ALKITAB BAHASA ASLI
Umat Kristen pasti mempunyai rasa ingin tahu ('curiosity') tentang Alkitab bahasa asli. Terlebih ketika Alkitab terjemahan tidak menyelesaikan persoalan, maka timbul pikiran untuk melihat Alkitab dalam bahasa aslinya. Alkitab bahasa asli adalah 'final authority' untuk menyelesaikan segala macam perdebatan teologia maupun percekcokan doktrinal. Semua Alkitab terjemahan hanya memuat kebenaran konseptual bukan kebenaran secara arti kata dan tata bahasa. Oleh sebab itu, jika melakukan pembahasan Alkitab secara etimologi, maka harus kembali ke Alkitab bahasa asli karena peralihan bahasa menyebabkan perubahan bentuk kata dan juga susunan kalimat.
Disadari pula bahwa ada perbedaan antara satu bahasa dengan yang lain. Ada bahasa yang banyak 'vocabulary'nya dan ada bahasa yang sedikit. Tidak dapat dikatakan bahwa Alkitab hasil terjemahan akan salah atau kurang bermutu, tetapi hanya ada kekurangan dalam menyampaikan semua idea penulis. Misalnya 'agape' dan 'fileo' dalam bahasa Indonesia kedua-duanya tetap diterjemahkan dengan kata "kasih" saja, sedangkan 'kurios' mempunyai makna ganda yaitu "Tuhan" dan "Tuan".
Karena Allah mengilhamkan kebenaran-Nya dengan bahasa manusia, maka pemakaian tiap-tiap kata dalam wahyu tertulis-Nya pasti adalah dipilih-Nya secara khusus. Bahkan tata bahasa yang dipergunakan-Nya juga pasti yang sesuai dengan aturan tata-bahasa manusia pemakai bahasa itu agar tidak menyebabkan kebingungan bagi penerima wahyu. Selanjutnya karena Allah memakai bahasa Ibrani untuk penulisan kitab Perjanjian Lama dan bahasa Yunani untuk penulisan kitab Perjanjian Baru, maka kitab Perjanjian Lama yang bahasa Ibrani serta kitab Perjanjian Baru yang bahasa Yunani itu sangat enting setidaknya untuk dikenal oleh setiap orang Kristen, apalagi seorang penyampai Firman Tuhan, misalnya pendeta atau Pastur.
Kitab Perjanjian Lama orang Kristen itu berasal dari kitab suci orang Yahudi. Jumlah kitab Perjanjian Lama bertambah sesuai dengan berjalannya waktu sampai nabi Maleakhi menuliskan pasal 4 ayat 6 yang jatuh pada kira-kira 400 tahun sebelum kelahiran Yesus.
Pada waktu kejatuhan Yerusalem ke tangan Babilon, kelihatannya kitab-kitab Perjanjian Lama yang sudah ada pada saat itu diselamatkan oleh nabi Yeremia. Nabi Yeremia yang tahu persis apa yang akan terjadi menyadari bahwa kitab suci jauh lebih berharga dari apapun.
Nebukadnezar yang tahu bahwa Yeremia menubuatkan kejatuhan Yerusalem sangat menghormati Yeremia. Bahkan ia membiarkan Yeremia memilih apakah ia mau tinggal di Yerusalem atau mau ikut ke Babel, dan akhirnya Yeremia memilih tinggal di Yerusalem. Hal ini dapat dibaca dalam Yeremia 39:11-14, "Mengenai Yeremia, Nebukadnezar, raja Babel, telah memberi perintah dengan perantaraan Nebuzaradan, kepala pasukan pengawal, bunyinya: 'Bawalah dan perhatikanlah dia, janganlah
apa-apakan dia, melainkan haruslah kaulakukan kepadanya sesuai dengan permintaannya kepadamu!' Maka Nebuzaradan, kepala pasukan pengawal, beserta Nebusyazban, kepala istana, dan Nergal-Sarezer, panglima, dan semua perwira tinggi raja Babel, mengutus orang - mereka menyuruh mengambil Yeremia dari pelataran penjagaan, lalu menyerahkannya kepada Gedalya bin Ahikam bin Safan untuk membebaskannya, supaya pulang ke rumah. Demikianlah Yeremia tinggal di tengah-tengah rakyat."
Ketika Nebukadnezar merebut Yerusalem, ia membawa pergi sekitar 25.000 orang, bagian terbesar adalah penduduk Yerusalem, ke pembuangan di Babel. Hal ini merupakan deportasi ke-3. Akan tetapi, orang-orang miskin di negeri itu ditinggalkan untuk menjadi tukang kebun anggur dan peladang di Palestina. Tidak mungkin orang-orang seperti itu akan mengadakan pemberontakan melawan kekuasaan Babel atas negeri tersebut, setelah para pemimpin politik terbunuh atau dideportasi. Nebukadnezar menunjuk seorang Yahudi bernama Gedalya untuk memerintah atas orang-orang Yahudi yang tetap tinggal di Palestina. Orang ini mengadakan ibu kotanya di Mizpa, sekitar 11 km sebelah utara Yerusalem. Yeremia datang ke Mizpa agar dapat bersama dengan Gedalya setelah kepala pasukan Nebukadnezar membebaskan nabi Yeremia dan menasehati dia untuk kembali kepada Gedalya.
Serangan Nebukadnezar pada tahun 605, 597, dan 589-586 sebelum Masehi mengakibatkan banyak kerusakan dan kehancuran di Yehuda. Bukti arkeologis menunjukkan bahwa banyak dari kota-kota Yehuda telah dihancurkan dan tidak dibangun kembali, suatu fakta yang secara khusus terbukti dalam penggalian-penggalian di Aseka, Bet-Semes dan Kiryat-Sefer, dan juga melalui pemeriksaan permukaan tanah di beberapa
tempat. Penggalian di Lakhis juga menunjukkan bukti tentang penghancuran oleh Babel. Penyerbuan terakhir, pada tahun 589, memuncak dalam pengepungan dan penghancuran Yerusalem yang disusul oleh deportasi terakhir pada tahun 586 sebelum Masehi.
Sekembali dari pembuangan, orang Yahudi mengalami kebangunan rohani. Mereka bukan hanya pergi ke Yerusalem tiga kali setahun, bahkan mendirikan 'sinagoge' di seluruh Israel. Keberadaan 'sinagoge' itu bukan hanya untuk kegiatan keagamaan, bahkan bermanfaat sebagai sekolahan membaca bagi anak-anak. Keadaan ini menyebabkan dibutuhkannya kitab-kitab Perjanjian Lama karena itu adalah bahan bacaan satu-satunya. Keadaan ini juga sekaligus melestarikan kanon kitab Perjanjian Lama karena jumlahnya menjadi semakin banyak sehingga kalau yang satu rusak, masih ada yang lain. Kini terkumpul sekitar 200.000 naskah kuno dalam bentuk 'fragment' dalam bahasa Ibrani dan Aramik.
Dengan cara demikian Allah memelihara firman-Nya, yaitu agar orang-orang di kemudian hari dapat memperbandingkannya. Ada orang bertanya, "Apakah kitab Perjanjian Lama yang ada di tangan umat Kristen masih asli?" Jawabannya, "Tentu, karena ada kurang lebih 200.000 'fragment' yang terkumpul dan dibanding-bandingkan."
Ketika Alexander Agung mengalahkan dunia pada abad ketiga sebelum kelahiran Yesus, bahasa Yunani menjadi bahasa internasional. Satu abad kemudian, yaitu abad kedua sebelum kedatang Yesus, generasi muda Yahudi perantauan menjadi lebih fasih berbahasa Yunani sehingga penerjemahan kitab Perjanjian Lama ke dalam bahasa Yunani dirasakan sangat diperlukan. Kemudian sebuah kitab terjemahan dihasilkan oleh 72 orang
penerjemah, dan disebut 'Septuaginta' yang artinya tujuh puluh, yaitu angka genap dari jumlah penerjemahnya.
Akhirnya pada masa kehadiran Yesus, kitab Perjanjian Lama yang beredar ada dua macam, yaitu yang berbahasa Ibrani dan berbahasa Yunani ('Septuaginta'). Selain terdiri dari dua macam bahasa, ada juga versi yang dipakai di 'sinagoge' dan versi yang dipakai oleh pribadi di rumah. Versi 'sinagoge' disalin ulang dengan sangat teliti. Menurut Gleason L. Archer dalam bukunya "The Zondervan Pictorial Encyclopedia of the Bible" (Grand Rapid: Zondervan Publishing House, 1982), jika ditemukan empat kesalahan, maka dianggap rusak dan segera dimusnahkan.
Mereka tidak menghendaki kehadiran salinan yang ada kesalahan agar jangan sampai makin hari makin banyak salinan yang salah.
Kemudian pada tahun 70 Masehi terjadi penghancuran kota Yerusalem beserta Bait Allah. Orang Israel terkocar-kacir dan tersebar ke mana-mana. Mereka kehilangan identitas sebagai bangsa. Setelah melalui sebuah periode waktu yang agak panjang, sebagian orang Israel menyadari bahwa mereka perlu berbuat sesuatu agar identitas bangsa mereka tidak hilang sama sekali. Mereka menyadari bahwa kitab Perjanjian Lama adalah tumpuan jati diri orang Yahudi serta merupakan pusat integritas keluarga Yahudi. Jika masih ada kanon kitab Perjanjian Lama yang terus-menerus dibacakan di 'sinagoge' dan dalam keluarga masing-masing, maka keyahudian mereka pasti tidak akan hilang.
Pada periode 70-900 Masehi, sekelompok orang Yahudi yang disebut 'Baly ha-masoret' ('master of tradition' atau guru adat-istiadat) berusaha mengumpulkan salinan-salinan untuk memantapkan eksistensi kitab Perjanjian Lama. Perlu diketahui bahwa yang terbakar adalah yang ada di kota Yerusalem, tetapi masih ada banyak salinan yang tersimpan di 'sinagoge-sinagoge' yang bisa dijadikan patokan. Alasan yang mendorong
mereka melakukan pekerjaan itu ialah karena salinan yang ada hanya tertulis dengan huruf mati sedangkan generasi muda Yahudi yang sudah tersebar mengalami kesulitan untuk membaca tanpa huruf hidup. Bagi yang lancar berbahasa Ibrani, ia tidak membutuhkan huruf hidup, melainkan cukup dengan huruf mati (konsonan) saja sudah bisa membaca dan mengerti artinya. Jadi kalau kalimatnya, "Musa turun dari gunung Sinai" itu hanya ditulis "Ms trn dr gnng sn".
Jadi "Baly ha-masoret" itu berusaha mengumpulkan salinan-salinan dan berusaha membubuhkan huruf hidup (vokal) agar generasi yang kurang fasih berbahasa Ibrani bisa belajar membaca. Hasilnya bukan saja iman Yudaisme mereka tetap terpelihara, bahkan bahasa Ibrani tetap lestari sementara bahasa Mesir, Persia dan lain-lain musnah terkikis waktu.
Dengan demikian jati diri mereka sebagai orang Yahudi tetap terpelihara sekalipun mereka tersebar ke segala penjuru dunia.
Dalam melaksanakan tugas yang sangat berat itu para 'Baly ha-masoret' dibantu oleh ahli tata-bahasa ('grammar') yang dalam bahasa Ibrani disebut 'nag danim'. Karena kitab Perjanjian Lama asli yang ditulis Musa, Daud, Samuel dan lain-lain tidak memakai huruf hidup ('vokal') dan juga tanpa tanda baca, maka sulit dimengerti oleh generasi muda Yahudi maupun bangsa lain yang mempelajari bahasa asli kitab Perjanjian Lama. Para 'Baly ha-Masoret' dan 'nag danim', orang-orang Yahudi yang masih sangat fasih bahkan ahli dalam bahasa Ibrani itu, menolong memasang huruf hidup dan tanda baca ke dalam teks yang tadinya hanya terdiri dari huruf mati dan tanpa tanda baca.
Kesederhanaan teks yang ditulis jauh sebelum Masehi itu tentu bukanlah suatu kesalahan karena perkembangan pengetahuan bahasa pada saat itu cuma hanya sampai pada tahap itu. Penambahan huruf hidup dan tanda baca itu sama sekali bukan menambahi firman Tuhan, melainkan hanya menjadikan bunyi yang sudah ada ke dalam tanda baca. Misalnya, "makan" kalau dulu ditulis "mkn" saja, maka sekarang ditambahkan dua huruf "a" sehingga menjadi "makan". Bahkan bahasa Indonesia pernah mengalami beberapa kali penyempurnaan. Dulu "Soekarno" sekarang menjadi "Sukarno". Dulu "djangan" sekarang menjadi "jangan", dan dulu "tjepat" sekarang menjadi "cepat".
Para 'Baly ha-Masoret' dan 'nag danim' yang hidup sesudah 70 Masehi, yang menguatirkan keimanan anak-cucu bangsa Israel telah dipakai Allah untuk memelihara kitab Perjanjian Lama yang sangat dibutuhkan jemaat Perjanjian Baru. Hasil karya mereka disebut 'Masoretic Text' (Teks Masoretik), dipakai oleh baik kaum Yahudi maupun Kristen.
Pada tahun 1947 dunia kekristenan dikejutkan dengan diketemukannya Dead Sea Scroll. Seorang bocah Baduin yang berusaha mencari dombanya yang hilang tanpa sengaja memasuki gua di Wadi Qumran, sebelah barat daya Laut Mati. Di dalam gua yang gelap ia tersandung pada gulungan benda yang dua kaki panjang dan sepuluh inci tebal. Para gembala itu menjualnya ke toko antik di Bethlehem yang memberi beberapa gulung, dan seorang 'Archbishop' dari gereja Orthodox Syria membeli sisanya.
Beberapa orang ahli menelitinya dan menyimpulkan bahwa itu tidak ada nilainya. tetapi E.L. Sukenik, dari Hebrew University di Yerusalem, mengenal keunikan gulungan itu dan membeli tiga gulungan. Gulungan lain dibawa ke American School of Oriental Research, diteliti oleh J.C. Trever dan W.F. Albright, seorang arkeolog Alkitab, akhirnya pada tahun 1948 menyadari bahwa itu adalah gulungan kitab-kitab Perjanjian Lama.
