:
|
Yayasan
ANDI, Yogyakarta, 2002
|
Halaman
|
:
|
94 --
99
|
TIDAK
ADA BATASAN
Bagaimana
kita dapat membentuk pemahaman yang benar tentang kebesaran Allah? Alkitab
mengajar kita bahwa ada dua langkah yang harus kita tempuh. Pertama adalah
dengan menyingkirkan dari pikiran kita batasan- batasan untuk Allah yang
akan membuat-Nya menjadi kecil. Kedua adalah dengan membandingkan Dia
dengan kuasa dan kekuatan yang kita pandang besar.
Contoh
untuk langkah pertama, kita dapat lihat dalam Mazmur 139. Di situ pemazmur
merenungkan sifat kehadiran, pengetahuan, dan kuasa Allah yang tidak
terbatas dan tidak terukur, dalam kaitannya dengan manusia. Ia mengatakan,
kita selalu berada dalam hadirat Allah. Anda dapat memisahkan diri dari
sesama manusia, tetapi Anda tidak dapat melepaskan diri dari Pencipta Anda.
"Dari belakang dan dari depan Engkau mengurung aku ... Ke mana aku
dapat pergi menjauhi Roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapanMu? Jika
aku mendaki langit, Engkau di sana; jika aku menaruh tempat tidurku di
dunia orang mati (dunia di bawah), di situ pun Engkau. Jika aku terbang
dengan sayap fajar, dan membuat kediaman di ujung laut, juga di sana tanganmu
menuntun aku dan tanganmu memegang aku" (ay. 5-10). Kegelapan, yang
dapat menyembunyikan aku dari mata manusia, tidak dapat menyembunyikan aku
dari mata Allah (ay. 11-12).
Seperti
halnya tidak ada batasan untuk kehadiran-Nya di depan saya, demikian pula
tidak ada batasan untuk pengetahuan-Nya atas saya. Seperti halnya saya
tidak pernah dibiarkan sendiri, saya juga tidak pernah dapat pergi tanpa
terperhatikan. "TUHAN, Engkau menyelidiki dan mengenal aku; Engkau
mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri (semua tindakan dan gerakanku);
Engkau mengerti pikiranku (semua yang ada dalam pikiranku) dari jauh ...
Segala jalanku (semua kebiasaan, rencana, tujuan, keinginan, maupun
kehidupanku sampai saat ini) Kau maklumi. Sebab sebelum lidahku
mengeluarkan perkataan (diucapkan atau dipikirkan), sesungguhnya semuanya
telah Kauketahui, ya TUHAN" (ay. 1- 4).
Saya
dapat menyembunyikan hati saya, masa lalu saya, dan rencana masa depan
saya, dari orang-orang di sekitar saya. Akan tetapi, saya tidak dapat
menyembunyikan apa pun dari Allah. Saya dapat berbicara sedemikian rupa
sehingga menipu orang lain dan mereka tidak tahu siapa saya sebenarnya.
Akan tetapi, tak ada satu pun yang saya katakan atau kerjakan dapat menipu
Allah. Pandangan-Nya menembus semua kepura- puraan dan hal-hal yang saya
sembunyikan. Ia mengenal saya sebagaimana adanya, jauh lebih baik daripada
saya mengenal diri saya.
Allah
yang kehadiran dan pengawasan-Nya dapat saya hindari akan merupakan allah
yang kecil dan tidak berarti. Tetapi, Allah yang sejati adalah besar dan
dahsyat sebab Ia selalu menyertai saya dan mata-Nya selalu tertuju kepada
saya. Kehidupan menjadi hal yang menakjubkan jika Anda menyadari bahwa Anda
melewatkan setiap saat dalam kehidupan Anda dalam pandangan dan penyertaan
Pencipta yang mahatahu dan mahahadir.
Tetapi,
itu belum semua. Allah yang Mahatahu adalah juga Allah yang Mahakuasa.
Kekuasaan-Nya yang dahsyat telah dinyatakan kepada saya melalui rumitnya
dan menakjubkannya tubuh jasmani saya, yang Ia ciptakan bagi saya. Ketika
berhadapan dengan hal ini, perenungan pemazmur berubah menjadi penyembahan.
"Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib;
ajaib apa yang Kaubuat" (ay. 14).
Jadi,
inilah langkah pertama untuk memahami kebesaran Allah; untuk menyadari
betapa tak terbatas hikmat-Nya dan hadirat-Nya, dan kuasa- Nya. Ada banyak
ayat Alkitab lain yang mengajarkan pelajaran yang sama terutama, Ayub
38-41. Pasal-pasal di mana Allah sendiri menggunakan pemahaman Elihu bahwa
"Allah diliputi keagungan yang dahsyat" (37:22) dan menempatkan
di depan Ayub peragaan yang menakjubkan tentang hikmat dan kuasa-Nya di
alam. Ia bertanya kepada Ayub apakah ia dapat menandingi
"keagungan"Nya (40:9-11) dan meyakinkan dia bahwa karena ia tidak
bisa, maka ia jangan mengandaikan menemukan kesalahan dalam cara Allah
menangani kasus Ayub sendiri, yang juga jauh melampaui pemahaman Ayub.
Tetapi, kita tidak dapat membahas hal ini terlalu jauh saat ini.
Allah
yang Tidak Dapat Dibandingkan
Untuk
contoh langkah kedua, mari kita lihat dalam Yesaya 40. Di sini Allah
berbicara kepada orang-orang yang perasaannya sama dengan perasaan
kebanyakan orang Kristen pada masa kini: orang-orang yang remuk hati,
orang-orang yang ketakutan, orang-orang yang menyembunyikan
keputusasaannya, orang-orang yang ditimpa gelombang peristiwa buruk selama
beberapa saat; orang-orang yang sudah tidak percaya lagi bahwa rencana
Kristus dapat berjalan dengan sempurna. Sekarang lihat bagaimana Allah
melalui nabi-Nya berargumentasi dengan mereka.
Lihatlah
pekerjaan yang telah Aku lakukan, firman Tuhan. Dapatkah kamu melakukannya?
Dapatkah seorang manusia melakukannya? "Siapa yang menakar air laut
dengan lekuk tangannya dan mengukur langit dengan jengkal, menyukat debu
tanah dengan takaran, menimbang gunung-gunung dengan dacing atau
bukit-bukti dengan neraca?" (ay. 12). Apakah kamu cukup bijaksana dan
cukup kuat untuk melakukannya? Tetapi Aku sanggup; atau Aku tidak dapat
menciptakan dunia ini sama sekali. Lihatlah Allahmu!
Sekarang
lihatlah pada bangsa-bangsa, Nabi Yesaya melanjutkan kata- katanya, pada
kekuasaan nasional yang besar, yang padanya kamu merasa mendapat belas
kasihan. Asyur, Mesir, Babel - kamu mengagumi mereka dan merasa takut
kepada mereka. Tentara dan sumber daya mereka jauh melampaui tentara dan
sumber dayamu. Tetapi, sekarang lihatlah bagaimana Allah menangani
kekuasaan yang dahsyat yang sangat kamu takuti itu. "Sesungguhnya,
bangsa-bangsa adalah seperti setitik air dalam timba dan dianggap seperti
sebutir debu pada neraca ... Segala bangsa seperti, tidak ada di
hadapan-Nya, mereka dianggap-Nya hampa dan sia-sia saja" (ay. 15
dst.). Kamu gemetar di depan bangsa-bangsa, karena kamu jauh lebih lemah
daripada mereka, tetapi Allah jauh lebih besar daripada bangsa-bangsa
sehingga mereka tidak ada apa-apanya di hadapanNya. Lihatlah Allahmu!
Sekarang
lihatlah pada dunia. Lihatlah ukuran, variasi, dan kerumitannya. Pikirkan
tentang 5 miliar penduduk dunia yang mendiaminya dan lihatlah langit yang
luas di atasnya. Betapa kecilnya Anda dan saya, dibandingkan dengan seluruh
planet tempat kita tinggal! Namun, apa jadinya jika seluruh planet yang
dahsyat ini dibandingkan dengan Allah? "Dia yang bertakhta di atas
bulatan bumi yang penduduknya seperti belalang; Dia yang membentangkan
langit seperti kain dan memasangnya seperti kemah kediaman" (ay. 22).
Dunia
ini membuat kita semua merasa kecil, tetapi Allah membuat dunia ini terasa
kecil. Dunia ini adalah tumpuan kaki-Nya dan di atas-Nya Ia duduk dengan
aman. Ia jauh lebih besar daripada dunia dan semua yang ada di dalamnya
sehingga semua kegiatan yang membuat asyik jutaan orang di dalamnya tidak
mempengaruhi Dia, seperti halnya belalang yang mengerik dan melompat di
bawah sinar matahari musim panas tidak mempengaruhi kita. Lihatlah Allahmu!
Keempat,
lihatlah pada tokoh-tokoh dunia yang besar - para pembesar yang hukum-hukum
dan kebijakannya menentukan kesejahteraan jutaan orang; para calon penguasa
dunia, diktator, dan pembangun kekaisaran, yang dengan kekuasaan mereka
menerjunkan dunia ke dalam perang. Pikirkan tentang Sanherib dan
Nebukadnezar. Pikirkan tentang Aleksander, Napoleon, Hitler. Pikirkan
tentang Kosygin, Nixon, dan Mao Tse-tung. Apakah Anda mengira bahwa
orang-orang terkenal itu sungguh- sungguh menentukan jalan dunia ini?
Pikirkan sekali lagi sebab Allah jauh lebih besar daripada tokoh-tokoh
dunia yang besar. Ia menurunkan raja-raja menjadi nol dan menurunkan para
penguasa dunia ini menjadi tidak ada apa-apanya" (ay. 23). Ia adalah,
seperti dikatakan Buku Doa, "satu-satunya penguasa atas
raja-raja". Lihatlah Allahmu!
Tetapi,
kita belum selesai. Yang terakhir, lihatlah pada bintang- bintang.
Pengalaman paling menakjubkan yang secara universal dikenal manusia adalah
berdiri sendirian pada malam yang cerah dan memandang bintang-bintang.
Tidak ada hal yang melebihi dalam memberi kesan adanya jarak dan kejauhan.
Tidak ada hal yang membuat seseorang merasakan ketidakberartian dan
kekecilannya dibandingkan pengalaman itu. Dan kita, yang hidup di abad
ruang angkasa, dapat melengkapi pengalaman universal ini dengan pengetahuan
ilmiah tentang faktor- faktor yang terlibat di dalamnya - jumlah bintang
yang miliaran, jaraknya yang miliaran tahun cahaya. Pikiran kita pusing,
imajinasi kita tidak dapat menangkap hal itu. Jika kita berusaha memahami
kedalaman angkasa luar yang tidak terselami, secara mental kita tak berdaya
dan pusing tujuh keliling.
Tetapi,
apa pengaruh hal itu bagi Allah? "Arahkanlah matamu ke langit dan
lihatlah: siapa yang menciptakan semua bintang itu dan menyuruh segenap
tentara mereka keluar, sambil memanggil nama mereka sekaliannya. Satu pun
tiada yang tak hadir, oleh sebab Ia Mahakuasa dan Mahakuat" (ay. 26).
Allahlah yang memanggil keluar bintang- bintang. Allahlah yang pertama kali
menempatkan mereka di luar angkasa. Ia adalah Pencipta dan Tuhan. Mereka semua
ada dalam tangan- Nya dan tunduk pada kehendak-Nya. Demikianlah kuasa-Nya
dan keagungan- Nya. Lihatlah Allahmu!
----------------------------------------------------------------------
PESTA ======Pendidikan Elektronik Studi Teologia Kaum Awam====== PESTA
PESTA //
PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA
Nama
Kursus
|
:
|
APOLOGETIKA
UNTUK AWAM I (AUA I)
|
Nama
Pelajaran
|
:
|
Karakter
Manusia Sebelum Jatuh dalam Dosa
|
Kode
Pelajaran
|
:
|
AUA
I-P03
|
Pelajaran 03 -
KARAKTER MANUSIA SEBELUM JATUH DALAM DOSA
Daftar
Isi
A.
Manusia
dalam Rupa dan Gambar Allah
B.
Tanpa
Dosa dan Fana
C.
Logika,
Allah, dan Manusia
Doa
KARAKTER MANUSIA
SEBELUM JATUH DALAM DOSA
"Maka
Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah
diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka."
(Kej. 1:27)
Pengertian
apologetika alkitabiah terletak pada pandangan yang tepat akan kebenaran
mengenai karakter manusia. "Kenalilah dirimu sendiri" merupakan
semboyan yang sangat populer di kalangan para pemikir sejak awal permulaan
sejarah filsafat. Pengetahuan tentang diri sendiri akan melengkapi manusia
untuk dapat melaksanakan berbagai macam tugas di dunia ini dengan lebih baik.
Alkitab
melihat sejarah dunia dan manusia dalam tiga tahap -- penciptaan,
kejatuhan, dan penebusan. Manusia diciptakan, lalu jatuh dalam kutuk dosa,
kemudian ditebus dengan kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Sejajar
dengan tiga macam perspektif ini, kita akan mengamati karakteristik manusia
dalam tiga kategori. Dalam pelajaran ketiga ini, kita akan mengamati
manusia sebelum kejatuhan. Dan dalam dua pelajaran berikutnya, kita akan
mempelajari manusia yang telah jatuh dalam dosa dan manusia yang telah
ditebus.
A.
Manusia
dalam Rupa dan Gambar Allah
Penciptaan manusia menurut gambar dan rupa Allah
merupakan karakteristik penting yang membedakan manusia dengan ciptaan yang
lain (Kej. 1:27). Fakta ini memunyai banyak sekali implikasi yang dapat
kita pelajari. Kita harus membatasi diri kita sendiri dalam hal ini dengan
hanya mempelajari sebagian dari makna manusia diciptakan menurut gambar dan
rupa Allah.
Dari luar, manusia seperti Allah dalam hal kemampuan dan
karakteristiknya secara fisik. Dari dalam, manusia dapat berpikir dan
mengembangkan pemikirannya di mana dalam hal ini hanya manusia yang dapat
melakukannya. Keunikan lain yang dimiliki manusia sebagai makhluk yang
diciptakan menurut gambar dan rupa Allah adalah jiwa yang bersifat kekal
(Kej. 2:7). Lebih dari itu, manusia sebagaimana Penciptanya, telah
dijadikan penguasa atas bumi ini. Sebagai wakil Allah, ia menggali dan
mengolah kekayaan ciptaan Allah untuk digunakan sebagai pelayanan bagi
Allah (Kej. 1:27-31).
Karakteristik ini berlaku dalam batas-batas tertentu
bagi semua manusia dalam dunia ini. Karena sebelum jatuh dalam dosa,
manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah secara khusus. Dan manusia
yang diciptakan Allah ini adalah sempurna.
"... Allah telah menjadikan manusia yang
jujur." (Pengkh. 7:29)
Sebelum kejatuhannya dalam dosa, manusia merupakan
gambar dan rupa Allah yang tanpa dosa. Di taman Eden, Adam dan Hawa hidup
secara harmonis dengan Allah. Mereka berjalan di hadapan Allah tanpa malu.
Paulus menjelaskan tahap ini sebagai:
"... pengetahuan yang benar menurut gambar
Khaliknya." (Kol. 3:10)
Di bagian lain, Paulus mengatakan bahwa apabila
seseorang diperbaharui menurut karakter Adam yang semula, maka ia telah:
"... diciptakan ... di dalam kebenaran dan
kekudusan yang sesungguhnya." (Ef. 4:24)
Dari bagian firman Tuhan ini, ada dua kualitas penting
dari manusia sebelum jatuh dalam dosa yang dapat kita lihat. Pertama, dia
memunyai "pengetahuan yang benar" (Kol. 3:10). Dengan kata lain,
Adam dan Hawa tidak pernah melupakan perbedaan Pencipta dan ciptaan dalam
hubungan dengan pengetahuan mereka. Mereka bergantung pada penyataan Allah
akan diri-Nya sendiri sebagai sumber dari kebenaran mereka, dan mereka
menyamakan semua pemikiran mereka dengan standar dari kebenaran yang Allah
nyatakan. Oleh karena itu, Adam dapat diberi tugas yang sukar, yakni untuk
memelihara taman dan menamai setiap binatang di bumi. Dia secara sadar tahu
akan kebutuhannya untuk mendengarkan Allah dalam setiap keadaan apabila ia
menghendaki pengetahuan yang benar. Sebelum kejatuhan dalam dosa,
pengetahuan manusia akan kebenaran dibarengi dengan karakter moralitasnya,
di mana Adam memiliki "pengetahuan yang benar dan suci". Adam
mengerti bahwa karena sifat dari Pencipta-Nya, maka ia harus mempelajari
apa yang sepatutnya dan yang tidak sepatutnya dari Allah.
Oleh karena bersandar pada pengetahuan Allah, Adam dan
Hawa taat secara sempurna pada semua perintah Allah dan hidup secara damai
dengan-Nya sebelum jatuh dalam dosa. Sebelum jatuh dalam dosa, dalam segala
keadaan, manusia mengetahui kebenaran dan hidup sesuai dengan kebenaran
itu.
B.
Tanpa
Dosa dan Fana
Meskipun manusia diciptakan menurut gambar dan rupa
Allah yang sempurna sebelum kejatuhan, namun manusia adalah manusia yang
fana dan terbatas. Allah adalah Allah yang Mahaada (1 Raj. 8:27; Yes.
66:1), namun manusia terbatas oleh fisiknya dalam keberadaan yang terbatas.
Allah adalah Allah yang Mahakuasa (Maz. 115:3); tidak ada yang dapat
mengatasi atau melampaui kuasa-Nya. Oleh karena itu, sehebat-hebatnya
teknologi mutakhir yang telah dicapai untuk menunjukkan kehebatan manusia,
tetap tidak dapat menandingi kemahakuasaan Allah. Di hadapan Allah, manusia
tetap jauh lebih lemah dan terbatas.
Demikian juga halnya dengan keterbatasan pengetahuan
manusia dibandingkan dengan pengetahuan Allah yang lengkap dan sempurna
(Ay. 37:15; Maz. 139:12; Ams. 15:3; Yer. 23:23-24). Sebagaimana penulis
surat Ibrani mengatakan:
"Dan tidak ada suatu makhluk pun yang tersembunyi
di hadapan-Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata
Dia dan kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungan jawab." (Ibr.
4:13)
Bahkan Adam akan setuju dengan Yesaya yang mengatakan:
"Seperti tingginya langit dan bumi, demikianlah
tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu."
(Yes. 55:9)
Tentu saja dibandingkan dengan pengetahuan Allah,
pikiran manusia "hanyalah seumpama napas" (Maz. 94:11).
Demikianlah manusia terbatas dalam pengertiannya oleh apa yang Allah
nyatakan dan harus puas dengan pengetahuan yang tidak lengkap dan tidak
sempurna.
"Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi Tuhan, Allah
kita, tetapi hal- hal yang dinyatakan ialah bagi kita dan bagi anak-anak
kita sampai selama-lamanya, supaya kita melakukan segala perkataan hukum
Taurat ini." (Ul. 29:29)
Pengertian mengenai keterbatasan pengetahuan manusia
membawa kita kepada hal yang penting dalam diskusi yang berikutnya.
Walaupun Adam tidak mengetahui segala sesuatu, dia tetap memiliki
pengetahuan yang benar (Kol. 3:10). Pengertian manusia akan segala sesuatu
yang ia ketahui dibatasi oleh perspektifnya akan waktu dan
perubahan-perubahan yang terjadi dalam hal-hal yang ia ketahui.
Keterbatasan-keterbatasan ini merupakan bagian dari sifat penciptaan
manusia.
Namun, kita harus ingat bahwa sebelum jatuh dalam dosa,
pengetahuan Adam miliki berasal dari Allah dalam ketergantungannya pada
penyataan Allah. Oleh karena itu, segala sesuatu Adam ketahui, diketahuinya
dengan benar sebab ia datang pada sumber kebenaran untuk memerolehnya,
yaitu Allah. Sangat nyata bahwa keterbatasan manusia tidak membuat ia tidak
mampu untuk mengetahui kebenaran. Sepanjang pengetahuan yang manusia
dapatkan itu berasal dari Allah, pengetahuan itu pasti benar.
Oleh karena keterbatasannya, Adam harus menghadapi
misteri dalam kehidupannya, "hal-hal yang tersembunyi" (Ul. 29:29)
yang ia tidak dapat ketahui. Dari fakta ini, kita dapat melihat bahwa
manusia yang sempurna pun tidak mampu untuk menyusun atau menyimpulkan
setiap aspek dari pengetahuan yang didapatnya ke dalam suatu gambaran
lengkap yang baik dan sempurna; selalu ada titik buntu dalam pemikirannya,
yaitu paradoks-paradoks dan kesulitan-kesulitan yang tidak dapat dipecahkan
oleh akal pikiran manusia. Namun sebagaimana besarnya misteri ini,
pengetahuan manusia dalam tahap ini tetap dapat diperhitungkan serta
dipertanggungjawabkan kepastian dan kebenarannya.
Kepastian dan keyakinan Adam terletak pada penyataan
Allah, tidak pada kemampuannya untuk mengetahui yang terpisah dari
pengetahuan Allah. Pengetahuan Allah yang sempurna dalam segala sesuatu
mengabsahkan pengetahuan manusia yang terbatas sepanjang manusia bergantung
pada Allah. Mari kita lihat contoh dari suatu misteri yang kita hadapi atau
temui pada zaman ini.
Inkarnasi dari Juru Selamat kita, Tuhan Yesus Kristus,
merupakan suatu hal yang penuh dengan misteri. Kita mengakui bahwa Ia
adalah 100% Allah dan juga 100% manusia. Kita dapat mengerti kesejatian
dari ke-Tuhanan-Nya dan kesejatian dari kemanusiaan-Nya sampai pada taraf
tertentu, namun jika kita mencoba untuk menyelidiki lebih lanjut implikasi
dari pengajaran ini, kita akan terbentur pada batas kemampuan kita dalam
memahami hal tersebut. Misalnya, dapatkah kita menjelaskan bagaimana Yesus
"bertambah dalam hikmat-Nya" (Luk. 2:52) apabila Ia adalah Allah
yang Mahatahu? Apakah kita dapat menjelaskan bagaimana Yesus yang adalah
Allah dapat mati di atas kayu salib? Kita dapat berusaha sekuat tenaga
menjawab pertanyaan ini, namun orang yang jujur segera akan menyadari bahwa
pertanyaan-pertanyaan ini, juga pertanyaan-pertanyaan lain yang semacamnya,
adalah di luar batas kemampuan manusia untuk mengerti.
Meski kita tidak dapat menyelami semua konsep ini, namun
kita dapat yakin bahwa Yesus adalah 100% Allah dan juga 100% manusia, dan
bahwa Ia bertambah dalam hikmat dan kemudian Ia mati. Keyakinan ini bukan
bergantung pada ketidakmampuan kita untuk mengerti secara tuntas, melainkan
karena kita percaya pada penyataan Allah.
Semakin kita mengerti akan kebenaran kristiani, kita
akan menemukan bahwa di akhir setiap pengajaran dari firman Tuhan, terlihat
fakta ketidakmampuan manusia untuk menyelami secara tuntas konsep-konsep
dalam hubungannya dengan konsep-konsep kebenaran yang lain. Ada banyak
hal-hal yang kelihatannya berlawanan satu dengan yang lain dalam kebenaran
kristiani, namun hal ini seharusnya tidak boleh menyebabkan kita meragukan
pengajaran Alkitab. Ada dua alasan mengapa kita tidak boleh meragukan
pengajaran Alkitab.
Pertama, hal itu seharusnya membuat kita sadar akan
keterbatasan diri kita. Manusia harus menyadari keberadaan mereka sebagai
makhluk ciptaan dan bersama Paulus menyatakan kalimat berikut ini:
"O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan
pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan
sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya!" (Rom. 11:33)
Kedua, Alkitab tidak seharusnya diragukan pada saat kita
tidak dapat mencocokkan kebenaran yang satu dengan kebenaran yang lain.
Penyataan Alkitab merupakan pemikiran Allah di mana bagi-Nya tidak ada satu
hal pun yang bersifat misteri. Allah dapat menuntaskan konsep-konsep yang
paling sukar, yang tidak dapat dituntaskan oleh pikiran manusia. Tidak ada
satu hal pun yang merupakan misteri bagi Allah; Ia mengetahui segala
sesuatu dengan sempurna. Namun, misteri merupakan keterbatasan dari makhluk
ciptaan, bukan Pencipta. Sepanjang kita bergantung kepada-Nya dalam
pengetahuan kita, misteri yang paling besar pun tidak akan menghalangi kita
dari kebenaran.
C.
Logika,
Allah, dan Manusia
Suatu hal yang terus-menerus timbul dalam suatu diskusi
dan yang memengaruhi apologetika alkitabiah adalah peranan logika dalam hubungan
antara Allah dan manusia. Dalam pelajaran ini, kita akan membatasi pada
sebagian kecil dari pertanyaan-pertanyaan yang ada.
Adam diciptakan sebagai makhluk yang dapat berpikir dan
mengembangkan pikirannya, hal ini mencerminkan hikmat Allah dan juga yang
membedakannya dengan binatang (2 Pet. 2:12, Yud. 10). Kita telah
mempelajari bahwa di taman Eden, Adam telah menggunakan akal budinya dalam
ketergantungan-Nya pada Allah. Dia membangun pola berpikir yang sesuai
dengan petunjuk Allah. Adam pasti menggunakan logika meskipun dalam bentuk
yang sederhana, dan ia menggunakannya dalam ketaatannya pada Allah. Ia
tidak pernah mengabaikan ketergantungannya pada Allah dengan berpikir bahwa
logikanya mampu memberikan penjelasan dan pengetahuan secara terpisah dari
Allah. Akibatnya, dalam menggunakan kemampuannya, Adam menggunakan akal
budi yang selalu tunduk pada keterbatasan dan pimpinan penyataan Allah.
Allah selalu dilihat sebagai dasar dari kebenaran dan sumber dari
kebenaran, karena keadaan Adam pada saat itu adalah sebagai manusia yang
diciptakan menurut gambar Allah dan tanpa dosa.
Dari peran akal budi yang berdasarkan logika, yang
dimiliki manusia sebelum dosa masuk ke dalam dunia, maka ada beberapa
pengamatan yang dapat kita lakukan. Pertama, menggunakan akal budi dan
mengembangkan pikiran itu bukanlah sesuatu yang salah dan jahat.
Kekristenan telah mendapat berbagai macam serangan dari mereka yang
mengklaim bahwa segala sesuatu harus "masuk akal" dan
"ilmiah".
Beberapa orang Kristen berpikir bahwa perlindungan
satu-satunya adalah dengan cara menolak ilmu pengetahuan dan pemakaian akal
budi serta menganggap kedua hal itu sebagai sesuatu yang jahat dan saling
bertentangan. Penggunaan akal budi bukan merupakan sesuatu yang jahat sebab
di dalam taman Eden, Adam juga menggunakan akal budi dan mengembangkan
pikirannya. Adamlah yang menamai binatang-binatang dan yang memelihara
taman. Ia tidak menghilangkan logikanya dalam melaksanakan kehidupannya
sehari-hari.