Pada akhir tahun 1951 kembali di sekitar gua-gua Laut Mati, yaitu di gua Wadi Murabba'at ditemukan lagi gulungan-gulungan lain di antaranya juga terdapat gulungan teks 'Masoretik'. Pada tahun 1952 dilakukan eksplorasi yang lebih intensif dan di gua yang terletak di sebelah barat Khirbet Qumran ditemukan hampir keseluruhan kitab Perjanjian Lama kecuali kitab Ester.
Adapun isi dari 'manuscript' (MSS) yang ditemukan di Qumran itu ada sebagian berbeda dari Teks Masoretik namun sama dengan 'Septuaginta' (LXX). Tetapi lebih banyak kesamaannya dengan Teks Masoretik daripada dengan LXX. Kelihatannya MSS yang ditemukan di Qumran adalah teks yang dipergunakan oleh pribadi, bukan yang dipergunakan di 'sinagoge', karena ada banyak catatan pinggir, dan naskah tua yang diperkirakan sebelum Yesus, ternyata ada tambahan huruf hidup (vokal). Diketahui
bahwa naskah bahasa Ibrani sebelum para 'Baly ha-Masoret' memasangkan huruf hidup (vokal) naskah resmi yang dipakai di Bait Allah dan 'sinagoge' itu hanya terdiri dari huruf mati (konsonan) saja. Jadi kalau ada naskah sebelumnya yang terdapat selipan huruf hidup adalah naskah pribadi yang dipakai di keluarga. Biasanya karena anak-anak mereka belum terbiasa membaca tanpa huruf hidup, maka orang tua mereka membantu dengan menambahi huruf hidup bagi mereka.
Kalangan Liberal menjadi kalang-kabut dengan ditemukannya 'Dead Sea Scroll', namun sebagian mereka menjadikannya dasar untuk membangun 'Critical Texts' (Teks Pengritik) untuk mendiskreditkan Teks Masoretik. Tetapi kalangan Fundamental tetap yakin bahwa Teks Masoretik adalah teks terpercaya karena bukan hanya telah dikerjakan dengan sangat hati-hati, bahkan sumber landasannya adalah naskah resmi yang dipakai di 'sinagoge-sinagoge', bukan naskah pribadi yang telah banyak penambahan dan pengurangan. Bisa dipahami kalau sesuatu itu milik pribadi maka bisa ditambah dan dikurangi seperti yang dilakukan terhadap Alkitab hari ini, di mana umat Kristen membuat catatan di pinggir dan menandainya dan lain sebagainya.
Naskah-naskah kitab Perjanjian Baru telah terpelihara melalui orang-orang percaya yang menyayangi naskah itu sehingga orang berusaha memilikinya dengan memperbanyaknya. Dengan cara diperbanyak, maka naskah ini tidak dapat dimusnahkan, dan sekaligus dijaga keotentikannya karena di kemudian hari umat Kristen dapat membanding-bandingkannya.
Menurut The Zondervan Pictorial Encyclopedia of the Bible volume V, kini telah tersimpan ± 3,000 copy naskah Perjanjian Baru tulisan tangan dalam bahasa Yunani dalam bentuk fragment dan 2,000 copy dalam bentuk penjelasan (telah ditambahkan berbagai penjelasan) untuk kebutuhan pembacaan tiap hari, 8,000 manuscript dalam bahasa Latin, dan sekitar 2,000 terjemahan versi kuno. Tersedianya naskah-naskah kuno itu telah menjamin sehingga pekerjaan mengedit sebuah kitab Perjanjian Baru ke dalam buku setelah kertas dan alat cepat ditemukan itu dapat dilakukan. Naskah ini telah dipelihara dengan cara diperbanyak dan disimpan hingga manusia dapat menjilidnya menjadi sebuah kitab pada saat menusia telah menemukan alat cetak dan kertas.
Sesungguhnya naskah-naskah Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani telah tersebar ke mana-mana. Sesudah abad ketiga kelihatannya bahasa Latin menjadi bahasa yang cukup penting, terutama disebabkan karena pemerintahan Roma telah berlangsung cukup lama. Pada saat itu menurut Agustinus, hampir setiap orang yang tahu dua bahasa, yaitu Yunani dan Latin, berusaha menerjemahkan kitab-kitab Perjanjian Baru walaupun tidak lengkap. Itulah sebabnya kini terdapat sekitar 8,000 naskah kuno kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Latin. Secara resmi pada tahun 382, Paus Damasus menunjuk Jerome untuk menerjemahkan atau sebenarnya mengedit terjemahan-terjemahan tidak resmi terhadap empat Injil. Hasil revisi yang dikerjakan oleh Jerome itu itu kemudian dikenal dengan 'Vulgate' dalam bahasa Latin itu berarti "umum", mungkin maksudnya dipakai untuk umum. Versi 'Vulgate' dipakai secara resmi oleh gereja Katolik ratusan bahkan ribuan tahun.
Buku tertua dalam cetakan ialah buku dalam tulisan Tionghoa 'Diamond Sutra', yang dicetak pada tahun 868 dengan alat cetak kayu. Pada abad ke-11, orang Tionghoa meningkatkan penciptaan alat cetak bergerak dengan tanah liat. Namun apa yang telah dicapai di China tidak ada hubungannya dengan penemuan alat cetak di Eropa. Menurut The New Book of Knowledge, Volume XV, Johannes Gutenberg adalah orang pertama yang menemukan alat cetak pada tahun 1440 di benua Eropa.
Buku pertama yang dicetak oleh percetakan Gutenberg ialah Alkitab versi Vulgate yang cakap dalam ukuran folio, yang selesai pada tahun 1456, yang terkenal dengan sebutan 'Gutenberg Bible'.
Pada tahun 1502, persiapan pencetakan Alkitab bahasa Yunani dimulai di bawah pimpinan Kardinal Ximenes dari Spanyol. Kitab Perjanjian Baru dicetak dalam bahasa Latin dan Yunani, dan Perjanjian Lama dicetak paralel tiga bahasa, yaitu Latin, Ibrani dan Yunani LXX. Proyek ini dilakukan di kota Alcala yang dalam bahasa Latin disebut Complutum sehingga Alkitab itu disebut 'Complutension Polyglot'. Perjanjian Baru selesai pada tahun 1514 dan Perjanjian Lama selesai 1517, namun belum pernah beredar karena pada tahun 1520 baru diterima oleh Paus dan pada tahun 1522 baru dipublikasikan.
Sementara itu pada tahun 1515 seorang ahli bahasa yang bernama Desiderius Erasmus berusaha mengedit kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani dengan mendasarkannya pada lima 'manuscript' tradisional yang tersimpan di Basel dan menerbitkannya pada bulan Maret tahun 1516.
Dengan demikian maka kitab Perjanjian Baru bahasa Yunani yang pertama dicetak adalah 'Complutension Polygot' sedangkan yang pertama terbit dan beredar di masyarakat adalah edisi Desiderius Erasmus. Tidak dapat dipungkiri bahwa kitab Perjanjian Baru ini telah memungkinkan Martin Luther menyadari kesalahan Gereja Katolik, demikian juga dengan Bapak-bapak Reformasi yang lain.
Sangat disayangkan karena naskah yang dimiliki oleh Erasmus itu ternyata enam ayat terakhir dari kitab Wahyu telah hilang sehingga ia menerjemahkannya sendiri dari 'Vulgate' ke bahasa Yunani. Namun kemudian setelah ia mendapatkan naskah yang memiliki enam ayat terakhir kitab Wahyu masih utuh, ia memperbaikinya pada edisi kedua. Kemudian setelah melihat 'Manuscript Codex 61' Erasmus memasukkan 1 Yohanes 5:7,8 yang di kalangan teolog disebut 'Johannen Coma'. Dan Luther menerjemahkan edisi kedua yang terbit 1519 dan yang telah disempurnakan ini ke dalam bahasa Jerman. Penyempurnaan demi penyempurnaan dilakukan setelah melihat naskah-naskah kuno dan membanding-bandingkannya dengan 'Polyglot' sehingga keseluruhannya Erasmus menerbitkan lima edisi.
Dalam tiap perbaikan itu tidak ada penambahan atau pengurangan firman Tuhan, melainkan memeriksa hasil karyanya dan membandingkannya dengan naskah-naskah yang jumlahnya sekitar tiga ribu naskah kuno.
Rupanya menurut Robert Estienne, (yang lebih dikenal dengan Stephanus), hasil karya Erasmus masih perlu diperbagus lagi. Ia menerbitkan empat edisi berturut-turut tahun 1546, 1549, 1550, 1551, yang tiap edisinya terdapat perbaikan-perbaikan yang tidak terlalu berarti, seperti penambahan judul perikop dan lain-lain. Edisi ketiga (1550) dari Stephanus ini dikenal dengan sebutan 'Royal Edition (Edition Regia)'. Edisi keempat terbit tahun 1551 dengan dilengkapi pasal dan ayat sebagaimana yang dipakai oleh umat Kristen hari ini. Umat Kristen patut berterima kasih kepada Stephanus yang telah menolong mereka agar lebih gampang mencari bagian firman Tuhan yang diinginkan. Bayangkan jika tidak ada pasal dan ayat, pasti mereka (umat Kristen dan pembaca lainnya) akan mengalami banyak kesulitan. Mungkin Anda dapat melengkapi kajian kita bersama tentang pembagian ayat-ayat Al~Qur'an, siapakah nama mereka yang terlibat dalam pembagian ayat-ayat ini, karena umat Islam pun patut berterima kasih kepada mereka yang berjasa ini.
Theodore Beza, seorang yang tersohor di kalangan Protestan, juga menerbitkan kitab Perjanjian Baru bahasa asli dalam ukuran folio dengan memakai teks Stephanus sebagai dasar. Ketenaran Theodore Beza turut mempopulerkan teks Erasmus dan Stephanus yang dipakainya sebagai dasar sehingga kalangan reformasi memakai teks mereka sedangkan kalangan Katolik memakai 'Polyglot'.
Keluarga Elzevir, pemilik penerbit berbagai buku klasik, ikut meramaikan penerbitan kitab Perjanjian Baru bahasa asli yang sangat digemari masyarakat yang baru mengalami reformasi itu. Pada edisi kedua terbitannya tercantum tulisan, "Kini Anda memiliki teks yang telah diterima oleh semua kalangan, yang di dalamnya tidak ada penambahan
maupun kesalahan."
Akhirnya ungkapan 'received text' atau 'textum receptum' yang biasa disingkat dengan TR, menjadi nama dari teks yang pertama diedit oleh Desiderius Erasmus, diperlengkapi dan diperindah oleh Stephanus, dipromosikan Theodore Beza dan keluarga Elzevir, diberikan kepada teks yang diterima dan dipakai di kalangan umat Kristen. Teks ini kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa termasuk ke dalam bahasa Inggris, 'King James Version', yang diterjemahkan pada tahun 1611 atas perintah raja Inggris yang bernama James dan dikerjakan oleh lebih dari lima puluh ahli bahasa. Teks yang mereka pakai sebagai dasar ialah Teks Stephanus edisi ketiga dan empat dan edisi Beza terbitan tahun 1598.
Masyarakat, terutama umat Kristen, sangat bersukacita atas tersedianya kitab suci dalam bentuk cetakan bahkan dalam bahasa mereka yang dapat mereka miliki secara pribadi dengan harga yang relatif lebih murah dari sebelumnya. Menurut The New Book of Knowledge volume XV, sebelumnya harga sebuah Alkitab tulisan tangan yang rapi itu sama dengan harga sebuah gedung berlantai dua di dekat 'London Bridge'. Sungguh amat disayangkan mereka yang tidak menghargai firman Tuhan yang ada di tangannya hari ini.
'Textum Receptum' (TR) dipakai oleh orang-orang Kristen di seluruh dunia, dan diterjemahkan ke berbagai bahasa oleh misionari modern yang dipelopori oleh misionari Baptis, William Carey, ke India dan akhirnya banyak misionari ke seluruh penjuru dunia. Selama ± 380 tahun tidak ditemukan cara untuk menghalangi tersebarnya firman Tuhan ke seluruh dunia walaupun dilakukan juga serangan kecil-kecilan yang tidak membawa efek terhadap TR.
Karl Lachmann dari Jerman tercatat adalah orang pertama yang menerbitkan edisi Perjanjian Baru yang sifatnya menyerang TR pada tahun 1831. Setelah dua edisi teks pengritik 'Critical Texts' (CT) diterbitkannya ternyata tidak ada yang menggubrisnya. Pada tahun 1857 Samuel Prideaux Tregelles di Inggris juga menerbitkan 'Critical Text'
untuk menyerang TR. Kemudian Constantin Tischendorf seorang yang menemukan naskah Codex Sinaiticus turut menerbitkan teks Perjanjian Baru yang bersifat menyerang keakuratan TR.
Serangan yang kelihatannya memakan banyak korban adalah yang dilakukan melalui dua orang, yaitu Brooke Fos Westcott, seorang Bishop gereja Anglikan, dan Fenton John Anthony Hort, seorang dosen dari Cambridge University. Untuk mempersingkat nama mereka, biasanya hanya ditulis WH.
Mereka menerbitkan 'Critical Text' (CT) untuk menyerang 'Textum Receptum' (TR) pada tahun 1881. Mereka mendasarkan edisi yang mereka terbitkan pada naskah yang diberi nama 'aleph' yang ditemukan di Sinai yang juga disebut 'Sinaiticus' dan naskah yang diberi nama B yang kata mereka tersimpan di perpustakaan Vatikan.
Menurut Dr. D.A. Waite dalam bukunya 'Defending the King James Bible', antara CT hasil WH dengan TR yang sudah dipakai lebih dari tiga ratus tahun terdapat 5,604 perbedaan yang terdiri dari 1,952 penghilangan (35%), 467 penambahan (8%), dan 3,185 perubahan (57%). Dengan perubahanyang besar-besar an ini kelihatannya serangan terhadap firman Tuhan semakin serius dan intensif. Gelombang pertama yang tumbang berjatuhan adalah teolog-teolog Liberal di Jerman. Keraguan mereka terhadap firman Tuhan mulai muncul bahkan akhirnya mereka melihat Alkitab hanya sekedar buku sejarah.