Yang perlu diperhatikan adalah bila manusia memakai akal
budi dan mengembangkan pikirannya secara berdiri sendiri atau terlepas dari
Allah, hal ini akan memimpinnya kepada ketidakbenaran dan kesalahan. Tetapi
apabila kedua hal itu dipergunakan dalam ketergantungan pada penyataan
Allah, kebenaran akan ditemukan. Menggunakan akal budi dan mengembangkan
pikiran itu sendiri tidaklah berlawanan dengan iman atau kebenaran.
Kedua, logika tidaklah berada di atas fakta perbedaan
antara Pencipta dengan ciptaan. Saat kita berbicara tentang manusia dalam
menggunakan akal budinya, kita harus ingat bahwa logika hanya merupakan
refleksi dari hikmat dan pengetahuan Allah. Meskipun dalam firman Tuhan,
Allah merendahkan diri dan menyatakan diri-Nya dengan istilah yang sesuai
dengan daya pikir, logika manusia, namun itu tidak berarti logika manusia
berada di atas atau sejajar dengan Allah dan juga tidak merupakan bagian
dari keberadaan Allah.
Logika dalam bentuk-bentuk yang paling kompleks dan
tajam tetap berada dalam ruang lingkup ciptaan dan kualitasnya sesuai
dengan kualitas manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah,
bukan dengan kualitas yang sama seperti Allah.
Oleh karena logika merupakan bagian dari ciptaan, maka
logika memiliki keterbatasan. Pertama terlihat dari logika sebagai sistem
yang selalu dalam proses berubah dan berkembang. Bahkan, ada beberapa
sistem logika yang dalam titik tertentu, berlawanan satu sama lain. Tidak
ada definisi dari "kontradiksi" yang diakui secara universal.
Meskipun semua manusia dapat saja sepakat dalam satu sistem untuk mengembangkan
suatu pemikiran, logika manusia tidak dapat dipergunakan sebagai hakim
untuk menentukan kebenaran dan ketidakbenaran.
Kekristenan, pada hal-hal tertentu, dapat dikatakan
masuk akal dan logis, namun logika menemui batas kemampuan pada saat
diperhadapkan dengan hal-hal seperti inkarnasi dari Kristus dan doktrin
Tritunggal. Logika bukanlah Allah dan tidak boleh diberikan penghormatan.
Penghormatan hanya boleh diberikan kepada Allah saja. Kebenaran hanya
ditemukan pada penghakiman Allah, bukan pada pengadilan logika.
Oleh karena itu, kita harus berhati-hati untuk
menghindari dua sisi ekstrim yang biasanya diambil dalam hubungannya dengan
penggunaan akal budi dan logika. Di satu pihak, ada manusia yang menolak
menggunakan akal budi dan setuju pada iman yang buta. Di lain pihak, ada
manusia yang memberikan logika sejumlah ruang untuk berdiri sendiri dan
terlepas dari Allah. Kedua posisi tersebut tidak sesuai dengan karakter
manusia sebelum kejatuhan. Manusia diciptakan sebagai makhluk yang dapat
berpikir dan mengembangkan pikirannya, namun ia diharapkan menyadari
keterbatasan pikirannya dan ketergantungan logikanya pada Penciptanya.
Karakter manusia sebelum dosa masuk ke dalam dunia
merupakan dasar dari tugas berapologetika. Meskipun pada saat ini tidak ada
seorang pun di dunia yang sama sekali lepas dari dosa, namun ada kualitas
manusia sebelum kejatuhan yang terbawa sampai hari ini. Pada saat kita
membela iman Kristen, kita berhubungan dengan laki-laki dan perempuan
keturunan Adam. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memunyai
pengertian yang kuat akan keadaan manusia sebelum kejatuhan.
-------------------Akhir
Pelajaran (AUA I-P03)----
Doa
Ya,
Tuhan, meskipun kami telah diciptakan menurut gambar dan rupa-Mu yang
sempurna, namun kami hanya manusia yang fana dan terbatas secara fisik
maupun keberadaan. Sedangkan Engkau adalah Allah Yang Mahakuasa; tidak ada
yang dapat mengatasi atau melampaui kuasa-Mu. Tidak ada suatu makhluk pun
yang tersembunyi di hadapan-Mu sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka
di depan mata-Mu. Oleh sebab itu, kepada-Mu sajalah kami harus memberikan
pertanggungjawaban. Amin.
(Catatan:
pertanyaan tertulis ada di bagian terpisah)
PESTA=========Pendidikan Elektronik Studi Teologia
Awam==========PESTA
PESTA //
PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA
Nama
Kursus
|
:
|
APOLOGETIKA
UNTUK AWAM I (AUA I)
|
Nama
Pelajaran
|
:
|
Karakter
Manusia Sebelum Jatuh dalam Dosa
|
Kode
Pelajaran
|
:
|
AUA I-P03
|
Pelajaran 03 -
KARAKTER MANUSIA SEBELUM JATUH DALAM DOSA
*Instruksi*
Harap
setiap peserta mengikuti petunjuk mengerjakan tugas sbb.:
1.
Bacalah
Bahan Pelajaran dan semua Referensi Pelajaran 05 dengan teliti.
2.
Bacalah
Pertanyaan (A) dan (B) di bawah ini, kemudian jawablah dengan benar dan
lengkap.
3.
Apabila
Anda mendapatkan kesulitan sehubungan dengan isi Bahan Pelajaran, silakan
menghubungi Pembimbing di:
< yulia(at)in-christ.net >
Selamat
mengerjakan!
Perhatian:
Setelah
Anda menjawab tugas tertulis ini, mohon kirim kembali tugas ini dalam
bentuk plain text (e-mail biasa) dan BUKAN DALAM BENTUK ATTACHMENT ke:
==> <
staf-pesta(at)sabda.org >
PERTANYAAN
(A):
1.
Alkitab
melihat sejarah dunia dan manusia dalam tiga tahap -- [.........,
............., .............]
2.
Kemampuan
manusia yang dapat berpikir dan mengembangkan pikirannya tidak dimiliki
oleh mahluk ciptaan lain, hal ini disebabkan karena manusia memiliki
[...............] Allah.
3.
Menurut
Kol. 3:10, salah satu kualitas penting dari manusia sebelum jatuh dalam dosa
adalah manusia memiliki [............] yang benar.
4.
Di
taman Eden, Adam telah menggunakan akal budinya dalam ketaatan pada Allah,
yaitu ketika ia [................]
5.
Meskipun
manusia diciptakan Allah dengan sempurna tapi, manusia adalah mahluk
ciptaan yang [............].
6.
Semua
pengetahuan yang Adam miliki sebelum jatuh dalam dosa adalah benar sebab ia
mendapatkannya dari sumber kebenaran, yaitu [...............]
7.
Penyataan
Alkitab merupakan pemikiran Allah di mana bagi-Nya tidak ada satu hal pun
yang bersifat [...........].
8.
Akal
budi (logika) tidak akan menjadi sesuatu yang jahat, asal [...............]
9.
Kekristenan,
pada hal-hal tertentu, dapat menemui kebuntuan untuk dapat dimengerti
secara kemampuan logika manusia, contohnya [............].
10.
Manusia
disarankan untuk tidak berdiri pada 2 sisi ekstrim, yaitu menolak
menggunakan [.............] dan setuju pada iman yang buta atau sangat
mengandalkan [...........] sehingga terlepas dari ketergantungannya pada
Allah.
PERTANYAAN
(B):
1.
Dalam
banyak hal, kita mengakui bahwa manusia memiliki keterbatasan, terutama
dalam pengetahuan. Tapi di tengah keterbatasan itu mengapa sebagai orang
Kristen kita disarankan untuk tidak perlu takut mengalami ketersesatan?
2.
Mengapa
memahami kedudukan manusia sebelum jatuh dalam dosa sangat penting untuk
dapat memulai berapologetika?
Kirimkan
kembali tugas ini dalam bentuk plain text (e-mail biasa) dan BUKAN DALAM
BENTUK ATTACHMENT ke:
==> <
staf-pesta(at)sabda.org >
PESTA=========Pendidikan Elektronik Studi Teologia
Awam==========PESTA
PESTA //
PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA
Nama
Kursus
|
:
|
APOLOGETIKA
UNTUK AWAM I (AUA I)
|
Nama
Pelajaran
|
:
|
Karakter
Manusia Sebelum Jatuh dalam Dosa
|
Kode
Referensi
|
:
|
AUA
I-R03a
|
Referensi
AUA I-R03a diambil dari:
Judul
buku
|
:
|
Manusia:
Ciptaan Menurut Gambar Allah
|
Judul
artikel
|
:
|
Gambar
yang Orisinal
|
Penulis
|
:
|
Anthony
A. Hoekama
|
Penerbit
|
:
|
Momentum,
Surabaya 2003
|
Halaman
|
:
|
105 --
106
|
GAMBAR
YANG ORISINAL
Untuk
memahami gambar Allah dalam kandungan alkitabiah yang sepenuhnya, kita
harus melihatnya di dalam terang penciptaan, kejatuhan dan penebusan.
Sebelum manusia jatuh dalam dosa, kita melihat gambar yang orisinal.
Meskipun kita tidak tahu bagaimana persisnya gambar Allah menyatakan diri
pada tahap itu,[32] kita bisa mengasumsikan bahwa pasangan manusia pertama
mencitrakan Allah dengan taat dan tanpa dosa. Menurut Augustinus, manusia
pada saat itu "bisa tidak berdosa."[33] Maka kita juga bisa
mengasumsikan bahwa pada tahap ini, Adam dan Hawa menjalani ketiga bentuk
relasi yang telah kita bahas di atas dengan taat dan tanpa dosa: di dalam
menyembah dan melayani Allah, di dalam mengasihi dan melayani sesama, dan
di dalam berkuasa dan memelihara wilayah ciptaan di mana Allah telah
menempatkan mereka.
Tetapi,
masih diperlukan komentar tambahan. Meskipun pasangan manusia pertama ini
tidak berdosa dan hidup dalam apa yang sering disebut para teolog sebagai
"tahap integritas" (stage of integrity), mereka belum tiba di
akhir perjalanan. Mereka belum menjadi penyandang gambar Allah yang telah
berkembang sepenuhnya; mereka seharusnya maju ke satu tahap yang lebih
tinggi, di mana ketidakberdosaan mereka tidak akan bisa hilang. Pada tahap
yang pertama ini, masih ada kemungkinan untuk berdosa. Bavinck
menyatakannya sebagai berikut: Adam tidak berdiri di akhir melainkan di
awal perjalanan; ia berada dalam kondisi yang bersifat sementara, sehingga
kondisi ini tidak bisa tetap bertahan seperti itu dan harus berlalu, baik
menuju tahap kemuliaan yang lebih tinggi atau menuju kejatuhan dalam dosa
dan maut.[34]
Selanjutnya,
menurut Bavinck, fakta bahwa Adam dan Hawa masih harus hidup dengan
kemungkinan dapat berdosa, bisa disebut sebagai batasan dari gambar Allah:
Adam
... memiliki posse non peccare [bisa tidak berdosa] tetapi belum memiliki
non posse peccare [tidak bisa berdosa]. Dia masih hidup di dalam
kemungkinan dapat berdosa ... dia belum memiliki kasih yang sempurna dan
tidak berubah yang meniadakan semua rasa takut. Jadi, para teolog Reformed
benar saat menegaskan bahwa kemungkinan ini, yaitu kemungkinan untuk
berubah-ubah dan kemampuan untuk berbuat dosa ini ... bukanlah suatu aspek
atau isi dari gambar Allah, melainkan batasan, limitasi, atau ujung dari
gambar Allah.[35]
Hal
ini jelas: integritas yang di dalamnya Adam dan Hawa bereksistensi sebelum
Kejatuhan bukanlah keadaan sempurna yang telah digenapkan dan tak mungkin
berubah. Manusia memang diciptakan menurut gambar Allah pada mulanya,
tetapi ia belum menjadi "produk akhir." Dia masih perlu bertumbuh
dan diuji. Allah hendak menetapkan apakah manusia akan taat kepada-Nya
secara bebas dan sukarela. Untuk alasan inilah Allah memberikan sebuah
"perintah larangan" kepada Adam, "Semua pohon dalam taman ini
boleh kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang
baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau
memakannya, pastilah engkau mati" (Kej. 2:16-17). Jika Adam dan Hawa
menaati perintah ini, siapa yang tahu akan menjadi seperti apa sejarah umat
manusia. Tetapi, sangat disesalkan, mereka tidak taat sehingga mereka
menjatuhkan diri mereka dan seluruh umat manusia yang lahir setelah mereka,
ke dalam keadaan berdosa.
Catatan
Kaki:
[32]
Sebagaimana terlihat jelas melalui pernyataan ini, posisi yang diambil oleh
buku ini adalah bahwa Kejatuhan yang tercatat di dalam Kejadian 3 merupakan
peristiwa historis. Poin ini akan dijabarkan secara mendetail di dalam bab
7. [33] On Correction and Grace, 33. Dalam bahasa aslinya, yaitu bahasa
Latin, "posse non peccare." [34] Dogmatiek, 2:606 (terj.
penulis). [35] Ibid., hlm. 617 (terj. penulis). Bdk. juga Wm. Shedd,
Dogmatic Theology, vol. 2 (1888; Grand Rapids; Zondervan, t.t.), hlm. 150
-- 152
----------------------------------------------------------------------
PESTA=========Pendidikan Elektronik Studi Teologia Awam==========PESTA
PESTA //
PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA
Nama
Kursus
|
:
|
APOLOGETIKA
UNTUK AWAM I (AUA I)
|
Nama
Pelajaran
|
:
|
Karakter
Manusia Sebelum Jatuh dalam Dosa
|
Kode
Referensi
|
:
|
AUA
I-R03b
|
Referensi
AUA I-R03b diambil dari:
Judul
buku
|
:
|
Teologi
Sistematika
|
Judul
artikel
|
:
|
Watak
Semula Manusia
|
Pengarang
|
:
|
Henry
C. Thiessen
|
Penerbit
|
:
|
Gandum
Mas, 2003
|
Halaman
|
:
|
236 --
240
|
WATAK
SEMULA MANUSIA
Alkitab
menggambarkan keadaan mula-mula manusia dengan memakai ungkapan
"menurut gambar dan rupa Allah" (Kej. 1:26-27; 5:1; 9:6; 1Kor.
11:7; Yak. 3:9). Nampaknya tidak ada perbedaan berarti di antara kata-kata
Ibrani "gambar" dan "rupa", sehingga kita tidak perlu
mencari-cari perbedaan itu. Namun perlu kiranya kita membahas apakah gambar
dan rupa itu.
A.
KESAMAAN
ITU BUKAN KESAMAAN JASMANIAH
----------------------------------------
Allah adalah Roh sehingga tidak memiliki anggota-anggota
tubuh seperti manusia. Beberapa kalangan menggambarkan Allah sebagai
manusia yang agung dan luhur, namun pandangan semacam ini salah. Mazmur
17:15 mengatakan, "Pada waktu bangun aku akan menjadi puas dengan
rupa-Mu." Namun ayat ini tidak memaksudkan keadaan jasmaniah; lebih
tepat kalau dikatakan bahwa ayat ini menurut konteksnya berbicara mengenai
persamaan dalam kebenaran (lihat 1 Yoh. 3:2-3). Musa telah melihat "rupa
Tuhan" (Bil. 12:8), walaupun wajah Allah tidak dapat dilihat (Kel.
33:20). Sekalipun manusia tidak memiliki kesamaan jasmaniah dengan Allah
karena Allah tidak memiliki tubuh jasmaniah, manusia memang memiliki
kesamaan tertentu karena manusia diciptakan dalam keadaan sehat walafiat,
tidak ada bibit-bibit penyakit apa pun di dalam dirinya, dan tidak bisa
mati. Nampaknya pada mulanya Allah merencanakan supaya manusia makan dari
tumbuh-tumbuhan saja (Kej. 1:29), tetapi kemudian Ia mengizinkan daging
hewan untuk dimakan (Kej. 9:3). Menarik untuk diperhatikan bahwa ketika
Allah mengizinkan manusia memakan daging, Allah samasekali tidak memberikan
peraturan mengenai hewan haram dan hewan halal meskipun perbedaan antara
yang haram dan yang halal sudah diketahui (Kej. 7:2). Peraturan itu diberi
kemudian untuk mengatur perilaku satu bangsa saja dan hanya berlaku untuk
jangka waktu tertentu (Imamat 11; Markus 7:19; Kisah 10:15; Roma 14:1-12;
Kolose 2:16).
B.
KESAMAAN
ITU ADALAH KESAMAAN MENTAL
--------------------------------------
Hodge mengatakan, Allah adalah Roh, jiwa manusia adalah
roh juga. Sifat-sifat hakiki dari roh ialah akal budi, hati nurani, dan
kehendak. Roh adalah unsur yang mampu bernalar, bersifat moral, dan oleh
karena itu juga herkehendak bebas. Ketika menciptakan manusia menurut
gambar-Nya Allah menganugerahkan kepadanya sifat-sifat yang dimiliki-Nya
sendiri sebagai roh. Dengan demikian manusia berbeda dari semua makhluk
lain yang mendiami bumi ini, serta berkedudukan jauh lebih tinggi daripada
mereka. Manusia termasuk golongan yang sama dengan Allah sendiri sehingga
ia mampu berkomunikasi dengan Penciptanya. Kesamaan sifat antara Allah dan
manusia ini ... Juga merupakan keadaan yang diperlukan untuk mengenal Allah
dan karena itu merupakan dasar dari kesalehan kita. Bila kita tidak
diciptakan menurut gambar Allah, kita tidak dapat mengenal Dia. Kita akan
sama dengan binatang-binatang yang akhirnya binasa.
Pernyataan Hodge ini dikuatkan oleh Alkitab. Dalam
pengudusan, manusia "terus-menerus diperbaharui untuk memperoleh
pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya" (Kol. 3:10). Tentu
saja, pembaharuan ini dimulai pada saat kelahiran baru terjadi, tetapi
dilanjutkan dalam pengudusan. Bahwa manusia diberi kemampuan intelektual
yang tinggi tersirat dalam perintah untuk mengusahakan taman Eden serta
memeliharanya (Kej. 2:15), juga perintah untuk menguasai bumi beserta
segala isinya (Kej. 1:26, 28), dan dalam pemyataan bahwa manusia memberi
nama kepada segala binatang di bumi (Kej. 2:19-20). Kesamaan dengan Allah
ini tidak dapat dihapus, dan karena kesamaan tersebut memungkinkan manusia
memperoleh penebusan, maka kehidupan manusia yang belum dilahirkan baru
juga berharga (Kej. 9:6; 1 Kor. 11:7; Yak. 3:9). Betapa berbcdanya gambaran
ini tentang keadaan mula-mula manusia dengan pandangan evolusi, yang
menganggap manusia yang pertama hanya sedikit di atas binatang liar yang
tidak hanya bodoh, tetapi sama sekali tanpa kemampuan mental apa pun.
C.
KESAMAAN
ITU ADALAH KESAMAAN MORAL
-------------------------------------
Beberapa pihak telah membuat kekeliruan karena
menganggap bahwa gambar dan rupa Allah yang menjadi karakter asli manusia
ketika diciptakan itu hanya terdapat dalam sifat rasionalnya; sedangkan
yang lain membatasi kesamaan itu pada kekuasaan manusia saja. Yang lebih
tepat ialah bahwa kesamaan itu terdapat dalam sifat rasional manusia dan
dalam persesuaian moralnya dengan Allah. Hodge mengatakan, Manusia adalah
gambar Allah, sehingga membawa dan mencerminkan kesamaan ilahi di antara
penghuni-penghuni lain di bumi, karena manusia itu roh, unsur yang cerdas
dan berkehendak bebas; dan oleh karena itu sudah sepantasnya manusia
ditetapkan untuk menguasai bumi. Inilah yang biasanya disebut oleh para
teolog Reformasi sebagai gambar Allah yang hakiki dan bukan yang insidental.
Bahwa manusia memiliki kesamaan semacam itu dengan Allah
sudah jelas dalam Alkitab. Bila dalam pembaharuan manusia baru itu
"diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan
yang sesungguhnya" (Ef. 4:24), maka pastilah tepat untuk menyimpulkan
bahwa pada mulanya manusia memiliki baik kebenaran maupun kekudusan.
Konteks Kejdian 1 dan 2 membuktikan hal ini. Hanya atas dasar inilah
manusia dapat bersekutu dengan Allah, yang tidak dapat memandang kelaliman
(Hab. 1:13). Pengkhotbah 7:29 mendukung pendapat ini. Di situ tercatat
bahwa Allah telah menciptakan "manusia yang jujur". Kenyataan ini
dapat juga kita simpulkan dari Kejadian 1:31 yang mengatakan bahwa
"Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik."
Kata "segala" mencakup juga manusia sehingga pemyataan itu
tidaklah benar apabila manusia diciptakan dengan keadaan moral yang tidak
sempurna.
Apakah yang dimaksudkan dengan kebenaran dan kesucian
mula-mula? Yang jelas, kebenaran dan kesucian mula-mula bukanlah hakikat
manusia, karena dengan demikian watak manusia pasti sudah tidak ada lagi
ketika ia berbuat dosa. Kekudusan dan kebenaran mula-mula tersebut juga
bukan pemberian dari luar, yaitu sesuatu yang ditambahkan kepada manusia
setelah ia diciptakan, karena dikatakan bahwa manusia memiliki gambar ilahi
itu ketika diciptakan, dan bukan karena dikaruniakan kepadanya setelah
diciptakan. Shedd menerangkannya sebagai berikut, Kekudusan bukanlah
sekadar keadaan tidak berdosa. Tidaklah memadai untuk mengatakan bahwa manusia
diciptakan dalam keadaan tidak berdosa. Hal ini dapat dikatakan apabila
manusia samasekali tidak mcmiliki watak yang moral entah itu benar atau
salah. Manusia diciptakan tidak hanya sebagai makhluk yang tidak berdosa
secara negatif, tetapi juga sebagai makhluk kudus secara positif. Keadaan
manusia yang diperbaharui adalah pemulihan keadaannya yang semula; dan
kebenaran manusia yang telah diperbaharui disebut dalam Alkitab sebagai
kata 'theon', Ef. 4:21, dan sebagai "kekudusan yang sesungguhnya",
Ef. 4:24. Ini merupakan watak yang positif, dan bukan sekadar keadaan tidak
berdosa saja. Kadang- kadang hal ini disebut sebagai kekudusan yang
"diciptakan bersama", sebagai berlawanan dengan kekudusan yang
menurut beberapa orang telah dianugerahkan oleh Allah kepada manusia
setelah ia diciptakan. Kekudusan mula-mula ini dapat diartikan sebagai
kecenderungan kasih sayang dan kemauan manusia, sekalipun disertai kekuatan
pilihan yang jahat, ke arah pengenalan yang rohani akan Allah serta hal-hal
rohani lainnya. Kekudusan mula-mula ini berbeda dengan kekudusan yang
disempurnakan dari orang-orang saleh, sebagaimana kasih sayang yang
naluriah dan keadaan tidak berdosa yang kekanak-kanakan adalah berbeda dari
kckudusan yang telah dimatangkan dan diperkuat oleh pencobaan.
D.
KESAMAAN
ITU ADALAH KESAMAAN SOSIAL
--------------------------------------
Sifat Allah yang sosial itu didasarkan pada kasih
sayang-Nya. Yang menjadi sasaran kasih sayang-Nya adalah Oknum-Oknum lain
di dalam ketritunggalan-Nya. Karena Allah memiliki sifat sosial, maka Ia
menganugerahkan kepada manusia sifat sosial. Akibatnya, manusia senantiasa
mencari sahabat untuk bersekutu dengannya. Pertama-tama, manusia menemukan
persahabatan ini dengan Allah sendiri. Manusia "mendengar bunyi
langkah Tuhan Allah yang berjalan-jalan dalam taman itu pada waktu hari
sejuk" (Kej. 3:8). Hal ini menyatakan secara tak langsung bahwa
manusia berkomunikasi dengan Allah Penciptanya. Allah telah menciptakan
manusia untuk diri-Nya sendiri, dan manusia menemukan kepuasan tertinggi
dalam persekutuan dengan Tuhannya. Akan tetapi, di samping itu Allah juga
menganugerahkan persahabatan manusiawi. Ia menciptakan wanita, karena,
sebagaimana dikatakan-Nya sendiri, "Tidak baik, kalau manusia itu
seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan
dengan dia" (Kej. 2:18). Agar persekutuan ini menjadi sangat mesra, Ia
menciptakan perempuan dari tulang rusuk laki-laki. Adam mengakui bahwa Hawa
adalah tulang dari tulangnya dan daging dari dagingnya, maka dinamakannya "perempuan".
Dan oleh sebab hubungan yang begitu intim di antara keduanya, "seorang
laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya,
sehingga keduanya menjadi satu daging" (Kej. 2:24). Jelaslah bahwa
manusia diciptakan dengan sifat sosial, sebagaimana Allah mennpunyai sifat
sosial. Kasih dan perhatian sosial manusia bersumber langsung dari unsur
ini dalam watak manusia.
----------------------------------------------------------------------
PESTA ======Pendidikan Elektronik Studi Teologia Kaum Awam====== PESTA
PESTA //
PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA
Nama
Kursus
|
:
|
APOLOGETIKA
UNTUK AWAM I (AUA I)
|
Nama
Pelajaran
|
:
|
Karakter
Manusia Sebelum Jatuh dalam Dosa
|
Kode
Referensi
|
:
|
AUA
I-R03c
|
Referensi
AUA I-R03c diambil dari:
Judul
buku
|
:
|
Manusia:
Ciptaan Menurut Gambar Allah
|
Judul
artikel
|
:
|
Ajaran
Perjanjian Lama
|
Pengarang
|
:
|
Anthony
A. Hoekhema
|
Penerbit
|
:
|
Momentum,
2003
|
Halaman
|
:
|
15 --
20
|
AJARAN
PERJANJIAN LAMA
Perjanjian
Lama tidak banyak berbicara tentang gambar Allah. Konsep ini dibicarakan
secara eksplisit hanya dalam tiga bagian Perjanjian Lama, semuanya di kitab
Kejadian: 1:26-28; 5:1-3; dan 9:6. Orang juga bisa berpendapat bahwa Mazmur
8 mendeskripsikan apa yang dimaksudkan dengan penciptaan manusia menurut
gambar Allah, tetapi frasa "gambar Allah" tidak ada di sana. Kita
akan memerhatikan keempat bagian Perjanjian Lama ini secara berurutan.
Kejadian
1:26-28 berbunyi:
(26)
Berfirmanlah Allah: "Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar
dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan
burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas se-
gala binatang melata yang merayap di bumi." (27) Maka Allah
menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah
diciptakanNya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. (28)
Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka:
"Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah
itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung- burung di udara dan
atas segala binatang yang merayap di bumi." Kejadian 1 mengajarkan
keunikan penciptaan manusia, yakni bahwa sementara Allah menciptakan setiap
hewan "menurut jenisnya" (ay. 21,2425), hanya manusia yang
diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (ay. 26-27). Herman Bavinck
menyatakannya sebagai berikut:
Seluruh
dunia merupakan penyataan Allah, cermin dari nilai-nilai dan
kesempurnaan-Nya; dengan cara dan menurut ukurannya masing-masing, setiap
makhluk merupakan perwujudan dari pemikiran ilahi. Tetapi di antara semua
ciptaan, hanya manusia yang merupakan gambar Allah, penyataan yang
tertinggi dan terkaya akan Allah, dan oleh karena itu, me rupakan kepala
dan puncak dari seluruh penciptaan. Hal pertama yang begitu menyedot
perhatian kita pada saat membaca Kejadian 1:26 adalah kata kerja utamanya
yang berbentuk jamak, "Berfirmanlah Allah: `Baiklah Kita menjadrkan
manusia...." Ini mengindikasikan bahwa penciptaan manusia memiliki
kelas tersendiri, karena ungkapan ini tidak dipakai untuk ciptaan lain yang
mana pun. Banyak teolog telah mencoba untuk menjelaskan bentuk jamak ini.