Sementara teolog Jerman tumbang, kemudian angin pukulan CT melanda Eropa sehingga muncul berbagai kritik terhadap Alkitab (buku yang telah berjasa mengubah orang Eropa menjadi manusia bermoral). Akhirnya angina serangan terhadap Alkitab itu sampai juga ke Amerika. Bersama dengan itu muncul berbagai Alkitab bahasa Inggris terjemahan modern yang didasarkan pada teks CT, antara lain: English Revised Version (1881), American Standard Version (1901), New American Standard Version (1960), New English Version (1961), New International Version (1969).
Bagaimana dengan Alkitab bahasa Indonesia? Dulu Alkitab bahasa Indonesia diterjemahkan dari TR. Kelihatannya Alkitab Terjemahan Baru sedikit terpengaruh oleh CT dari WH. Banyak pembaca tidak menyadari maksud di balik banyak ayat dalam Alkitab Terjemahan Baru yang diberi tanda kurung, contoh [...]. Sebagian dosen sekolah teologia di Indonesia yang sudah terhembus angin Liberalisme mengatakan kepada murid-murid mereka bahwa ayat itu tidak ada dalam Alkitab bahasa aslinya. Penjelasan demikian tentu akan mengundang banyak pertanyaan susulan, yaitu siapa yang menambahkan dan mengapa ditambahkan?
Ternyata Lembaga Alkitab Indonesia memberi tanda kurung pada ayat-ayat yang ada dalam teks TR namun tidak ada dalam teks CT. Tindakan demikian masih baik daripada menghilangkan ayat itu sama sekali. Namun sebenarnya lebih baik tidak perlu diberi kurung karena itu adalah firman Tuhan.
Westcott adalah seorang Bishop gereja Anglikan, gereja yang Doktrin Gereja ('ecclesiology')nya hampir sama dengan Gereja Roma Katolik.
Perbedaannya hanya Gereja Roma Katolik berpusat di Roma sedangkan gereja Anglikan berpusat di London. Dan Gereja Roma Katolik dikepalai Paus sedangkan gereja Anglikan dikepalai Raja atau Ratu Inggris. Sedangkan Hort adalah seorang dosen Universitas Cambridge. Dr. D.A. Waite yang meneliti buku-buku yang ditulis mereka menyimpulkan bahwa sesungguhnya mereka bukan seorang yang telah "lahir baru". Istilah "lahir baru" ini dipergunakan oleh umat Kristen untuk menyatakan "bertobat".
Dr. D.A. Waite tersebut menulis, "In this study, I quote from their writings extensively and show from five of their books that they are apostates, liberals, and unbelievers."
Selain Westcott dan Hort, siapa lagi di balik CT yang makin hari makin dominan itu? Critical Text yang hari ini banyak dipakai di Sekolah Theologi adalah edisi ke-26 yang disebut Nestle/Aland Greek New Testament, 26th edition. Eberhard Nestle dan Kurt Aland, kedua-duanya orang Jerman yang membentuk sebuah komisi yang terdiri dari Kurt Aland sendiri, Matthew Black seorang yang imannya diragukan, Carlo M. Martini seorang Kardinal Gereja Katolik, Bruce Metzger dari Princeton, universitas yang sangat liberal, dan Alan Wigren dari Chicago. Mereka inilah yang mengatakan bahwa Rasul Matius salah tulis karena tidak melihat catatan di Bait Allah sehingga yang seharusnya Asa namun ditulis Asaf, demi untuk membela konsep mereka bahwa naskah kuno yang mereka pakai adalah yang terbaik, yang tidak terjamah oleh tangan-tangan jahil.
Sebaliknya orang-orang yang mengedit Textum Receptum adalah orang-orang mengasihi Tuhan, menurut umat Kristen. Desiderius Erasmus, yang sering dikritik karena humanis, adalah humanis abad pertengahan yang berusaha melepaskan diri dari kungkungan universalisme gereja Roma. Ia bukan humanis masa kini yang filosofinya berpusatkan pada manusia dan mengagungkan manusia. Sedangkan Stephanus adalah orang Protestan, orang yang rela mengorbankan nyawa demi membela kebenaran. Apalagi Theodore Beza, teman dekat John Calvin, adalah tokoh reformasi yang sangat terhormat. Edisi Stephanus dan Beza-lah yang secara umum diterima oleh orang-orang Kristen yang baru mendapat kebangunan rohani melalui gerakan reformasi. Edisi keempat Stephanus tahun 1551 yang telah dilengkapi pasal dan ayat telah menjadi berkat bagi jutaan orang, terlebih setelah dijadikan dasar untuk penerjemahan ke berbagai bahasa termasuk King James Version.
Baik Erasmus, Stephanus, maupun Beza, mereka berusaha mewujudkan kitab Perjanjian Baru bahasa asli hanya agar orang-orang Kristen memiliki firman Tuhan di tangan mereka yang praktis, agar mereka dapat mempelajari dan memberitakannya. Mereka tidak memikirkan masalah hak cipta dan lain sebagainya. Hasil karya mereka menyebabkan banyak orang melihat terang Tuhan. Masyarakat Eropa berubah total setelah reformasi dan tersedianya Alkitab dalam cetakan telah memungkinkan mereka membaca dan mempelajarinya. Tingkat moral masyarakat menjadi semakin tinggi
demikian juga dengan tingkat kepatuhan mereka terhadap hukum. Setiap kali orang menyebut firman Tuhan, tentu yang dimaksud adalah Textum Receptum atau terjemahannya pada masing-masing bahasa.
Namun setelah Westcott dan Hort menerbitkan edisi mereka, kebingungan mulai melanda, pertama-tama di kalangan intelektual, karena mereka terpaksa harus memilih teks mana yang harus mereka jadikan patokan, dan akhirnya juga melanda seluruh kekristenan. Di Indonesia hal ini tidak terasa karena umat Kristen hanya memiliki satu versi Alkitab yaitu terbitan Lembaga Alkitab Indonesia. Tetapi bagi masyarakat yang berbahasa Inggris, dengan tersedianya berbagai versi Alkitab, maka agak kerepotan juga.
Pukulan yang paling menyakitkan ialah tertawaan dari pihak luar, misalnya pihak Islam, yang mengatakan bahwa Injil asli orang Kristen sudah tidak ada, yang ada sekarang adalah yang palsu. Adanya kesalahan pada teks Westcott dan Hort biasanya mereka jadikan bukti untuk statemen mereka. Mereka dapat mengatakan, "lihat, nama silsilah saja salah catat, tidak salah toh kalau itu adalah yang palsu?"
Kehadiran Critical Text telah menyebabkan perdebatan yang tidak ada habis-habisnya. Musuh Alkitab mencatat sukses karena mereka berhasil menggoncang dasar iman orang Kristen dan meletakkan batu sandungan terhadap sebagian orang yang belum percaya. Sebagian orang yang tidak memahami masalah ini sempat tersandung karena mereka dipaksa untuk mempertanyakan aspek 'human error' dari teks bahasa asli yang ada pada saat ini. Tentu karena mereka tidak diberi informasi bahwa usaha pengeditan yang teliti telah dilakukan oleh Erasmus, Stephanus, Beda dengan membanding-bandingkan naskah demi naskah hingga akhirnya tidak ditemukan lagi kesalahan dan orang-orang yang benar-benar Kristen pun secara universal telah menerimanya.
Pada saat Alkitab terjemahan tidak jelas terhadap suatu masalah atau terdapat perbedaan antara satu terjemahan dengan terjemahan yang lain, kemanakah umat Kristen akan mencari otoritas final untuk menjelaskannya? Mau tidak mau, Alkitab bahasa asli adalah otoritas final untuk menyelesaikan masalah baik yang praktis maupun yang bersifat doktrinal.
Jika dunia kekristenan hanya memiliki satu versi Alkitab bahasa asli seperti keadaan abad 16, 17 dan 18, maka dengan gampang dan dengan kebulatan hati semua orang Kristen akan mengacu kepada Alkitab bahasa asli yang hanya satu itu. Kini setidaknya tersedia dua Alkitab bahasa asli yang didalamnya terdapat ± 5,604 perbedaan, maka dengan terpaksa setiap orang Kristen harus menetapkan versi manakah yang akan diakuinya sebagai Alkitab bahasa asli yang benar, atau otoritas yang final (The Final Authority).
Teks yang diakui, Received Text atau Textum Receptum yang diedit pertama kali oleh Erasmus dan diperlengkapi oleh Stephanus dan Geza adalah yang telah diperiksa dan ternyata tidak ditemukan kesalahan serta telah membawa manfaat bagi penduduk Kristen dunia lebih dari tiga abad. Sedangkan Critical Text yang diedit oleh Westcott dan Hort serta diedit ulang oleh komite yang dipimpin oleh Nestle dan Aland ternyata terdapat kesalahan yang sangat konyol, yaitu Asa ditulis dengan Asaf.
Masih ada banyak kesalahan lain lagi yang mereka akui, namun pada umumnya kesalahan itu mereka lemparkan kepada sang penulis untuk membangun asumsi bahwa penulis Alkitab tidak diilhami, atau bahwa Alkitab itu bukan buku istimewa melainkan sama seperti catatan sejarah lain.
Untuk membangun doktrin yang benar, umat Kristen membutuhkan dasar yang benar. Doktrin alkitabiah adalah doktrin yang didasarkan "hanya" pada Alkitab saja. Lalu kalau diperhadapkan dua versi Alkitab bahasa asli, yang manakah yang akan mereka pilih? Kini banyak theolog telah kemasukan angin liberalisme, demikian juga sekolah-sekolah theologia. Masalah Alkitab bahasa asli bisa menjadi salah satu faktor untuk mengenal aliran sebuah sekolah theologia. Rata-rata sekolah theology aliran liberal lebih senang memakai Critical Text karena ketika dosen di sekolah tersebut belajar ke luar negeri, ia sudah terlanjur masuk ke sekolah liberal dan yang memakai Critical Text. Namun sekolah theologia aliran fundamental tetap bertahan pada Received Text atau Textum Receptum yang tidak ada kesalahan dan telah mendatangkan manfaat bagi umat Kristen.
-----------------------------------------------------------------------
Sumber: Doktrin Alkitab Alkitabiah, Dr. Suhendra Liauw, Graphe: Jakarta
Kenyataan 1:
Kitab-kitab Perjanjian Lama pada awalnya ditulis dalam bahasa Ibrani (Hebrew) bagi Israel, umat pilihan Allah. Tetapi setelah orang-orang Yahudi terusir dari tanah Palestina dan akhirnya menetap di berbagai tempat, mereka kehilangan bahasa aslinya dan mulai berbicara dalam bahasa Yunani (Greek) yang pada waktu itu merupakan bahasa antarabangsa. Oleh karena itu menjadi penting kiranya untuk menyediakan bagi mereka, terjemahan seluruh Kitab Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani.
Soalan 1:
Ada sesiapa yang pegang kitab perjanjian lama sewaktu itu? Kalau ada siapakah mereka? Selama mana mereka terusir hingga menyebabkan mereka hilang identiti bahasa mereka?
JAWAB :
Anda bisa membaca dulu sejarah bangsa Israel di http://www.sarapanpagi.org/israel-vt134.html#p271
Meski Bahasa Ibrani pada suatu waktu tidak digunakan sebagai bahasa sehari-hari, bukan berarti bahasa Ibrani itu punah. Bahasa Ibrani tetap menjadi bahasa liturgis yang digunakan di sinagoga (rumah ibadah) dan juga di Bait Allah.
Bahasa yang digunakan dalam Alkitab, ada tiga bahasa asli : yakni bahasa Ibrani, bahasa Aram, dan bahasa Yunani.
Alkitab ditulis dalam ketiga bahasa tersebut, dan tergantung dari waktu bagian tertentu ditulis dlm bahasa apa. Bagian-bagian yang paling kuno dari Perjanjian Lama ditulis dalam bahasa Ibrani, yang merupakan bahasa sehari-hari dari bangsa Israel pada zaman itu.
Lalu, berabad-abad kemudian, dipakai bahasa Aram. Perbedaan antara bahasa Ibrani dan bahasa Aram dapat digambarkan sebagai perbedaan antara bahasa Melayu Kuno dan Indonesia sekarang.
Selama pembuangan ke Babel hingga kembali ke Israel ± tahun 538 sebelum Masehi di bawah pimpinan Ezra-Nehemia, bahasa yang digunakan oleh orang Yahudi sudah bercampur dengan bahasa Aram, disebut sebagai bahasa Aram Klasik, dan akhirnya mereka benar-benar berbahasa Aram hingga di era Yesus Kristus. Sebagian kitab Perjanjian Lama yang ditulis di era pembuangan ini, ditulis dalam bahasa Aram, seperti sebagian kitab Daniel, Ezra, dan Nehemia.
Penggalian inskripsi-inskripsi di daerah Israel bertarikh 300 sebelum Masehi hingga 500 Masehi menunjukkan bahwa 70% ditulis dalam bahasa Yunani, 12% dalam bahasa Latin, dan hanya 18% ditulis dalam bahasa Aram. Tidak suatu pun yang ditulis dalam bahasa Ibrani.
Jadi sama-sama bahasa orang Israel, namun yang satu dari zaman dahulu (kuno) yang lain dari zaman kemudian (modern), khususnya zaman Yesus dan para Rasul. Jadi secara sederhana dapat dikatakan bahwa bahasa Ibrani adalah "Aram kuno," dan bahasa Aram adalah "Ibrani modern." Tetapi dalam periode yang lebih kemudian lagi, sudah menjelang zaman Yesus, orang menulis tidak hanya dalam bahasa Aram tetapi juga dalam bahasa Yunani. Maka dalam PL bagian terbesar ditulis dalam bahasa Ibrani, sedangkan sebagian kecil dalam bahasa Aram dan juga bahasa Yunani.
Di Yerusalem sendiri, 40% dari inskripsi Yahudi sebelum tahun 70 Masehi (keruntuhan Yerusalem) ditulis dalam bahasa Yunani, sisanya ditulis dalam bahasa Aram (bukan Ibrani).