Penjelasan bahwa hal ini merupakan "kemuliaan dalam bentuk jamak"
sangat tidak mungkin, karena bentuk jamak seperti ini tidak ditemukan di
bagian Alkitab lain. Yang lain beranggapan bahwa Allah di sini tengah
berbicara dengan para malaikat. Kita juga harus menolak penafsiran ini
karena Allah tidak pernah dikatakan meminta masukan dari malaikat, karena
mereka yang juga dicipta tak bisa menciptakan manusia, dan karena manusia
tidak dijadikan menurut rupa malaikat. Kita harus menafsirkan bentuk jamak
ini mengindikasikan bahwa Allah tidak bereksistensi sebagai keberadaan yang
tersendiri, melainkan sebagai keberadaan yang memiliki persekutuan dengan
"yang lain." Meski kita tak bisa mengatakan bahwa di bagian ini
kita memiliki ajaran yang jelas tentang Trinitas, kita bisa mempelajari
bahwa Allah bereksistensi sebagai satu "pluralitas." Apa yang
dinyatakan secara tidak langsung di sini akan dikembangkan lebih lanjut
dalam Perjanjian Baru menjadi dokrin Trinitas.
Juga
harus diperhatikan bahwa ada sebuah perencanaan yang mendahului penciptaan
manusia: "Marilah Kita menjadikan manusia...." Hal ini sekali
lagi menunjukkan keunikan dalam penciptaan manusia. Perencanaan ilahi
seperti ini tidak pernah dikaitkan dengan ciptaan lain.
Kata
yang diterjemahkan sebagai manusia dalam ayat ini berasal dari kata Ibrani
adam. Kata ini kadang dipakai sebagai nama diri, Adam (lihat, misalnya,
Kejadian 5:1, "Inilah daftar keturunan Adam"). Tetapi, kata ini
bisa juga berarti manusia pada umumnya. Dalam pengertian ini, kata tersebut
memiliki makna yang sama dengan kata Jerman Mensch: bukan laki-laki dalam
keberbedaannya dengan perempuan, melainkan manusia dalam keberbedaannya
dari ciptaan yang non manusia, yaitu manusia sebagai laki-laki atau
perempuan, atau manusia sebagai laki-laki dan perempuan. Dalam pengertian
Inilah kata tersebut dipakai di dalam Kejadian 1:26 dan 27. Kadang kata
adam juga dipakai untuk menunjuk umat manusia (lihat misalnya Kejadian 6:5,
"ketika dilihat TUHAN bahwa kejahatan manusia besar di bumi").
Karena berkat yang terdapat di Kejadian 1:28 teraplikasikan kepada seluruh
umat manusia, kita bahkan bisa mengatakan bahwa ayat 26 dan 27
mendeskripsikan penciptaan umat manusia, meski kita kemudian harus
membatasi pemyataan ini sebagai berikut: Allah menciptakan lakilaki dan
perempuan itu, yang mana dari keduanyalah semua umat manusia akan
dilahirkan.
Kita
sekarang sampai pada kata-kata yang penting: "menurut gambar dan rupa
Kita." Kata yang diterjemahkan sebagai gambar adalah tselem, dan yang
diterjemahkan sebagai rupa adalah demuth. Di dalam bahasa Ibrani tak ada
kata sambung di antara kedua ungkapan tersebut; teks Ibrani hanya berbunyi
"marilah Kita menjadikan manusia menurut gambar rupa Kita." Baik
Septuaginta maupun Vulgata memasukkan kata dan, sehingga memberi kesan
bahwa "gambar" dan "rupa" mengacu kepada dua hal yang
berbeda. Tetapi, teks bahasa Ibrani memperjelas bahwa tak ada perbedaan
yang esensial di antara keduanya: "menurut gambar Kita" hanyalah
suatu cara lain untuk mengatakan "menurut rupa Kita." Hal ini
akan terbukti dengan menelaah pemakaian kedua kata ini di bagian ini dan di
dua bagian kitab Kejadian lainnya. Dalam Kejadian 1:26, baik kata gambar
maupun rupa dipakai; dalam Kejadian 1:27 hanya kata gambar yang dipakai.
Dalam Kejadian 5:3 kedua kata dipakai, tetapi kali ini dengan urutan yang
berbeda: menurut rupa dan gambar [Adam]. Dan sekali lagi dalam Kejadian 9:6
hanya kata gambar yang dipakai. Jika kata-kata ini dimaksudkan untuk
mendeskripsikan aspek-aspek manusia yang berbeda, maka keduanya takkan
dipakai dengan cara seperti yang baru kita lihat, yaitu bisa dipertukarkan.
Tetapi,
meski kedua kata ini biasa dipakai sebagai sinonim, kita bisa menemukan
sedikit perbedaan di antara keduanya. Kata Ibrani untuk gambar, tselem,
diturunkan dari akar kata yang bermakna "mengukir" atau
"memotong." Maka kata ini bisa dipakai untuk mendeskripsikan
ukiran berbentuk binatang atau manusia. Ketika diaplikasikan pada
penciptaan manusia di dalam Kejadian 1, kata tselem ini mengindikasikan
bahwa manusia menggambarkan Allah, artinya manusia merupakan suatu
representasi Allah. Kata Ibrani untuk rupa, demuth di dalam Kejadian 1
bermakna "menyerupai." Jadi, orang bisa berkata bahwa kata demuth
di Kejadian 1 mengindikasikan bahwa gambar tersebut juga merupakan
keserupaan, "gambar yang menyerupai Kita." Kedua kata itu memberi
tahu kita bahwa manusia merepresentasikan Allah dan menyerupai Dia dalam
hal-hal tertentu.
Bagaimana
manusia menyerupai Allah tidak dinyatakan secara spesifik dan eksplisit di
dalam kisah penciptaan, meskipun kita bisa melihat bahwa
keserupaan-keserupaan tertentu dengan Allah terimplikasikan di sana. Misalnya,
dari Kejadian 1:26 kita bisa menarik kesimpulan bahwa kekuasaan atas
binatang dan atas seluruh bumi merupakan satu aspek dari gambar Allah. Di
dalam menjalankan kekuasaan ini manusia menjadi serupa dengan Allah, karena
Allah memiliki kuasa yang tertinggi dan ultimat atas bumi. Dari ayat 27
kita bisa menyimpulkan bahwa aspek lain dari gambar Allah menyangkut
perihal penciptaan manusia sebagai laki-laki dan perempuan. Karena Allah
adalah Roh (Yoh. 4:24), maka kita tak boleh menyimpulkan bahwa keserupaan
dengan Allah dalam hal ini ditemukan di dalam perbedaan fisik antara kaum
laki-laki dan kaum perempuan. Keserupaan ini harus ditemukan di dalam fakta
bahwa laki- laki memerukan pendampingan perempuan, bahwa manusia merupakan
makhluk sosial, bahwa kaum perempuan melengkapi kaum laki-laki dan kaum
laki- laki melengkapi kaum perempuan. Dalam hal ini manusia mencerminkan
Allah, yang bereksistensi bukan sebagai Keberadaan yang terasing, melainkan
berada di dalam persekutuan-persekutuan yang pada tahap penyataan
selanjutnya digambarkan sebagai persekutuan antara Bapa, Anak dan Roh
Kudus. Dari fakta bahwa Allah memberkati umat manusia dan memberikan mandat
kepada mereka (ay. 28), kita bisa menyimpulkan bahwa umat manusia juga
menyerupai Allah dalam hal mereka adalah keberadaan yang berpribadi dan
bertanggung jawab, yang bisa diajak berbicara oleh Allah dan yang
bertanggung jawab kepada Allah sebagai Pencipta dan Penguasa atas mereka.
Sebagaimana Allah di sini dinyatakan sebagai satu Pribadi (di kemudian hari
di dalam sejarah penyataan, hal ini diperluas menjadi tiga Pribadi) yang
mampu membuat keputusan dan memerintah, maka manusia adalah pribadi yang
juga mampu membuat keputusan dan memerintah.
Sementara
meneruskan penelaahan kita terhadap Kejadian 1:26-28, kita melihat berkat
Allah bagi manusia dalam ayat 28 (sebagaimana ayat 22 menunjukkan berkat
Allah bagi binatang). Bagian terakhir dari berkat ini sangat mirip dengan
apa yang dikatakan mengenai manusia dalam ayat 26, "supaya mereka
berkuasa." Hanya saja kata kerja di sini berbentuk orang kedua jamak
dan ditujukan kepada orangtua pertama kita. Kata-kata mengenai kekuasaan
manusia ini didahului oleh kata- kata yang tidak ditemukan dalam ayat 26,
"Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi." Perintah
untuk beranak cucu dan bertambah banyak mengimplikasikan lembaga
pernikahan, yang penetapannya dikisahkan dalam Kejadian 2:18-24.
Dalam
memberikan berkat-Nya, Allah berjanji akan memampukan manusia untuk
berkembang biak dan menghasilkan keturunan yang akan memenuhi bumi; Dia
juga berjanji akan memampukan mereka menaklukkan bumi dan berkuasa atas
binatang-binatang dan atas bumi itu sendiri. Kata-kata ini merupakan
berkat, tetapi juga mengandung perintah atau mandat. Allah memerintahkan
manusia untuk beranak cucu dan berkuasa. Ini secara umum disebut mandat
budaya: perintah untuk memerintah bumi atas nama Allah dan membangun budaya
yang memuliakan Allah.
Sebelum
kita beralih ke bagian teks berikutnya, ada satu hal lagi yang perlu
dicatat. Ayat 31 berbunyi, "Maka Allah melihat segala yang
dijadikanNya itu, sungguh amat baik." "Segala yang
dijadikan-Nya" ini mencakup juga manusia. Maka, saat manusia bermula
dari tangan Sang Pencipta, ia tidak rusak, bobrok, atau berdosa; manusia
berada dalam kondisi berintegritas, tidak bersalah, dan kudus. Apa pun yang
terdapat dalam diri manusia saat ini, yang jahat atau menyimpang, bukan
merupakan bagian dari penciptaannya yang semula. Saat diciptakan, manusia
sangat baik adanya.
----------------------------------------------------------------------
PESTA=========Pendidikan Elektronik Studi Teologia
Awam==========PESTA
PESTA //
PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA
Nama
Kursus
|
:
|
APOLOGETIKA
UNTUK AWAM I (AUA I)
|
Nama
Pelajaran
|
:
|
Karakter
Manusia yang Berdosa
|
Kode
Pelajaran
|
:
|
AUA
I-P04
|
Pelajaran 04 -
KARAKTER MANUSIA YANG BERDOSA
Daftar
Isi
A.
Kejatuhan
Umat Manusia
B.
Akibat
Kejatuhan Manusia ke dalam Dosa
C.
Ketidakkonsistenan
dan Permukaan Kebenaran
Doa
KARAKTER MANUSIA
YANG BERDOSA
"Tetapi
manusia duniawi tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah, karena hal
itu baginya adalah suatu kebodohan; dan ia tidak dapat memahaminya, sebab
hal itu hanya dapat dinilai secara rohani." (1 Kor. 2:14)
Pada
pelajaran sebelumnya, kita telah mendiskusikan karakter manusia sebelum
jatuh dalam dosa. Namun, pengertian kita akan manusia tidaklah lengkap
apabila kita tidak mempelajari sebab akibat dari kejatuhan manusia.
"Pengetahuan tentang diri kita sendiri, yang pertama adalah
berdasarkan pada apa yang telah diberikan pada waktu penciptaan ..., kedua,
kita perlu mengingat akan keadaan kita yang menyedihkan dan tidak
menyenangkan setelah kejatuhan Adam."
Karakter
manusia telah berubah di bawah kutuk dosa. Manusia bukan merupakan gambar
Allah yang sempurna lagi; manusia tidak lagi hidup dan berpikir sebagaimana
halnya Adam dan Hawa sebelum jatuh dalam dosa. Dalam pelajaran berikut,
kita akan melihat lebih jelas lagi bagaimana dosa sangat memengaruhi
manusia dan sebagai akibatnya manusia telah menyangkali ketergantungannya
secara mutlak pada Allah.
A.
Kejatuhan
Umat Manusia
Allah telah membuat laki-laki dan perempuan menurut
gambar-Nya dan telah menempatkan mereka di taman Eden. Saat Adam dan Hawa
menyadari akan keberadaan mereka sebagai makhluk ciptaan Allah, mereka
dengan senang hati mendedikasikan diri mereka untuk melayani Allah. Waktu
pun berlalu dan kesetiaan manusia kepada Allah diuji. Allah telah
menempatkan pohon pengetahuan baik dan jahat di tengah-tengah taman, dan
berkata:
"tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan
yang jahat itu, janganlah kau makan buahnya, sebab pada hari engkau
memakannya pastilah engkau mati." (Kej. 2:17)
Dalam hal ini, banyak yang perlu dipertaruhkan manusia
dari hanya sekadar menahan diri untuk tidak makan buah tersebut. "Pada
mulanya Adam berhasil menghindari pohon pengetahuan baik dan jahat serta
membuktikan bahwa ia dengan sukarela berada di bawah perintah Allah."
Allah telah berkata dan mewahyukan kehendak-Nya tentang pohon yang
terlarang itu. Adam dan Hawa ditempatkan pada posisi untuk menguji
kesadaran mereka apakah mengakui atau menyangkali otoritas Allah dan
ketergantungan mereka akan Dia.
Pasal ketiga dari kitab Kejadian berpusat pada kejatuhan
manusia. Ular, yang disebut Alkitab si Iblis (Kej. 3:15; Rom. 16:20),
menghampiri Hawa dan mencobainya untuk mengabaikan perintah Allah. Dengan
menghadapkan Hawa pada pilihan yang paling penting dalam hidupnya, Iblis
berkata:
"Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah
mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu
akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat."
(Kej. 3:4-5)
Perkataan Iblis jelas bertolak belakang dengan penyataan
(wahyu) Allah. Hawa dihadapkan pada pilihan, siapakah yang dapat dipercaya?
Allah mengatakan "kamu akan mati" dan ular berkata "kamu
tidak akan mati". Perempuan itu harus percaya pada salah satu dari dua
pernyataan yang berlawanan itu. Kemudian ular yang licik itu tidak puas
hanya dengan mengatakan bahwa Allah membuat kesalahan. Ia bahkan membujuk
Hawa untuk percaya bahwa bila ia memakan buah itu, perbedaan antara
Pencipta dan ciptaan akan hilang. "Kamu akan menjadi seperti
Allah," (Kej. 3:5) kata Iblis dengan penuh kesombongan.
Hawa tertipu oleh tipuan ular yang licik. Kita dapat
mengatakan bahwa tindakan Hawa ini merupakan tindakan yang sangat bodoh,
namun rupanya pencobaan untuk menjadi seperti Allah terlalu besar untuk
dihindari. Setelah semua penghormatan Hawa kepada Penciptanya digoncangkan,
Hawa memutuskan untuk tidak lagi bergantung pada Allah untuk mengetahui
pengetahuan yang benar, demikian juga untuk petunjuk yang berkenaan dengan
moralitas.
Ular mempertanyakan keabsahan dan kemampuan Allah dalam
hal-hal ini, dan Hawa telah termakan oleh saran-sarannya. Sebelumnya, Hawa
menerima wahyu Allah dan mengakui ketergantungannya secara mutlak pada
Allah. Namun, sekarang ia memutuskan bahwa ketergantungannya pada Allah
merupakan suatu pilihan. Pembacaan yang teliti dari Kej. 3:6 memerlihatkan
inti dari kesalahan Hawa.
"Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik
untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagi pula pohon itu menarik hati
karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya
dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan
suaminya pun memakannya."
Hawa tidak secara langsung menolak firman Allah dan
menerima perkataan dari si ular. Melainkan, ia mengamati sendiri pohon itu
dan kemudian memutuskan karakter dari pohon itu berdasarkan pengertiannya
sendiri. Dia berkata kepada dirinya sendiri, "Mengapa mendengarkan
orang lain? Aku akan membuat hukum bagi diriku sendiri; Aku akan memutuskan
sendiri!" Dengan melakukannya, Hawa menolak perbedaan antara Pencipta
dan ciptaan. Dia menyamaratakan wahyu Allah yang berdiri sendiri dengan
perkataan si ular dan menempatkan dirinya di atas mereka berdua sebagai
hakim.
Hawa lalu memberikan buah itu kepada Adam. Adam
memakannya dan sejak itu umat manusia jatuh di bawah kuasa dosa. Ini
merupakan inti dari dosa; manusia memberontak melawan ketergantungannya
pada Allah dan manusia berasumsi bahwa dia mampu untuk berdiri sendiri
tanpa Allah.
Sangat penting untuk diingat bahwa perbedaan Pencipta
dan ciptaan tetap berlangsung meskipun manusia memilih untuk tidak
mengakuinya. Adam dan Hawa tidak menjadi berkurang dalam ketergantungannya
pada Allah setelah kejatuhan dibanding dengan keberadaan mereka sebelum
jatuh dalam dosa. Mereka hanya menolak untuk mengakui ketergantungan
mereka. Seorang anak balita dapat menipu dirinya sendiri untuk berpikir
bahwa ia tidak memerlukan orang tuanya, namun penyangkalannya ini tidak
membedakan kenyataan bahwa ia tergantung pada orang tuanya.
Sama halnya dengan Adam dan Hawa yang berpikir mereka
berdiri sendiri terlepas dari Allah, kenyataannya mereka tetap membutuhkan
Allah dalam segala sesuatu, bahkan untuk kemampuan menolak Allah.
Persyaratan Allah bagi Adam dan Hawa adalah supaya mereka mengakui
ketergantungan mereka dan hidup sesuai dengan kebenaran ini. Mereka telah
gagal untuk memenuhi tuntutan Allah dan jatuh ke dalam dosa. Mereka
berpikir dirinya cukup bijak, mereka telah menjadi bodoh, sebab firman
Allah ternyata benar; dan mereka mati.
B.
Akibat
Kejatuhan Manusia ke dalam Dosa
Kejatuhan manusia ke dalam dosa di taman Eden bukan
kejadian masa lalu yang terpisah dari masa kini, dalam arti hanya memunyai
akibat yang sedikit bagi manusia yang hidup pada masa kini; peristiwa
kejatuhan telah membuat semua manusia berada di bawah belenggu dosa.
"Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam
dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu
telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat
dosa." (Rom. 5:12)
Sejak lahir, semua manusia telah dicemarkan oleh dosa
(Maz. 51:5; Ef. 2:3). Sebagaimana Adam dan Hawa yang telah menolak
perbedaan antara Pencipta dan ciptaan, semua manusia telah menyangkal wahyu
Allah, baik melalui semua ciptaan maupun melalui wahyu khusus (firman
Tuhan).
Paulus menjelaskan penolakan manusia akan wahyu melalui
penciptaan dalam Rom. 1:18-32. Paulus mengatakan bahwa meskipun ciptaan
dengan jelas menyatakan karakter Allah dan kehendak-Nya, namun manusia yang
tidak percaya telah menindas "kebenaran dengan kelaliman" (ay.
18). Mereka menolak untuk mengakui Allah yang telah mewahyukan diri-Nya
melalui ciptaan sebab "pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka
yang bodoh menjadi gelap" (ay. 21). "Mereka berbuat seolah-olah
mereka penuh hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh" (ay. 22),
sebab mereka memilih untuk menyembah "makhluk dengan melupakan
Penciptanya yang harus dipuji selama-lamanya, amin" (ay. 25). Oleh
karena "mereka tidak merasa perlu untuk mengakui Allah, maka Allah
menyerahkan mereka kepada pikiran-pikiran yang terkutuk ...." (ay.
28). Manusia yang telah jatuh dalam dosa, menolak untuk mengakui penyataan
Allah dalam semua aspek.
Orang-orang yang tidak percaya juga tidak memberikan
tempat yang sewajarnya pada wahyu khusus Allah. Tuhan Yesus menggambarkan
bagaimana Israel menolak ketergantungannya pada wahyu khusus Allah dalam
perumpamaan tentang penggarap-penggarap kebun anggur (Mat. 21:33-44).
Penggarap-penggarap kebun anggur memeroleh mata pencaharian mereka dari
kemurahan hati si empunya tanah, tetapi mereka menolak untuk
menghormatinya. Akibatnya, si pemilik tanah mengutus utusan-utusan khusus
kepada si petani. Bahkan, Ia telah mengutus Anak-Nya. Namun, si petani
membencinya, bahkan membunuh Anak itu. Sama halnya dengan semua manusia
yang seharusnya tunduk kepada wahyu khusus Allah melalui firman Tuhan, sebaliknya
mereka telah menolaknya. Dosa telah mencengkeram manusia sedemikian rupa
sehingga manusia tidak mampu lagi menundukkan dirinya kepada firman Allah.
"Sebab keinginan daging adalah perseteruan terhadap
Allah, karena ia tidak takluk kepada hukum Allah; hal ini memang tidak
mungkin baginya." (Rom. 8:7)
"ia tidak dapat memahaminya, sebab hal itu hanya
dapat dinilai secara rohani." (1 Kor. 2:14)
Manusia tidak menundukkan diri pada wahyu Allah. Manusia
telah mengikuti teladan Adam dan Hawa yang mengira bahwa segala sesuatu
harus diukur oleh "garis pengukur dari kebodohan kedagingan
mereka".
Kegagalan manusia untuk mengakui wahyu Allah dalam alam
semesta dan untuk menerima firman Tuhan sebagai alat untuk mengenal Allah
dan mengetahui kehendak-Nya, telah membuat manusia berada di posisi yang
sulit. Yeremia menyerukan pada zamannya sebagai berikut:
"Sesungguhnya, mereka telah menolak Firman Tuhan,
maka kebijaksanaan apakah yang masih ada pada mereka?" (Yer. 8:9)
Apa yang dapat kita lihat bila mata kita tertutup? Apa
yang dapat memuaskan dahaga kita bila sumur kita kering? Tidak ada! Sama
halnya dengan hikmat dan pengetahuan. Allah sendiri "mengajar manusia
akan pengetahuan" (Maz. 97:4) melalui wahyu-Nya. Jika kita menolak
firman- Nya, itu berarti kita menolak semua kebenaran, dan secara
prinsipil, kita tidak mengetahui apa-apa selain ketidakbenaran.
"Takut akan Tuhan adalah permulaan
pengetahuan." (Ams. 1:7)
Karena penolakan mereka akan wahyu Allah, maka manusia:
"hidup lagi sama seperti orang-orang yang tidak
mengenal Allah dengan pikirannya yang sia-sia dan pengertiannya yang gelap,
jauh dari hidup persekutuan dengan Allah, karena kebodohan yang ada di
dalam mereka dan karena kedegilan hati mereka." (Ef. 4:17-18)
Atas dasar ini, dikatakan bahwa:
"Tuhan mengetahui rancangan-rancangan orang
berhikmat; sesungguhnya semuanya sia-sia belaka." (1 Kor. 3:20)
C.
Ketidakkonsistenan
dan Permukaan Kebenaran
Akibat dosa, orang-orang yang tidak percaya sangat jelas
menolak kebenaran yang diwahyukan melalui firman Tuhan, dan secara sembarangan
menyalahtafsirkan dunia sekelilingnya. Namun, tidak semua pemikiran dan
pernyataan orang-orang itu dapat diartikan salah. Bagaimana mereka dapat
berpikir dan mengekspresikan ide-ide yang benar? Orang-orang percaya dan
tidak percaya sama-sama menyatakan bahwa dua tambah dua adalah empat. Ada
beberapa peristiwa dalam Alkitab yang menyatakan bahwa orang-orang yang
telah jatuh ke dalam dosa dapat memiliki kebenaran (Mat. 23:1, dst.; Kis.
17:28). Bagaimana kita dapat mengerti hal-hal ini dalam hubungan penolakan
manusia yang berdosa akan Allah sebagai sumber kebenaran?
Pemecahan masalah ini terletak pada pengamatan yang
lebih dekat atas kondisi manusia yang telah jatuh dan dua aspek dari
pengetahuannya. Pertama, meskipun orang-orang tidak percaya menolak wahyu
Allah mengenai diri-Nya, mereka tidak dapat secara terus-menerus menolak
secara konsisten. Dasar dari ketidakkonsistenan dalam taraf tertentu adalah
karena manusia berdosa tetap merupakan gambar Allah dan tetap memiliki
banyak kemampuan yang telah dimilikinya sejak semula (Kej. 9:6; Yak. 3:9).
Oleh anugerah umum, Allah telah menahan akibat dosa dan pencemaran sehingga
orang-orang non-Kristen tetap dapat berpikir dan bertindak atau bereaksi
sesuai dengan keberadaan mereka sebagai gambar Allah, walaupun mereka tidak
mengakui Allah sebagai Pencipta.
"Apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki
hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut hukum
Taurat, maka walaupun mereka tidak memiliki hukum Taurat, mereka menjadi
hukum Taurat bagi diri mereka sendiri. Sebab dengan itu mereka menunjukkan,
bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati
mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling
membela." (Rom. 2:14, 15)
Manusia yang telah jatuh dalam dosa, memulai pendapatnya
tentang ketidaktergantungan dirinya pada Allah dan kemampuan untuk
mengetahui kebenaran terpisah dari Allah. Apabila ia mengembangkan asumsi
ini secara terus-menerus dengan konsisten, ia tidak akan menemukan
pengetahuan yang benar sebab ketergantungan pada Allah adalah jalan
satu-satunya untuk mendapatkan kebenaran. Karena itu, orang-orang yang
tidak percaya tidak berhasil dan telah gagal.
Sejalan dengan ketidaksinambungan usaha orang-orang yang
tidak percaya untuk menahan dan menyangkali wahyu Allah, kita dapat
mengerti kemampuan mereka untuk mengetahui kebenaran saat kita melihat
karakter dari pemahaman mereka akan kebenaran. "Kapasitas manusia yang
telah jatuh dalam dosa untuk mengerti ... merupakan sesuatu yang labil dan transisi
dalam pandangan Allah ...." Orang-orang yang tidak percaya mampu untuk
mengetahui kebenaran, hanya saja mereka gagal memberi kesinambungan dalam
prinsip-prinsip berpikir mereka yang berdosa sehingga menyebabkan
pengetahuan mereka hanya terlihat benar di permukaan saja.
Berikut ini adalah analogi yang akan menolong kita untuk
lebih mengerti. Perkataan Tuhan Yesus kepada orang Farisi sering kali
menunjukkan perbedaan antara perilaku mereka secara luar dengan motivasi
mereka dari dalam hati. Nilai dari tugas rohani yang sangat besar telah
dicemari oleh motivasi mereka yang merasa diri paling benar dan sombong.
Amsal mengatakan bahwa:
"Korban orang fasik adalah kekejian bagi Tuhan,
tetapi doa orang jujur dikenan-Nya." (Ams. 15:8)
Orang-orang Farisi memiliki kerohanian yang hanya
terlihat dari luar saja, namun kesucian mereka atau kerohanian mereka telah
dicemari oleh apa yang ada di belakang tindakan yang terlihat dari luar.
Perbedaan yang serupa dapat kita terapkan dalam area
pengetahuan secara umum. Kita tidak boleh pernah merasa puas dengan
penampilan yang kelihatannya merupakan pernyataan yang benar dari manusia
yang berdosa. Kita harus berhati-hati dengan apa yang terletak di balik
ide-ide yang ditunjukkan. Misalnya, Saksi Yehova dengan jujur dapat mengatakan,
"Yesus adalah Tuhan." Kita semua akan setuju dengan pernyataan
ini sebagai hal yang benar secara permukaan. Namun, Saksi Yehova menolak
ke-Tuhanan Kristus dan berpendapat bahwa ke-Tuhanan Kristus merupakan
keberadaan-Nya sebagai malaikat yang khusus. Oleh karena itu, kita harus
memertimbangkan dan mengatakan bahwa pernyataan mereka tidak benar.
Alasan kita untuk menyetujui dan menyangkali suatu
pernyataan pada saat bersamaan disebabkan oleh perbedaan antara permukaan
pernyataan dengan apa yang ada di balik pernyataan itu. Pemisahan ini dapat
nyata karena apa yang dikatakan oleh seseorang berbeda dengan maksud di
balik perkataannya tersebut.
Salah satu cara untuk menyelidiki suatu pernyataan
adalah dengan cara selalu menanyakan apa yang dimaksud dengan perkataan
atau pemikirannya. Manusia yang telah jatuh dalam dosa dapat mengatakan
bahwa dunia ini bulat, namun apa yang dimaksudkan "dunia" oleh
mereka? Apakah merupakan hasil ciptaan Allah yang dinyatakan oleh firman
Tuhan atau sebagai hasil dari proses evolusi yang berlangsung sangat lama?
Mereka dapat mengatakan bahwa kejujuran adalah baik dan pembunuhan adalah
jahat. Namun, apa yang mereka maksudkan dengan "baik dan jahat"?
Apakah baik dan jahat itu didefinisikan oleh hukum Allah atau hukum yang lain?
Sama halnya dengan pohon yang indah yang baru saja ditanam di tanah yang
beracun, demikian juga orang tidak percaya yang menyangkali kebenaran dan
tidak mau kembali kepada wahyu Allah yang tidak dapat disangkali. Tanda
kemandirian mereka yang terpisah dari Allah, dapat terlihat benar dari
permukaan. Kadang-kadang, kita harus melihat jauh ke dalam sebelum kita
dapat menemukan pengertian yang salah.
Akar dari setiap ide dan pernyataan yang dikemukakan
oleh orang yang tidak percaya adalah berdasarkan asumsi bahwa "saya
tidak bergantung pada Allah dan mengetahui hal ini dari diri saya sendiri
terpisah dari Allah dan pertimbangan kehendak-Nya".
Untuk menyimpulkan pandangan yang tepat dari pernyataan
yang benar, yang dibuat oleh orang tidak percaya, dapat dikatakan bahwa
mereka benar dan juga salah. Orang-orang yang tidak percaya mungkin dapat
berpikir dan berbicara tentang kebenaran dalam pengertian bahwa pikiran
mereka bisa berasal dari wahyu Allah yang tidak dapat dihindari dan
dihasilkan dari anugerah umum Allah melalui kualitas manusia sebagai gambar
Allah yang tidak dapat disangkali. Lebih dari itu, mereka benar dalam
pengertian bahwa wahyu Allah memang sebenarnya mengiyakan pernyataan mereka
dari permukaan. Diharapkan kebenaran yang mereka dapatkan secara permukaan
ini dapat memimpin mereka kepada pengakuan akan Allah dan ketaatan
kepada-Nya.
Bersamaan dengan pernyataan bahwa orang tidak percaya
itu benar, kita dapat juga mengatakan pernyataan orang-orang tidak percaya
adalah tidak benar. Oleh karena pernyataan-pernyataan itu bukan merupakan
hasil dari kerelaan untuk taat kepada wahyu Allah, melainkan sebagai hasil
dari penyangkalan fakta perbedaan antara Pencipta dengan ciptaan.
Pernyataan-pernyataan orang tidak percaya dinyatakan
tidak benar oleh karena struktur pemikiran mereka memimpinnya kepada
pengertian yang salah dan membawa mereka jauh dari penyembahan kepada
Allah. Pada dasarnya, dapat dikatakan bahwa komitmen kepada kemandirian
manusia terlepas dari Allah, membuat semua pernyataan orang tidak percaya
salah.
Pengertian akan kondisi manusia setelah kejatuhannya
dalam dosa dan keberadaan orang-orang yang tetap dalam ketidakpercayaan
merupakan hal yang sangat penting bagi apologetika kristen. Kesadaran akan
ketidakadaan harapan dan keterbatasan pikiran orang-orang yang tidak
percaya, memberi petunjuk dan keyakinan kepada orang-orang percaya dalam
memertahankan imannya.
Akhir
Pelajaran (AUA I-P04)---
Doa
Ya,
Tuhan, kami menyadari bahwa karakter kami telah berubah di bawah kutuk
dosa. Kami bukan lagi gambar Allah yang sempurna. Hal ini tercermin dari
hidup dan cara pikir kami yang jauh dari suci. Dosa sangat memengaruhi kami
sehingga kami selalu menyangkali ketergantungan kami secara mutlak pada
Allah. Oleh sebab itu, tolong kami untuk menyadari kebodohan ini. Hindarkan
kami dari pikiran yang sia-sia, pengertian yang gelap dan jauh dari hidup
persekutuan dengan Allah. Amin.
(Catatan:
Pertanyaan tertulis ada di lembar lain)
PESTA=========Pendidikan Elektronik Studi Teologia
Awam==========PESTA
PESTA //
PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA
Nama
Kursus
|
:
|
APOLOGETIKA
UNTUK AWAM I (AUA I)
|
Nama
Pelajaran
|
:
|
Karakter
Manusia yang Berdosa
|
Kode
Pelajaran
|
:
|
AUA
I-P04
|
Pelajaran 04 -
KARAKTER MANUSIA YANG BERDOSA
*Instruksi*
<
Harap
setiap peserta mengikuti petunjuk mengerjakan tugas sbb.:
1.
Bacalah
Bahan Pelajaran dan semua Referensi Pelajaran 05 dengan teliti.
2.
Bacalah
Pertanyaan (A) dan (B) di bawah ini, kemudian jawablah dengan benar dan
lengkap.
3.
Apabila
Anda mendapatkan kesulitan sehubungan dengan isi Bahan Pelajaran, silakan
menghubungi Pembimbing di:
< yulia(at)in-christ.net >
Selamat
mengerjakan!
Perhatian:
Setelah
Anda menjawab tugas tertulis ini, mohon kirim kembali tugas ini dalam
bentuk plain text (e-mail biasa) dan BUKAN DALAM BENTUK ATTACHMENT ke:
==> <
staf-pesta(at)sabda.org >
PERTANYAAN
(A):
1.
Allah
menguji kesetiaan Adam dan Hawa akan otoritas Allah dengan menempatkan
[...............].
2.
Cara
setan menjatuhkan adalah dengan membujuk Hawa untuk percaya bahwa perbedaan
antara [.............] dan [............] akan hilang dan manusia akan
"menjadi seperti Allah,"
3.
Inti
dari dosa adalah pemberontakan melawan [............] manusia pada Allah
dan manusia berasumsi bahwa dia mampu untuk berdiri sendiri tanpa Allah.
4.
Peristiwa
kejatuhan Adam dan Hawa dalam dosa telah membuat semua manusia berada di
bawah [................].
5.
Roma
1:18-32 menceritakan bahwa manusia yang telah jatuh dalam dosa, menolak
untuk mengakui [ .............] dalam semua aspek ciptaan.
6.
Oleh
anugerah umum, Allah telah menahan akibat dosa dan pencemaran sehingga
orang yang tidak percaya tetap dapat berpikir dan bertindak atau bereaksi
sesuai dengan keberadaan mereka sebagai [.............] walaupun mereka
tidak mengakui Allah sebagai Pencipta.
7.
Selama
manusia terus menerus berpaling daripada Allah, maka manusia tidak akan
mampu untuk tiba pada [.............] yang benar akan diri mereka sendiri,
dunia, dan Allah.
8.
Saksi
Yehova adalah contoh dari salah satu kebenaran yang hanya ditunjukkan dari
permukaannya saja. Mereka bisa berkata bahwa "Yesus adalah
Tuhan", tapi pendapat mereka yang sebenarnya adalah [...............].
9.
Akar
dari setiap ide dan pernyataan yang dikemukakan oleh orang yang tidak
percaya adalah berdasarkan pada [........... ] bahwa "saya tidak
bergantung pada Allah".
10.
Pernyataan-pernyataan
orang tidak percaya dinyatakan tidak benar karena struktur pemikiran mereka
tidak memimpin orang pada [...............] kepada Allah.
PERTANYAAN
(B):
1.
Apa
hubungan perbuatan dosa Adam dengan kita (manusia) sekarang? Apakah manusia
sekarang masih bisa berbuat baik di hadapan manusia? Mengapa?
2.
Bagaimana
cara menyadarkan orang ateis bahwa Allah ada dan mereka tidak mungkin hidup
terlepas dari Allah?
Kirimkan
kembali tugas ini dalam bentuk plain text (e-mail biasa) dan BUKAN DALAM
BENTUK ATTACHMENT ke:
==> <
staf-pesta(at)sabda.org >
PESTA=========Pendidikan Elektronik Studi Teologia
Awam==========PESTA
PESTA //
PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA
Nama
Kursus
|
:
|
APOLOGETIKA
UNTUK AWAM I (AUA I)
|
Nama
Pelajaran
|
:
|
Karakter
Manusia yang Berdosa
|
Kode
Referensi
|
:
|
AUA
I-R04a
|
Referensi
AUA I-R04a diambil dari:
Judul
buku
|
:
|
Teologi
Sistematika 2: Doktrin Manusia
|
Judul
artikel
|
:
|
Natur Dosa
yang Pertama atau Kejatuhan Manusia
|
Penulis
|
:
|
Louis
Berkhof
|
Penerbit
|
:
|
Lembaga
Reformed Injili Indonesia, 1994
|
Halaman
|
:
|
87 --
89
|
Natur
Dosa yang Pertama atau Kejatuhan Manusia
1.
Karakter
formalnya. Dapat dikatakan bahwa melalui suatu sudut pandang yang
sepenuhnya formal dosa manusia yang pertama terkait dengan dimakannya buah
pengetahuan yang baik dan jahat. Kita tidak tahu pohon apakah ini
sebenarnya. Mungkin saja pohon itu pohon kurma atau pohon ara, atau pohon
buah yang lain. Tidak ada satupun yang membawa bahaya dalam pohon itu.
Memakan buah itu saja per se tidaklah berdosa sebab tidak merupakan
pelanggaran terhadap hukum moral. Hal ini berarti bahwa makan buah ini
tidaklah berdosa jika seandainya Allah tidak pernah berkata: "Semua
pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon
pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kamu makan
buahnya, sebab pada hari engkau memakannya pastilah engkau akan mati."
Tidak ada pendapat yang seragam tentang mengapa pohon ini disebut sebagai
pohon pengetahuan yang baik dan jahat. Suatu pandangan yang agak umum
adalah bahwa pohon itu disebut demikian sebab siapa yang memakan buahnya
akan memperoleh pengetahuan praktis tentang yang baik dan jahat; akan
tetapi agaknya tidaklah sesuai benar dengan Alkitab bahwa manusia dengan
cara makan buah itu akan menjadi seperti Allah dalam mengetahui yang baik
dan jahat, sebab Allah tidak pernah melakukan kejahatan, jadi tidak pernah
memiliki pengetahuan praktis tentang kejahatan. Jauh lebih mungkin bahwa
pohon itu disebut demikian sebab dimaksudkan untuk menyatakan: (a) apakah
masa depan manusia akan baik atau jahat; dan (b) apakah manusia akan
memperkenankan Allah menentukan baginya apa yang baik dan yang jahat atau
akan menentukan sendiri bagi dirinya. Akan tetapi penjelasan apapun yang
diberikan tentang nama pohon ini, perintah yang diberikan oleh Allah agar
buah pohon itu tidak dimakan dimaksudkan untuk menguji ketaatan manusia.
Ujian ini adalah ujian ketaatan yang murni, sebab bagaimanapun Allah tidak
berusaha membenarkan atau menjelaskan larangan itu. Adam harus menunjukkan
kemauannya untuk meletakkan kehendaknya di bawah kehendak Allah dalam
seluruh ketaatan.
2.
Karakter
esensial dan materialnya. Dosa pertama manusia adalah suatu dosa tipikal,
yaitu dosa di mana esensi sesungguhnya dari dosa itu dengan jelas
menyatakan dirinya sendiri. Esensi dari dosa itu terletak pada kenyataan
bahwa Adam meletakkan dirinya dalam keadaan yang bertentangan dengan Allah,
dan ia menolak untuk meletakkan kehendaknya di bawah kehendak Allah, dan
menolak membiarkan Allah menentukan seluruh jalan hidupnya. Ia secara aktif
berusaha mengambilnya dari tangan Allah dan menentukan masa depannya
sendiri. Manusia jelas tidak mempunyai hak untuk mengklaim Allah dan manusia
hanya dapat menetapkan suatu klaim dengan cara menggenapi syarat- syarat
dalam perjanjian kerja. Tetapi manusia telah memisahkan diri dari Allah dan
bertindak seolah-olah ia memiliki hak-hak tertentu terhadap Allah.
Pengertian bahwa perintah Allah adalah suatu pemutusan hak-hak manusia
tampaknya sudah ada dalam pikiran Hawa ketika ia menjawab pertanyaan Iblis,
ia menambahkan kata-kata, "Jangan kamu makan ataupun raba buah itu
(Kej 3:3). Jelas Hawa ingin menekankan kenyataan bahwa perintah itu agak tidak
masuk akal. Bermula dari presuposisi bahwa ia memiliki hak-hak tertentu
terhadap Allah, manusia mengambil pusat yang baru, yang ditemukannya dalam
dirinya sendiri untuk bertindak menentang pencipta-Nya. Ini menjelaskan
keinginannya untuk menjadi seperti Allah dan keraguannya akan kebaikan
Tuhan dalam memberikan perintah. Tentunya berbagai elemen dapat dibedakan
dari dalam dosa pertama tersebut. Dalam intelek, dosa itu adalah
ketidakpercayaan dan kesombongan, dalam kehendak, dosa ingin seperti Allah
dan dalam perasaan, sebagai suatu kepuasan yang tidak kudus dengan memakan
buah yang terlarang.
----------------------------------------------------------------------
PESTA=========Pendidikan Elektronik Studi Teologia
Awam==========PESTA
PESTA //
PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA
Nama
Kursus
|
:
|
APOLOGETIKA
UNTUK AWAM I (AUA I)
|
Nama
Pelajaran
|
:
|
Karakter
Manusia yang Berdosa
|
Kode
Referensi
|
:
|
AUA I-R04b
|
Referensi
AUA I-R04b diambil dari:
Judul
buku
|
:
|
Manusia:
Ciptaan Menurut Gambar Allah
|
Judul
artikel
|
:
|
Karakter
Esensial Dosa
|
Penulis
|
:
|
Anthony
A. Hoekama
|
Penerbit
|
:
|
Momentum,
Surabaya 2003
|
Halaman
|
:
|
217 --
221
|
KARAKTER
ESENSIAL DOSA
Dosa
selalu berkaitan dengan Allah dan kehendak-Nya. Banyak orang menyamakan
dosa dengan ketidaksempurnaan - yaitu ketidaksempurnaan yang merupakan
aspek yang normal dari natur manusia. "Tak seorang pun yang
sempurna," "Setiap orang melakukan kesalahan," "Kamu
'kan hanya manusia," dan banyak pernyataan senada menunjukkan
pemikiran ini. Bertentangan dengan ini, kita harus menyatakan dengan tegas
bahwa, sesuai Alkitab, dosa selalu merupakan pelanggaran terhadap hukum
Allah. Meskipun ada banyak hukum di dalam Alkitab, khususnya di kelima
kitab pertama Perjanjian Lama, apa yang dimaksudkan dengan hukum di sini
adalah sekelompok kecil perintah yang kita akui meringkaskan apa yang Allah
inginkan dari manusia, yaitu Sepuluh Perintah.
Meskipun
hukum ini Allah berikan kepada bangsa Israel di Gunung Sinai, hukum ini
tidak berisi standar moral yang benar-benar asing bagi manusia. Lewis
Smedes menyatakannya demikian:
Apa
yang Musa bawa dari Sinai mendukung satu moralitas yang umum bagi umat
manusia, yang ditegaskan oleh hati nurani setiap kali ia dilanggar dalam
praktik. Orang-orang yang hanya tahu sedikit dan tidak terlalu memedulikan
apa yang Alkitab katakan, tetap mengetahui apa yang sebenarnya Alkitab
inginkan dalam kehidupan moral, meski hal itu bertentangan dengan diri
mereka sendiri. Paulus menganggap bahwa, sejauh menyangkut moralitas,
orang-orang yang tidak pernah mendengar tentang perintah Allah, dengan cara
tertentu mengenal kehendak-Nya.[5]
Untuk
membuktikan pernyataan terakhir ini, Smedes meneruskan dengan mengutip Roma
2:14-16:
Apabila
bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri
sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka, walaupun mereka
tidak memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka
sendiri. Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada
tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan
pikiran mereka saling menuduh atau saling membela. Hal itu akan nampak pada
hari, bilamana Allah, sesuai dengan Injil yang kuberitakan, akan menghakimi
segala sesuatu yang tersembunyi dalam hati manusia, oleh Kristus Yesus.
Tetapi,
apa yang "tertulis di dalam hati" orang-orang yang tidak pernah
membaca Alkitab, secara khusus dijabarkan dalam Sepuluh Perintah yang
terdapat di Keluaran 20 dan Ulangan 5. Dari Alkitab yang sama orang percaya
tahu bahwa melanggar perintah Allah merupakan dosa. Dengan kata lain,
seperti dinyatakan Katekismus Heidelberg, orang Kristen belajar mengetahui
dosa mereka dari hukum Allah.[6] Ayat-ayat Alkitab berikut ini
menegaskannya: "Oleh hukum Taurat orang mengenal dosa" (Rm.
3:20b); "Oleh hukum Taurat aku telah mengenal dosa. Karena aku juga
tidak tahu apa itu keinginan, kalau hukum Taurat tidak mengatakan: 'Jangan
mengingini"' (Rm. 7:7b); "Jikalau kamu memandang muka, kamu
berbuat dosa, dan oleh hukum itu menjadi nyata, bahwa kamu melakukan
pelanggaran" (Yak. 2:9); "Setiap orang yang berbuat dosa,
melanggar juga hukum Allah, sebab dosa ialah pelanggaran hukum Allah"
(1 Yoh. 3:4).
Mazmur
51:6 menyatakan bahwa semua dosa, bahkan dosa terhadap sesama, juga
merupakan dosa terhadap Allah. Daud telah begitu luar biasa berdosa
terhadap Batsyeba dan Uria; akan tetapi ketika ia akhirnya mengakui
dosanya, ia berkata kepada Allah, "Terhadap Engkau, terhadap Engkau
sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kauanggap jahat."
Daud tidak bermaksud mengatakan bahwa ia tidak berdosa terhadap orang lain,
tetapi di dalam kedalaman pertobatannya, ia tiba pada suatu keyakinan bahwa
semua dosa pada akhirnya merupakan dosa terhadap Allah. Dosa orang tua
pertama kita merupakan ketidaktaatan pada perintah Allah, dan setiap dosa
yang terjadi setelah itu bisa dilihat sebagai hal yang sama.
Jadi,
secara mendasar, dosa merupakan perlawanan terhadap Allah, pemberontakan
terhadap Allah yang berakar pada kebencian terhadap Allah. Mengutip kembali
Katekismus Heidelberg, "Aku memiliki kecenderungan alamiah untuk
membenci Allah dan sesamaku."[7] Sebagai bukti, Katekismus ini mengacu
pada Roma 8:7, "Keinginan daging [keinginan manusia secara alamiah]
adalah perseteruan terhadap Allah, karena ia tidak takluk kepada hukum
Allah, hal ini memang tidak mungkin baginya."
Tetapi,
sebelum kita meninggalkan poin ini, ada hal lain yang perlu dikatakan. Agar
bisa terpahami sepenuhnya, dosa harus dilihat bukan hanya dalam terang
hukum tetapi juga dalam terang Injil. Injil - kabar baik tentang apa yang
telah Kristus perbuat untuk menyelamatkan kita dari dosa - merupakan hal
yang niscaya justru karena kita telah melanggar hukum Allah. Saat kita
melihat apa yang harus Kristus alami untuk menyelamatkan kita dari dosa,
atau melihat ke Kalvari dan mendengar seruan Kristus yang menyayat hati,
"Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?" (Mat.
27:46), kita melihat betapa menakutkannya dosa itu. Pernyataan murka Allah
terhadap dosa yang ditunjukkan di salib Kristus, yang telah dijadikan dosa
demi kita (2Kor. 5:21), menyatakan beratnya kesalahan kita yang tak terukur
ini. Ketika menanggapi pertanyaan, "Mengapa Allah tidak bisa
serta-merta menghapus dosa manusia tanpa menuntut korban pendamaian?"
Anselmus berkata, "Anda belum memikirkan betapa berat beban dosa
itu."[8] Tetapi, Injil tak hanya menunjukkan kebusukan dosa kita;
Injil juga memproklamirkan cara kita bisa dilepaskan dari dosa, dan oleh karena
itu menyerukan agar kita bertobat.
Dosa
bersumber dalam apa yang Alkitab sebut sebagai "hati. "
Augustinus sering berkata bahwa dosa bersumber dalam kehendak manusia:
"Jika kehendak itu sendiri bukanlah sebab pertama dosa, maka sama
sekali tak ada sebab pertama."[9] Tetapi, apa yang lazim kita sebut
sebagai "kehendak" hanyalah nama lain bagi totalitas pribadi yang
membuat keputusan. Kita tak pernah memakai kehendak yang
"terisolasi"; apa yang kita sebut berkehendak selalu melibatkan
aspek-aspek lain seperti intelek dan emosi, Di balik kehendak ada pribadi
yang menghendaki.
Jadi,
dengan memakai bahasa alkitabiah, saya memilih untuk berkata bahwa dosa
bersumber di dalam hati. Saya di sini memakai konsep hati sebagaimana
dipakai di dalam Alkitab: untuk menunjuk inti batiniah dari satu pribadi;
"organ" untuk berpikir, merasa dan menghendaki; titik pusat dari
semua fungsi kita.[10] Dengan kata lain, dosa bukan bersumber di dalam
tubuh atau di dalam salah satu kapasitas manusia yang mana pun, melainkan
bersumber di dalam pusat keberadaannya, yaitu hatinya. Karena dosa telah
meracuni sumber kehidupan itu sendiri, seluruh kehidupan sudah pasti
terpengaruh olehnya.
Dukungan
alkitabiah untuk poin ini bisa ditemukan dalam ayat-ayat berikut:
"Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah
terpancar kehidupan" (Ams. 4:23); "Betapa liciknya hati, lebih
licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat
mengetahuinya?" (Yer. 17:9); "Karena dari hati timbul segala
pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu
dan hujat" (Mat. 15:19); "Orang yang jahat mengeluarkan barang
yang jahat dari perbendaharaannya yang jahat. Karena yang diucapkan
mulutnya, meluap dari hatinya" (Luk. 6:45b).
Dosa
mencakup pikiran sekaligus tindakan. Menurut hukum manusia, perbuatan salah
hanya berkenaan dengan apa yang seorang lakukan atau tidak lakukan, bukan
dengan apa yang seorang pikirkan; tak seorang pun dipenjarakan karena
pikiran yang keliru (kecuali pikiran itu telah diungkapkan). Tetapi hukum
Allah menjangkau jauh lebih dalam. Bahwa pikiran bisa berdosa sebagaimana
ucapan dan perbuatan, terlihat jelas dari hukum kesepuluh yang melarang
sikap mengingini. Yesus dengan jelas mengajarkan bahwa sekalipun pikiran
untuk berzinah belum diwujudkan, itu tetap merupakan dosa: "Tetapi Aku
berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta
menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya" (Mat.
5:28). Dalam Galatia 5:16, 17 dan 24, Paulus juga berbicara tentang
"keinginan daging." Daging di sini berarti keseluruhan natur
manusia di bawah perbudakan dosa; NIV menerjemahkan epithumian sarkos di
ayat 16 sebagai "desires of the sinful nature" ("hasrat dari
natur berdosa"). Jelas dalam ayat-ayat ini, kata Yunani epithumia
(hasrat) berarti hasrat yang tidak baik, hasrat akan hal-hal terlarang.
Jadi, terjemahan KJV, "lust of the flesh," mungkin lebih akurat
dan juga lebih jelas daripada terjemahan RSV, "desires of the
flesh." Ketika Paulus berkata, "Keinginan Roh berlawanan dengan
keinginan daging" (ay. 17), ia menekankan fakta bahwa selain perbuatan
berdosa, terdapat pula keinginan yang berdosa.
Catatan
Kaki:
[5]
Mere Morality (Grand Rapids: Eerdmans, 1983), him. 10. [6] Katekismus
Heidelberg, Pertanyaan dan Jawaban 3. [7] Jawaban 5 (terj. 1975, Christian
Reformed Church). [8] Cur Deus Homo (Why God Became Man). Buku I, Bab 21:
"Nondum considerasti quanti ponderis sit peccatum." [9] De Libero
Arbitrio, 111. 17. [10] Pemahaman bahwa "hati" adalah titik pusat
dari seluruh fungsi temporal kita telah dikembangkan belakangan ini
khususnya oleh D.H. Th. Vollenhoven (Het Calvinisme en de Reformatie van de
Wijsbegeerte [Amsterdam: H. J. Paris, 19331) dan Herman Dooyeweerd (De
Wijsbegeerte der Wetsidee, 3 vol. [Amsterdam: H.J. Paris, 1935]). Ringkasan
dari pandangan mereka terdapat di dalam tulisan KL Popma, "Het
Uitgangspunt van de Wijsbegeerte der Wetsidee en het Calvinisme," di
dalam De Reformatie van het Calvinistisch Denken, ed. C.P. Boodt (The
Hague: Guido de Bres, 1939). Lihat juga pembahasan mengenai ungkapan
Alkitab untuk "hati" dalam bab 11 buku ini.
----------------------------------------------------------------------
PESTA=========Pendidikan Elektronik Studi Teologia
Awam==========PESTA
PESTA //
PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA
Nama
Kursus
|
:
|
APOLOGETIKA
UNTUK AWAM I (AUA I)
|
Nama
Pelajaran
|
:
|
Karakter
Manusia yang Berdosa
|
Kode
Referensi
|
:
|
AUA
I-R04c
|
Referensi
AUA I-R04c diambil dari:
Penerjemah:
Dr. Charles W. Cole
Judul
buku
|
:
|
Pengakuan
Baptis 1689
|
Judul
artikel
|
:
|
Perjanjian
Allah
|
Penerbit
|
:
|
Carey
Publication, 1996
|
Halaman
|
:
|
16 --
17
|
PERJANJIAN
ALLAH
1.