Perjanjian Baru (PB) seluruhnya ditulis dalam bahasa Yunani, walaupun pada jaman PB didominasi oleh bahasa Ibrani Aramaik, saya ingin memberikan gambaran singkat mengenai kedudukan ketiga bahasa itu pada zaman Yesus, seperti kita sering berbahasa daerah (betawi, sunda atau jawa) tetapi dalam penulisan tetap dengan bahasa Indonesia.
Bahwa inskripsi berbahasa Yunani pun ditemukan di daerah Iraq; Hal itu tidak mengherankan karena Aleksander Agung (336 - 323 sebelum Masehi) pernah menaklukkan kerajaan Persia, oleh karena itu banyak sekali kebudayaan terutama filsafat Yunani merasuk ke dalam peradaban Timur.
Adanya perluasan jajahan dan pengembangan kebudayaan yang dilakukan oleh Aleksander Agung, bahasa Yunani berakar kuat di daerah Timur Dekat dan wilayah Laut Tengah yaitu mulai abad ke-4 sebelum Masehi.
Pelayanan Yesus ditengah multi kultural dan bahasa :
Salah satu keunikan Injil adalah pewartaan Yesus mula-mula di tengah dunia yang multi etnik dan multilingual di Galilea pada abad pertama Masehi. Dalam Yesaya 8:22 dinubuatkan daerah pelayanan Sang Mesiah: "DEREKH HAYAM EVER HAYARDEN GELIL HAGOYIM" (jalan ke laut, daerah seberang Yordan, Galilea wilayah bangsa-bangsa). Latarbelakang ini sangat mempengaruhi corak keagamaan Kristiani sejak semula. Beberapa ahli menyimpulkan, bahwa Yesus dan penduduk Galilea khususnya dan Israel pada umumnya berbicara dalam bahasa Ibrani, Aram dan sedikit Yunani.
Pertama, mengenai bahasa Ibrani dan Aram sebagai dua bahasa serumpun. Kedua bahasa ini erat bertalian, banyak kata dalam kedua bahasa ini sama. Tata bahasa dan sintaksisnya juga sama. Pada zaman Abraham (kira-kira 1900 SM) kedua bahasa itu dapat dikatakan identik, artinya belum terpecah satu sama lain. Dalam sebuah liturgi Yahudi kuno, disebutkan: "ARAMI OVED AVI VAYERED", 'Bapaku dahulu seorang Aram, seorang pengembara' (Ulangan 26:5). Ini merujuk kepada Yakub, nenek moyang bangsa Israel, bahwa ia disebut orang Aram sebab disitulah letak geografis tempat tinggalnya, meskipun ia bukan dari suku itu. Dan juga karena Yakub pernah tinggal di Aram-naharaim dan anak-anaknya yang kemudian menjadi bangsa Israel.
Berabad-abad kemudian (kira-kira 1,100 - 722 sM) dari bahasa yang satu itu melahirkan dua cabang bahasa: Ibrani di kalangan orang Yahudi di Palestina dan bahasa Aram di kerajaan-kerajaan Aram di Mesopotamia: Damaskus, Zobah dan Hamat.
Bahasa Ibrani dipakai oleh Saul, Daud, Salomo dan nabi-nabi lainnya, sehingga Perjanjian Lama untuk sebagian besar ditulis dalam bahasa ini. Bahasa Ibrani (atau dikenal sebagai bahasa Ibrani klasik) bertahan sebagai bahasa resmi kerajaan Israel sampai jatuhnya Yerusalem tahun 587 sM.
Sementara itu, bahasa Aram berkembang pesat ketika orang-orang Asyiria menguasai kembali Mesopotamia (883-606 sM) dan akhirnya bahasa Aram menjadi bahasa resmi kerajaan. Keadaan ini semakin kuat di kalangan orang-orang Babel (606-539 SM) dan kelak di kalangan Persia (539-333 SM). Pada zaman ini bahasa Aram terus mendesak bahasa Ibrani sampai zaman Yesus, khususnya di wilayah Galilea, Samaria dan daerah-daerah sekitarnya. Pada zaman itu bahasa Aram tersebar luas sebagai 'lingua franca' di wilayah Timur, sedangkan bahasa Yunani dipakai sebagai 'lingua franca' di wilayah Barat. Sementara itu bahasa Ibrani membeku sebagai "bahasa suci (bahasa liturgis)" di Bait Allah dan sinagoge-sinagoge Yahudi.
Kendati secara praktis bahasa Aram berbeda dengan bahasa Ibrani klasik, namun kedua bahasa ini adalah satu rumpun dan pada zaman Yesus bahasa Aram disebut juga sebagai bahasa Ibrani. Hal ini tampak pada catatan-catatan Perjanjian Baru, yang menyebut kata-kata Aram seperti: Gabbatha (Yohanes 19:13) sebagai bahasa Ibrani juga. Begitu pula, sejarahwan Yahudi Flavius Yosephus memberitahukan kepada kita bahwa ia menulis bukunya The Jewish War ditulis dalam 'bahasa Ibrani', meskipun kenyataannya ia menulis "dalam dialek Ibrani", yaitu bahasa Aram. Karena pada zaman itu bahasa Aram, kendatipun dibedakan dari bahasa Ibrani sebagai "bahasa kekusasteraan rabbinis" (yang biasa disebut juga bahasa Ibrani Mishnah), tetapi bahasa Aram hanya dianggap sebagai dialek bahasa Ibrani tutur Galilea. Karena itu, Petrus dikenali karena dialek bahasanya (Matius 26:73).
Bahasa Ibrani, Aram maupun Yunani dijumpai bersama-sama di wilayah Israel pada abad pertama Masehi. Penemuan inskripsi-inskripsi kuno (graffiti, monogram dan simbol) di bekas sinagoge Kapernaum yang ditulis dalam bahasa Ibrani Aram, Paleo-estrangelo Syriac, Yunani, bahkan Latin membuktikan dunia multi-etnik dan multi-lingual Yesus Kristus. Lebih-lebih lagi, jelas sekali dalam Injil Yohanes 19:19 dicatat bahwa inksripsi di atas kayu salib Yesus dicatat dalam bahasa Ibrani, Yunani dan Latin. Untuk pembaca bisa membayangkan, selain teks asli Yunani, di bawah ini dapat kita ikuti rekonstruksi bunyi inskripsi itu dalam Ibrani (baik Ibrani Mishnah maupun Ibrani tutur) dan juga dalam bahasa Latin:
* iesous ho nasoraios ho basileos ton ioudaion (bahasa Yunani).
* Yeshua ha natseri melak ha-yehudim (bahasa Ibrani Mishnah).
* yeshua natsraya malka da yhudeim (bahasa Aram/Syriac).
* iesus nazarenus rex yudaerum (bahasa Latin).
Kalau begitu, bagaimana mengucapkan nama Sang Juru Selamat yang sah? Yeshua, Iesous atau Iesus/Yesus? Jawabnya, semua sah-sah saja, karena semua bahasa itu hidup pada zaman-Nya. Jadi, dalam bahasa Aram inilah Yesus berbicara sehari-hari dan mengajar murid-muridnya, begitu juga ketika dikatakan bahwa Yesus bebicara dengan Paulus dalam bahasa Ibrani (Kisah 26:14), kemungkinan besar dalam bahasa Ibrani tutur Galilea atau Aram. Tetapi ketika membaca Taurat dan Kitab Nabi-nabi di sinagoge, pasti Yesus mendaraskannya dalam bahasa Ibrani (Lukas 4:18-20). Tetapi Yesus juga berbicara dalam bahasa Yunani, misalnya dalam percakapannya dengan seorang perwira di Kapernaum (Lukas 7:1-10).
Tidak hanya ke-3 bahasa itu saja yang berkembang pada masa pelayanan Yesus. Adanya penjajahan Romawi pula mengakibatkan adanya empat bahasa di era Yesus Kristus:
[1] bahasa Ibrani merupakan bahasa liturgis, digunakan untuk membaca Torah, dan sebagainya, tidak digunakan sebagai bahasa sehari-hari, dikenal sebagai bahasa Ibrani Misyna karena adanya campur tangan para ahli Taurat menyusun Talmud;
[2] bahasa Aram, digunakan oleh orang Yahudi lokal sebagai bahasa sehari-hari;
[3] bahasa Yunani, digunakan oleh orang Yahudi pendatang sebagai bahasa pergaulan di Timur Dekat; pada umumnya Yahudi pendatang berbahasa Yunani ini mengunjungi Yerusalem dalam rangka transaksi bisnis dan ziarah ke Bait Allah; dan
[4] bahasa Latin, bahasa kaum penjajah yang digunakan oleh orang-orang Romawi yang menjajah Israel sejak tahun 63 sebelum Masehi.
Sesudah keruntuhan Yerusalem tahun 70 Masehi, bahasa Aram yang mereka gunakan pun berangsur-angsur punah, bercampur dengan bahasa Jerman, Polandia, dan Rusia sehingga timbul dialek-dialek Yahudi yang baru seperti Yidisy, Ladino, dan sebagainya.
Sekitar awal 1800-an kalangan Yahudi yang dipelopori oleh seorang rabi mulai mengusahakan agar bahasa Ibrani kuno yang ditulis di dalam Tanakh (Taurat, Zabur, dan lain-lain) digunakan sebagai bahasa percakapan. Dan mulai saat itulah bahasa Ibrani baru digunakan kembali oleh orang Israel setelah tidak digunakan lebih dari 1000 tahun.
Artikel Terkait :
PERJANJIAN BARU, BAHASA, di http://www.sarapanpagi.org/perjanjian-b ... 5.html#p325
Tanya :
Quote:
Kenyataan 2:
Pada waktu itu di Alexandria berdiam sejumlah besar orang Yahudi yang berbahasa Yunani. Selama pemerintahan Ptolemius II Philadelphus (285 - 246 SM) projek penterjemahan dari seluruh Kitab Suci orang Yahudi ke dalam bahasa Yunani dimulai oleh 72 ahli-kitab Yahudi - menurut tradisi - 6 orang dipilih mewakili setiap dari 12 suku bangsa Israel. Terjemahan ini diselesaikan sekitar tahun 250 - 125 SM dan disebut Septuagint,
Kitab ini sangat popular dan diakui sebagai Kitab Suci rasmi (kanon Alexandria) kaum Yahudi, yang tinggal di wilayah Asia Kecil dan Mesir. Pada waktu itu Ibrani adalah bahasa yang nyaris mati dan orang-orang Yahudi di Palestina umumnya berbicara dalam bahasa Aram. Jadi tidak mengherankan kalau Septuagint adalah terjemahan yang digunakan oleh Yesus, para Rasul dan para penulis kitab-kitab Perjanjian Baru. Bahkan, 300 kutipan dari Kitab Perjanjian Lama yang ditemukan dalam Kitab Perjanjian Baru adalah berasal dari Septuagint. Harap diingat juga bahwa seluruh Kitab Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani.
Soalan 2:
3. Apakah kriteria atau kehebatan 6 orang yang dipilih itu? Dan siapa mereka?
JAWAB :
Tidak ada rujukan nama-nama dari para penterjemah Septuaginta (LXX, L=50, X=10, X=10) .
Infomasi mengenai terjemahan Septuaginta, Anda bisa membaca di artikel yang berjudul SEPTUAGINTA, http://www.sarapanpagi.org/septuaginta-vt116.html
Tanya :
Quote:
Kenyataan 3:
Setelah Yesus disalibkan dan wafat, para pengikut-Nya tidak menjadi punah tetapi malahan menjadi semakin kuat. Pada sekitar tahun 100 Masehi, para rabbi (imam Yahudi) berkumpul di Jamnia, Palestina, mungkin sebagai reaksi terhadap umat Kristen. Dalam konsili Jamnia ini mereka menetapkan empat kriteria untuk menentukan kanon (=standard) Kitab Suci mereka:
[1] Ditulis dalam bahasa Ibrani;
[2] Sesuai dengan Kitab Taurat;
[3] lebih tua dari jaman Ezra (sekitar 400 SM);
[4] dan ditulis di Palestina.
Atas kriteria-kriteria diatas mereka mengeluarkan kanon baru untuk menolak tujuh buku dari kanon Alexandria, yaitu seperti yang tercantum dalam Septuagint, yaitu: Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Sirakh, Barukh, 1 Makabe, 2 Makabe, berikut tambahan-tambahan dari kitab Ester dan Daniel. (Catatan: Surat Nabi Yeremia dianggap sebagai pasal 6 dari kitab Barukh). Hal ini dilakukan atas alasan bahwa mereka tidak dapat menemukan versi Ibrani dari kitab-kitab yang ditolak diatas.
JAWAB :
Dalam penelitian para ahli kitab Yahudi ada beberapa kitab-kitab dalam terjemahan Septuaginta yang tidak lulus kanon. Untuk itu kitab tersebut tidak masuk dalam Kanon Yahudi (dalam Kitab TANAKH Ibrani)
Kanon Yahudi Perjanjian Lama diikuti oleh golongan Kristen non Katolik.
Gereja Misi Kristus Sedunia adalah gereja yang memiliki Doktrin Injili dan Penerapan Praktis yang Pentakosta / Karismatik
Wednesday, 9 October 2013
Alkitab Bahasa Asli
Alkitab Bahasa Asli
Umat kristen pasti mempunyai rasa ingin tahu ('curiosity') tentang alkitab bahasa
asli. Terlebih ketika Alkitab terjemahan tidak menyelesaikan persoalan, maka
timbul pikiran untuk melihat Alkitab dalam bahasa aslinya. Alkitab bahasa asli
adalah 'final authority' untuk menyelesaikan segala macam perdebatan teologia
maupun percekcokan doktrinal. Semua Alkitab terjemahan hanya memuat kebenaran
konseptual bukan kebenaran secara arti kata dan tata bahasa. Oleh sebab itu,
jika melakukan pembahasan Alkitab secara etimologi, maka harus kembali ke
Alkitab bahasa asli karena peralihan bahasa menyebabkan perubahan bentuk kata
dan juga susunan kalimat.