Jarak
antara Allah dan manusia ciptaan-Nya demikian jauh sehingga walaupun
manusia berakal dan layak menaati Allah sebagai Pencipta, mustahil manusia
memperoleh pahala kehidupan dari Allah. Karena itu secara sukarela Allah
berkenan merendahkan diri menjadi sarana agar manusia mendapat hidup, yaitu
dengan membuat suatu perjanjian.[1]
[1] Ayb 35:7, 8; Luk 17:10
2.
Lagi
pula karena kejatuhan manusia ke dalam dosa menjadikan dirinya di bawah
kutukan hukum Allah, Allah berkenan membuat perjanjian kasih karunia.[1]
Dengan perjanjian itu Allah menawarkan dengan sukarela kehidupan dan keselamatan
oleh Yesus Kristus kepada orang berdosa.[2] Di samping itu Allah
mengharuskan orang berdosa beriman kepada-Nya, supaya mereka dapat
diselamatkan. Ia juga berjanji memberikan Roh Kudus kepada semua yang
dipilih bagi hidup kekal supaya mereka dijadikan bersedia dan mampu
percaya.[3]
[1] Kej 2:17; Gal 3:10; Rm 3:20, 21
[2] Rm 8:3; Mrk 16:15, 16; Yoh 3:16
[3] Yeh 36:26, 27; Yoh 6:44, 45; Mzm 110:3
3.
Perjanjian
Allah diwahyukan di dalam Injil. Pertama-tama diwahyukan kepada Adam dalam
janji keselamatan oleh benih perempuan, kemudian tahap demi tahap
dinyatakan selengkapnya dalam Perjanjian Baru.[1] Keselamatan orang
terpilih berdasar perjanjian penebusan abadi antara Bapa dan Putra.[2]
Hanya melalui kasih karunia yang disampaikan demi perjanjian itu keturunan
Adam yang telah diselamatkan diberikan hidup yang diberkati.[3] Manusia
sama sekali tidak dapat diterima Allah atas dasar pemberkatan Adam dalam
keadaan sebelum kejatuhannya ke dalam dosa.
[1] Kej 3:15; Ibr 1:1
[2] 2Tim 1:9; Tit 1:2
[3] Ibr 11:6, 13; Rm 4:1-5, 2; Kis 4:12; Yoh 8:56
----------------------------------------------------------------------
PESTA=========Pendidikan Elektronik Studi Teologia
Awam==========PESTA
PESTA //
PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA
Nama
Kursus
|
:
|
APOLOGETIKA
UNTUK AWAM I (AUA I)
|
Nama
Pelajaran
|
:
|
Karakter
Manusia Setelah Ditebus Kristus
|
Kode
Pelajaran
|
:
|
AUA
I-P05
|
Pelajaran 05 -
KARAKTER MANUSIA SETELAH DITEBUS KRISTUS
Daftar
Isi
A.
Kebalikan
dari Kejatuhan
B.
Pembaharuan
Melalui Kelahiran Baru
C.
Orang
Percaya dan Dosa yang Masih Tertinggal
Doa
KARAKTER MANUSIA
SETELAH DITEBUS KRISTUS
"Jadi
siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah
berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang." (2 Kor. 5:17)
Kalau
bukan karena anugerah Allah, setiap orang akan tetap terkutuk dalam dosa
dan berada di bawah penghakiman murka Allah. Namun, Allah dengan
kemurahan-Nya yang besar telah mengutus Anak-Nya yang ilahi, Yesus Kristus,
untuk membayar hutang dosa dengan mati di atas kayu salib serta memulai
suatu periode kehidupan baru dalam kebangkitan- Nya. Semua orang yang
percaya kepada-Nya dilepaskan dari kutuk murka Allah dan masuk ke dalam
berkat Allah. Pengamatan kita akan manusia tidaklah lengkap apabila kita
belum memertimbangkan karakter manusia yang telah ditebus oleh Allah dalam
Kristus.
A.
Kebalikan
dari Kejatuhan
Kita dapat melihat bahwa aplikasi dari keselamatan dalam
kehidupan seseorang merupakan kebalikan dari apa yang terjadi sebagai
akibat dari kejatuhan. Inti dari kejatuhan Hawa adalah kehendak untuk
mandiri dan lepas dari Allah dengan cara menolak secara sukarela untuk
menundukkan diri pada firman Tuhan. Hawa menolak fakta perbedaan antara
Pencipta dengan ciptaan, dengan berpikir bahwa ia dapat mengetahui
kebenaran melalui pikiran barunya sendiri yang terpisah dari Allah. Hal
sebaliknya terjadi pada kehidupan seseorang yang percaya kepada Kristus.
Dengan jelas, Paulus menyatakannya:
"Oleh karena dunia oleh hikmat Allah, tidak
mengenal Allah oleh hikmatnya, maka Allah berkenan menyelamatkan mereka
yang percaya oleh kebodohan pemberitaan Injil." (1 Kor. 1:21)
Penggunaan hikmat manusia sebagai standar kebenaran,
seperti apa yang dilakukan oleh Hawa, akan membawa kita jauh dari Allah dan
membawa kita kepada ketidakbenaran. Sebaliknya, salib adalah jalan
keselamatan yang mengakibatkan kita berpaling dari kemandirian dan pikiran
berdosa supaya kita mendapatkan pengetahuan yang benar mengenai Allah. Hawa
berpikir bahwa sebagai manusia, ia dapat berdiri sendiri dan melihat serta
menempatkan dirinya sebagai hakim yang tertinggi. Namun, saat kita percaya
dengan kesungguhan pada Kristus, kita akan menyadari bahwa ketergantungan
kita pada firman Tuhan sebagai hikmat tidak ada bandingnya karena Dialah
sumber kebenaran. Penerimaan firman Tuhan ini merupakan permulaan dari
penebusan dalam Kristus.
"Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan
pendengaran oleh firman Kristus." (Rom. 10:17)
Kebalikan dari kejatuhan tidak berhenti pada tanda
pertobatan, melainkan meliputi keseluruhan dari proses penebusan. Seseorang
yang percaya akan berita Injil, bersama dengan Paulus, meyakini bahwa:
"Sebaliknya: Allah adalah benar, dan semua manusia
pembohong." (Rom. 3:4)
Berbeda dengan manusia berdosa yang cenderung
meninggalkan pengetahuan yang benar dan menyatakan hal yang salah (sebagai
akibat dari kemandirian yang terlepas dari Allah), orang-orang percaya
memegang kepercayaan bahwa firman Allah selalu dapat dipercaya oleh karena
Allah selalu benar. Sebagaimana yang dikatakan oleh Yesaya:
"Aku, Tuhan, selalu berkata benar, selalu
memberitakan apa yang lurus." (Yes. 45:19)
Firman Allah dapat dipercaya dan orang yang percaya pada
Kristus mengakui kepercayaannya secara total pada firman Tuhan. Lepas dari
apa yang terlihat, lepas dari nasihat-nasihat orang lain, dan lepas dari
pencobaan oleh Iblis, orang percaya menegaskan bahwa:
"Tidak ada yang kudus seperti Tuhan, sebab tidak
ada yang lain kecuali Engkau dan tidak ada gunung batu seperti Allah
kita." (1 Sam. 2:2)
Sikap terhadap firman Tuhan yang merupakan kebalikan
dari apa yang terjadi pada waktu kejatuhan, diperjelas oleh perkataan
Paulus kepada orang-orang Korintus:
"Sebab aku cemburu kepada kamu dengan cemburu
Ilahi. Karena aku telah mempertunangkan kamu kepada satu laki-laki untuk
membawa kamu sebagai perawan suci kepada Kristus. Tetapi aku takut,
kalau-kalau pikiran kami disesatkan dari kesetiaan kamu yang sejati kepada
Kristus, sama seperti Hawa diperdayakan oleh ular itu dengan
kelicikannya." (2 Kor. 11:2-3)
Pada ayat-ayat ini, Paulus memeringatkan orang-orang di
Korintus untuk tidak berpaling dari khotbahnya mengenai firman Tuhan,
mereka harus setia hanya kepada Kristus semata. Paulus memeringatkan mereka
karena ia takut dan kuatir mereka akan jatuh dalam tipu muslihat yang sama
yang telah digunakan oleh si ular saat mencobai Hawa. Paulus takut mereka
akan berpaling dari "kesederhanaan dan ketulusan penyembahan kepada
Kristus" (2 Kor. 11:3).
Sebelum jatuh dalam dosa, Hawa hanya mendengarkan firman
Allah dengan penyembahan yang hanya tertuju pada Allah. Saat jatuh, ia
telah berpaling dari firman Allah. Sebagai orang Kristen, kita secara
terus-menerus menerima firman Kristus dengan penyembahan yang tanpa
berprasangka. Kita harus melakukan kebalikan dari apa yang Hawa lakukan
saat ia berdosa. Ditebus oleh Kristus berarti mengalami kebalikan dari apa
yang terjadi pada waktu kejatuhan.
B.
Pembaharuan
Melalui Kelahiran Baru
Saat kita berpikir tentang keselamatan dalam Kristus,
biasanya kita hanya memikirkan tentang akibat dari percaya pada-Nya, yaitu
menerima kehidupan yang kekal. Hal ini penting, namun untuk lebih tepatnya,
saat ini kita perlu memfokuskan dengan lebih teliti pada kepentingan
kebalikan dari kejatuhan dan akibatnya pada karakter manusia dalam hal
pengetahuan dan moralitas.
Tuhan Yesus mengatakan kepada Nikodemus persyaratan
untuk memasuki kerajaan Allah dengan berkata:
"Kamu harus dilahirkan kembali." (Yoh. 3:7)
Kelahiran baru harus terjadi pada diri orang yang tidak percaya.
Sebagaimana ia telah lahir di dalam Adam, demikian pula ia telah jatuh
dalam belenggu dosa, sebagai suatu permulaan. Karena itu, ia harus
mengalami kelahiran baru. Paulus menyatakan:
"Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah
ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah
datang." (2 Kor. 5:17)
Saat kita diselamatkan dari dosa-dosa kita, kita tidak
hanya dilahirkan baru secara pribadi; namun kita memasuki suatu ruang
lingkup keberadaan yang baru (ciptaan yang baru). Oleh karena itu, seluruh
kehidupan orang percaya adalah untuk mengalami perubahan yang berawal dari
kelahiran baru.
Paulus menggunakan istilah "ciptaan yang baru"
dalam pengertian suatu perintah karena hal ini menunjuk pada hubungan
penebusan dengan asal mula keadaan ciptaan sebelum kejatuhan. Saat dunia
dan manusia diciptakan, mereka belum dicemari oleh dosa. Namun, sebagai
akibat dari manusia yang memilih untuk berdiri sendiri terlepas dari Allah,
maka seluruh ciptaan telah jatuh dalam kutuk dosa. Pekerjaan penebusan dari
Kristus dapat dikatakan merupakan pembaharuan manusia untuk dapat kembali
kepada posisi mereka yang semula, yaitu pada waktu pertama diciptakan oleh
Allah.
"... yang telah diciptakan menurut kehendak Allah
di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya." (Ef. 4:24)
"dan telah mengenakan manusia baru yang
terus-menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut
gambar Khaliknya." (Kol. 3:10)
Orang-orang percaya dalam Kristus diperbaharui menurut
sifat mereka yang semula sebagai manusia yang diciptakan menurut gambar dan
rupa Allah. Mereka diberikan kebenaran, kesucian, dan pengetahuan yang
benar, di mana semua itu hilang pada waktu kejatuhan dalam dosa. Perhatian
khusus harus diberikan pada fakta bahwa pembaharuan melalui kelahiran baru
tidak hanya meliputi sebagian dari manusia, melainkan meliputi keseluruhan
karakternya, bahkan proses berpikirnya.
"Kami mematahkan setiap siasat orang dan merubuhkan
setiap kubu yang dibangun oleh keangkuhan manusia untuk menentang
pengenalan dan menaklukkannya kepada Kristus." (2 Kor. 10:5)
Orang-orang Kristen pada kenyataannya diperbaharui
sampai pada tahap di mana setiap aspek pribadi mereka berada pada
keberadaan asal sebelum kejatuhan dalam dosa. Kita tidak diselamatkan untuk
sekadar berada dalam keadaan yang manis dan menyenangkan. Namun, kita
diperbaharui sebagai ciptaan baru dan dikembalikan kepada asal mula
keberadaan kita sebagai gambar Allah melalui kelahiran baru. Sebagai gambar
Allah yang telah dipulihkan, manusia yang telah ditebus rindu untuk
melakukan apa yang adil sesuai wahyu Allah bagi semua ciptaan dan firman
Tuhan. Ia menyadari bahwa tidaklah cukup hanya mengetahui bahwa hujan
merupakan kondensasi dari air yang menguap. Ia akan bertanya apakah hujan
dan bagaimana ia menyatakan karakter dan kehendak Allah. Apabila tidak ada
dosa, hal ini tidak akan menjadi masalah. Manusia cukup hanya mengamati
dunia dan mengenal Allah melaluinya. Namun, oleh karena dosa, "maka
diperlukan Penolong yang lebih baik untuk memimpin kita pada Pencipta alam
semesta ini secara langsung".
Penolong yang lebih baik adalah firman Tuhan dan Roh
Kudus. Orang Kristen berkewajiban mendedikasikan diri untuk menyelidiki
firman Tuhan oleh karena Roh Kudus yang ada di dalam kita akan memimpin
kita kepada pengetahuan akan keselamatan. Roh Kudus juga akan memimpin kita
kepada kebenaran pengetahuan tentang ciptaan menurut apa yang diwahyukan
oleh Allah dan kehendak-Nya atas manusia. Ini tidak berarti bahwa Alkitab
menjadi suatu buku pedoman dari ilmu pengetahuan alam. Dengan kata lain,
tidak betul bahwa orang Kristen tidak perlu lagi melihat pada dunia dan
cukup hanya dengan membaca Alkitab untuk menemukan kebenaran ilmiah.
Firman Tuhan memberikan prinsip-prinsip dasar secara umum
di mana semua penyelidikan akan dunia ini harus berdasarkan atasnya.
Misalnya, pengetahuan yang sejati mengenai hujan menyatakan kepada kita
akan kemurahan Allah dan bagaimana Allah mengharapkan kita untuk
memperlakukan musuh kita dengan kebaikan (Mat. 5:45), dan seterusnya. Tentu
saja penyelidikan secara ilmiah dari sifat hujan akan secara intensif
menjelaskan pengertian orang Kristen akan hal-hal ini. Namun, pengetahuan
yang benar tentang hujan ditemukan berdasarkan penyelidikan yang didasarkan
pada firman Tuhan dan dipimpin oleh firman Tuhan.
Sebagai ciptaan yang telah diperbaharui, orang Kristen
rindu untuk memertahankan fakta perbedaan Pencipta dengan ciptaan dalam hal
pengetahuan dan moralitas sehingga orang Kristen dapat memberikan perlakuan
yang tepat pada wahyu Allah.
C.
Orang
Percaya dan Dosa yang Masih Tertinggal
Kehidupan orang Kristen bukannya tanpa kesalahan.
Meskipun ia telah diperbaharui kembali kepada kondisi asalnya seperti
sebelum kejatuhan, pembaharuan ini tidaklah sempurna sampai kedatangan
Tuhan Yesus yang kedua kalinya. Orang Kristen berkecimpung dalam peperangan
yang dahsyat antara kebenaran dan dosa. Paulus menjelaskan konflik ini
sebagai berikut:
"Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan
Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging karena keduanya
bertentangan sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu
kehendaki." (Gal. 5:17)
Roh Kudus yang tinggal di antara orang-orang percaya,
berada dalam peperangan dengan pikiran kedagingan manusia. Sebagai akibatnya,
ada dua prinsip yang bekerja dalam diri orang percaya, yang satu kepada
ketaatan dan yang lain pada ketidaktaatan. Walaupun orang Kristen berusaha
untuk bergantung pada Allah dengan memerhatikan wahyu-Nya untuk mendapatkan
kebenaran pengetahuan dan moralitas, namun ia mungkin kadang akan gagal
dalam melaksanakan keinginannya secara terus-menerus. Pada waktu tertentu,
orang Kristen dapat kembali kepada dosa yang terjadi pada waktu kejatuhan
dengan memberontak atau mengabaikan fakta perbedaan Pencipta dengan
ciptaan.
Penurunan ini dengan sendirinya memerlihatkan penolakan
pengakuan atas wahyu Allah dalam semua aspek kehidupan, termasuk ketaatan
akan firman Tuhan. Sebagaimana orang tidak percaya tidak dapat terlepas
sepenuhnya dari kualitas penciptaan sebagai manusia yang diciptakan menurut
gambar Allah, demikian pula orang Kristen tidak dapat terlepas sepenuhnya
dari dosa yang masih tertinggal dalam hidupnya. Ia tidak selalu konsisten
dengan prinsipnya akan ketergantungan secara total kepada Allah. Dan karenanya,
ia tetap dapat melakukan kesalahan dalam pikiran dan tindakannya.
Dengan alasan ini, maka orang Kristen secara
berulang-ulang didorong untuk menghindari dan menolak dosa. Paulus berkata:
"... bahwa kamu telah mati bagi dosa, tetapi kamu
hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus. Sebab itu hendaklah dosa jangan
berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana, supaya kamu jangan lagi menuruti
keinginannya." (Rom. 6:11-12)
Dan dalam bentuk pernyataan yang positif, ia berkata:
"Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini,
tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu." (Rom. 12:2)
Ketergantungan kita pada Allah untuk pengetahuan dan
moralitas tidak datang secara otomatis dalam hidup orang Kristen. Hal ini
harus disertai dengan usaha yang serius, di mana kita sungguh berusaha
untuk mendapatkan "penyucian di mana tanpanya, tidak ada seorang pun
akan dapat melihat Allah" (Ibr. 12:14). Ini merupakan tugas yang
panjang dan sulit, namun kita harus terus-menerus berusaha apabila kita
ingin mengenal Allah dan kehendak-Nya. Saat kita berpikir bahwa kemampuan
orang Kristen untuk mengetahui kebenaran disebabkan oleh kelahiran baru dan
berpaling dari kejatuhan, kita juga harus ingat bahwa dosa masih
memengaruhi kehidupan orang Kristen.
Karakter manusia yang telah ditebus oleh Kristus
merupakan pengertian yang mendasar bagi apologetika alkitabiah. Pekerjaan
Kristus di atas kayu salib dan dalam kebangkitan-Nya, telah memerbaharui
pengetahuan yang sejati dan kebenaran bagi orang yang percaya kepada-Nya.
Meskipun dosa masih ada, namun orang yang telah ditebus oleh Kristus dapat
bergantung kepada Allah untuk pengetahuan dan moralitasnya.
-------------------Akhir
Pelajaran (AUA I-P05)----
Doa
Ya,
Tuhan, kami bersyukur karena Engkau terus-menerus memerbaharui roh, jiwa,
seluruh karakter, serta proses berpikir kami dari hari ke hari. Engkau
kembali memberikan kebenaran, kesucian, dan pengetahuan-Mu itu kepada kami.
Oleh sebab itu, biarlah kami, sebagai orang percaya, terus terdorong untuk
menghindari dan menolak dosa sambil meyakini bahwa kami telah mati bagi
dosa dan hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus. Tuhan, tolong kami agar dosa
jangan berkuasa lagi di dalam tubuh kami yang fana ini dan agar kami tidak
lagi menuruti keinginannya. Amin.
(Catatan:
Pertanyaan tertulis ada di bagian terpisah)
PESTA=========Pendidikan
Elektronik Studi Teologia Awam==========PESTA
PESTA //
PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA
Nama
Kursus
|
:
|
APOLOGETIKA
UNTUK AWAM I (AUA I)
|
Nama
Pelajaran
|
:
|
Karakter
Manusia Setelah Ditebus Kristus
|
Kode
Pelajaran
|
:
|
AUA
I-P05
|
Pelajaran 05 -
KARAKTER MANUSIA SETELAH DITEBUS OLEH KRISTUS
*Instruksi*
Harap
setiap peserta mengikuti petunjuk mengerjakan tugas sbb.:
1.
Bacalah
Bahan Pelajaran dan semua Referensi Pelajaran 05 dengan teliti.
2.
Bacalah
Pertanyaan (A) dan (B) di bawah ini, kemudian jawablah dengan benar dan
lengkap.
3.
Apabila
Anda mendapatkan kesulitan sehubungan dengan isi Bahan Pelajaran, silakan
menghubungi Pembimbing di:
< yulia(at)in-christ.net >
Selamat
mengerjakan!
Perhatian:
Setelah
Anda menjawab tugas tertulis ini, mohon kirim kembali tugas ini dalam
bentuk plain text (e-mail biasa) dan BUKAN DALAM BENTUK ATTACHMENT ke:
==> <
staf-pesta(at)sabda.org >
PERTANYAAN
(A):
1.
Inti
dari kejatuhan Hawa adalah keinginan untuk mandiri dan lepas dari
[.............] pada Allah dan menolak untuk secara sukarela menundukkan diri
pada Firman Tuhan.
2.
Permulaan
dari penebusan dalam Kristus adalah pada saat kita [.............] dengan
kesungguhan pada Kristus dan menyadari ketergantungan kita kepada Firman
Tuhan sebagai hikmat yang benar.
3.
Pertobatan
hanyalah salah satu tanda dari keseluruhan proses [.............]
4.
Sebagai
orang Kristen, kita diminta secara terus-menerus menerima kebenaran
[..............] dengan penyembahan yang tanpa berprasangka.
5.
Kita
diperbaharui sebagai ciptaan baru dan dikembalikan kepada asal mula
keberadaan kita sebagai gambar Allah melalui [..........].
6.
Manusia
yang telah mengalami kelahiran baru diberikan [............],
[..............] dan [...............] yang benar, di mana semua itu hilang
pada waktu kejatuhan dalam dosa.
7.
Manusia
baru dalam Kristus membutuhkan Penolong untuk dapat dipimpin kepada
Pencipta alam semesta secara langsung. Penolong itu adalah
[...............] dan [................].
8.
Namun
demikian, meskipun manusia telah diperbaharui kembali kepada kondisi
asalnya seperti sebelum kejatuhan, pembaharuan ini tidaklah sempurna sampai
[................].
9.
Karena
orang Kristen belum saat ini sepenuhnya dapat terlepas dari pengaruh dosa,
maka [...............] yang tinggal di dalam hati akan menolongnya
berperang melawan kuasa kedagingan.
10.
Ketergantungan
orang percaya pada Allah untuk pengetahuan dan moralitas tidak datang
secara [...............] bagi orang Kristen, tetapi harus disertai dengan
usaha yang serius untuk mendapatkan penyucian.
PERTANYAAN
(B):
1.
Apa
maksud dari pengertian bahwa kelahiran baru dapat menghasilkan kebalikan
dari posisi/status manusia setelah jatuh ke dalam dosa?
2.
Mengapa
orang-orang Kristen yang sudah lahir baru hidupnya sering masih dipenuhi
dengan pergumulan melawan kedagingan?
Kirimkan
kembali tugas ini dalam bentuk plain text (e-mail biasa) dan BUKAN DALAM
BENTUK ATTACHMENT ke:
==> <
staf-pesta(at)sabda.org >
PESTA=========Pendidikan Elektronik Studi Teologia
Awam==========PESTA
PESTA //
PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA
Nama
Kursus
|
:
|
APOLOGETIKA
UNTUK AWAM I (AUA I)
|
Nama
Pelajaran
|
:
|
Karakter
Manusia Setelah Ditebus Kristus
|
Kode
Referensi
|
:
|
AUA
I-R05a
|
Referensi
AUA I-R05a diambil dari:
Judul
buku
|
:
|
Diselamatkan
Oleh Anugerah
|
Judul
artikel
|
:
|
Regenerasi
|
Pengarang
|
:
|
Anthony
A. Hoekhema
|
Penerbit
|
:
|
Momentum,
Jakarta, 2001
|
Halaman
|
:
|
133 --
147
|
REGENERASI
1.
Tiga
Pengertian Regenerasi. Alkitab membicarakan regenerasi dalam tiga
pengertian yang berbeda tetapi berkaitan: (1) sebagai permulaan kehidupan
rohani yang baru, yang ditanamkan di dalam diri kita oleh Roh Kudus,
memampukan kita untuk bertobat dan percaya (Yoh. 3:3,5); (2) sebagai
manifestasi pertama dari hidup baru yang telah ditanamkan (Yak. 1:18; 1
Pet. 1:23); dan (3) sebagai pemulihan keseluruhan ciptaan dalam
kesempurnaannya yang final (Mat. 19:28).
Dalam pengertian lebih sempit, regenerasi dapat
didefinisikan sebagai karya Roh Kudus yang dengannya Roh Kudus mula-mula
membawa orang-orang ke dalam kesatuan yang hidup dengan Kristus, mengubah
hati mereka sehingga mereka yang dulunya mati secara rohani menjadi hidup
secara rohani, dan sekarang berkemampuan dan berkehendak untuk bertobat
dari dosa, mempercayai Injil dan melayani Tuhan.
2.
Ajaran
Alkitab Mengenai Regenerasi
(1). Menurut Perjanjian Lama. Di dalam Perjanjian Lama
kita sudah mendapatkan pengajaran bahwa hanya Allah yang menyebabkan
perubahan radikal yang diperlukan untuk memampukan manusia yang telah jatuh
ke dalam dosa untuk dapat kembali melakukan hal yang benar menurut
pandangan-Nya. Di Ulangan 30:6, kita menemukan bahwa pembaharuan rohani
kita dideskripsikan secara figuratif sebagai sunat terhadap hati: "Dan
TUHAN, Allahmu, akan menyunat hatimu dan hati keturunanmu, sehingga engkau
mengasihi TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu,
supaya engkau hidup." Karena hati merupakan inti rohani dari satu
pribadi, maka ayat ini mengajarkan bahwa Allah harus membersihkan diri
rohani kita sebelum kita dapat benar-benar mengasihi-Nya. Apa yang kita
sebut regenerasi dideskripsikan oleh Yeremia dengan kata-kata ini:
"Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam
hati mereka; maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi
umat-Ku" (31:33). Untuk mendeskripsikan regenerasi ini Yehezkiel
menggunakan suatu gambaran yang walaupun merefleksikan cara berpikir
Perjanjian Lama, namun masih sering kita pakai sekarang: "Kamu akan
Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru di dalam batinmu dan Aku akan menjauhkan
dari tubuhmu hati yang keras dan Kuberikan kepadamu hati yang taat"
(36:26; band. 11:19). Di sini Allah, melalui Yehezkiel, menjanjikan kepada
mereka yang dibuang ke Babilonia bahwa di masa yang akan datang Dia akan
memperbaharui kerohanian mereka. (2). Menurut Perjanjian Baru. Perjanjian
Baru memberikan pengajaran yang lebih lengkap dan lebih kaya mengenai
regenerasi daripada Perjanjian Lama. Di dalam Injil- Injil Sinoptik, kata
"regenerasi" tidak dipakai dalam arti "lahir baru."
Akan tetapi ide itu tetap hadir di sana. Ketika Yesus berkata,
"Demikianlah setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik,
sedang pohon yang tidak baik menghasilkan buah yang tidak baik" (Mat.
7:17), Dia mengimplikasikan bahwa pohon itu harus dijadikan baik sebelum dapat
menghasilkan buah yang baik. Ketika Yesus menegaskan, "Setiap tanaman
yang tidak ditanam oleh Bapa-Ku yang di sorga akan dicabut dengan
akar-akarnya" (Mat. 15:13), Dia mengimplikasikan bahwa tanaman-tanaman
yang telah ditanam oleh Bapa sorgawi-Nya tidak akan dicabut.
Pernyataan-pernyataan seperti ini dengan jelas menunjukkan kebutuhan akan
regenerasi. Mungkin tidak ada bagian di dalam Perjanjian Baru yang
mengajarkan kedaulatan karya Allah di dalam regenerasi sejelas pasal ketiga
dari Injil Yohanes (3:1-8). Kita telah mempelajari bahwa pelaku ilahi dari
regenerasi adalah Roh Kudus. Bahwa kehidupan baru yang diterima berbeda
secara radikal dari kehidupan biologis biasa, dan bahwa meskipun regenerasi
merupakan kejadian yang misterius, kita dapat mengetahui bahwa itu telah
terjadi dengan mengamati buahnya.
Walaupun Titus 3:5 merupakan satu-satunya bagian di mana
Paulus mempergunakan kata "regenerasi", tetapi kiasan mengenai
regenerasi di dalam surat-suratnya begitu sering muncul. Di Efesus 2:5
Paulus menegaskan bahwa ketika kita mati di dalam pelanggaran, Allah
menghidupkan kita bersama Kristus. Di Efesus 2:10 dan 2Korintus 5:17 Paulus
memakai suatu gambaran baru bagi regenerasi: regenerasi merupakan suatu
jenis keberadaan baru yang mencengangkan kita, sehingga ia hanya dapat
dibandingkan dengan suatu penciptaan baru: "Karena kita ini buatan
Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus"; "Jadi siapa yang ada di
dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru." Dari penyataan-pernyataan
Paulus juga kita mempelajari bahwa regenerasi merupakan buah dari karya
pemurnian dan pembaharuan yang dikerjakan oleh Roh, yang terjadi di dalam
kesatuan dengan Kristus, dan bahwa ini berarti kita sekarang menjadi bagian
dari ciptaan baru Allah yang ajaib.
Petrus juga membicarakan regenerasi di dalam suratnya
yang pertama. Dia memakai kata anagennao, yang berarti "memperanakkan
kembali" atau "menyebabkan untuk dilahirkan kembali":
"Karena [di dalam rahmat-Nya yang besar telah melahirkan kita kembali
oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati" (1 Pet. 1:3).
Kita dilahirkan kembali, melalui kebangkitan Kristus dari antara orang
mati. Kebangkitan Kristus sungguh merupakan sumber kehidupan rohani kita
yang baru; karena Allah menjadikan kita hidup bersama- sama dengan Kristus,
kehidupan baru kita merupakan suatu sharing terhadap kehidupan kebangkitan
Kristus. Petrus melihat regenerasi dalam perspektif eskatologis: awal hidup
baru kita di dalam Kristus menyibakkan pemandangan yang mulia dari warisan
kekal kita.
Di 1 Yohanes 2:29 kita melihat bahwa orang yang
mengalami regenerasi adalah orang yang terus menerus melakukan hal yang
benar: "Jikalau kamu tahu, bahwa Ia adalah benar, kamu harus tahu
juga, bahwa setiap orang, yang berbuat kebenaran, [telah] lahir dari
pada-Nya" Kata kerja yang diterjemahkan sebagai "[telah]
lahir" adalah dalam bentuk perfect tense (gegennetai), yang
mengindikasikan bahwa orang ini telah diregenerasikan di waktu lampau dan
terus-menerus menunjukkan bukti regenerasi itu di saat ini. Orang yang
telah diregenerasikan adalah orang yang kehidupan luarnya ditandainya oleh
karakteristik berikut: dia melakukan apa yang benar, tidak terus hidup di
dalam doa, mengasihi sesamanya yang percaya, percaya bahwa Yesus adalah
Kristus, dan akan terus mengalahkan dunia ini.
Sekarang kita ringkaskan apa yang telah kita dapatkan
dari penelaahan Alkitabiah mengenai regenerasi: regenerasi merupakan suatu
perubahan radikal dari kematian rohani menjadi kehidupan rohani, yang
dikerjakan oleh Roh Kudus - suatu perubahan dimana kita sepenuhnya pasif.
Perubahan ini yang mencakup suatu perubahan rohani dari natur kita,
merupakan buah dari anugerah Allah yang berdaulat, dan terjadi di dalam
kesatuan dengan Kristus.
Berdasarkan studi eksegetis, regenerasi di dalam
pengertian sebagai suatu penanaman kehidupan rohani yang baru, bukanlah
suatu karya di mana manusia bekerja bersama Allah, melainkan suatu karya di
mana hanya Allah sebagai Pelaku tunggalnya. Dengan kata lain, regenerasi
bersifat "monergistik, karya Allah sendiri, bukan "synergistik,"
sesuatu yang dicapai melalui kerja sama Allah dan manusia. Alkitab
mengajarkan bahwa regenerasi merupakan suatu karya Allah dimana manusia
hanya bersikap pasif. Dari ajaran-ajaran Alkitabiah mengenai regenerasi
ini, kita mengetahui kedaulatan mutlak Allah di dalam soteriologi:
keselamatan kita merupakan karya Allah dari awalnya. Karena itu, hanya
Allah yang layak menerima semua pujian!
3.
Natur
Esensial Dari Regenerasi
Regenerasi itu sangat misterius - pertama-tama, karena
sesuai dengan definisinya regenerasi merupakan karya Allah; kedua, karena
kita tidak pernah dapat mengamati atau merasakan regenerasi; kita hanya
dapat mengamati efek-efeknya. Memahami regenerasi dalam pengertiannya yang
lebih sempit, sebagai penanaman suatu kehidupan baru, kita tidak pernah
dapat yakin kapan regenerasi itu terjadi, kita hanya dapat mendeduksi dari
bukti-bukti tertentu dengan kepastian yang besar atau kecil (kepastian yang
lebih baru jika menyangkut diri kita sendiri, dan lebih kecil jika
menyangkut orang lain) bahwa regenerasi itu terjadi.
Tiga komentar mengenai natur esensial dari regenerasi:
(1) Regenerasi merupakan perubahan yang terjadi secara
seketika.
Regenerasi bukan suatu proses bertahap seperti
pengudusan yang progresif. Di Efesus 2:5, regenerasi dideskripsikan sebagai
menjadikan pendosa yang telah mati hidup kembali; kata kerja yang
diterjemahkan "menghidupkan kita bersama-sama Kristus,"
synezoopoiesen memakai bentuk aorist tense yang berarti tindakan yang
seketika atau sekejap. Dalam Kisah 16:14, kita membaca mengenai konversi
yang dialami Lidia: "Tuhan membuka hatinya, sehingga ia memperhatikan
apa yang dikatakan oleh Paulus." Peristiwa pembukaan hati ini jelas
mendeskripsikan regenerasi. Kata yang diterjemahakan menjadi
"membuka" (dienoixen) juga dalam bentuk aorist tense. Regenerasi
itu sendiri pastilah bersifat seketika, karena tidak ada kondisi
pertengahan di antara kehidupan dengan kematian.
(2) Regenerasi merupakan perubahan yang supranatural.
Regenerasi, penciptaan baru, pembangkitan dari kematian dan menghidupkan
adalah sedemikian jelas diajarkan oleh Alkitab, di mana Allah sendiri yang
bekerja di dalam diri kita tanpa bantuan kita. Tetapi regenerasi ini pasti
tidak terjadi hanya dengan ajaran dari luar, persuasi moral, atau dengan
suatu cara yang sedemikian rupa sehingga setelah Allah selesai berkarya
manusialah yang tetap berkuasa memutuskan apakah dirinya mau
dilahirbarukan, atau diubah, atau tidak. Sebaliknya, regenerasi secara
keseluruhan merupakan karya supranatural, karya yang paling berkuasa,
paling memberikan sukacita, karya yang ajaib, tersembunyi dan tidak
terkatakan, yang mana kuasa untuk melakukannya tidak kurang atau lebih
rendah dari kuasa untuk menciptakan atau membangkitkan dari orang mati,
seperti yang diajarkan oleh Alkitab.
(3) Regenerasi merupakan perubahan yang radikal. Karena
istilah "radikal" berasal dari kata Latin untuk "akar"
(radix), maka ini berarti regenerasi merupakan suatu perubahan pada akar
natur kita.
(a) Regenerasi berarti pemberian atau "penanaman
" kehidupan rohani yang baru . Di saat regenerasi inilah pendosa yang
mati menjadi hidup secara rohani, penolakannya terhadap Allah diubah
menjadi penerimaan, dan kebencian kepada Allah diubah menjadi kasih.
Regenerasi berarti orang yang tadinya di luar Kristus sekarang telah berada
di dalam Kristus. Karena itulah perubahan ini disebut radikal, bukan
sekedar perubahan pada kulitnya saja.
(b) Regenerasi merupakan suatu perubahan yang
mempengaruhi keseluruhan pribadi. Regenerasi merupakan suatu perubahan
total - suatu perubahan yang mecakup keseluruhan pribadi itu. Dalam istilah
yang Alkitabiah, regenerasi merupakan pemberian hati yang baru. Dan hati di
dalam Alkitab adalah inti rohani dari satu pribadi, pusat dari seluruh
aktivitas; sumber yang darinya mengalir keluar semua pengalaman mental dan
rohani, dan sebagainya. Sumber inilah yang diperbaharui di dalam
regenerasi. Akan tetapi perlu ditambahkan bahwa regenerasi bukan berarti
penyingkiran seluruh kecenderungan berdosa. Meskipun orang yang telah
diregenerasikan adalah manusia yang baru, namun dia belum sempurna.
(c) Regenerasi merupakan suatu perubahan yang terjadi di
bawah kesadaran. Hal ini jelas, pertama-tama dari cara Alkitab
mendeskripsikan kondisi natural kita. Jika kita, sebagaimana yang dikatakan
Alkitab, sesuai natur kita adalah mati di dalam dosa, cemar, tidak tunduk
terhadap hukum Allah, tidak mampu menerima hal-hal yang berasal dari Roh
Allah, maka kita tidak dapat secara sadar memutuskan untuk mengubah diri
kita menjadi kondisi yang bertentangan dengan natur kita tersebut. Kita harus
diubah pada akar keberadaan kita, dengan cara yang supranatural. Dengan
demikian perubahan ini haruslah, seperti yang dikatakan para psikolog, di
bawah radar - akan tetapi merupakan suatu yang pasti menampakkan dirinya di
dalam kehidupan sadar kita. Lebih lanjut lagi, bahwa perubahan ini terjadi
di bahwa kesadaran kita juga jelas di dalam istilah-istilah yang
dipergunakan Alkitab untuk mendeskripsikan regenerasi: "Aku akan
memberikan kepadamu hati yang baru"; "jika dia tidak dilahirkan
dari atas"; "yang lahir dari daging adalah daging, dan yang lahir
dari Roh adalah roh"; "dihidupkan bersama dengan Kristus."
Ungkapan-ungkapan seperti ini menunjukkan suatu transformasi yang begitu
radikal sehingga pasti merupakan suatu perubahan pada akar keberadaan kita
di bawah sadar. Karena itulah, di dalam regenerasi, dengan pengertian yang
lebih sempit, kita tidak aktif, melainkan pasif.
----------------------------------------------------------------------
PESTA ======Pendidikan Elektronik Studi Teologia Kaum Awam====== PESTA
PESTA //
PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA
Nama
Kursus
|
:
|
APOLOGETIKA
UNTUK AWAM I (AUA I)
|
Nama
Pelajaran
|
:
|
Karakter
Manusia Setelah Ditebus Kristus
|
Kode
Referensi
|
:
|
AUA
I-R05b
|
Referensi
AUA I-R05b diambil dari:
Judul
buku
|
:
|
Kebenaran-Kebenaran
Dasar Iman Kristen
|
Judul
artikel
|
:
|
Kelahiran
Baru
|
Pengarang
|
:
|
R.C.
Sproul
|
Penerbit
|
:
|
Seminari
Alkitab Asia Tenggara
|
Halaman
|
:
|
227 --
229
|
KELAHIRAN
BARU
Pada
waktu Jimmy Carter dipilih menjadi presiden Amerika Serikat, dia menyatakan
bahwa dirinya adalah "orang Kristen yang telah lahir baru".
Kemudian Charles Colson, orang penting di dalam pemerintahan Nixon di
Gedung Putih, menulis buku yang laku keras, dengan judul "Born
Again". Di dalamnya, dia menjelaskan secara kronologis pengalaman
pertobatannya menjadi orang Kristen. Oleh karena kedua orang terkemuka ini
telah mempopulerkan istilah dilahirkan baru, maka istilah ini telah menjadi
bagian dari pembicaraan orang-orang modern.
Untuk
menjelaskan bahwa seseorang adalah orang Kristen yang telah lahir kembali,
secara teknis ini merupakan bentuk pengulangan. Sebab tidak ada orang
Kristen yang tidak dilahirkan kembali. Orang Kristen yang belum lahir baru
merupakan istilah yang kontradiksi. Demikian pula, istilah orang non
Kristen yang dilahirkan baru merupakan suatu kontradiksi.
Tuhan
Yesus yang pertama kali menyatakan bahwa kelahiran baru secara rohani
merupakan sesuatu yang mutlak dibutuhkan untuk memasuki kerajaan Allah. Dia
menyatakan kepada Nikodemus: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika
(dalam terjemahan New King James Version "unless" =
"kecuali") seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat
Kerajaan Allah." (Yohanes 3:3) Kata kecuali di dalam pengajaran Tuhan
Yesus menandai universalitas kondisi yang dibutuhkan untuk melihat dan
memasuki kerajaan Allah. Kelahiran baru, merupakan bagian yang penting di
dalam kekristenan; tanpa hal itu, tidak mungkin seseorang dapat masuk ke
dalam Kerajaan Allah.
Regenerasi
merupakan istilah teologis yang digunakan untuk menjelaskan kelahiran baru.
Hal itu menunjuk pada suatu permulaan yang baru. Hal ini lebih dari hanya
sekedar "daun yang bersemi kembali setelah musim gugur dan musim
dingin". Hal ini menandai suatu kehidupan yang baru di dalam diri
seseorang yang secara radikal telah diperbaharui. Petrus berbicara kepada
orang percaya: "Karena kamu telah dilahirkan kembali bukan dari benih
yang fana, tetapi dari benih yang tidak fana, oleh Firman Allah, yang hidup
dan yang kekal." (1Petrus 1:23)
Regenerasi
merupakan pekerjaan Roh Kudus atas diri mereka yang secara rohani telah
mati (lihat Efesus 2:1-10). Roh Kudus menciptakan kembali hati manusia,
membangkitkannya dari kematian secara rohani kepada kehidupan secara
rohani. Orang yang mengalami regenerasi adalah ciptaan yang baru. Dimana,
pada mulanya mereka tidak memiliki posisi, kecenderungan, atau kerinduan
untuk hal-hal yang berasal dari Allah, sekarang, mereka berpaling dan memiliki
kecenderungan kepada Allah. Di dalam regenerasi, Allah menanamkan suatu
kerinduan untuk Diri-Nya sendiri di dalam hati manusia yang tadinya tidak
dimiliki oleh manusia.
Regenerasi
tidak boleh disamakan dengan pengalaman pertobatan seseorang. Sama halnya
dengan kelahiran merupakan permulaan kita, dimana kita memasuki suatu
kehidupan di luar kandungan, demikian pula dengan kelahiran baru secara
rohani merupakan titik awal dari kehidupan rohani kita. Hal ini terjadi
atas dasar inisiatif dari Allah dan merupakan suatu tindakan yang
berdaulat, langsung, terjadi secara instan. Suatu kesadaran dari pertobatan
kita dapat terjadi secara bertahap, namun kelahiran baru itu sendiri
terjadi secara instan. Tidak ada yang hanya sebagian dilahirkan baru sama
halnya dengan tidak ada seorang perempuan yang hamil sebagian.
Regenerasi
bukan merupakan buah dari iman, tetapi regenerasi mendahului iman, yaitu
sebagai kondisi yang dibutuhkan oleh seseorang untuk beriman. Kita juga
tidak berpaling pada regenerasi atau bekerja sama sebagai rekan kerja
dengan Roh Kudus untuk menghasilkan regenerasi. Kita tidak memutuskan dan
memilih untuk diregenerasikan. Allah memutuskan untuk meregenerasikan kita
sebelum kita akan pernah memilih untuk menerima Dia. Secara pasti, setelah
kita diregenerasikan oleh kedaulatan dari anugerah Allah, kita memang
memilih, bertindak, bekerja sama, dan percaya pada Kristus. Allah tidak
beriman untuk kita. Kita dibenarkan berdasarkan iman kita sendiri. Apa yang
Allah lakukan adalah membangkitkan kita ke dalam kehidupan secara rohani,
membebaskan kita dari kegelapan, keterikatan, dan dari kematian secara
rohani. Allah memungkinkan kita mempunyai iman dan aktual bagi kita. Dia
membangkitkan iman di dalam diri kita.
1.
Semua
yang benar-benar orang Kristen pasti sudah lahir baru.
2.
Semua
orang yang sudah lahir baru, pasti orang Kristen.
3.
Kelahiran
baru merupakan kondisi yang harus ada supaya orang dapat memasuki Kerajaan
Allah.
4.
Regenerasi
merupakan pekerjaan Roh Kudus yang didasarkan atas kedaulatan-Nya dan
anugerah-Nya.
5.
Regenerasi
mendahului iman. Hal ini merupakan inisiatif Allah di dalam keselamatan.
AYAT-AYAT
ALKITAB UNTUK BAHAN REFLEKSI:
1.
Ulangan
30:6
2.
Yehezkiel
36:26-27
3.
Roma
8:30
4.
Titus
3:4-7
----------------------------------------------------------------------
PESTA ======Pendidikan Elektronik Studi Teologia Kaum Awam====== PESTA
PESTA //
PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA
Nama
Kursus
|
:
|
APOLOGETIKA
UNTUK AWAM I (AUA I)
|
Nama
Pelajaran
|
:
|
Filsafat
Non-Kristen dan Kristen
|
Kode
Pelajaran
|
:
|
AUA
I-P06
|
Pelajaran 06 -
FILSAFAT NON-KRISTEN DAN KRISTEN
Daftar
Isi
A.
Struktur
Filsafat Non-Kristen dan Filsafat Kristen
1.
Struktur
Filsafat Non-Kristen
2.
Struktur
Filsafat Kristen
B.
Dilema
Orang Non-Kristen dan Jawabannya
1.
Pemikiran
Berkenaan dengan Allah
2.
Pemikiran
Mengenai Dunia di Luar Diri Manusia
3.
Pemikiran
Mengenai Manusia
C.
Mitos
dari Netralitas
Doa
FILSAFAT
NON-KRISTEN DAN KRISTEN
"Hati-hatilah
supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan
palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi menurut
Kristus." (Kol. 2:8)
Dari
pengamatan singkat akan karakter manusia, terlihat fakta adanya dua macam
kelompok manusia yang hidup di sekitar kita hari ini. Kedua kelompok ini
memegang pandangan yang berlawanan mengenai Allah, dunia, dan diri mereka
sendiri. Dua pandangan ini akan disebut filsafat Kristen, yang berakar pada
ketergantungan secara total pada Allah; dan filsafat non-Kristen, yang
berakar pada kemandirian, terlepas dari Allah. Kedua pandangan ini
memengaruhi setiap aspek kehidupan orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Dalam berapologetika, sangat penting untuk mengetahui kedua filsafat ini
dengan jelas.
A.
Struktur
Filsafat Non-Kristen dan Filsafat Kristen
1.
Struktur
Filsafat Non-Kristen
Dalam Ef. 4:17-19, Paulus menjelaskan keberadaan orang
non-Kristen untuk menyatakan bentuk filsafat yang mereka hasilkan. Mereka
berjalan: "Sama seperti orang-orang yang tidak mengenal Allah dengan
pikirannya yang sia-sia dan pengertiannya yang gelap, jauh dari hidup
persekutuan dengan Allah, karena kebodohan yang ada di dalam mereka dan
karena kedegilan hati mereka. Perasaan mereka telah tumpul, sehingga mereka
menyerahkan diri kepada hawa nafsu dan mengerjakan dengan serakah segala
macam kecemaran."
Orang non-Kristen menyangkali fakta perbedaan Pencipta
dengan ciptaan dan memalingkan diri dari Allah supaya terlepas dari Allah.
Akibatnya, mereka hidup dalam kesia-siaan. Semua usaha mereka adalah
kegelapan dan kefanaan.
Kita harus berhati-hati dalam menafsirkan perkataan
Paulus untuk mendapatkan pengertian yang tepat. Dalam pernyataan itu,
Paulus tidak melawan filsafat secara umum; ia sendiri adalah seorang ahli
filsafat. Yang ia lawan adalah filsafat yang mengadopsi kemandirian untuk
lepas dari Allah, yang akan menghasilkan kehancuran dan kematian kekal.
Mungkin kita berpikir bahwa Paulus terlalu berlebihan
dalam mengomentari soal ini, namun perkataannya yang berikut ini justru
membuktikan kesungguhannya:
"Hati-hatilah supaya jangan ada yang menawan kamu
dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan
roh-roh dunia, tetapi menurut Kristus." (Kol. 2:8)
Filsafat orang non-Kristen berdasar pada kemandirian
pikiran manusia dan kesetiaan atas "tradisi manusia" serta
"prinsip-prinsip dasar dari dunia". Tidak ada yang benar bagi
mereka selain bisa dibuktikan benar oleh pikiran manusia yang mandiri.
Untuk lebih jelasnya, Paulus menunjukkan karakter
filsafat non-Kristen yang dengan tegas menolak Kristus dan bersikeras
memertahankan kemandirian mereka. Orang-orang yang mengambil posisi netral
juga telah menolak pernyataan Kristus sebagai Tuhan atas seluruh alam
semesta. Oleh karena itu, filsafat non-Kristen dapat diumpamakan sebagai
bangunan yang atapnya mendukung fondasinya; tidak ada dasar yang kokoh di
bawahnya.
2.
Struktur
Filsafat Kristen
Filsafat Kristen menunjukkan usaha untuk menghindarkan
diri dari kesia-siaan yang berasal dari kemandirian. Seperti yang dikatakan
oleh Rasul Paulus:
"Kita tidak menerima roh dunia, tetapi roh yang
berasal dari Allah, supaya kita tahu, apa yang dikaruniakan Allah kepada
kita." (1 Kor. 2:12)
Paulus selanjutnya menyatakan sifat dari komitmen
agamawi yang merupakan dasar dari filsafat Kristen:
"Sebab dalam Dialah (Kristus) berdiam secara
jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allahan, dan kamu telah dipenuhi di dalam
Dia. Dialah kepala semua pemerintah dan penguasa." (Kol. 2:9-10)
Paulus memberikan tiga prinsip yang penting sehubungan
dengan filsafat Kristen:
- "Di dalam Dia, seluruh kepenuhan ilahi
tinggal." Kristus adalah penyataan Allah dalam bentuk fisik. Karena
itu, filsafat manusia harus berdasarkan pada komitmen bahwa Kristus adalah
yang diwahyukan Allah dalam Alkitab. Hanya Allah yang mengetahui alam
semesta ini secara mendalam dan menyeluruh; hanya Dia yang dapat
mengajarkan kebenaran kepada manusia. Karena Kristus adalah Allah, maka
kita harus menyerahkan diri pada-Nya apabila kita ingin memiliki kebenaran.
- "Di dalam Dia, kamu telah menjadi sempurna."
Hanya melalui persekutuan dengan Kristus dalam iman, kita dimungkinkan
untuk dapat melihat Allah, dunia, dan diri kita sendiri dengan tepat dan
benar. Lepas dari iman pada Kristus sebagai komitmen dasar hidup, kita
tidak mungkin mendapatkan filsafat yang benar.
- "Dia adalah kepala dari segala pemerintah dan
penguasa." Apabila kita lebih memercayai prinsip yang tidak bergantung
secara total pada Allah sebagai dasar pikiran kita, maka ini sama dengan
menganggap bahwa ada otoritas lain yang melebihi Kristus. Padahal tidak ada
pengadilan yang dapat mengadili Kristus. Tidak ada hakim di atas Dia.
Oleh karena itu, segala sesuatu yang dinyatakan oleh
Kristus harus diterima sebagai kebenaran, sebab Dialah yang memiliki
otoritas mutlak/terakhir atas segala sesuatu. Setiap aspek dari filsafat
kristiani harus bersandar pada komitmen ketergantungannya pada Allah.
Filsafat Kristen dapat digambarkan sebagai suatu bangunan yang besar dan
disangga oleh satu tiang utama -- Kristus.
Komitmen orang Kristen akan ketergantungannya pada Allah
sering kali disalahmengerti dalam dua hal:
Pertama, komitmen pada Kristus dianggap hanya
dilaksanakan apabila berurusan dengan masalah-masalah gerejawi. Oleh karena
itu, persoalan-persoalan sekuler tidak perlu didasarkan pada komitmen
ketergantungan mutlak pada Allah. Pandangan ini sangat tidak benar.
Komitmen ketergantungan secara mutlak pada Allah harus dilaksanakan dalam
setiap aspek kehidupan manusia. Contohnya, dalam bercocok tanam,
orang-orang percaya harus menyadari bahwa pengetahuannya adalah berasal
dari Allah.
"Bukankah setelah meratakan tanahnya, ia
menyerakkan jintan hitam dan menebarkan jintan putih, menaruh gandum
jawawut dan jelai kehitam-hitaman dan sekoi di pinggirnya? Mengenai adat
kebiasaan ia telah diajari, diberi petunjuk oleh Allahnya." (Yes.
28:25-26)
Semua hikmat dan pengetahuan kita berasal dari Allah.
"yang memberi kita akal budi melebihi binatang di
bumi, dan hikmat melebihi burung di udara?" (Ay. 35:11)
Orang Kristen berusaha untuk bergantung pada Allah dalam
segala sesuatu supaya dapat mengatasi segala sesuatu sesuai dengan prinsip
berikut:
"Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan
perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus,
sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita." (Kol. 3:17)
Kedua, komitmen ketergantungan pada Allah
disalahmengerti secara total dalam pengertian bahwa filsafat Kristen hanya
sekadar membaca firman Tuhan dan berdoa. Padahal, orang-orang Kristen tidak
mendapatkan keseluruhan filsafat mereka hanya dari Alkitab dan berdoa,
walaupun kedua hal itu paling utama. Orang Kristen juga melihat dunia dan
menemukan jawaban atas pertanyaannya setelah secara aktif melakukan
pengamatan dan penganalisaan.
Allah tidak mewahyukan jawaban secara rinci dalam
Alkitab atas setiap pertanyaan yang diajukan manusia. Yang Allah berikan
kepada kita adalah prinsip-prinsip sebagai pedoman untuk membangun filsafat
kita. Saat Allah memerintahkan nabi Nuh untuk membangun bahtera, petunjuk
tertentu diberikan melalui wahyu khusus, namun hal-hal yang terperinci
dipelajari dengan menerapkan prinsip-prinsip sesuai dengan kondisi yang
ada. Misalnya, Allah mengatakan kepada nabi Nuh untuk memplester bahtera itu,
namun jumlah aspal yang akan dipergunakan tidak diberitahukan oleh Allah.