Disadari pula bahwa ada perbedaan antara satu bahasa dengan yang lain. Ada
bahasa yang banyak 'vocabulary'nya dan ada bahasa yang sedikit. Tidak dapat
dikatakan bahwa Alkitab hasil terjemahan akan salah atau kurang bermutu, tetapi
hanya ada kekurangan dalam menyampaikan semua idea penulis. Misalnya 'agape'
dan 'fileo' dalam bahasa Indonesia kedua-duanya tetap diterjemahkan dengan kata
"kasih" saja, sedangkan 'kurios' mempunyai makna ganda yaitu
"Tuhan" dan "Tuan".
Karena Allah mengilhamkan kebenaran-Nya dengan bahasa manusia, maka pemakaian
tiap-tiap kata dalam wahyu tertulis-Nya pasti adalah dipilih-Nya secara khusus.
Bahkan tata bahasa yang dipergunakan-Nya juga pasti yang sesuai dengan aturan
tata-bahasa manusia pemakai bahasa itu agar tidak menyebabkan kebingungan bagi
penerima wahyu. Selanjutnya karena Allah memakai bahasa Ibrani untuk penulisan
kitab Perjanjian Lama dan bahasa Yunani untuk penulisan kitab Perjanjian Baru,
maka kitab Perjanjian Lama yang bahasa Ibrani serta kitab Perjanjian Baru yang
bahasa Yunani itu sangat enting setidaknya untuk dikenal oleh setiap orang
Kristen, apalagi seorang penyampai Firman Tuhan, misalnya pendeta atau Pastur.
Kitab Perjanjian Lama orang Kristen itu berasal dari kitab suci orang Yahudi.
Jumlah kitab Perjanjian Lama bertambah sesuai dengan berjalannya waktu sampai
nabi Maleakhi menuliskan pasal 4 ayat 6 yang jatuh pada kira-kira 400 tahun
sebelum kelahiran Yesus.
Pada waktu kejatuhan Yerusalem ke tangan Babilon, kelihatannya kitab-kitab
Perjanjian Lama yang sudah ada pada saat itu diselamatkan oleh nabi Yeremia.
Nabi Yeremia yang tahu persis apa yang akan terjadi menyadari bahwa kitab suci
jauh lebih berharga dari apapun.
Nebukadnezar yang tahu bahwa Yeremia menubuatkan kejatuhan Yerusalem sangat
menghormati Yeremia. Bahkan ia membiarkan Yeremia memilih apakah ia mau tinggal
di Yerusalem atau mau ikut ke Babel, dan akhirnya Yeremia memilih tinggal di
Yerusalem. Hal ini dapat dibaca dalam Yeremia 39:11-14, "Mengenai Yeremia,
Nebukadnezar, raja Babel, telah memberi perintah dengan perantaraan
Nebuzaradan, kepala pasukan pengawal, bunyinya: 'Bawalah dan perhatikanlah dia,
janganlah
apa-apakan dia, melainkan haruslah kaulakukan kepadanya sesuai dengan
permintaannya kepadamu!' Maka Nebuzaradan, kepala pasukan pengawal, beserta
Nebusyazban, kepala istana, dan Nergal-Sarezer, panglima, dan semua perwira
tinggi raja Babel, mengutus orang - mereka menyuruh mengambil Yeremia dari
pelataran penjagaan, lalu menyerahkannya kepada Gedalya bin Ahikam bin Safan
untuk membebaskannya, supaya pulang ke rumah. Demikianlah Yeremia tinggal di
tengah-tengah rakyat."
Ketika Nebukadnezar merebut Yerusalem, ia membawa pergi sekitar 25.000 orang,
bagian terbesar adalah penduduk Yerusalem, ke pembuangan di Babel. Hal ini
merupakan deportasi ke-3. Akan tetapi, orang-orang miskin di negeri itu
ditinggalkan untuk menjadi tukang kebun anggur dan peladang di Palestina. Tidak
mungkin orang-orang seperti itu akan mengadakan pemberontakan melawan kekuasaan
Babel atas negeri tersebut, setelah para pemimpin politik terbunuh atau
dideportasi. Nebukadnezar menunjuk seorang Yahudi bernama Gedalya untuk
memerintah atas orang-orang Yahudi yang tetap tinggal di Palestina. Orang ini
mengadakan ibu kotanya di Mizpa, sekitar 11 km sebelah utara Yerusalem. Yeremia
datang ke Mizpa agar dapat bersama dengan Gedalya setelah kepala pasukan
Nebukadnezar membebaskan nabi Yeremia dan menasehati dia untuk kembali kepada
Gedalya.
Serangan Nebukadnezar pada tahun 605, 597, dan 589-586 sebelum Masehi
mengakibatkan banyak kerusakan dan kehancuran di Yehuda. Bukti arkeologis
menunjukkan bahwa banyak dari kota-kota Yehuda telah dihancurkan dan tidak
dibangun kembali, suatu fakta yang secara khusus terbukti dalam
penggalian-penggalian di Aseka, Bet-Semes dan Kiryat-Sefer, dan juga melalui
pemeriksaan permukaan tanah di beberapa
tempat. Penggalian di Lakhis juga menunjukkan bukti tentang penghancuran oleh
Babel. Penyerbuan terakhir, pada tahun 589, memuncak dalam pengepungan dan
penghancuran Yerusalem yang disusul oleh deportasi terakhir pada tahun 586
sebelum Masehi.
Sekembali dari pembuangan, orang Yahudi mengalami kebangunan rohani. Mereka
bukan hanya pergi ke Yerusalem tiga kali setahun, bahkan mendirikan 'sinagoge'
di seluruh Israel. Keberadaan 'sinagoge' itu bukan hanya untuk kegiatan
keagamaan, bahkan bermanfaat sebagai sekolahan membaca bagi anak-anak. Keadaan
ini menyebabkan dibutuhkannya kitab-kitab Perjanjian Lama karena itu adalah
bahan bacaan satu-satunya. Keadaan ini juga sekaligus melestarikan kanon kitab
Perjanjian Lama karena jumlahnya menjadi semakin banyak sehingga kalau yang
satu rusak, masih ada yang lain. Kini terkumpul sekitar 200.000 naskah kuno
dalam bentuk 'fragment' dalam bahasa Ibrani dan Aramik.
Dengan cara demikian Allah memelihara firman-Nya, yaitu agar orang-orang di
kemudian hari dapat memperbandingkannya. Ada orang bertanya, "Apakah kitab
Perjanjian Lama yang ada di tangan umat Kristen masih asli?" Jawabannya,
"Tentu, karena ada kurang lebih 200.000 'fragment' yang terkumpul dan
dibanding-bandingkan."
Ketika Alexander Agung mengalahkan dunia pada abad ketiga sebelum kelahiran Yesus,
bahasa Yunani menjadi bahasa internasional. Satu abad kemudian, yaitu abad
kedua sebelum kedatang Yesus, generasi muda Yahudi perantauan menjadi lebih
fasih berbahasa Yunani sehingga penerjemahan kitab Perjanjian Lama ke dalam
bahasa Yunani dirasakan sangat diperlukan. Kemudian sebuah kitab terjemahan
dihasilkan oleh 72 orang
penerjemah, dan disebut 'Septuaginta' yang artinya tujuh puluh, yaitu angka
genap dari jumlah penerjemahnya.
Akhirnya pada masa kehadiran Yesus, kitab Perjanjian Lama yang beredar ada dua
macam, yaitu yang berbahasa Ibrani dan berbahasa Yunani ('Septuaginta'). Selain
terdiri dari dua macam bahasa, ada juga versi yang dipakai di 'sinagoge' dan
versi yang dipakai oleh pribadi di rumah. Versi 'sinagoge' disalin ulang dengan
sangat teliti. Menurut Gleason L. Archer dalam bukunya "The Zondervan
Pictorial Encyclopedia of the Bible" (Grand Rapid: Zondervan Publishing
House, 1982), jika ditemukan empat kesalahan, maka dianggap rusak dan segera
dimusnahkan.
Mereka tidak menghendaki kehadiran salinan yang ada kesalahan agar jangan
sampai makin hari makin banyak salinan yang salah.
Kemudian pada tahun 70 Masehi terjadi penghancuran kota Yerusalem beserta Bait
Allah. Orang Israel terkocar-kacir dan tersebar ke mana-mana. Mereka kehilangan
identitas sebagai bangsa. Setelah melalui sebuah periode waktu yang agak
panjang, sebagian orang Israel menyadari bahwa mereka perlu berbuat sesuatu
agar identitas bangsa mereka tidak hilang sama sekali. Mereka menyadari bahwa
kitab Perjanjian Lama adalah tumpuan jati diri orang Yahudi serta merupakan
pusat integritas keluarga Yahudi. Jika masih ada kanon kitab Perjanjian Lama
yang terus-menerus dibacakan di 'sinagoge' dan dalam keluarga masing-masing,
maka keyahudian mereka pasti tidak akan hilang.
Pada periode 70-900 Masehi, sekelompok orang Yahudi yang disebut 'Baly
ha-masoret' ('master of tradition' atau guru adat-istiadat) berusaha
mengumpulkan salinan-salinan untuk memantapkan eksistensi kitab Perjanjian
Lama. Perlu diketahui bahwa yang terbakar adalah yang ada di kota Yerusalem,
tetapi masih ada banyak salinan yang tersimpan di 'sinagoge-sinagoge' yang bisa
dijadikan patokan. Alasan yang mendorong
mereka melakukan pekerjaan itu ialah karena salinan yang ada hanya tertulis
dengan huruf mati sedangkan generasi muda Yahudi yang sudah tersebar mengalami
kesulitan untuk membaca tanpa huruf hidup. Bagi yang lancar berbahasa Ibrani,
ia tidak membutuhkan huruf hidup, melainkan cukup dengan huruf mati (konsonan)
saja sudah bisa membaca dan mengerti artinya. Jadi kalau kalimatnya, "Musa
turun dari gunung Sinai" itu hanya ditulis "Ms trn dr gnng sn".
Jadi "Baly ha-masoret" itu berusaha mengumpulkan salinan-salinan dan
berusaha membubuhkan huruf hidup (vokal) agar generasi yang kurang fasih
berbahasa Ibrani bisa belajar membaca. Hasilnya bukan saja iman Yudaisme mereka
tetap terpelihara, bahkan bahasa Ibrani tetap lestari sementara bahasa Mesir,
Persia dan lain-lain musnah terkikis waktu.
Dengan demikian jati diri mereka sebagai orang Yahudi tetap terpelihara
sekalipun mereka tersebar ke segala penjuru dunia.
Dalam melaksanakan tugas yang sangat berat itu para 'Baly ha-masoret' dibantu
oleh ahli tata-bahasa ('grammar') yang dalam bahasa Ibrani disebut 'nag danim'.
Karena kitab Perjanjian Lama asli yang ditulis Musa, Daud, Samuel dan lain-lain
tidak memakai huruf hidup ('vokal') dan juga tanpa tanda baca, maka sulit
dimengerti oleh generasi muda Yahudi maupun bangsa lain yang mempelajari bahasa
asli kitab Perjanjian Lama. Para 'Baly ha-Masoret' dan 'nag danim', orang-orang
Yahudi yang masih sangat fasih bahkan ahli dalam bahasa Ibrani itu, menolong
memasang huruf hidup dan tanda baca ke dalam teks yang tadinya hanya terdiri
dari huruf mati dan tanpa tanda baca.
Kesederhanaan teks yang ditulis jauh sebelum Masehi itu tentu bukanlah suatu
kesalahan karena perkembangan pengetahuan bahasa pada saat itu cuma hanya
sampai pada tahap itu. Penambahan huruf hidup dan tanda baca itu sama sekali
bukan menambahi firman Tuhan, melainkan hanya menjadikan bunyi yang sudah ada
ke dalam tanda baca. Misalnya, "makan" kalau dulu ditulis
"mkn" saja, maka sekarang ditambahkan dua huruf "a"
sehingga menjadi "makan". Bahkan bahasa Indonesia pernah mengalami
beberapa kali penyempurnaan. Dulu "Soekarno" sekarang menjadi
"Sukarno". Dulu "djangan" sekarang menjadi
"jangan", dan dulu "tjepat" sekarang menjadi
"cepat".
Para 'Baly ha-Masoret' dan 'nag danim' yang hidup sesudah 70 Masehi, yang
menguatirkan keimanan anak-cucu bangsa Israel telah dipakai Allah untuk
memelihara kitab Perjanjian Lama yang sangat dibutuhkan jemaat Perjanjian Baru.
Hasil karya mereka disebut 'Masoretic Text' (Teks Masoretik), dipakai oleh baik
kaum Yahudi maupun Kristen.
Pada tahun 1947 dunia kekristenan dikejutkan dengan diketemukannya Dead Sea
Scroll. Seorang bocah Baduin yang berusaha mencari dombanya yang hilang tanpa
sengaja memasuki gua di Wadi Qumran, sebelah barat daya Laut Mati. Di dalam gua
yang gelap ia tersandung pada gulungan benda yang dua kaki panjang dan sepuluh
inci tebal. Para gembala itu menjualnya ke toko antik di Bethlehem yang memberi
beberapa gulung, dan seorang 'Archbishop' dari gereja Orthodox Syria membeli
sisanya.
Beberapa orang ahli menelitinya dan menyimpulkan bahwa itu tidak ada nilainya.
tetapi E.L. Sukenik, dari Hebrew University di Yerusalem, mengenal keunikan
gulungan itu dan membeli tiga gulungan. Gulungan lain dibawa ke American School
of Oriental Research, diteliti oleh J.C. Trever dan W.F. Albright, seorang
arkeolog Alkitab, akhirnya pada tahun 1948 menyadari bahwa itu adalah gulungan
kitab-kitab Perjanjian Lama.
Pada akhir tahun 1951 kembali di sekitar gua-gua Laut Mati, yaitu di gua Wadi
Murabba'at ditemukan lagi gulungan-gulungan lain di antaranya juga terdapat
gulungan teks 'Masoretik'. Pada tahun 1952 dilakukan eksplorasi yang lebih
intensif dan di gua yang terletak di sebelah barat Khirbet Qumran ditemukan
hampir keseluruhan kitab Perjanjian Lama kecuali kitab Ester.