Karena itu, nabi Nuh harus menentukan sendiri jumlah aspal dengan melihat
seberapa banyak yang diperlukan untuk menjaga bahtera dari kebocoran.
Filsafat Kristen bukan hanya membaca Alkitab dan berdoa. Tetapi merupakan
sebuah konstruksi yang dibangun berdasarkan prinsip firman Tuhan.
Tuduhan yang sering kali diberikan kepada orang Kristen
adalah bahwa komitmen orang Kristen akan ketergantungan pada Allah
merupakan hasil keputusannya yang mandiri. Dengan kata lain, mereka
mengatakan bahwa ketergantungannya pada Allah adalah proses kemandirian
orang Kristen yang memutuskan bahwa kekristenan merupakan pilihan yang
terbaik. Memang, seakan-akan terlihat seperti itu jika dilihat dari sudut pandang
orang non-Kristen. Namun, orang Kristen menyadari bahwa kenyataannya tidak
demikian. Orang Kristen tidak mendasarkan kemandiriannya saat menyerahkan
diri untuk bergantung kepada Allah. Terlebih dahulu, ia telah diberi
anugerah kelahiran baru, lepas dari kehendaknya sendiri. Oleh karena
anugerah Allahlah, ia dimungkinkan untuk menyerahkan dirinya pada
ketergantungan secara total pada Allah.
"Hal itu tidak bergantung kepada kehendak orang
atau usaha orang, tetapi kepada kemurahan hati Allah." (Rom. 9:16)
Sirkulasi pemikiran orang Kristen terdiri dari pengakuan
bahwa tidak ada yang lebih tinggi daripada otoritas Allah dan firman-Nya.
Sirkulasi pemikiran orang non-Kristen merupakan bukti dari pemikiran yang
mandiri dan lepas dari Allah yang berusaha untuk mendukung dirinya sendiri.
Perbedaan kedua pandangan ini membentuk jurang pemisah yang besar yang
hanya bisa dijembatani oleh anugerah kelahiran baru dari Allah.
B.
Dilema
Orang Non-Kristen dan Jawabannya
Saat manusia menolak fakta perbedaan Pencipta dengan
ciptaan dan menyerahkan dirinya kepada kemandirian yang lepas dari Allah,
manusia dihadapkan pada suatu dilema yang tidak dapat dihindari oleh
orang-orang non-Kristen. Suatu analogi dapat kita lihat dalam teater Yunani
kuno, di mana aktor yang sama sering kali harus memainkan berbagai peran
dengan cara menggonta-ganti topengnya. Demikian juga halnya dengan orang
non-Kristen yang tidak mengenal kebenaran Allah, mereka terpaksa harus
memakai dua topeng. Saat berpaling kepada Allah, mereka menyatakan keyakinannya
yang mutlak bahwa fakta perbedaan Pencipta dengan ciptaan-Nya adalah tidak
benar; karena itu, ia memakai topeng "keyakinan yang mutlak".
Namun ketika berpaling dari Allah, mereka berada pada posisi di mana ia
tidak memunyai dasar yang kuat untuk pengetahuan. Karena itu, ia harus
menggunakan topeng "ketidakyakinan yang mutlak".
Suatu saat, orang non-Kristen memakai topeng yang satu
dan memakai topeng yang lain pada saat lain. Sesungguhnya, mereka
diperhadapkan pada suatu dilema yang tidak dapat dipecahkan di balik topeng
itu, di mana kedua-duanya, pada saat yang sama, yakin secara mutlak dan
tidak yakin secara mutlak. Pembukaan atau upaya menyingkapkan topeng orang
tidak percaya dan memerlihatkan dilema ini kepada mereka, merupakan bagian
penting dalam pembelaan (apologetika) alkitabiah.
Apabila orang yang non-Kristen bersikeras untuk
berpegang pada pandangannya, maka dia harus mengabaikan secara total
kesadarannya akan keterbatasan manusia. Sering kali, keadaan ini
diperlihatkan oleh orang non-Kristen sebagai usaha untuk menghindari
kesombongan atau membuat dogma (memutlakkan sesuatu). Mereka akan
mengatakan bahwa kita tidak yakin akan apa yang kita pikir kita tahu, atau
bahwa kita hanya akan sampai kepada "pengetahuan yang berdasarkan pada
suatu kemungkinan". Pernyataan ini kelihatannya seperti
"kerendahan hati" pada permukaannya, namun sebenarnya merupakan
pernyataan keyakinan dan ketidakyakinannya yang mutlak pada waktu
bersamaan.
Titik ini akan sangat menolong untuk menggambarkan lebih
lanjut bagaimana filsafat orang non-Kristen memerlihatkan dilema
"keyakinan yang mutlak bahwa tidak ada keyakinan-keyakinan yang
mutlak". Penjelasan akan diberikan berdasarkan tiga hal utama dari
pemikiran manusia -- tentang Allah, dunia di luar manusia, dan manusia
sendiri. Penjelasan ini bukan merupakan penjelasan yang mendalam karena
kita hanya akan memerlihatkan beberapa contoh untuk mendukung gambaran yang
akan diberikan. Hal-hal ini sangat penting bagi apologetika alkitabiah.
Filsafat Kristen menyediakan jawaban atas dilema orang
non-Kristten. Kristus adalah dasar dari kepastian manusia dan jawaban atas
ketidakpastian yang ditemukan. Allah dilihat sebagai sumber dari segala
pengetahuan, maka orang Kristen tidak lagi dihadapkan pada masalah pasti
dan tidak pasti yang tidak terpecahkan. Memang ada kepastian dan
ketidakpastian dalam filsafat kristiani, namun itu semua ada di bawah
bimbingan ke-Tuhanan Kristus.
Di satu pihak, orang Kristen memiliki kepastian akan
pengetahuan manusia selama ia bergantung pada wahyu Allah. Mendasari
filsafat kita atas Allah dan wahyu-Nya, berarti menerima secara pasti
hal-hal yang telah diwahyukan. Kepastian orang Kristen tidak dihancurkan
oleh apa yang tidak diketahuinya karena Allah mengetahui segala sesuatu
secara mendalam dan menyeluruh. Oleh karena itu, Ia dapat menyediakan
pengetahuan yang cukup bagi manusia, bahkan dalam keterbatasan manusia
sekalipun. Manusia akan mengetahuinya dengan benar tanpa disertai rasa
takut akan salah.
Di pihak lain, memang ada ketidakpastian dalam diri
orang Kristen. Ia menyadari bahwa tidak mungkin ia mampu memahami semua
pengetahuan. Ini berkenaan dengan hal-hal yang melampaui akal budinya dan
yang belum dinyatakan Allah kepada manusia. Dalam hal-hal seperti itu,
orang Kristen mengakui ketidakpastiannya, tetapi tetap percaya pada hikmat
Allah dan pengertian-Nya yang sempurna. Contohnya, orang percaya tidak
mampu untuk memecahkan misteri ke-Tuhanan dan kemanusiaan Tuhan Yesus.
Namun, ia percaya bahwa hal itu bukanlah suatu misteri bagi Allah dan hal
itu pasti benar karena Allah yang mengatakannya. Ketergantungan pada Allah
ialah tetap memercayai-Nya dalam hal-hal yang belum dapat kita pahami
sepenuhnya sekalipun. Dapat dikatakan, orang Kristen dapat memiliki
ketidakpastian yang bergantung pada pengetahuan Allah yang sempurna.
Supaya kita dapat melihat dengan jelas perbedaan antara
kepastian dan ketidakpastian antara orang Kristen dan orang non-Kristen,
kita akan melihat beberapa gambaran berikut ini.
1.
Pemikiran
Berkenaan dengan Allah
Salah satu keterbatasan filsafat non-Kristen adalah
dalam hal pertanyaan akan keberadaan Allah. Di satu pihak, orang
non-Kristen (mungkin seorang ateis) berpegang pada keyakinan yang mutlak
bahwa Allah tidak ada. Untuk berpegang pada pandangan ini, orang ateis
berusaha untuk mengabaikan fakta keterbatasannya dalam menyelidiki seluruh
alam semesta dan mendorongnya menyadari bahwa mereka tidak yakin secara
mutlak akan keberadaan Allah. Oleh karena orang non-Kristen belum
menyelidiki semua kemungkinan yang membuktikan keberadaan Allah, ia tidak
dapat yakin secara mutlak bahwa Allah tidak ada.
Orang Kristen memiliki kepastian yang bergantung pada
Allah mengenai keberadaan dan karakter Allah melalui wahyu Allah dalam
Alkitab. Allah telah berfirman dan menyatakan diri-Nya bahwa Ia dapat dikenali
oleh mereka yang menyerahkan dirinya untuk percaya kepada Anak-Nya. Namun,
orang Kristen memiliki ketidakpastian yang bergantung pada Allah karena ia
tidak mengetahui segala sesuatu mengenai Allah. Allah merahasiakan sebagian
mengenai diri-Nya. Selain itu, dosa yang tersisa dalam kehidupan orang
percaya menahannya untuk mengetahui apa yang telah diwahyukan sebagaimana
seharusnya. Namun demikian, ketidakpastian ini tidak menghancurkan segala
sesuatu yang dapat diketahui oleh orang Kristen mengenai Allah, sebab Allah
memiliki semua pengertian dan pengetahuan akan segala sesuatu.
2.
Pemikiran
Mengenai Dunia di Luar Diri Manusia
Dilema dari filsafat orang non-Kristen dapat dilihat
pula dari apa yang dikatakan mengenai lingkungan ciptaan di sekitar mereka.
Klaim akan keyakinan yang mutlak telah dikemukakan, misalnya, saat mereka
mengatakan bahwa dunia ini, dalam pengertian tertentu, merupakan dunia yang
teratur dan dapat dimengerti. Mereka yakin secara mutlak bahwa keteraturan
yang telah benar-benar diamati merupakan suatu realitas dari dunia ini.
Namun, orang tidak percaya diperhadapkan pada fakta bahwa ia belum dan
tidak dapat menyelidiki keseluruhan dari dunia di luar dirinya, sehingga ia
tidak dapat menghindari ketidakpastian yang mutlak.
Kepastian yang bergantung pada Allah dapat ditemukan
dalam pandangan Kristen yang mengajarkan bahwa Allah telah menciptakan
dunia yang teratur ini. Orang Kristen dapat mengerti tentang dunia ini
sebab Allah telah menyediakan garis-garis petunjuk dalam Alkitab untuk
dapat mengerti dunia ini. Ketidakpastian hadir dalam pandangan kristiani
untuk beberapa alasan. Membutuhkan waktu untuk menerapkan pengajaran
Alkitab ke dalam setiap aspek dari keseluruhan alam semesta ini. Lebih dari
itu, kehadiran dosa menyebabkan orang Kristen mungkin mengabaikan Alkitab
sehingga salah mengerti akan dunia, Alkitab, atau kedua-duanya. Akibatnya,
filsafat Kristen memiliki ketergantungan kepastian dan ketergantungan
ketidakpastian dalam memertimbangkan dunia di luar dirinya.
3.
Pemikiran
Mengenai Manusia
Bukanlah hal yang mengejutkan apabila orang non-Kristen
juga memerlihatkan ketidakkonsistenan pemikiran ketika membicarakan diri
mereka sendiri. Dengan beragam cara, orang non-Kristen menyelewengkan
gambaran manusia secara alkitabiah sebagai manusia menurut gambar Allah dan
menggantikannya dengan konsep mereka sendiri, lepas dari ketergantungannya
pada Allah. Mereka bisa mengatakan tentang manusia seperti yang mereka mau.
Apa pun masalahnya, orang non-Kristen sebenarnya membuat klaim yang
berpegang pada kepastian yang mutlak dan mengabaikan fakta keterbatasan
dari penyelidikan mereka sebagai manusia, serta akhirnya mengembalikan diri
mereka pada ketidakpastian yang mutlak.
Ketika memikirkan dirinya sendiri, orang Kristen kembali
diperhadapkan pada kepastian dan ketidakpastian dalam ketergantungannya
pada Allah. Orang Kristen mengetahui bahwa ia merupakan gambar Allah karena
Allah mewahyukannya dalam Alkitab. Namun, ada misteri mengenai diri kita
sendiri di mana orang Kristen tidak mampu memahaminya. Lebih dari itu, dosa
menyebabkan orang Kristen salah mengerti dan kadang menolak kebenaran dari
karakter mereka sendiri. Namun, orang Kristen menyerahkan dirinya pada
pengertian bahwa secara menyeluruh, Allah mengerti karakter manusia. Oleh
karena itu, saat orang Kristen berada dalam ketidakpastian yang bergantung
pada Allah, saat itu pula mereka berada dalam kepastian yang bergantung
kepada Allah.
C.
Mitos
dari Netralitas
Setelah kita melihat perbedaan filsafat non-Kristen dan
Kristen, maka penting bagi kita untuk tahu bahwa dua filsafat inilah yang
menjadi pilihan manusia, tidak ada daerah netral di antara keduanya. Dalam
kerangka berpikir abad ke-20, yang menghargai ilmu pengetahuan, banyak
orang non-Kristen mengklaim bahwa mereka sulit sekali untuk tiba pada keyakinan
mereka setelah melihat dunia dari pandangan yang netral. Hampir tidak
pernah satu hari berlalu tanpa kita mendengar seseorang mengatakan,
"Saya hanya ingin berhubungan dengan fakta objektif sebagaimana
adanya. Saya ingin menghindarkan diri dari pertanyaan- pertanyaan yang
bersifat rohani/agamawi." Walaupun kalimat ini dinyatakan dengan
ketulusan, namun orang non-Kristen sebenarnya sangat jauh dari keberadaan
netral (objektif). "Kejujuran yang netral" yang mereka kemukakan
hanyalah bentuk lain dari penyerahan kepada kemandirian yang lepas dari
ketergantungan pada Allah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Tuhan Yesus:
"Siapa tidak bersama Aku, ia melawan Aku dan siapa
tidak mengumpulkan bersama Aku, ia menceraiberaikan." (Mat. 12:30)
Meskipun terlihat aneh, ada juga orang Kristen yang
berusaha untuk menemukan tempat netral. Bahkan konsep daerah netral di
antara orang non-Kristen dan Kristen telah merupakan konsep dasar yang
banyak dipakai dalam berapologetika di masa lampau. Pada dasarnya,
orang-orang Kristen berusaha mencari titik pertemuan pada dasar yang sama
dengan orang non-Kristen di mana di atasnya mereka ingin membangun
kredibilitas kristiani. Sangatlah penting dalam perkembangan apologetika
untuk melihat beberapa hal yang dikatakan atau dianggap sebagai konsep
netral dan melihat mengapa mereka sebenarnya sama sekali tidak netral.
Konsisten dalam logika merupakan prinsip yang
disuguhkan, di mana orang Kristen dan orang non-Kristen bersepakat. Apabila
kita bermaksud untuk memerlihatkan kebenaran kekristenan kepada orang
non-Kristen, maka kita dapat memberikan logika dari kepercayaan kita pada
Allah, Kristus, dan Alkitab. Dengan suatu pengharapan bahwa penjelasan
berdasarkan logika ini dapat meyakinkan atau memenangkan mereka ke dalam
Kerajaan Allah, atau paling tidak ke arah itu. Namun, walaupun kita setuju
akan keharusan berpikir secara logis, pengertian kristiani akan
keterbatasan dan fungsi logika sangat berbeda dengan apa yang dimengerti
oleh orang-orang non-Kristen. Pemikiran manusia, dalam bentuk yang paling
murni dan yang paling lengkap, tetap tidak lebih dari pemikiran makhluk
yang diciptakan Allah dan yang telah dipengaruhi oleh bentuk pemikiran yang
subjektif. Jadi pada dasarnya, logika pun tidak ada yang bersifat netral.
Juga, sebenarnya tidak ada fakta dari ilmu pengetahuan
di mana orang Kristen dan orang non-Kristen memegangnya sebagai satu
kesepakatan. Baik dalam psikologi, biologi, sejarah, matematika, filsafat,
teologi, dan lain-lain. Fakta-fakta ilmiah pada dasarnya dimengerti secara
berlainan oleh orang Kristen dan non-Kristen. Tidak ada daerah netral untuk
berbicara mengenai "fakta-fakta" tanpa pengaruh dari komitmen
dasar kita, yang pada dasarnya berbeda.
Karena perbedaan yang begitu jelas, bagaimana orang
Kristen dapat berkomunikasi secara efektif dengan orang non-Kristen?
Jawaban atas pertanyaan ini terletak pada fakta bahwa meskipun tidak ada
netralitas, ada titik temu di antara orang Kristen dan non-Kristen, yaitu
di tempat-tempat yang memiliki persamaan -- dunia di mana kita hidup, keberadaan
kita sebagai manusia yang diciptakan menurut gambar Allah, dan penawaran
Injil yang bersifat anugerah.
Orang Kristen dan non-Kristen sama-sama hidup di dunia
yang sama, kita hidup di bumi yang sama, belanja di toko yang sama, dan
makan makanan yang sama. Dalam pengertian ini, kita dapat melakukan fungsi
secara mekanis yang sama. Sebagai gambar Allah, manusia yang telah jatuh
tetap dapat berargumentasi, berpikir, merasakan sesuatu, dan dapat
menggunakan bahasa manusia. Akibatnya, kita dapat berkomunikasi dan
benar-benar sampai pada kesepakatan, meskipun hanya secara permukaan saja,
sebab perbedaan kita yang radikal tetap ada. Lebih dari itu, sebagai
manusia yang diciptakan menurut gambar Allah, orang non-Kristen mengenal
Allah dan tuntutan-Nya dalam hati mereka. Walaupun mereka berusaha untuk
menyangkalinya, namun setiap fakta dari ciptaan berbicara kepada mereka
tentang Allah. Bahkan pembicaraan orang Kristen mengenai kesadaran akan
Allah akan menyebabkan mereka tidak dapat luput dari kesadarannya akan
Allah.
Kita hanya dapat berkomunikasi secara efektif dengan
orang non-Kristen karena kekuatan dan pekerjaan kelahiran baru yang
dilakukan Roh Kudus, yang selalu ada dan bekerja. Melalui Injil yang
diberitakan, Roh Kudus membuka hati dan membawa seseorang pada iman pada
Kristus. Pengakuan akan konsep mitos netralitas tidak akan menghancurkan
semua pengharapan untuk berkomunikasi secara efektif dengan orang
non-Kristen. Sebenarnya, dengan kesadaran bahwa tidak ada netralitas, kita
mulai berkomunikasi dengan orang non-Kristen dengan cara yang relevan
dengan kebutuhan mereka akan Kristus. Tanpa pengakuan akan adanya
perspektif-perspektif ini, apologetika alkitabiah tidak dapat dikembangkan.
Akhir
Pelajaran (AUA I-P06)---
Doa
Ya,
Tuhan, kami bersyukur karena Engkau memberikan dasar kepercayaan yang kokok
dalam firman-Mu. Dengan demikian, kami tidak lagi terombang-ambing oleh apa
pun yang dikatakan, diklaim, dan diakui oleh dunia. Sebaliknya, bimbinglah
kami untuk bisa membawa kebenaran-Mu kepada dunia. Hanya karena
pekerjaan-Mulah, mereka akan bisa dimenangkan. Amin.
(Catatan:
pertanyaan tertulis ada di bagian terpisah)
PESTA=========Pendidikan
Elektronik Studi Teologia Awam==========PESTA
PESTA //
PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA
Nama
Kursus
|
:
|
APOLOGETIKA
UNTUK AWAM I (AUA I)
|
Nama
Pelajaran
|
:
|
Filsafat
Non-Kristen dan Kristen
|
Kode
Pelajaran
|
:
|
AUA
I-P06
|
Pelajaran 06 -
FILSAFAT NON-KRISTEN DAN KRISTEN
*Instruksi*
Harap
setiap peserta mengikuti petunjuk mengerjakan tugas sbb.:
1.
Bacalah
Bahan Pelajaran dan semua Referensi Pelajaran 06 dengan teliti.
2.
Bacalah
Pertanyaan (A) dan (B) di bawah ini, kemudian jawablah dengan benar dan
lengkap.
3.
Apabila
Anda mendapatkan kesulitan sehubungan dengan isi Bahan Pelajaran, silakan
menghubungi Pembimbing di:
< yulia(at)in-christ.net >
Selamat
mengerjakan!
Perhatian:
Setelah
Anda menjawab tugas tertulis ini, mohon kirim kembali tugas ini dalam
bentuk plain text (e-mail biasa) dan BUKAN DALAM BENTUK ATTACHMENT ke:
==> <
staf-pesta(at)sabda.org >
PERTANYAAN
(A):
1.
Filsafat
[............] berdasar pada kemandirian pikiran manusia yang lepas dari
Allah. Sedangkan filsafat [.............] berakar pada ketergantungan total
pada Allah.
2.
Filsafat
Kristen dapat digambarkan sebagai suatu bangunan yang besar dan disangga
oleh satu tiang utama, yaitu [............].
3.
Komitmen
ketergantungan mutlak pada Allah tidak hanya untuk urusan masalah gerejawi,
tapi juga untuk [............].
4.
Perbedaan
antara filsafat yang berdasar pada kemandirian pikiran manusia dan filsafat
yang berakar pada ketergantungan pada Allah, membentuk jurang pemisah yang
besar, yang hanya bisa dijembatani dengan [.............] dari Allah.
5.
Filsafat
[.............] memerlihatkan dilema bahwa mereka memiliki "keyakinan
yang mutlak bahwa tidak ada keyakinan-keyakinan yang mutlak".
6.
Kepastian
orang Kristen tidak dihancurkan oleh apa yang tidak diketahuinya, karena
[.............] menyediakan pengetahuan yang cukup bagi manusia, bahkan
dalam keterbatasan manusia sekalipun.
7.
Hanya
melalui persekutuan dengan [............] dalam iman, kita dimungkinkan
untuk dapat melihat Allah, dunia, dan diri kita sendiri dengan tepat dan
benar.
8.
Ketidakpastian
orang Kristen akan ketergantungan pengetahuan pada Allah disebabkan oleh 2
hal: pertama, ia memiliki [............] dalam kemampuan untuk mengetahui
semua hal tentang wahyu yang Tuhan berikan; kedua, [............]
menyebabkan orang Kristen salah mengerti dan kadang menolak kebenaran wahyu
Allah.
9.
Untuk
memulai berkomunikasi dengan orang non-Kristen dengan cara yang efektif dan
relevan maka kita harus memberikan kesadaran bahwa tidak daerah yang
dikatakan, [..............], dimana orang Kristen dan non-Kristen bisa
memegangnya sebagai satu kesepakatan.
10.
Apabila
kita berharap memenangkan orang non-Kristen ke dalam Kerajaan Allah, atau
paling tidak ke arah itu, maka kita dapat memerlihatkan kebenaran
kekristenan dengan [............] yang tepat atas kepercayaan kita pada
Allah, Kristus, dan Alkitab.
PERTANYAAN
(B):
1.
Jelaskan
pendapat Anda, mengapa filsafat non-Kristen dan filsafat Kristen memiliki
jurang pemisah yang tidak mungkin bisa dijembatani oleh usaha manusia?
2.
Untuk
menginjili orang non-Kristen kita harus bisa menemukan titik temu sehingga
orang non-Kristen dan Kristen bisa memulai berbicara. Berikan contoh titik
temu yang Anda ketahui.
Kirimkan
kembali tugas ini dalam bentuk plain text (e-mail biasa) dan BUKAN DALAM
BENTUK ATTACHMENT ke:
==> <
staf-pesta(at)sabda.org >
PESTA=========Pendidikan Elektronik Studi Teologia
Awam==========PESTA
PESTA //
PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA
Nama
Kursus
|
:
|
APOLOGETIKA
UNTUK AWAM I (AUA I)
|
Nama
Pelajaran
|
:
|
Filsafat
Non-Kristen dan Kristen
|
Kode
Pelajaran
|
:
|
AUA
I-R06a
|
Referensi
AUA I-R06a diambil dari:
Judul
buku
|
:
|
Iman,
Rasio dan Kebenaran
|
Judul
artikel
|
:
|
Keterbatasan
Rasio
|
Pengarang
|
:
|
Stephen
Tong
|
Penerbit
|
:
|
Institut
Reformed, Jakarta, 1996
|
Halaman
|
:
|
37 --
49
|
KETERBATASAN RASIO
1.
Natur
Rasio
Apakah rasio mempunyai keterbatasan? Untuk ini manusia
harus menyadari naturnya yang: dicipta, terbatas dan tercemar, 'created,
limited and polluted'. Demikianlah kondisi dari rasio manusia. Rasio
manusia tidak datang sendiri. Rasio itu dicipta oleh Allah. Rasio manusia
juga terbatas di dalam fungsinya, seturut dengan keterbatasan manusia itu
sendiri, sebagai ciptaan Allah. Dan karena manusia telah jatuh ke dalam
dosa, maka seluruh manusia rasionya juga telah tercemar. Jika seseorang
mengerti dan menyadari natur rasio seperti ini, maka bagaimanapun orang itu
memperkembangkan rasionya semaksimal mungkin, ia tetap harus mengakui bahwa
ia tetap hanyalah manusia yang terbatas. Ia juga akan mengerti dan
menyadari bahwa pencemaran dosa juga sudah melingkupi aspek rasio juga.
Manusia tidak mungkin dapat membuktikan keberadaan dan diri Allah secara
tepat. Manusia hanya dapat menerima Allah yang mewahyukan diri di dalam
alam. Pencemaran dan kuasa dosa telah melanda sampai ke semua aspek
manusia, baik sifat rasio, sifat hukum, sifat moral, juga sifat kekal dan
keberadaan manusia. Tidak ada satu aspek pun yang tidak tercemar oleh dosa.
Bukankah para ilmuwan bukan Kristen dapat menemukan penemuan- penemuan
ilmiah yang begitu baik dan cukup akurat, bahkan banyak ilmuwan Kristen
yang lebih bodoh daripada mereka? Bukankah ini suatu bukti dan fakta bahwa orang
bukan Kristen fungsi rasionya dapat lebih baik? Oleh karena itu, celakalah
para pelajar Kristen yang tidak mau belajar sungguh-sungguh dan mendapatkan
nilai yang baik. Apakah ini berarti rasio orang bukan Kristen tidak
tercemar, atau mungkin juga rasio orang Kristen masih tercemar sehingga
tidak berfungsi dengan baik? Jikalau ilmuwan-ilmuwan bukan Kristen dapat
menemukan penemuan- penemuan ilmiah, yang adalah ciptaan Allah, dengan
sangat akurat, karena rasio mereka berfungsi begitu jemih dan begitu baik,
mengapa semua itu tidak menjadikan mereka kembali mempermuliakan Allah,
yang adalah Sumber serta asal dari semua ilmu pengetahuan? Hal ini
disebabkan karena mereka bisa mengerti wahyu umum dan semua yang ajaib di
dalam ciptaan ini tanpa bisa mengasosiasikan dengan Kebenaran sebagai
sumber dari semua pengetahuan ini, akhirnya mereka tidak sanggup
mengembalikan kemuliaan kepada Pencipta, dan mereka kemudian mempermuliakan
diri sendiri.
2.
Lingkup
Rasio
Kita kini herlu memikirkan apa yang dipikirkan atau dikerjakan
oleh rasio. Hal ini meliputi kategori-kategori penjelajahan fungsi rasio.
Salah satu tujuannya, manusia diciptakan untuk berpikir. Oleh karena itu,
kini kita mempersempit salah satu tujuan penciptaan ini, yaitu hanya di
wilayah rasio. Hampir tidak ada manusia yang tidak berpikir. Memang ada
manusia yang tidak suka berpikir. Tetapi untuk dapat tidak berpikir,
manusia harus berpikir bagaimana caranya menghindar dari tugas berpikir.
Ketika manusia berpikir, pikiran rasio manusia paling sedikit dapat dibagi
menjadi tiga kategori atau bidang pikiran yang besar, yaitu: (1) memikirkan
hal - hal di bawah diri manusia, (2) memikirkan hal- hal di dalam diri
manusia, dan (3) memikirkan hal- hal yang lebih jauh, lebih besar dan lebih
tinggi daripada diri manusia. Manusia memikirkan hal-hal yang berada di
bawah diri manusia, di dalam diri manusia dan di atas diri manusia. Hal-hal
yang berada di bawah diri manusia adalah alam semesta ini, yang di dalam
diri manusia, adalah manusia itu sendiri, dan yang di atas diri manusia
adalah Allah. Allah - manusia - alam merupakan urutan dari atas ke bawah di
dalam kategori pengetahuan manusia. Urutan ini tidak boleh dibalikkan.
Mengenal Allah adalah pengenalan sistem terbuka, mengenal alam adalah
sistem tertutup. Itu alasan di dalam Kolose 3, Paulus berkata tentang
bagaimana mempergunakan rasio dengan baik: "Pikirkanlah perkara yang
di atas, bukan yang di bumi." Jangan pikirkan hal-hal yang di dunia
saja, tetapi pikirkan juga hal-hal surgawi. a. Lingkup Rasio dan Alam
Pada saat seseorang berpikir ke bawah, ia
mempergunjingkan masalah alam. Mungkin ia memikirkan bagaimana bunga
bertumbuh. Kemudian menyelidiki jenis bunga itu, menganalisis dan
mengkategorikannya. Maka ia menemukan suatu pelajaran yang berkaitan
tentang tumbuh-tumbuhan. Jika menyelidiki kucing, harimau, gajah dll., maka
saya menemukan satu bidang studi yang disebut sebagai Zoologi. Jika says
menyelidiki lapisan-lapisan bumi, sifat-sifat tanah dsb., maka saya akan
mengkategorikannya sebagai Geologi. Demikian juga proses-proses kimia
dikategorikan di dalam Ilmu Kimia, dalil atau rumus-rumus alam diselidiki
di dalam Ilmu Fisika, cara-cara perhitungan di dalam Matematika, dsb.
Sistem-sistem pelajaran ini di dalam bahasa Yunani di akhiri dengan akhiran
"logi" karena di setiap "logi" ini dituntut
pertanggungjawaban rasionil yang disebut sebagai logika. Logika dipakai
oleh logikos (manusia) dalam usaha untuk mengerti Logos. Logos adalah kuasa
universal yang mengatur segala sesuatu dan merupakan esensi dasar segala
sesuatu. Semua usaha untuk menyelidiki segala sesuatu yang ada di bawah
manusia disebut sebagai 'Sains science' atau ilmu pengetahuan. Istilah
science berasal dari bahasa Latin: 'scio' yang berarti "Saya
tahu". Apakah yang diketahui? Ketika seseorang mempelajari ilmu
fisika, maka ia mengetahui fisika. Pengetahuan yang says ketahui tentang
fisika, disebut sebagai ilmu fisika. Tetapi harap kita camkan, bahwa
sebelum para ilmuwan menyelidiki ilmu apapun di dalam alam semesta ini, ia
harus terlebih dahulu mempunyai satu set pra-anggapan yang didasarkan pada
iman bahwa ia bisa tahu! Karena saya percaya saya bisa tabu, maka saya
berusaha untuk mengetahui. Kemudian saya mulai menyelidiki dan pada
akhirnya saya betul-betul tahu. Semua ini merupakan proses, mulai dari iman
sampai pada pengetahuan. Tidak ada satu penemuan apapun di dalam bidang
ilmu yang tidak didasarkan pada pra-anggapan yang bersifat imaniah. Iman
lebih penting dari pada rasio. Ketika seseorang menyelidiki sesuatu, ia
yakin dan memiliki kepercayaan bahwa ia dapat mengetahui, sehingga dengan
dorongan itu ia mulai menyelidiki. Semua penelitian dan pengujian ilmiah
didasarkan pada suatu keyakinan yaitu iman. Maka, iman mendahului
pengetahuan. Oleh karena itu, anggapan bahwa jika rasio bekerja maka iman
tidak diperlukan, atau jika rasio yang menggarap sesuatu maka iman boleh
dibunuh adalah tidak benar. Anggapan seperti ini sama sekali tidak benar,
bahkan di dalam bidang ilmiah sekalipun. Setiap orang yang melakukan studi,
baik menggunakan metode induksi, deduksi atau metode lainnya, tanpa
disadari ia telah jatuh kepada hakikat yang paling dasar, yaitu iman. Di
dalam menyelidiki, seseorang menginginkan bukti. Tetapi sebelum bukti itu
muncul, ia telah memulai dengan suatu pra-anggapan yang bersifat iman.
Alangkah naifnya orang yang mengatakan, "orang Kristen bodoh, semua
harus pakai iman baru mendapatkan bukti. Kalau saya tidak punya bukti, saya
pasti tidak mau beriman, karena saya orang rasionil." Kalimat itu
omong kosong. "Buktikan baru saya percaya" merupakan kalimat yang
sering kita dengar. Padahal kalimat itupun merupakan iman kepercayaan.
Kalau terbukti baru dapat dipercaya adalah hal yang belum pernah
dibuktikan, sehingga untuk meyakinkan perlunya bukti untuk dapat
mempercayai sesuatu; itu merupakan iman. b. Lingkup Rasio dan Manusia
Setelah jemu memikirkan hal-hal di bawah diri manusia,
maka manusia biasanya mulai memikirkan di dalam dirinya sendiri. Mulai
memikirkan bagaimana tubuh dapat bertumbuh dan menampilkan bermacam-macam
postur yang berbeda. Di dalam tori ballet, gerakan tubuh mengungkapkan
perasaan hati seseorang dan dapat menyentuh mereka yang melihatnya.
Kemudian mulai memikirkan mengapa manusia makan nasi, tetapi tumbuh rambut,
tumbuh alis, tumbuh kuku. Anehnya, rambut di kepala semakin lama semakin panjang,
tetapi alis tidak. Apa jadinya jika terbalik? Lebih jauh Iagi, manusia
mulai memikirkan bagaimana pikirannya dapat berpikir. Saya sedang
memikirkan pikiran. Jadi saya sedang menggunakan pikiran untuk berpikir
bagaimana pikiran saya itu berpikir. Maka yang berpikir adalah pikiran,
sedangkan yang dipikirkan juga pikiran. Maka sampai pads tahap ini, tanpa
disadari rasio sedang menghadapi jalan buntu, karena subyek dan obyek kini
menjadi satu. Ketika manusia menggunakan pikiran untuk mengetahui bagaimana
pikiran itu berpikir, maka ia sedang masuk ke dalam siklus-diri- sendiri
`self-eyclus'. Siklus seperti ini tidak akan pernah berakhir. Dalam hal ini
kita membuktikan bahwa rasio mempunyai keterbatasan. Pada waktu seseorang
memakai pikiran untuk memikirkan bagaimana pikiran itu berpikir, maka ia
paling banyak hanya dapat menemukan syaraf-syaraf otak yang mana yang
dipergunakan untuk berpikir. Tetapi kita tidak pernah akan mengerti
bagaimana sel-sel itu memikirkan apa yang kita pikir. Tidak ada satu
manusia pun yang dapat sampai pada pengertian terakhir itu, kecuali
Pencipta pikiran itu sendiri. Seorang sastrawan Amerika Serikat, Ralph
Waldo Emerson (1803-1882), mengatakan: "Ironic terbesar bagi mata
adalah ia dapat melihat segala sesuatu, tetapi ia tidak dapat melihat diri
sendiri." Bahkan mata kanan tidak dapat melihat mata kiri. Demikian
pula ketika pikiran mau memikirkan segala sesuatu, ia sendiri mengalami
kesulitan untuk memikirkan diri sendiri. Sebabnya adalah karena adanya
limitasi. Rasio telah mengalami jalan buntu, tetapi ia tidak mau
mengakuinya, bahkan ia mau melompat lebih jauh lagi. c. Lingkup Rasio dan
Allah
Rasio bukan hanya mau memikirkan hal-hal di dalam diri
manusia atau rasio itu saja, bahkan manusia mau memikirkan hal-hal di atas
diri manusia dan iasio itu sendiri. Ia mau memikirkan tentang Allah.
Manusia, dengan rasio yang dicipta, mau mengerti, mau menganalisis Allah
pencipta rasio. Usaha ini merupakan suatu lelucon yang terlampau besar,
merupakan keberanian yang terlampau nekad. Usaha ini adalah usaha yang
mustahil. Tidak mungkin rasio memikirkan Allah yang mencipta rasio itu
sendiri. Tetapi manusia yang bodoh tidak mengerti dan menganggap dapat
mengerti Allah dengan rasio. Saya tidak ingin mematahkan pengharapan
manusia untuk mengerti Allah, tetapi manusia tidak mungkin mengerti Allah
melalui rasio yang Allah cipta. Manusia hanya dapat mengerti Allah melalui
inisiatif pewahyuan Allah kepada manusia. Allah telah mewahyukan diri
kepada manusia dan Allah telah menyatakan diri kepada rasio manusia,
sehingga rasio manusia yang terbatas dicerahkan oleh cahaya wahyu dan
kebenaran itu, sehingga ia dapat kembali kepada kebenaran. 3. Kesimpulan
Ketika saya memikirkan hal-hal di bawah saya, maka saya menjadi subyek dan
alam yang di bawah menjadi obyek. Allah memang memberikan hak kepada
manusia untuk boleh mengerti alam yang berada di bawahnya. Manusia memang
dicipta lebih tinggi daripada alam. Itulah alasannya sehingga semua
penemuan ilmiah adalah hal yang sewajarnya. Tidak ada hal yang dapat
dimegahkan. Semua itu adalah usaha yang wajar saja. Dalam hal itu, manusia
hanya mempergunakan rasio yang dicipta oleh Allah untuk menemukan
kebenaran-kebenaran dan dalil-dalil yang disimpan oleh Allah di dalam alam.
Ilmu adalah hal yang wajar dan merupakan hak bagi manusia yang berasio,
karena manusia adalah peta dan teladan Allah. Sampai tahap ini, manusia
mutlak dapat mengetahui ilmu di dalam alam. Pengetahuan akan ilmu adalah
pengetahuan yang rendah sifatnya, karena ilmu hanya merupakan sistem-sistem
pengetahuan yang diungkapkan melalui rasio manusia yang merupakan anugerah
Allah, untuk menemukan dalil-dalil ciptaan yang memang disembunyikan di
dalam alam. Ini adalah kebenaran yang paling rendah. Pengetahuan alam
merupakan tingkat yang paling rendah diantara tingkatan- tingkatan
pengetahuan, karena tahap ini hanya menemukan sesuatu yang telah disimpan
oleh Allah di dalam alam. Ilmuwan-ilmuwan tidak boleh sombong setelah
menemukan keajaiban ciptaan. Mereka hanya boleh mempermuliakan Allah karena
mereka boleh menemukan dalil- dalil yang tersembunyi itu. Penemuan ilmu
hanyalah penemuan ciptaan di dalam alam, sehingga penemuan ilmu jauh berada
di bawah teologi. Istilah "menemukan" perlu ditegaskan, yaitu
sebelum ditemukan, dalil itu sebenarnya telah ada. Sebelum Albert Einstein
(1879- 1955) menemukan hukum relativitasnya, hukum itu sudah ada dan sudah
berlaku di dalam alam. Setelah Einstein menemukan hukum ini, maka manusia
baru mengetahui bahwa hukum ini dapat dipakai untuk meledakkan uranium
menjadi tenaga yang besar sekali. Namun, bagaimanapun juga dalil ini telah
ada di dalam alam, sehingga penemunya tidak berhak menjadi sombong di
hadapan Tuhan Allah. Oleh karena itu, biarlah setiap ilmuwan mengembalikan
kemuliaan kepada Allah.
----------------------------------------------------------------------
PESTA ======Pendidikan Elektronik Studi Teologia Kaum Awam====== PESTA
PESTA //
PENDIDIKAN ELEKTRONIK STUDI TEOLOGIA AWAM \\ PESTA
Nama
Kursus
|
:
|
APOLOGETIKA
UNTUK AWAM I (AUA I)
|
Nama
Pelajaran
|
:
|
Filsafat
Non-Kristen dan Kristen
|
Kode
Pelajaran
|
:
|
AUA
I-R06b
|
Referensi
AUA I-R06b diambil dari:
Judul
buku
|
:
|
Iman,
Rasio dan Kebenaran
|
Judul
artikel
|
:
|
Kebenaran
|
Pengarang
|
:
|
Stephen
Tong
|
Penerbit
|
:
|
Institut
Reformed, Jakarta, 1996
|
Halaman
|
:
|
60 --
74
|
KEBENARAN
Pada
waktu manusia belum kembali kepada kebenaran, ia selalu menganggap bahwa
dirinyalah kebenaran itu. Akibatnya, semakin lama ia hidup di dunia, ia
menjadi semakin kukuh dan semakin menganggap dirinya benar. Inilah
kelemahan manusia. Kekakuan ini dapat berlanjut terus, sampai akhirnya ia
memutuskan bahwa dirinya tidak dapat bersalah. Sampai tingkat ini, ia telah
mempersamakan diri dengan Allah. Pada saat seperti itu, Tuhan akan tidak
senang dan membiarkan ia mati saja. Maka orang itu mati. Orang muda tidak
terlalu berani mengatakan dia yang benar, tetapi semakin tua ia akan
semakin kaku juga, dan pads saat tua sekali ia mulai memutlakkan diri
seperti orang tua sebelumnya, maka ia pun mati. Sehingga di dalam alam
semesta tetap hanya ada Satu Allah yang memang mutlak dan kekal.
Manusia
dapat terus memproses dirinya masuk ke dalam kekakuan, sehingga akhirnya ia
tidak lagi mempunyai lubang keterbukaan terhadap keterbatasan rasio. Oleh
karena itu, jangan sekali-kali memutlakkan rasio. Sebelum seseorang
mengembalikan rasio kepada kebenaran, ia akan selalu menganggap dirinyalah
kebenaran itu.
1.
Kristus
sebagai Kebenaran Asali
Setiap agama pasti mengaku memiliki kebenaran atau
dirinya kebenaran. Dalam hal seperti ini setiap orang dituntut untuk
sungguh-sungguh mempelajari di manakah kebenaran sejati itu berada.
Di dalam Alkitab, kita melihat bagaimana Kristus menjadi
satu- satunya yang di dalam sejarah yang sah mengatakan bahwa diri- Nyalah
kebenaran (Yoh 14:6). Andaikata Ia bukan kebenaran dan mengaku sebagai
kebenaran, maka pasti akan ada kesenjangan yang besar di dalam hidup-Nya.
Tindakan demikian akan menjadikan Kristus seorang pembohong atau pendusta
yang terbesar di dalam alam semesta, karena penipuan seperti ini bukan
sekadar penipuan untuk mengambil sedikit uang, atau sekadar memutar balik
suatu kejadian, atau mempermainkan hukum, tetapi ini merupakan penipuan
yang berskala dunia, karena mengaku sebagai kebenaran. Tetapi jikalau
memang Kristus adalah kebenaran, maka manusia tidak boleh sembarangan
memberikan penafsiran yang tidak benar terhadap proklamasi yang sangat
agung ini.
Mengapa tidak ada seorang tokoh agama atau tokoh
filsafat pun di sepanjang sejarah manusia, selain Kristus, yang boleh
mengatakan: "Akulah Kebenaran"? Hanya ada dua kemungkinan: (1)
Kristus memang pembohong, dan (2) memang Ia sungguh-sungguh kebenaran.
Kalau memang Kristus pembohong, silakan buktikan apakah Dia pembohong
terbesar, dan jika Ia memang adalah kebenaran itu sendiri, maka setiap
orang wajib takluk kepada-Nya. Setiap manusia harus membagi- bagikan sekuat
kemampuan rasio kits untuk membawa orang lain kembali kepada Kebenaran. Itu
sebabnya, tugas orang Kristen berat dan sangat serius.
2.
Berbagai
macam Kebenaran
Ketika rasio kembali kepada kebenaran, ini disebut iman.
Oleh karena itu, iman bukan sekedar mengatakan "saya percaya"
lalu dibaptis dan menjadi anggota gereja. Iman adalah keseluruhan pribadi
seseorang sebagai manusia dengan rasio yang kembali kepada kebenaran. Iman
adalah penaklukkan kebebasan manusia kepada kedaulatan Allah. Maka iman
merupakan tindakan secara keseluruhan. Kebenaran harus menyangkut beberapa
tingkatan:
A.
Kebenaran
Fakta
Yang `ya', katakan `ya' dan yang `tidak', katakan `tidak'.
Itulah fakta. Kalimat seperti ini adalah kalimat dari Tuhan Yesus yang
diri-Nya adalah Kebenaran itu. Pada tingkatan pertama, kebenaran harus
sesuai dengan fakta. Mungkin fakta itu bersalah, tetapi ketika Saudara
menyatakan fakta yang pada hakikatnya salah, sambil menunjukkan
kesalahannya, maka Saudara sedang mengatakan kebenaran. Ketika Saudara
menyaksikan kebenaran seorang anak yang membunuh ayahnya di hadapan
pengadilan, maka Saudara sedang melakukan kebenaran. Tetapi bukan berarti
pembunuhan itu adalah kebenaran. Faktanya yang adalah kebenaran. Inilah
aspek pertama, yaitu: Kebenaran adalah fakta. Ini adalah aspek yang paling
rendah.
Fakta hanya menyatakan kesungguhan keberadaan sesuatu
atau peristiwa, tanpa memberikan penilaian fakta itu sendiri pada
hakikatnya benar atau tidak benar. Peristiwa yang saya saksikan mungkin
tidak cocok dengan prinsip kebenaran yang lebih tinggi. Penemuan-penemuan
di dalam alam semesta, yang merumuskan begitu banyak dalil-dalil dan
aksioma-aksioma di berbagai bidang studi, adalah fakta. Tetapi fakta
bukanlah kebenaran menyeluruh, hanya menyatakan hal-hal yang "memang
demikian". Tetapi istilah "memang demikian" tetap relatif.
B.
Kebenaran
Sejarah Kebenaran ini juga disebut sebagai kebenaran yang bersifat fakta
Sejarah. Indonesia merdeka pads tahun 1945. Ini adalah kebenaran, tetapi
kebenaran ini berbeda dari kebenaran ilmu. Ketika kita mempelajari dan
mengetahuinya, kita mendapatkan kebenaran. Peristiwa itu sungguh-sungguh
terjadi. Demikian pula jika kita mengetahui bahwa presiden Amerika Serikat,
John Kennedy (1917-1963) dibunuh pads tahun 1963. Pada tahun 1986 presiden
Filipina, Ferdinand Marcos (1917-1989) tumbang dari kedudukannya dan diusir
keluar dari Filipina. Semua peristiwa ini pernah terjadi pads waktu yang
disebutkan. Ini kebenaran. Tetapi banyak kebenaran yang benar-benar
terjadi, pada hakikatnya tidak sesuai dengan kebenaran yang sejati. Sejarah
terkadang merupakan catatan tentang kesalahan-kesalahan yang pernah
terjadi, di mana catatan itu sendiri tidak salah. Aspek Sejarah adalah
"dengan tidak Salah mencatat hal-hal yang Salah."
C.
Kebenaran
Manusia Kebenaran-kebenaran yang disebutkan di atas adalah kebenaran yang
mati, bukan kebenaran yang hidup. Tetapi kini ada kebenaran yang berada di
dalam diri manusia, yaitu kebenaran yang menyangkut kehidupan itu sendiri,
kebenaran-kebenaran yang menyangkut kehormatan dan harkat manusia, hak
asasi manusia, yang terjadi di dalam masyarakat. Jika kebenaran ini
diganggu gugat, maka akan timbul akibat dan penyakit yang disebut sebagai
penyakit jiwa, baik pribadi atau seluruh bangsa. Penyakit jiwa yang
berakibat dan berpengaruh terhadap sekitarnya akan menghasilkan problema
sosial, sehingga timbullah sosiologi. Sosiologi mempelajari terbentuknya
masyarakat, munculnya kesuli tan-kesulitan dalam masyarakat dan bagaimana
menyelesaikan semua kesulitan dan gejala yang tidak benar di dalam
masyarakat. Ini adalah kebenaran juga.
D.
Kebenaran
Relasi Kebenaran juga mencakup kebenaran di dalam relasi antar oknum.
Hubungan atau relasi antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan
alam, antara manusia dengan ilah-ilah atau setan- setan. Fakta adanya
relasi, bagaimana cara berelasi dan seberapa jauh relasi itu mungkin
terjadi, juga merupakan kebenaran yang harus dimengerti. Kebenaran sampai tingkat
ini sudah melampaui wilayah fisika, tetapi tetap perlu dipelajari.
Kebenaran seperti ini memang kebenaran yang perlu diketahui, tetapi tetap
bukan Kebenaran yang tertinggi itu sendiri.
E.
Kebenaran
Pencipta
Kebenaran yang tertinggi adalah mengenal Pencipta.
Kebenaran yang tertinggi pada hakikatnya adalah Tuhan Allah sendiri, yaitu
Kebenaran itu sendiri. Kebenaran ada pada-Nya, karena Ia yang menciptakan
segala sesuatu, Ia yang menentukan semua rumus dan dalil, yang telah
disimpan di dalam alam semesta. Ia juga yang mengatur seluruh pergerakan
alam semesta. Ia Penentu segala sesuatu. Jangan sekali-kali ada orang yang
mencoba menurunkan Allah dari posisi-Nya sebagai Pencipta untuk dikurung di
dalam dunia ciptaan yang dicipta oleh Dia sendiri. Itu adalah tindakan
bunuh diri. Allah berada di luar semua dalil alamiah. Hidup ini sendiri
sudah tidak dapat dikurung oleh hukum-hukum dan dalil- dalil yang kaku dan
sempit.
3.
Rasio
dan Kesetiaan padA Kebenaran
Iman dalam bahasa Yunani: pistis dan dalam bahasa Latin:
fide. Di dalam bahasa Inggris ada istilah: fidelity? Istilah ini merupakan
perkembangan dari istilah fide atau Iman. Iman berarti setia kepada
kebenaran. Inilah istilah yang paling singkat dan tepat untuk Iman.
Banyak kaum intelektual merasa kalau percaya kepada
Yesus Kristus berarti membunuh rasio dan memusnahkan fungsi intelektual.
Saya tidak meminta Saudara membunuh rasio dan menjadi percaya tahyul.
Silakan rage, tetapi dengan hati nurani yang murni dan motivasi yang jujur
ingin mencari kebenaran, bukan mau menegakkan kebenaran sendiri. Akhirnya
Tuhan pasti akan memimpin Saudara. Dan ketika Saudara mengerti bagaimana
penafsiran kebenaran yang sejati, Saudara mungkin menjadi setia. Ketika
Saudara setia kepada kebenaran, berarti Saudara dapat beriman.
Tidak benar orang yang mengatakan jika seseorang
mencapai pengetahuan yang tinggi sekali, ia tidak dapat beriman dan tidak
dapat percaya Yesus Kristus. Mereka mungkin percaya kepada Yesus Kristus,
asal kita dapat menjelaskan kebenaran sebenar mungkin, sehingga mereka
mengetahui penafsiran yang benar. Itulah tugas kita sebagai orang Kristen.
Setiap orang Kristen harus mampu menjelaskan iman kits sejelas dan sebenar
mungkin, dan untuk itu kita perlu belajar banyak hal.
Martin Luther pernah mengatakan kalimat yang mengejutkan:
"Rasio itu pelacur." Mengapa? Karena rasio selalu mencari alasan
untuk mendukung apa yang telah ia tetapkan terlebih dahulu. Kalau seseorang
sudah berniat berbuat dosa, lalu ia mencari berbagai macam alasan, sehingga
jika ia ditanya ia dapat membela diri untuk menyatakan dirinya tidak
bersalah. Dengan demikian ia sudah memperalat rasio untuk menaati
ketidaksetiaan manusia yang tidak berarah. Oleh karena itu, rasio disebut
sebagai pelacur. Jika isteri Saudara hari ini mengatakan kepada Saudara "Engkau
suamiku", lalu esok mengatakan kepada orang lain "Engkau
suamiku", lalu esoknya lagi berbicara dengan nada yang merdu kalimat
yang sama kepada orang lain lagi, maka Saudara pasti akan benci sekali
kepadanya. Itulah kemungkinan rasio Saudara: Kita perlu mempertahankan
kesetiaan rasio kits di hadapan Tuhan, karena rasio kita adalah mempelai
Tuhan yang adalah kebenaran. Kesetiaan ini disebut sebagai fide, yaitu:
iman. Gereja adalah mempelai Kristus, pikiran adalah mempelai dari
kebenaran Kristus. Biarlah pikiran kita dipenuhi oleh firman. Tuhan
menciptakan otak dan Tuhan mewahyukan kebenaran, supaya otak yang dicipta
tersebut dipimpin dan dipenuh oleh kebenaran yang diwahyukan.
----------------------------------------------------------------------
PESTA ======Pendidikan Elektronik Studi Teologia Kaum Awam====== PESTA
Bahan
Referensi AUA I
=================
Berikut
ini adalah daftar buku yang dipakai sebagai referensi untuk membantu
peserta PESTA mendapatkan penjelasan-penjelasan yang lebih dalam dan luas
tentang pokok-pokok materi yang dibahas dalam Kursus APOLOGETIKA UNTUK AWAM
I. Karena tujuannya adalah untuk melengkapi, maka akan sangat baik jika
Anda bisa mengusahakan memiliki buku-buku tsb. dalam bentuk cetaknya untuk
kebutuhan di masa y.a.d..
- Berkhof, Louis, TEOLOGI
SISTEMATIKA, Lembaga Reformed Injili Indonesia, Jakarta: 1994.
- Cole, Dr. Charles W.,
PENGAKUAN BAPTIS 1689, Carey Publication: 1996.
- Hoekhema, Anthony A.,
DISELAMATKAN OLEH ANUGERAH, Momentum, Jakarta: 2001
- Hoekama, Anthony A.,
MANUSIA: CIPTAAN MENURUT GAMBAR ALLAH, Momentum, Surabaya: 2003
- J.I. Packer, Tuntunan
Praktis Untuk Mengenal Allah, Yayasan ANDI, Yogyakarta, 2002
- Kreeft, Peter &
Tacelli, Ronald K., PEDOMAN APOLOGETIKA KRISTEN, Yayasan Kalam Hidup,
Bandung: 2006.
- Sproul, R.C., KEBENARAN-KEBENARAN
DASAR IMAN KRISTEN, Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang.
- Thiessen, Henry C., TEOLOGI
SISTEMATIKA, Gandum Mas, Malang: 2003.
- Tong, Stephen, IMAN, RASIO
DAN KEBENARAN, Institut Reformed, Jakarta: 1996.
- Nama situs: Carm,
http://www.carm.org/apologetics.htm, Introduction to Apologetics, by
Matthew J. Slick
|
No comments:
Post a Comment