Adapun isi dari 'manuscript' (MSS) yang ditemukan di Qumran itu ada sebagian
berbeda dari Teks Masoretik namun sama dengan 'Septuaginta' (LXX). Tetapi lebih
banyak kesamaannya dengan Teks Masoretik daripada dengan LXX. Kelihatannya MSS
yang ditemukan di Qumran adalah teks yang dipergunakan oleh pribadi, bukan yang
dipergunakan di 'sinagoge', karena ada banyak catatan pinggir, dan naskah tua
yang diperkirakan sebelum Yesus, ternyata ada tambahan huruf hidup (vokal).
Diketahui
bahwa naskah bahasa Ibrani sebelum para 'Baly ha-Masoret' memasangkan huruf
hidup (vokal) naskah resmi yang dipakai di Bait Allah dan 'sinagoge' itu hanya
terdiri dari huruf mati (konsonan) saja. Jadi kalau ada naskah sebelumnya yang
terdapat selipan huruf hidup adalah naskah pribadi yang dipakai di keluarga.
Biasanya karena anak-anak mereka belum terbiasa membaca tanpa huruf hidup, maka
orang tua mereka membantu dengan menambahi huruf hidup bagi mereka.
Kalangan Liberal menjadi kalang-kabut dengan ditemukannya 'Dead Sea Scroll',
namun sebagian mereka menjadikannya dasar untuk membangun 'Critical Texts'
(Teks Pengritik) untuk mendiskreditkan Teks Masoretik. Tetapi kalangan
Fundamental tetap yakin bahwa Teks Masoretik adalah teks terpercaya karena
bukan hanya telah dikerjakan dengan sangat hati-hati, bahkan sumber landasannya
adalah naskah resmi yang dipakai di 'sinagoge-sinagoge', bukan naskah pribadi
yang telah banyak penambahan dan pengurangan. Bisa dipahami kalau sesuatu itu
milik pribadi maka bisa ditambah dan dikurangi seperti yang dilakukan terhadap
Alkitab hari ini, di mana umat Kristen membuat catatan di pinggir dan
menandainya dan lain sebagainya.
Naskah-naskah kitab Perjanjian Baru telah terpelihara melalui orang-orang
percaya yang menyayangi naskah itu sehingga orang berusaha memilikinya dengan
memperbanyaknya. Dengan cara diperbanyak, maka naskah ini tidak dapat
dimusnahkan, dan sekaligus dijaga keotentikannya karena di kemudian hari umat
Kristen dapat membanding-bandingkannya.
Menurut The Zondervan Pictorial Encyclopedia of the Bible volume V, kini telah
tersimpan ± 3,000 copy naskah Perjanjian Baru tulisan tangan dalam bahasa
Yunani dalam bentuk fragment dan 2,000 copy dalam bentuk penjelasan (telah
ditambahkan berbagai penjelasan) untuk kebutuhan pembacaan tiap hari, 8,000
manuscript dalam bahasa Latin, dan sekitar 2,000 terjemahan versi kuno.
Tersedianya naskah-naskah kuno itu telah menjamin sehingga pekerjaan mengedit
sebuah kitab Perjanjian Baru ke dalam buku setelah kertas dan alat cepat
ditemukan itu dapat dilakukan. Naskah ini telah dipelihara dengan cara
diperbanyak dan disimpan hingga manusia dapat menjilidnya menjadi sebuah kitab
pada saat menusia telah menemukan alat cetak dan kertas.
Sesungguhnya naskah-naskah Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani telah tersebar
ke mana-mana. Sesudah abad ketiga kelihatannya bahasa Latin menjadi bahasa yang
cukup penting, terutama disebabkan karena pemerintahan Roma telah berlangsung
cukup lama. Pada saat itu menurut Agustinus, hampir setiap orang yang tahu dua
bahasa, yaitu Yunani dan Latin, berusaha menerjemahkan kitab-kitab Perjanjian
Baru walaupun tidak lengkap. Itulah sebabnya kini terdapat sekitar 8,000 naskah
kuno kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Latin. Secara resmi pada tahun 382,
Paus Damasus menunjuk Jerome untuk menerjemahkan atau sebenarnya mengedit
terjemahan-terjemahan tidak resmi terhadap empat Injil. Hasil revisi yang
dikerjakan oleh Jerome itu itu kemudian dikenal dengan 'Vulgate' dalam bahasa
Latin itu berarti "umum", mungkin maksudnya dipakai untuk umum. Versi
'Vulgate' dipakai secara resmi oleh gereja Katolik ratusan bahkan ribuan tahun.
Buku tertua dalam cetakan ialah buku dalam tulisan Tionghoa 'Diamond Sutra',
yang dicetak pada tahun 868 dengan alat cetak kayu. Pada abad ke-11, orang
Tionghoa meningkatkan penciptaan alat cetak bergerak dengan tanah liat. Namun
apa yang telah dicapai di China tidak ada hubungannya dengan penemuan alat
cetak di Eropa. Menurut The New Book of Knowledge, Volume XV, Johannes
Gutenberg adalah orang pertama yang menemukan alat cetak pada tahun 1440 di
benua Eropa.
Buku pertama yang dicetak oleh percetakan Gutenberg ialah Alkitab versi Vulgate
yang cakap dalam ukuran folio, yang selesai pada tahun 1456, yang terkenal
dengan sebutan 'Gutenberg Bible'.
Pada tahun 1502, persiapan pencetakan Alkitab bahasa Yunani dimulai di bawah
pimpinan Kardinal Ximenes dari Spanyol. Kitab Perjanjian Baru dicetak dalam
bahasa Latin dan Yunani, dan Perjanjian Lama dicetak paralel tiga bahasa, yaitu
Latin, Ibrani dan Yunani LXX. Proyek ini dilakukan di kota Alcala yang dalam
bahasa Latin disebut Complutum sehingga Alkitab itu disebut 'Complutension Polyglot'.
Perjanjian Baru selesai pada tahun 1514 dan Perjanjian Lama selesai 1517, namun
belum pernah beredar karena pada tahun 1520 baru diterima oleh Paus dan pada
tahun 1522 baru dipublikasikan.
Sementara itu pada tahun 1515 seorang ahli bahasa yang bernama Desiderius
Erasmus berusaha mengedit kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani dengan
mendasarkannya pada lima 'manuscript' tradisional yang tersimpan di Basel dan
menerbitkannya pada bulan Maret tahun 1516.
Dengan demikian maka kitab Perjanjian Baru bahasa Yunani yang pertama dicetak
adalah 'Complutension Polygot' sedangkan yang pertama terbit dan beredar di
masyarakat adalah edisi Desiderius Erasmus. Tidak dapat dipungkiri bahwa kitab
Perjanjian Baru ini telah memungkinkan Martin Luther menyadari kesalahan Gereja
Katolik, demikian juga dengan Bapak-bapak Reformasi yang lain.
Sangat disayangkan karena naskah yang dimiliki oleh Erasmus itu ternyata enam
ayat terakhir dari kitab Wahyu telah hilang sehingga ia menerjemahkannya
sendiri dari 'Vulgate' ke bahasa Yunani. Namun kemudian setelah ia mendapatkan
naskah yang memiliki enam ayat terakhir kitab Wahyu masih utuh, ia
memperbaikinya pada edisi kedua. Kemudian setelah melihat 'Manuscript Codex 61'
Erasmus memasukkan 1 Yohanes 5:7,8 yang di kalangan teolog disebut 'Johannen
Coma'. Dan Luther menerjemahkan edisi kedua yang terbit 1519 dan yang telah
disempurnakan ini ke dalam bahasa Jerman. Penyempurnaan demi penyempurnaan
dilakukan setelah melihat naskah-naskah kuno dan membanding-bandingkannya
dengan 'Polyglot' sehingga keseluruhannya Erasmus menerbitkan lima edisi.
Dalam tiap perbaikan itu tidak ada penambahan atau pengurangan firman Tuhan,
melainkan memeriksa hasil karyanya dan membandingkannya dengan naskah-naskah
yang jumlahnya sekitar tiga ribu naskah kuno.
Rupanya menurut Robert Estienne, (yang lebih dikenal dengan Stephanus), hasil
karya Erasmus masih perlu diperbagus lagi. Ia menerbitkan empat edisi
berturut-turut tahun 1546, 1549, 1550, 1551, yang tiap edisinya terdapat
perbaikan-perbaikan yang tidak terlalu berarti, seperti penambahan judul
perikop dan lain-lain. Edisi ketiga (1550) dari Stephanus ini dikenal dengan
sebutan 'Royal Edition (Edition Regia)'. Edisi keempat terbit tahun 1551 dengan
dilengkapi pasal dan ayat sebagaimana yang dipakai oleh umat Kristen hari ini.
Umat Kristen patut berterima kasih kepada Stephanus yang telah menolong mereka
agar lebih gampang mencari bagian firman Tuhan yang diinginkan. Bayangkan jika
tidak ada pasal dan ayat, pasti mereka (umat Kristen dan pembaca lainnya) akan
mengalami banyak kesulitan. Mungkin Anda dapat melengkapi kajian kita bersama
tentang pembagian ayat-ayat Al~Qur'an, siapakah nama mereka yang terlibat dalam
pembagian ayat-ayat ini, karena umat Islam pun patut berterima kasih kepada
mereka yang berjasa ini.
Theodore Beza, seorang yang tersohor di kalangan Protestan, juga menerbitkan
kitab Perjanjian Baru bahasa asli dalam ukuran folio dengan memakai teks
Stephanus sebagai dasar. Ketenaran Theodore Beza turut mempopulerkan teks
Erasmus dan Stephanus yang dipakainya sebagai dasar sehingga kalangan reformasi
memakai teks mereka sedangkan kalangan Katolik memakai 'Polyglot'.
Keluarga Elzevir, pemilik penerbit berbagai buku klasik, ikut meramaikan
penerbitan kitab Perjanjian Baru bahasa asli yang sangat digemari masyarakat
yang baru mengalami reformasi itu. Pada edisi kedua terbitannya tercantum
tulisan, "Kini Anda memiliki teks yang telah diterima oleh semua kalangan,
yang di dalamnya tidak ada penambahan
maupun kesalahan."
Akhirnya ungkapan 'received text' atau 'textum receptum' yang biasa disingkat
dengan TR, menjadi nama dari teks yang pertama diedit oleh Desiderius Erasmus,
diperlengkapi dan diperindah oleh Stephanus, dipromosikan Theodore Beza dan
keluarga Elzevir, diberikan kepada teks yang diterima dan dipakai di kalangan
umat Kristen. Teks ini kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa termasuk
ke dalam bahasa Inggris, 'King James Version', yang diterjemahkan pada tahun
1611 atas perintah raja Inggris yang bernama James dan dikerjakan oleh lebih
dari lima puluh ahli bahasa. Teks yang mereka pakai sebagai dasar ialah Teks
Stephanus edisi ketiga dan empat dan edisi Beza terbitan tahun 1598.
Masyarakat, terutama umat Kristen, sangat bersukacita atas tersedianya kitab
suci dalam bentuk cetakan bahkan dalam bahasa mereka yang dapat mereka miliki
secara pribadi dengan harga yang relatif lebih murah dari sebelumnya. Menurut
The New Book of Knowledge volume XV, sebelumnya harga sebuah Alkitab tulisan
tangan yang rapi itu sama dengan harga sebuah gedung berlantai dua di dekat
'London Bridge'. Sungguh amat disayangkan mereka yang tidak menghargai firman
Tuhan yang ada di tangannya hari ini.
'Textum Receptum' (TR) dipakai oleh orang-orang Kristen di seluruh dunia, dan
diterjemahkan ke berbagai bahasa oleh misionari modern yang dipelopori oleh
misionari Baptis, William Carey, ke India dan akhirnya banyak misionari ke
seluruh penjuru dunia. Selama ± 380 tahun tidak ditemukan cara untuk
menghalangi tersebarnya firman Tuhan ke seluruh dunia walaupun dilakukan juga
serangan kecil-kecilan yang tidak membawa efek terhadap TR.
Karl Lachmann dari Jerman tercatat adalah orang pertama yang menerbitkan edisi
Perjanjian Baru yang sifatnya menyerang TR pada tahun 1831. Setelah dua edisi
teks pengritik 'Critical Texts' (CT) diterbitkannya ternyata tidak ada yang
menggubrisnya. Pada tahun 1857 Samuel Prideaux Tregelles di Inggris juga
menerbitkan 'Critical Text'
untuk menyerang TR. Kemudian Constantin Tischendorf seorang yang menemukan
naskah Codex Sinaiticus turut menerbitkan teks Perjanjian Baru yang bersifat
menyerang keakuratan TR.
Serangan yang kelihatannya memakan banyak korban adalah yang dilakukan melalui
dua orang, yaitu Brooke Fos Westcott, seorang Bishop gereja Anglikan, dan
Fenton John Anthony Hort, seorang dosen dari Cambridge University. Untuk
mempersingkat nama mereka, biasanya hanya ditulis WH.
Mereka menerbitkan 'Critical Text' (CT) untuk menyerang 'Textum Receptum' (TR)
pada tahun 1881. Mereka mendasarkan edisi yang mereka terbitkan pada naskah
yang diberi nama 'aleph' yang ditemukan di Sinai yang juga disebut 'Sinaiticus'
dan naskah yang diberi nama B yang kata mereka tersimpan di perpustakaan
Vatikan.
Menurut Dr. D.A. Waite dalam bukunya 'Defending the King James Bible', antara
CT hasil WH dengan TR yang sudah dipakai lebih dari tiga ratus tahun terdapat
5,604 perbedaan yang terdiri dari 1,952 penghilangan (35%), 467 penambahan
(8%), dan 3,185 perubahan (57%). Dengan perubahanyang besar-besar an ini
kelihatannya serangan terhadap firman Tuhan semakin serius dan intensif.
Gelombang pertama yang tumbang berjatuhan adalah teolog-teolog Liberal di
Jerman. Keraguan mereka terhadap firman Tuhan mulai muncul bahkan akhirnya
mereka melihat Alkitab hanya sekedar buku sejarah.
Sementara teolog Jerman tumbang, kemudian angin pukulan CT melanda Eropa
sehingga muncul berbagai kritik terhadap Alkitab (buku yang telah berjasa
mengubah orang Eropa menjadi manusia bermoral). Akhirnya angina serangan
terhadap Alkitab itu sampai juga ke Amerika. Bersama dengan itu muncul berbagai
Alkitab bahasa Inggris terjemahan modern yang didasarkan pada teks CT, antara
lain: English Revised Version (1881), American Standard Version (1901), New
American Standard Version (1960), New English Version (1961), New International
Version (1969).
Bagaimana dengan Alkitab bahasa Indonesia? Dulu Alkitab bahasa Indonesia
diterjemahkan dari TR. Kelihatannya Alkitab Terjemahan Baru sedikit terpengaruh
oleh CT dari WH. Banyak pembaca tidak menyadari maksud di balik banyak ayat
dalam Alkitab Terjemahan Baru yang diberi tanda kurung, contoh [...]. Sebagian
dosen sekolah teologia di Indonesia yang sudah terhembus angin Liberalisme
mengatakan kepada murid-murid mereka bahwa ayat itu tidak ada dalam Alkitab
bahasa aslinya. Penjelasan demikian tentu akan mengundang banyak pertanyaan
susulan, yaitu siapa yang menambahkan dan mengapa ditambahkan?
Ternyata Lembaga Alkitab Indonesia memberi tanda kurung pada ayat-ayat yang ada
dalam teks TR namun tidak ada dalam teks CT. Tindakan demikian masih baik
daripada menghilangkan ayat itu sama sekali. Namun sebenarnya lebih baik tidak
perlu diberi kurung karena itu adalah firman Tuhan.
Westcott adalah seorang Bishop gereja Anglikan, gereja yang Doktrin Gereja
('ecclesiology')nya hampir sama dengan Gereja Roma Katolik.
Perbedaannya hanya Gereja Roma Katolik berpusat di Roma sedangkan gereja
Anglikan berpusat di London. Dan Gereja Roma Katolik dikepalai Paus sedangkan
gereja Anglikan dikepalai Raja atau Ratu Inggris. Sedangkan Hort adalah seorang
dosen Universitas Cambridge. Dr. D.A. Waite yang meneliti buku-buku yang
ditulis mereka menyimpulkan bahwa sesungguhnya mereka bukan seorang yang telah
"lahir baru". Istilah "lahir baru" ini dipergunakan oleh
umat Kristen untuk menyatakan "bertobat".
Dr. D.A. Waite tersebut menulis, "In this study, I quote from their
writings extensively and show from five of their books that they are apostates,
liberals, and unbelievers."
Selain Westcott dan Hort, siapa lagi di balik CT yang makin hari makin dominan
itu? Critical Text yang hari ini banyak dipakai di Sekolah Theologi adalah
edisi ke-26 yang disebut Nestle/Aland Greek New Testament, 26th edition.
Eberhard Nestle dan Kurt Aland, kedua-duanya orang Jerman yang membentuk sebuah
komisi yang terdiri dari Kurt Aland sendiri, Matthew Black seorang yang imannya
diragukan, Carlo M. Martini seorang Kardinal Gereja Katolik, Bruce Metzger dari
Princeton, universitas yang sangat liberal, dan Alan Wigren dari Chicago.
Mereka inilah yang mengatakan bahwa Rasul Matius salah tulis karena tidak
melihat catatan di Bait Allah sehingga yang seharusnya Asa namun ditulis Asaf,
demi untuk membela konsep mereka bahwa naskah kuno yang mereka pakai adalah
yang terbaik, yang tidak terjamah oleh tangan-tangan jahil.
Sebaliknya orang-orang yang mengedit Textum Receptum adalah orang-orang
mengasihi Tuhan, menurut umat Kristen. Desiderius Erasmus, yang sering dikritik
karena humanis, adalah humanis abad pertengahan yang berusaha melepaskan diri
dari kungkungan universalisme gereja Roma. Ia bukan humanis masa kini yang
filosofinya berpusatkan pada manusia dan mengagungkan manusia. Sedangkan
Stephanus adalah orang Protestan, orang yang rela mengorbankan nyawa demi
membela kebenaran. Apalagi Theodore Beza, teman dekat John Calvin, adalah tokoh
reformasi yang sangat terhormat. Edisi Stephanus dan Beza-lah yang secara umum
diterima oleh orang-orang Kristen yang baru mendapat kebangunan rohani melalui
gerakan reformasi. Edisi keempat Stephanus tahun 1551 yang telah dilengkapi
pasal dan ayat telah menjadi berkat bagi jutaan orang, terlebih setelah
dijadikan dasar untuk penerjemahan ke berbagai bahasa termasuk King James
Version.
Baik Erasmus, Stephanus, maupun Beza, mereka berusaha mewujudkan kitab
Perjanjian Baru bahasa asli hanya agar orang-orang Kristen memiliki firman
Tuhan di tangan mereka yang praktis, agar mereka dapat mempelajari dan
memberitakannya. Mereka tidak memikirkan masalah hak cipta dan lain sebagainya.
Hasil karya mereka menyebabkan banyak orang melihat terang Tuhan. Masyarakat Eropa
berubah total setelah reformasi dan tersedianya Alkitab dalam cetakan telah
memungkinkan mereka membaca dan mempelajarinya. Tingkat moral masyarakat
menjadi semakin tinggi
demikian juga dengan tingkat kepatuhan mereka terhadap hukum. Setiap kali orang
menyebut firman Tuhan, tentu yang dimaksud adalah Textum Receptum atau
terjemahannya pada masing-masing bahasa.
Namun setelah Westcott dan Hort menerbitkan edisi mereka, kebingungan mulai
melanda, pertama-tama di kalangan intelektual, karena mereka terpaksa harus
memilih teks mana yang harus mereka jadikan patokan, dan akhirnya juga melanda
seluruh kekristenan. Di Indonesia hal ini tidak terasa karena umat Kristen
hanya memiliki satu versi Alkitab yaitu terbitan Lembaga Alkitab Indonesia.
Tetapi bagi masyarakat yang berbahasa Inggris, dengan tersedianya berbagai
versi Alkitab, maka agak kerepotan juga.
Pukulan yang paling menyakitkan ialah tertawaan dari pihak luar, misalnya pihak
Islam, yang mengatakan bahwa Injil asli orang Kristen sudah tidak ada, yang ada
sekarang adalah yang palsu. Adanya kesalahan pada teks Westcott dan Hort
biasanya mereka jadikan bukti untuk statemen mereka. Mereka dapat mengatakan,
"lihat, nama silsilah saja salah catat, tidak salah toh kalau itu adalah
yang palsu?"
Kehadiran Critical Text telah menyebabkan perdebatan yang tidak ada
habis-habisnya. Musuh Alkitab mencatat sukses karena mereka berhasil
menggoncang dasar iman orang Kristen dan meletakkan batu sandungan terhadap
sebagian orang yang belum percaya. Sebagian orang yang tidak memahami masalah
ini sempat tersandung karena mereka dipaksa untuk mempertanyakan aspek 'human
error' dari teks bahasa asli yang ada pada saat ini. Tentu karena mereka tidak
diberi informasi bahwa usaha pengeditan yang teliti telah dilakukan oleh Erasmus,
Stephanus, Beda dengan membanding-bandingkan naskah demi naskah hingga akhirnya
tidak ditemukan lagi kesalahan dan orang-orang yang benar-benar Kristen pun
secara universal telah menerimanya.
Pada saat Alkitab terjemahan tidak jelas terhadap suatu masalah atau terdapat
perbedaan antara satu terjemahan dengan terjemahan yang lain, kemanakah umat
Kristen akan mencari otoritas final untuk menjelaskannya? Mau tidak mau,
Alkitab bahasa asli adalah otoritas final untuk menyelesaikan masalah baik yang
praktis maupun yang bersifat doktrinal.
Jika dunia kekristenan hanya memiliki satu versi Alkitab bahasa asli seperti
keadaan abad 16, 17 dan 18, maka dengan gampang dan dengan kebulatan hati semua
orang Kristen akan mengacu kepada Alkitab bahasa asli yang hanya satu itu. Kini
setidaknya tersedia dua Alkitab bahasa asli yang didalamnya terdapat ± 5,604
perbedaan, maka dengan terpaksa setiap orang Kristen harus menetapkan versi
manakah yang akan diakuinya sebagai Alkitab bahasa asli yang benar, atau
otoritas yang final (The Final Authority).
Teks yang diakui, Received Text atau Textum Receptum yang diedit pertama kali
oleh Erasmus dan diperlengkapi oleh Stephanus dan Geza adalah yang telah
diperiksa dan ternyata tidak ditemukan kesalahan serta telah membawa manfaat
bagi penduduk Kristen dunia lebih dari tiga abad. Sedangkan Critical Text yang
diedit oleh Westcott dan Hort serta diedit ulang oleh komite yang dipimpin oleh
Nestle dan Aland ternyata terdapat kesalahan yang sangat konyol, yaitu Asa
ditulis dengan Asaf.
Masih ada banyak kesalahan lain lagi yang mereka akui, namun pada umumnya
kesalahan itu mereka lemparkan kepada sang penulis untuk membangun asumsi bahwa
penulis Alkitab tidak diilhami, atau bahwa Alkitab itu bukan buku istimewa
melainkan sama seperti catatan sejarah lain.
Untuk membangun doktrin yang benar, umat Kristen membutuhkan dasar yang benar.
Doktrin alkitabiah adalah doktrin yang didasarkan "hanya" pada
Alkitab saja. Lalu kalau diperhadapkan dua versi Alkitab bahasa asli, yang
manakah yang akan mereka pilih? Kini banyak theolog telah kemasukan angin
liberalisme, demikian juga sekolah-sekolah theologia. Masalah Alkitab bahasa
asli bisa menjadi salah satu faktor untuk mengenal aliran sebuah sekolah
theologia. Rata-rata sekolah theology aliran liberal lebih senang memakai
Critical Text karena ketika dosen di sekolah tersebut belajar ke luar negeri,
ia sudah terlanjur masuk ke sekolah liberal dan yang memakai Critical Text.
Namun sekolah theologia aliran fundamental tetap bertahan pada Received Text
atau Textum Receptum yang tidak ada kesalahan dan telah mendatangkan manfaat
bagi umat Kristen.
-----------------------------------------------------------------------
Sumber: Doktrin Alkitab Alkitabiah, Dr. Suhendra Liauw, Graphe: Jakarta
Kenyataan 1:
Kitab-kitab Perjanjian Lama pada awalnya ditulis dalam bahasa Ibrani (Hebrew)
bagi Israel, umat pilihan Allah. Tetapi setelah orang-orang Yahudi terusir dari
tanah Palestina dan akhirnya menetap di berbagai tempat, mereka kehilangan
bahasa aslinya dan mulai berbicara dalam bahasa Yunani (Greek) yang pada waktu
itu merupakan bahasa antarabangsa. Oleh karena itu menjadi penting kiranya
untuk menyediakan bagi mereka, terjemahan seluruh Kitab Perjanjian Lama dalam
bahasa Yunani.
Soalan 1:
Ada sesiapa yang pegang kitab perjanjian lama sewaktu itu? Kalau ada siapakah
mereka? Selama mana mereka terusir hingga menyebabkan mereka hilang identiti
bahasa mereka?
JAWAB :
Anda bisa membaca dulu sejarah bangsa Israel di http://www.sarapanpagi.org/israel-vt134.html#p271
Meski Bahasa Ibrani pada suatu waktu tidak digunakan sebagai bahasa
sehari-hari, bukan berarti bahasa Ibrani itu punah. Bahasa Ibrani tetap menjadi
bahasa liturgis yang digunakan di sinagoga (rumah ibadah) dan juga di Bait
Allah.
Bahasa yang digunakan dalam Alkitab, ada tiga bahasa asli : yakni bahasa
Ibrani, bahasa Aram, dan bahasa Yunani.
Alkitab ditulis dalam ketiga bahasa tersebut, dan tergantung dari waktu bagian
tertentu ditulis dlm bahasa apa. Bagian-bagian yang paling kuno dari Perjanjian
Lama ditulis dalam bahasa Ibrani, yang merupakan bahasa sehari-hari dari bangsa
Israel pada zaman itu.
Lalu, berabad-abad kemudian, dipakai bahasa Aram. Perbedaan antara bahasa Ibrani
dan bahasa Aram dapat digambarkan sebagai perbedaan antara bahasa Melayu Kuno
dan Indonesia sekarang.
Selama pembuangan ke Babel hingga kembali ke Israel ± tahun 538 sebelum Masehi
di bawah pimpinan Ezra-Nehemia, bahasa yang digunakan oleh orang Yahudi sudah
bercampur dengan bahasa Aram, disebut sebagai bahasa Aram Klasik, dan akhirnya
mereka benar-benar berbahasa Aram hingga di era Yesus Kristus. Sebagian kitab
Perjanjian Lama yang ditulis di era pembuangan ini, ditulis dalam bahasa Aram,
seperti sebagian kitab Daniel, Ezra, dan Nehemia.
Penggalian inskripsi-inskripsi di daerah Israel bertarikh 300 sebelum Masehi
hingga 500 Masehi menunjukkan bahwa 70% ditulis dalam bahasa Yunani, 12% dalam
bahasa Latin, dan hanya 18% ditulis dalam bahasa Aram. Tidak suatu pun yang
ditulis dalam bahasa Ibrani.
Jadi sama-sama bahasa orang Israel, namun yang satu dari zaman dahulu (kuno)
yang lain dari zaman kemudian (modern), khususnya zaman Yesus dan para Rasul.
Jadi secara sederhana dapat dikatakan bahwa bahasa Ibrani adalah "Aram
kuno," dan bahasa Aram adalah "Ibrani modern." Tetapi dalam
periode yang lebih kemudian lagi, sudah menjelang zaman Yesus, orang menulis
tidak hanya dalam bahasa Aram tetapi juga dalam bahasa Yunani. Maka dalam PL bagian
terbesar ditulis dalam bahasa Ibrani, sedangkan sebagian kecil dalam bahasa
Aram dan juga bahasa Yunani.
Di Yerusalem sendiri, 40% dari inskripsi Yahudi sebelum tahun 70 Masehi
(keruntuhan Yerusalem) ditulis dalam bahasa Yunani, sisanya ditulis dalam
bahasa Aram (bukan Ibrani).
Perjanjian Baru (PB) seluruhnya ditulis dalam bahasa Yunani, walaupun pada
jaman PB didominasi oleh bahasa Ibrani Aramaik, saya ingin memberikan gambaran
singkat mengenai kedudukan ketiga bahasa itu pada zaman Yesus, seperti kita
sering berbahasa daerah (betawi, sunda atau jawa) tetapi dalam penulisan tetap
dengan bahasa Indonesia.
Bahwa inskripsi berbahasa Yunani pun ditemukan di daerah Iraq; Hal itu tidak
mengherankan karena Aleksander Agung (336 - 323 sebelum Masehi) pernah
menaklukkan kerajaan Persia, oleh karena itu banyak sekali kebudayaan terutama
filsafat Yunani merasuk ke dalam peradaban Timur.
Adanya perluasan jajahan dan pengembangan kebudayaan yang dilakukan oleh
Aleksander Agung, bahasa Yunani berakar kuat di daerah Timur Dekat dan wilayah
Laut Tengah yaitu mulai abad ke-4 sebelum Masehi.
Pelayanan Yesus ditengah multi kultural dan bahasa :
Salah satu keunikan Injil adalah pewartaan Yesus mula-mula di tengah dunia yang
multi etnik dan multilingual di Galilea pada abad pertama Masehi. Dalam Yesaya
8:22 dinubuatkan daerah pelayanan Sang Mesiah: "DEREKH
HAYAM EVER HAYARDEN GELIL HAGOYIM" (jalan ke laut, daerah
seberang Yordan, Galilea wilayah bangsa-bangsa). Latarbelakang ini sangat
mempengaruhi corak keagamaan Kristiani sejak semula. Beberapa ahli
menyimpulkan, bahwa Yesus dan penduduk Galilea khususnya dan Israel pada
umumnya berbicara dalam bahasa Ibrani, Aram dan sedikit Yunani.
Pertama, mengenai bahasa Ibrani dan Aram sebagai dua bahasa serumpun. Kedua
bahasa ini erat bertalian, banyak kata dalam kedua bahasa ini sama. Tata bahasa
dan sintaksisnya juga sama. Pada zaman Abraham (kira-kira 1900 SM) kedua bahasa
itu dapat dikatakan identik, artinya belum terpecah satu sama lain. Dalam
sebuah liturgi Yahudi kuno, disebutkan: "ARAMI
OVED AVI VAYERED", 'Bapaku dahulu seorang Aram, seorang
pengembara' (Ulangan 26:5). Ini merujuk kepada Yakub, nenek moyang bangsa
Israel, bahwa ia disebut orang Aram sebab disitulah letak geografis tempat
tinggalnya, meskipun ia bukan dari suku itu. Dan juga karena Yakub pernah
tinggal di Aram-naharaim dan anak-anaknya yang kemudian menjadi bangsa Israel.
Berabad-abad kemudian (kira-kira 1,100 - 722 sM) dari bahasa yang satu itu
melahirkan dua cabang bahasa: Ibrani di kalangan orang Yahudi di Palestina dan
bahasa Aram di kerajaan-kerajaan Aram di Mesopotamia: Damaskus, Zobah dan
Hamat.
Bahasa Ibrani dipakai oleh Saul, Daud, Salomo dan nabi-nabi lainnya, sehingga
Perjanjian Lama untuk sebagian besar ditulis dalam bahasa ini. Bahasa Ibrani
(atau dikenal sebagai bahasa Ibrani klasik) bertahan sebagai bahasa resmi
kerajaan Israel sampai jatuhnya Yerusalem tahun 587 sM.
Sementara itu, bahasa Aram berkembang pesat ketika orang-orang Asyiria
menguasai kembali Mesopotamia (883-606 sM) dan akhirnya bahasa Aram menjadi
bahasa resmi kerajaan. Keadaan ini semakin kuat di kalangan orang-orang Babel
(606-539 SM) dan kelak di kalangan Persia (539-333 SM). Pada zaman ini bahasa
Aram terus mendesak bahasa Ibrani sampai zaman Yesus, khususnya di wilayah
Galilea, Samaria dan daerah-daerah sekitarnya. Pada zaman itu bahasa Aram
tersebar luas sebagai 'lingua franca' di wilayah Timur, sedangkan bahasa
Yunani dipakai sebagai 'lingua franca' di wilayah Barat. Sementara itu
bahasa Ibrani membeku sebagai "bahasa suci (bahasa liturgis)" di Bait
Allah dan sinagoge-sinagoge Yahudi.
Kendati secara praktis bahasa Aram berbeda dengan bahasa Ibrani klasik, namun
kedua bahasa ini adalah satu rumpun dan pada zaman Yesus bahasa Aram disebut
juga sebagai bahasa Ibrani. Hal ini tampak pada catatan-catatan Perjanjian
Baru, yang menyebut kata-kata Aram seperti: Gabbatha (Yohanes
19:13) sebagai bahasa Ibrani juga. Begitu pula, sejarahwan Yahudi Flavius
Yosephus memberitahukan kepada kita bahwa ia menulis bukunya The Jewish War
ditulis dalam 'bahasa Ibrani', meskipun kenyataannya ia menulis "dalam
dialek Ibrani", yaitu bahasa Aram. Karena pada zaman itu bahasa
Aram, kendatipun dibedakan dari bahasa Ibrani sebagai "bahasa
kekusasteraan rabbinis" (yang biasa disebut juga bahasa Ibrani Mishnah),
tetapi bahasa Aram hanya dianggap sebagai dialek bahasa Ibrani tutur Galilea.
Karena itu, Petrus dikenali karena dialek bahasanya (Matius 26:73).
Bahasa Ibrani, Aram maupun Yunani dijumpai bersama-sama di wilayah Israel pada
abad pertama Masehi. Penemuan inskripsi-inskripsi kuno (graffiti, monogram dan
simbol) di bekas sinagoge Kapernaum yang ditulis dalam bahasa Ibrani Aram,
Paleo-estrangelo Syriac, Yunani, bahkan Latin membuktikan dunia multi-etnik dan
multi-lingual Yesus Kristus. Lebih-lebih lagi, jelas sekali dalam Injil Yohanes
19:19 dicatat bahwa inksripsi di atas kayu salib Yesus dicatat dalam bahasa
Ibrani, Yunani dan Latin. Untuk pembaca bisa membayangkan, selain teks asli
Yunani, di bawah ini dapat kita ikuti rekonstruksi bunyi inskripsi itu dalam Ibrani
(baik Ibrani Mishnah maupun Ibrani tutur) dan juga dalam bahasa Latin:
* iesous ho nasoraios ho basileos ton ioudaion (bahasa Yunani).
* Yeshua ha natseri melak ha-yehudim (bahasa Ibrani Mishnah).
* yeshua natsraya malka da yhudeim (bahasa Aram/Syriac).
* iesus nazarenus rex yudaerum (bahasa Latin).
Kalau begitu, bagaimana mengucapkan nama Sang Juru Selamat yang sah? Yeshua,
Iesous atau Iesus/Yesus? Jawabnya, semua sah-sah saja, karena semua bahasa itu
hidup pada zaman-Nya. Jadi, dalam bahasa Aram inilah Yesus berbicara
sehari-hari dan mengajar murid-muridnya, begitu juga ketika dikatakan bahwa
Yesus bebicara dengan Paulus dalam bahasa Ibrani (Kisah 26:14), kemungkinan
besar dalam bahasa Ibrani tutur Galilea atau Aram. Tetapi ketika membaca Taurat
dan Kitab Nabi-nabi di sinagoge, pasti Yesus mendaraskannya dalam bahasa Ibrani
(Lukas 4:18-20). Tetapi Yesus juga berbicara dalam bahasa Yunani, misalnya
dalam percakapannya dengan seorang perwira di Kapernaum (Lukas 7:1-10).
Tidak hanya ke-3 bahasa itu saja yang berkembang pada masa pelayanan Yesus.
Adanya penjajahan Romawi pula mengakibatkan adanya empat bahasa di era Yesus
Kristus:
[1] bahasa Ibrani merupakan bahasa liturgis, digunakan untuk membaca Torah, dan
sebagainya, tidak digunakan sebagai bahasa sehari-hari, dikenal sebagai bahasa
Ibrani Misyna karena adanya campur tangan para ahli Taurat menyusun Talmud;
[2] bahasa Aram, digunakan oleh orang Yahudi lokal sebagai bahasa sehari-hari;
[3] bahasa Yunani, digunakan oleh orang Yahudi pendatang sebagai bahasa
pergaulan di Timur Dekat; pada umumnya Yahudi pendatang berbahasa Yunani ini
mengunjungi Yerusalem dalam rangka transaksi bisnis dan ziarah ke Bait Allah;
dan
[4] bahasa Latin, bahasa kaum penjajah yang digunakan oleh orang-orang Romawi
yang menjajah Israel sejak tahun 63 sebelum Masehi.
Sesudah keruntuhan Yerusalem tahun 70 Masehi, bahasa Aram yang mereka gunakan
pun berangsur-angsur punah, bercampur dengan bahasa Jerman, Polandia, dan Rusia
sehingga timbul dialek-dialek Yahudi yang baru seperti Yidisy, Ladino, dan
sebagainya.
Sekitar awal 1800-an kalangan Yahudi yang dipelopori oleh seorang rabi mulai
mengusahakan agar bahasa Ibrani kuno yang ditulis di dalam Tanakh (Taurat,
Zabur, dan lain-lain) digunakan sebagai bahasa percakapan. Dan mulai saat
itulah bahasa Ibrani baru digunakan kembali oleh orang Israel setelah tidak
digunakan lebih dari 1000 tahun.
Artikel Terkait :
PERJANJIAN BARU, BAHASA, di http://www.sarapanpagi.org/perjanjian-b
... 5.html#p325
Tanya :
Quote:
Kenyataan 2:
Pada waktu itu di Alexandria berdiam sejumlah besar orang Yahudi yang berbahasa
Yunani. Selama pemerintahan Ptolemius II Philadelphus (285 - 246 SM) projek penterjemahan
dari seluruh Kitab Suci orang Yahudi ke dalam bahasa Yunani dimulai oleh 72
ahli-kitab Yahudi - menurut tradisi - 6 orang dipilih mewakili setiap dari 12
suku bangsa Israel. Terjemahan ini diselesaikan sekitar tahun 250 - 125 SM dan
disebut Septuagint,
Kitab ini sangat popular dan diakui sebagai Kitab Suci rasmi (kanon Alexandria)
kaum Yahudi, yang tinggal di wilayah Asia Kecil dan Mesir. Pada waktu itu
Ibrani adalah bahasa yang nyaris mati dan orang-orang Yahudi di Palestina
umumnya berbicara dalam bahasa Aram. Jadi tidak mengherankan kalau Septuagint
adalah terjemahan yang digunakan oleh Yesus, para Rasul dan para penulis
kitab-kitab Perjanjian Baru. Bahkan, 300 kutipan dari Kitab Perjanjian Lama
yang ditemukan dalam Kitab Perjanjian Baru adalah berasal dari Septuagint.
Harap diingat juga bahwa seluruh Kitab Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa
Yunani.
Soalan 2:
3. Apakah kriteria atau kehebatan 6 orang yang dipilih itu? Dan siapa mereka?
JAWAB :
Tidak ada rujukan nama-nama dari para penterjemah Septuaginta (LXX, L=50, X=10,
X=10) .
Infomasi mengenai terjemahan Septuaginta, Anda bisa membaca di artikel yang
berjudul SEPTUAGINTA, http://www.sarapanpagi.org/septuaginta-vt116.html
Tanya :
Quote:
Kenyataan 3:
Setelah Yesus disalibkan dan wafat, para pengikut-Nya tidak menjadi punah
tetapi malahan menjadi semakin kuat. Pada sekitar tahun 100 Masehi, para rabbi
(imam Yahudi) berkumpul di Jamnia, Palestina, mungkin sebagai reaksi terhadap
umat Kristen. Dalam konsili Jamnia ini mereka menetapkan empat kriteria untuk
menentukan kanon (=standard) Kitab Suci mereka:
[1] Ditulis dalam bahasa Ibrani;
[2] Sesuai dengan Kitab Taurat;
[3] lebih tua dari jaman Ezra (sekitar 400 SM);
[4] dan ditulis di Palestina.
Atas kriteria-kriteria diatas mereka mengeluarkan kanon baru untuk menolak
tujuh buku dari kanon Alexandria, yaitu seperti yang tercantum dalam
Septuagint, yaitu: Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Sirakh, Barukh, 1
Makabe, 2 Makabe, berikut tambahan-tambahan dari kitab Ester dan Daniel.
(Catatan: Surat Nabi Yeremia dianggap sebagai pasal 6 dari kitab Barukh). Hal
ini dilakukan atas alasan bahwa mereka tidak dapat menemukan versi Ibrani dari
kitab-kitab yang ditolak diatas.
JAWAB :
Dalam penelitian para ahli kitab Yahudi ada beberapa kitab-kitab dalam
terjemahan Septuaginta yang tidak lulus kanon. Untuk itu kitab tersebut tidak
masuk dalam Kanon Yahudi (dalam Kitab TANAKH Ibrani)
Kanon Yahudi Perjanjian Lama diikuti oleh golongan Kristen non Katolik.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Misi Kristus Sedunia
PELAJARAN SEKOLAH MINGGU
TANGGAL PELAJARAN SEKOLAH MINGGU KATEGORI Babak pertama ...
-
It is currently Tue Oct 18, 2016 9:42 pm FAQ Search The team Register Login SarapanPagi Biblika Bible Study / Christian...
-
Home Mempersiapkan Sebuah Khotbah Pemahaman Alkitab Jenis Bahan Indo Lead: Artikel Kategori Bahan Indo Lead: Spiritual L...